• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kondisi umum PPN Palabuhanratu

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terbagi menjadi dua bagian yakni dermaga tambat atau dermaga bongkar dengan luas 310 m2 sebagai areal tambat labuh dan pendaratan perahu seluas 3,953 m2 (Wudianto et al. 2010). Terdapat dua kolam pembongkaran untuk kapal, untuk kolam I berdekatan dengan tempat pelelangan ikan yang merupakan hasil tangkapan. Kolam II memiliki panjang 240 meter yang digunakan untuk pendaratan ikan hasil tangkapan dari kapal longline dan pancing tonda (Wudianto et al 2010).

Ikan hasil tangkapan nelayan tersebut akan langsung dilelang, namun sejak tahun 2004 kegiatan pelelangan ini terhenti dan beralih pada kegiatan KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan nelayan mengenai keuntungan penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan, dan asumsi para nelayan bahwa pengelola TPI hanya wadah bagi pemerintah untuk menarik retribusi (Lubis 2012). Hasil tangkapan yang diperoleh oleh para nelayan akan dijual langsung ke bakul (tengkulak), ini terjadi dikarenakan para nelayan tidak ingin membayar retribusi.

Gambar 4 Daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Kegiatan penangkapan ikan di daerah Palabuhanratu hanya memikirkan jangka pendek tanpa memikirkan jangka panjang, dimana para nelayan bersaing untuk mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah sehingga di khawatirkan akan terjadi tangkap lebih (overfishing). Daerah tangkapan ikan salah satunya adalah Teluk Palabuhanratu yang merupakan titik pengembangan usaha para penduduknya sehingga sangat diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk kemajuan ekonomi di kabupaten ini. Menurut Tyedmers P dan Hospido A (2005), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tersebar di perairan Atlantik, Pasifik dan Samudera Hindia. Berdasarkan (Gambar 4) kegiatan penangkapan ikan cakalang

Samudera Hindia

Pulau Christmas Teluk Palabuhanratu

13 (Katsuwonus pelamis) berlangsung di perairan Samudera Hindia hingga mencapai Pulau Christmas.

Kapal dan alat tangkap

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima belas responden alat tangkap pancing tonda merupakan alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Alat tangkap pancing tonda ini termasuk ke dalam jenis alat tangkap single species karena kecenderungan alat tangkap ini hanya dapat digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Waktu nelayan sekali melaut adalah 9–11 hari dengan waktu memancing pada pagi hari dan sore hari, adapun hasil tangkapannya antara lain, ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai tangkapan utama, ikan marlin, ikan tuna, copi-copi, dan layang–layang. Harga jual ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berkisar antara Rp 17.000–Rp 18.000 per kg tergantung pada jumlah hasil tangkapan setiap musimnya. Biaya penangkapan untuk satu kali trip berkisar antara Rp 7.000.000–Rp 7.500.000 per trip (Lampiran 1). Pada kapal penangkapan ikan dengan alat tangkap tonda memiliki empat jenis pancing yang biasa digunakan dalam proses penangkapan, antara lain pancing tonda, pancing tomba, pancing copi–copi, dan pancing layang–layang (Lampiran 11).

Keempat jenis pancing tersebut memiliki fungsi dn ukuran mata pancing yang berbeda, untuk pancing tonda dan copi–copi digunakan nomor tujuh, sedangkan untuk pancing tomba dan layang-layang digunakan ukuran mata pancing nomor dua. Pada pancing tomba memiliki panjang 150 meter dan dapat digunakan hingga kedalaman 29 meter dengan jumlah 3 mata pancing, sedangkan untuk taber (pancing tonda) memiliki jumlah mata pancing sebanyak 35 mata pancing dengan jarak mata pancing dengan mata pancing lainnya yaitu sebesar 150 cm, penggunaan taber (pancing tonda) hanya digunakan pada pagi hari pukul 05,00–05,30 hasil tangkapannya berupa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol.

Berbeda dengan kedua pancing tersebut, untuk copi–copi dan layang–layang hanya memiliki 1 mata pancing dan dapat digunakan satu hari penuh dengan kedalaman 30–50 meter, hasil tangkapan berupa ikan layang, layur, marlin dan tuna. Namun jika nelayan mendapatkan tangkapan ikan besar maka dapat dibantu dengan alat tangkap lain berupa ganco. Alat tangkap ini sejenis tombak dengan mata pancing berukuran besar memiliki panjang 25 meter. Proses penangkapan ikan, biasanya nelayan membawa 5 gulungan untuk taber (pancing tonda), 6 gulungan pancing tomba, 4 gulungan copi–copi, dan 1 gulungan untuk layang– layang. Daerah tangkapan yang sering di kunjungi berada di sekitar L 8-9 dan B 105–106 yakni daerah perairan Sibolga, Pulau Sumatra bahkan hingga mencapai Pulau Christmas.

Komposisi hasil tangkapan

Hasil tangkapan ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu terdiri dari ikan pelagis dan demersal. Menurut data Statistik hasil tangkapan tahun 2014, ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk ke dalam

14

tiga besar hasil tangkapan utama yang di daratkan di PPN Palabuhanratu sebesar 276,107 ton, selain ikan tuna dan tongkol. Ikan pelagis lebih dominan tertangkap jika dibandingkan dengan ikan demersal dengan persentase ikan tuna sebesar 67% dan ikan cakalang sebesar 15% (Gambar 5).

Gambar 5 Persentase hasil tangkapan ikan dominan, Sumber:Statistik PPN Palabuhanratu 2014

Berdasarkan diagram di atas dapat dilihat persentase ikan tuna jauh lebih tinggi setiap tahunnya dan selalu mendominasi hasil tangkapan. Hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan hasil tangkapan dominan kedua setelah ikan tuna. Pada tahun 2007 hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) mencapai 34% dan untuk tahun–tahun berikutnya mengalami fluktuasi, serta pada tahun 2013 persentase hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) hanya sebesar 9%. Berikut informasi hasil tangkapan dominan yang tahun 2006 sampai dengan 2013 disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Hasil tangkapan dominan tahun 2006-2013, Sumber:Statistika PPN Palabuhanratu 2014 cakalang 15% tuna 67% layur 4% tongkol 11% peperek 3% 0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700 3000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 ca tch (t o n/ta hu n) Tahun

15 Berdasarkan grafik hasil tangkapan ikan dominan tahun 2006 sampai dengan 2013 ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat ditangkap sepanjang tahun selain ikan tuna, tongkol, layur dan eteman dengan jumlah hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang berfluktuasi. Penurunan hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) terjadi pada tahun 2008 sampai dengan 2010, dan mengalami peningkatan hasil tangkapan pada tahun 2011 sampai dengan 2012, namun menurun lagi pada tahun 2013.

Hasil dan Upaya tangkapan ikan cakalang

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu ikan yang ditangkap dengan alat tangkap payang, gill net, pancing tonda dan tuna longline. Berikut informasi hasil dan upaya tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil dan upaya tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Tahun

Alat Tangkap

Payang Gill net Pancing Tonda Longline

Hasil (ton) Upaya (trip) Hasil (ton) Upaya (trip) Hasil (ton) Upaya (trip) Hasil (ton) Upaya (trip) 2006 274,621 1310 368,837 419 200,41 171 - - 2007 339,121 2535 264,202 838 132,534 173 - - 2008 29,603 950 110,104 447 128,786 172 4,018 2 2009 68,297 1622 69,301 341 179,371 325 3,764 1 2010 73,632 444 5,255 110 246,152 656 9,232 0,4 2011 40,974 124 116,204 123 392,443 651 314,924 50 2012 6,684 19 10,721 38 220,788 511 955,009 98 2013 13,079 133 9,495 46 187,123 427 314,913 39

Hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan alat tangkap tuna longline mengalami peningkatan pada tahun 2011 sampai dengan 2012, dan menurun pada tahun 2013 dengan jumlah upaya tangkapan (trip) yang jauh lebih sedikit dan meningkat setiap tahunnya (Lampiran 8). Alat tangkap gill net dan payang mengalami penurunan hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) setiap tahunnya. Hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) mengalami peningkatan dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda (Lampiran 6), pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dan mengalami penurunan pada tahun 2013.

Alat tangkap payang memiliki upaya penangkapan yang paling mendominasi setiap tahunnya jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya karena waktu melaut nelayan payang adalah one day fishing (satu hari melaut). Namun upaya penangkapan nelayan payang semakin menurun jika dilihat pada (Tabel 2). Kapal dengan alat tangkap pancing tonda mengalami peningkatan upaya penangkapan (Lampiran 6). Penggunaan alat tangkap tuna longline baru digunakan pada tahun 2008 hingga sekarang, namun ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bukan merupakan hasil tangkapan utama alat tangkap ini.

16

Catch per unit effort (CPUE)

Nilai catch per unit effort (CPUE) menggambarkan tingkat produktivitas dari upaya penangkapan, dengan kata lain jika nilai catch per unit effort (CPUE) tinggi maka tingkat efisiensi pengerahan upaya penangkapan berjalan dengan baik. Berikut informasi mengenai CPUE (catch per unit effort) dari alat tangkap pancing tonda disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik CPUE (catch per unit effort) dengan alat tangkap pancing tonda, Sumber: Statistik PPN Palabuhanratu 2014

Berdasarkan hasil perhitungan FPI sebesar satu maka dapat dikatakan alat tangkap pancing tonda memenuhi standar penangkapan dengan upaya tangkap yang sedikit menghasilkan hasil tangkapan melimpah jika dibandingkan dengan payang (Lampiran 7). Penggunaan alat tangkap pancing tonda mendapatkan hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang cenderung menurun pada tahun 2006 sampai dengan 2010.

Hubungan catch per unit effort dan effort

Catch per unit effort (CPUE) digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi yang berguna untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan berdasarkan pembagian antara data total tangkapan (catch) dengan upaya tangkapan (effort). Informasi CPUE dengan effort dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.

Gambar 8 Kurva hubungan CPUE (catch per unit effort) dengan effort, Sumber: Statistik PPN Palabuhanratu 2014 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 CP UE ( to n/ta hu n) Tahun y = -0,003x + 3,797 R² = 78,40% 0 1 2 3 4 0 200 400 600 800 1000 CP UE ( to n/tr ip) Effort (trip)

17 Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 78,40%, intercept sebesar 3,797 dan slope sebesar -0,003 dari persamaan y = -0,003+3,797 yang berarti setiap peningkatan upaya tangkapan (effort) dapat menurunkan produkstivitas hasil tangkapan (CPUE). Jika suatu alat tangkap memiliki upaya tangkapan lebih besar maka CPUE yang dihasilkan akan lebih kecil, karena dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang didapatkan. Utami et al. (2012) menyatakan bahwa rumus–rumus produksi surplus hanya akan berlaku apabila nilai parameter b (slope) bernilai negatif yang berarti setiap penambahan upaya penangkapan akan menyebabkan penurunan nilai CPUE (Lampiran 8). Indeks musim penangkapan (IMP)

Musim penangkapan ikan ditandai dengan kondisi alam yang stabil dan hasil tangkapan yang melimpah. Kondisi alam yang demikian akan sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan yang juga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Nilai indeks musim penangkapan (IMP) dapat digunakan dalam penentuan waktu yang tepat dan efektif dalam melakukan operasi penangkapan ikan, analisis indeks musim penangkapan dengan menggunakan data CPUE (catch per unit effort) bulanan. Musim penangkapan akan berbeda–beda setiap perairan bergantung pada kondisi lingkungannya. Pada (Gambar 9) dapat dilihat ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat ditangkap setiap bulan dan tahunnya dengan jumlah hasil tangkapan yang berfluktuasi. Berikut informasi mengenai indeks musim penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di PPN Palabuhanratu yang disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Indeks musim penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber: Statistik PPN Palabuhanratu 2014

Berdasarkan data hasil perhitungan, puncak musim penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Palabuhanratu yakni terjadi pada bulan April dengan nilai persentase lebih dari 100%. Musim peralihan penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yakni terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Maret. Puncak musim penangkapan ditandai dengan kondisi alam

0 20 40 60 80 100 120 140

Juli Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei Juni

IM

P

(

%)

Bulan

IMP Musim Penangkapan

18

yang cerah, laut yang tenang, dan perolehan hasil tangkapan yang melimpah, dan yang terpenting ketersediaan makanan ikan yang melimpah. Hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada bulan Agustus, Februari, dan maret dibawah rata-rata, sedangkan puncak penangkapan pada bulan April. Pada bulan itu ikan yang tertangkap diatas rata-rata tangkapan.

Hubungan panjang dan bobot

Pola pertumbuhan suatu organisme dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang dan bobot. Berikut ini informasi mengenai hubungan panjang dan bobot yang disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Kurva hubungan panjang dan bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) diperoleh persamaan W= 0,00006L2,769 dengan koefisien determinasi sebesar 93,70% (Gambar 10). Selanjutnya dilakukan uji t, dan didapatkan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat allometrik negatif.yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan bobot.

Identifikasi kelompok umur

Pendugaan parameter pertumbuhan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan analisis data sejumlah frekuensi panjang dan bobot. Tingkat pertumbuhan ikan sangat bervariasi karena hal tersebut dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor luar maupun dalam. Analisis kelompok umur dilakukan untuk mengetahui frekuensi panjang total ikan. Berdasarkan hasil analisis kelompok umur diketahui telah terjadi pergeseran modus ke arah kanan. Pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) terjadi sangat pesat pada bulan Januari sampai dengan Maret. Berikut informasi mengenai identifikasi kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang disajikan pada Gambar 11.

W = 0,00006L2,769 R² = 93,70% n = 341 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 0 200 400 600 800 B o b o t (g ra m ) Panjang (mm)

19

Gambar 11 Kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Parameter pertumbuhan

Nilai k (koefisien pertumbuhan) dan L (panjang asimtotik) didapatkan dengan menggunakan Metode Ford Walford diperoleh nilai k sebesar 0,23 per tahun, nilai L sebesar 841,53 mm, dan nilai t0 sebesar -0,28. Semakin besar nilai k maka semakin cepat ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) mencapai L, jika nilai k semakin kecil maka pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat dikatakan lambat. Sebaran frekuensi panjang pada setiap waktu pengambilan contoh yang dilakukan selama empat bulan di PPN Palabuhanratu diperoleh dari metode Ford Walford dengan jumlah contoh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sebanyak 341 individu. Panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap sebesar 710 mm, sedangkan untuk panjang minimum sebesar 220 mm. Berikut ini informasi mengenai parameter pertumbuhan yang disajikan pada Tabel 3. 0 10 20 30 40 50 247 302 357 412 467 522 577 632 687 F re k uens i (ek o r) Nilai tengah (mm) 0 20 40 60 247 302 357 412 467 522 577 632 687 F re k uens i (ek o r) Nilai tengah (mm) 0 10 20 30 247 302 357 412 467 522 577 632 687 F r e k ue nsi ( e k o r ) Nilai tengah (mm) 0 10 20 30 247 302 357 412 467 522 577 632 687 F re k uens i (ek o r) Nilai tengah (mm)

20

Tabel 3 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Parameter Nilai

L∞ (mm) 841,53

k (tahun) 0,23

t0 (bulan) -0,28

Mortalitas dan laju eksploitasi

Pendugaan mortalitas meliputi laju mortalitas total (Z), laju mortalias alami (M), dan laju mortalitas penangkapan (F) yang diperoleh berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang (Lampiran 5). Mortalitas alami dapat terjadi karena predasi, penyakit, dan umur. Informasi mengenai laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Mortalitas dan laju ekploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Mortalitas Nilai (per tahun)

Penangkapan (F) 0,39

Alami (M) 0,22

Total (Z) 0,61

Eksploitasi (E) 0,63

Laju mortalitas penangkapan (F) ikan cakalang yaitu sebesar 0,39 per tahun, laju mortalitas alami (M) yaitu sebesar 0,22 per tahun dan laju mortalitas total (Z) sebesar 0,61 per tahun. Mortalitas penangkapan lebih besar jika dibandingkan dengan mortalitas alami, hal tersebut dapat terjadi karena kegiatan penangkapan yang jauh lebih tinggi sehingga mempengaruhi keberadaan ikan di laut, khususnya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan nilai persentase laju ekploitasi sebesar 63,57% (Lampiran 5).

Pemilihan model produksi surplus

Pada penelitian ini analisis parameter biologi dengan menggunakan lima model, antara lain model Fox, Schaefer, Schnute, Walter Hilborn, dan Clark Yoshimoto Pooley. Parameter–parameter dari kelima model produksi surplus tersebut meliputi nilai r (laju pertumbuhan alami), q (kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan). Berikut ini informasi mengenai parameter biologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Pemilihan model produksi surplus ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Model r Parameter biologi

(ton per tahun)

Q (ton per trip)

K (ton per tahun)

R2 (%) Schaefer 0,0005 0,0000004 7885404 78,42 Fox 0,3005 0,0003 12608 84,55 CYP 4,1536 0,0068 189 54,72 Walter Hilbron 3,9862 0,0019 2997 49,73 Schnute 0,1686 0,0001 338287 3

21 Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) paling besar adalah model Fox

jika dibandingkan dengan keempat model lainnya yaitu sebesar 84,55%. Sehingga dapat dilakukan analisis bioekonomi dengan menggunakan model Fox. Analisis bioekonomi

Analisis bioekonomi dilakukan guna membantu dalam melakukan penentuan pengelolaan sumber daya perikanan yang tepat. Berikut ini kurva hubungan produksi dan upaya penangkapan dengan menggunakan model Fox

disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Hubungan produksi dengan upaya penangkapan

Berdasarkan kurva hubungan produksi dengan upaya penangkapan (Gambar 11) dapat dilihat pada tahun 2011 sampai dengan 2012 telah terjadi overfishing, berbeda dengan tahun 2013 sumber daya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) seakan mengalami underfishing. Padahal, kondisi ini diduga masih overfishing

akibat pengaruh tahun-tahun sebelumnta. Berikut informasi parameter ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Parameter ekonomi sumber daya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Parameter ekonomi Nilai (rupiah)

Biaya operasional per trip 7560000

Harga jual ikan cakalang per kg 18000

Tabel 6 menyatakan hasil penentuan jumlah tangkapan lestari, upaya optimum dan keuntungan melalui analisis MSY, MEY, open acces, dan aktual pada rezim pengelolaan. Berikut informasi hasil dari analisis bioekonomi dengan model Fox pada Tabel 7.

0 200 400 600 800 1000 1200 0 500 1000 1500 2000 H a sil t a ng k a pa n (t o n) Upaya (trip) 2011 2006 2007 2010 2009 2008 2013 2012

22

Tabel 7 Hasil analisis bioekonomi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan model Fox

Gambar 13 Kurva bioekonomi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di PPN Palabuhanratu

Perhitungan yang dilakukan dengan beberapa parameter MSY, MEY, OA, dan aktual maka didapatkan hasil pada (Tabel 7). Upaya tangkapan EMEY lebih rendah jika dibandingkan dengan upaya tangkapan EMEY dan OA. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi upaya tangkapan terendah terjadi pada saat kondisi MEY (titik B) sebesar 270 trip per tahun dengan hasil keuntungan (TR) yang jauh lebih tinggi sebesar Rp 12,556 milyar per tahun jika dibandingkan pada kondisi MSY (titik C) dengan upaya sebesar 317 trip per tahun dan keuntungan sebesar Rp 12,379. Pada kondisi OA (titik D) diharapkan nelayan tidak melakukan kegiatan penangkapan karena pada kondisi ini akan terjadinya persaingan sehingga keuntungan yang didapatkan bernilai nol (TC=TR), dimana penerimaan total sama dengan biaya total yang dikeluarkan (Gambar 13).

Pembahasan

Perikanan merupakan kegiatan usaha yang menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar. PPN Palabuhanratu salah satu tempat dimana kegiatan perikanan ini berjalan, sebagian masyarakatnya bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan berbeda–beda. Ikan tuna, tongkol dan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan tiga besar tangkapan utama di PPN Palabuhanratu. Penggunaan alat tangkap dan upaya tangkapan akan sangat menentukan hasil tangkapan yang didapatkan. Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ketiga jenis ikan tersebut adalah gill net, payang, pancing tonda, dan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 P enda pa ta n ( m ily a r rupia h) Effort (trip)

Variabel MEY MSY OA Aktual

C (ton/tahun) 810,95 821,00 375,49 524,61 E (trip/tahun) 270 317 894 250 Keuntungan (milyar/tahun) 12556019298 12379965060 0 7559014532 TC TR A C Keterangan : TC : Total Cost TR : Total Revenue

A : Aktual (tahun terakhir)

B : MEY (maximum economic yield) C : MSY (maximum sustainable yield) D : OA (open acces)

D B

23 tuna longline. Hasil tangkapan terbesar dengan sedikit upaya tangkapan dihasilkan oleh alat tangkap tuna longline, namun ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada alat tangkap ini bukan tangkapan utama melainkan by catch.

Pancing tonda pertama kali digunakan oleh nelayan PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 hingga sekarang dengan tangkapan utamanya adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), sedangkan penggunaan alat tangkap tuna longline baru lima tahun terakhir yaitu sejak tahun 2008 (PPNP 2014). Penggunaan pancing tonda lebih sering digunakan dengan berbagai pertimbangan, salah satunya biaya operasional lebih murah jika dibandingkan dengan tuna longline, penggunaan pancing tonda lebih mudah dan menghemat waktu (Fadhillah 2010). Hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tidak menentu (fluktuasi) setiap tripnya berdasarkan alat tangkap, kondisi demikian bisa terjadi kapan saja karena perikanan bersifat open access (Octoriani 2014). Kegiatan perikanan yang open access sangat menentukan perekonomian masyarakat Palabuhanratu, khususnya mereka yang bekerja sebagai nelayan. Menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) setiap tahunnya menunjukan bahwa pada tahun–tahun sebelumnya telah terjadi

overfishing (tangkap lebih) (Lampiran 8).

Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Palabuhanratu dapat dilakukan sepanjang tahun dengan jumlah trip yang bervariasi berdasarkan alat tangkapnya. Nelayan Luwu Teluk Bone membedakan musim penangkapan ikan cakalang ke dalam tiga kategori yaitu (1) musim puncak, biasanya terjadi pada bulan Juli–Oktober, (2) musim paceklik, biasanya terjadi pada bulan Desember, dan (3) musim biasa biasanya berlangsung pada bulan Januari–Juni (Mallawa 2012). Puncak musim penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di daerah Palabuhanratu, terjadi pada bulan April (Gambar 9). Puncak musim penangkapan di Palabuhanratu tersebut sama dengan yang terjadi di daerah Tanzania tepatnya di perairan Pasifik yang terjadi pada bulan April (Fonteneau A dan Hallier JP 2015). Kesamaan dan perbedaan terjadinya musim penangkapan disebabkan karena beberapa faktor di antara nya faktor biologis dan ekologis dari masing–masing perairan dimana ikan tersebut hidup (Manik 2007).

Tabel 8 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan cakalang

Peneliti Lokasi Parameter Pertumbuhan Pola

Pertumbuhan

L k

Mayangsoka

(2010) Samudera Hindia Barat 519,15 0,41 Isometrik

Fadhillah (2010) Teluk Palabuhanratu 662,03 0,17

Allometrik positif

Hermawati (2015) Teluk Palabuhanratu 841,5 0,23

Allometrik negatif Koefisien pertumbuhan (k) dan panjang asimtotik (L) didefinisikan sebagai parameter yang menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotik dari pola pertumbuhan ikan (Octoriani 2014). Nilai k ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Palabuhanratu yaitu sebesar 0,23 (Tabel 8 dan Lampiran 3), berbeda dengan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang berada daerah di Prigi yaitu sebesar 2,08, perbedaan ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor genetik, parasit, penyakit

24

sedang faktor eksternal meliputi kualitas perairan dan ketersediaan makanan. Perubahan lingkungan yang terjadi secara periodik akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006). Menurut Manik (2007), keadaan lingkungan yang berubah dan kondisi ikan berubah maka hubungan panjang-berat akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b≠3).

Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada penelitian ini bersifat allometrik negatif (Tabel 8). Hasil tersebut berbeda dengan yang didapatkan oleh Fadhilah (2010), dimana pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat allometrik positif. Perbedaan pola pertumbuhan dalam satu lokasi dapat terjadi karena perubahan lingkungan perairan dan jumlah contoh yang diamati (Oktaviyani 2013), selain itu juga disebabkan karena waktu penangkapan dan alat tangkap yang digunakan (Ricker 1973 in Kalayci et al. 2007). Jumlah hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) akan memberikan pengaruh terhadap sifat pertumbuhan baik allometrik maupun isometrik (Campos RO dan Andrade HA 2002).

Penggunaan model produksi surplus dalam bioekonomi yaitu untuk menentukan tingkat upaya penangkapan yang optimum dan tangkapan maksimum lestari (Lampiran 10). Pendugaan MSY dalam model produksi surplus bertujuan untuk pengelolaan perikanan untuk pembangunan perikanan yang diarahkan sedemikian rupa untuk mencapai nilai MSY (Fauzi 2010). Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 hasil tangkapan dan upaya tangkapan telah melebihi upaya optimum sehingga dapat diindikasikan bahwa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) telah mengalami tangkap lebih (overfishing).

Penyebab terjadinya tangkap lebih (overfishing) selain karena faktor biologi juga karena faktor permintaan pasar yang mempengaruhi harga jual ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fauzi (2010), tingginya harga dapat menyebabkan terjadi overfishing karena memberikan kesempatan kepada nelayan untuk memburu jenis ikan tersebut sehingga kegiatan penangkapan dan penggunaan alat tangkap akan memperparah terjadinya overfishing, serta akan mengakibatkan tahun–tahun berikutnya menjadi underfishing bahkan collapse. Upaya penangkapan terus ditingkatkan guna mendapatkan hasil yang melimpah. Salah satunya dengan memperbaiki teknologi penangkapan yakni pancing tonda dengan menggunakan rumpon atau memburu gerombolan ikan. Tingginya aktivitas penangkapan akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

Perkembangan hasil tangkapan ikan cakalang pada tahun 2006 sampai dengan 2013 mengalami fluktuasi, tahun 2006 hasil tangkapan sebesar 843 ton per tahun, tahun 2007 sebesar 735 ton per tahun, sedangkan hasil tangkapan tahun 2008 menurun hingga sebesar 272 ton per tahun. Meningkat kembali pada tahun 2009 sampai dengan 2011 hingga mencapai 864 ton per tahun, tahun 2012 sebesar 1193 ton per tahun, namun tahun 2013 mengalami penurunan kembali hingga sebesar 524 ton per tahun. Berdasarkan data hasil tangkapan pada tahun-tahun sebelumnya overfishing yang terjadi dari tahun 2009 sampai dengan 2012 mengakibatkan tahun 2013 sumber daya ikan cakalang mengalami penurunan

Dokumen terkait