• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tutupan Lahan DAS Wampu Tahun 1995, 2005 dan 2015

Klasifikasi kelas penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 TM untuk tahun 2015 dan citra satelit Landsat 5 TM untuk tahun 1995 dan 2005. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan dikelaskan ke dalam 14 kelas penutupan lahan yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove, semak, kebun karet, kebun sawit, pemukiman, lahan terbuka, tambak, badan air, sawah dan pertanian lahan kering campuran. Ditambah keberadaan awan dan bayangan awan yang menutupi lahan dibawahnya.

Pengolahan klasifikasi citra Landsat di DAS Wampu menggunakan path 129, row 057 dan row 058. Pengolahan data citra menggunakan row 057 dan row 058 karena DAS Wampu memiliki daerah wilayah yang luas. Hasil klasifikasi citra Landsat 5 TM tahun 1995 dan tahun 2005 kombinasi saluran (band 5,4,3) dimana saluran 5,4, dan 3 sesuai untuk kondisi vegetasi, sedangkan hasil klasifikasi citra landsat 8 TM tahun 2015 menggunakan band 6,5,4.

Klasifikasi citra dilakukan dengan metode supervised yaitu dengan mengidentifikasi piksel-piksel dari warna yang sama dan mengelompokkannya kedalam kelas-kelas tutupan lahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Horning dkk (2010), klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai piksel tiap objek sebagai sampel, selanjutnya nilai piksel dari setiap sampel tersebut digunakan masukan dalam proses klasifikasi. Perolehan informasi tutupan lahan diperoleh berdasarkan warna pada citra statik dan analisis grafis. Analisis statik

digunakan untuk memperhatikan nilai rata-rata, standart deviasi dan varian dari tiap kelas sampel yang diambil guna menentukan perbedaan sampel.

Menentukan kelas-kelas tutupan lahan dibutuhkan monogram sumatera dalam membantu menentukan warna-warna piksel dan membandingkannya dengan warna yang tersedia pada monogram sumatera. Beberapa warna piksel yang di klasifikasi adalah hijau tua, hijau muda, biru, kuning, merah, merah muda, putih, dan hitam dimana terdapat pada monogram sumatera yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, badan air, semak, lahan terbuka, pemukiman, awan dan bayangan awan.

Penutupan lahan hasil klasifikasi kemudian diuji tingkat akurasinya. Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui besar keakuratan hasil klasifikasi tahun 2015 dengan menggunakan data lapangan berupa titik sampel (ground check), kemudian membandingkannya dengan peta tutupan lahan hasil klasifikasi. Setiap titik sampel dilakukan pengecekan tutupan lahan hasil klasifikasi untuk mengetahui jumlah titik sampel yang sesuai dan tidak sesuai antara peta tutupan lahan hasil klasifikasi dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Dari titik sampel dilapangan diperoleh nilai akurasi dari klasifikasi tutupan lahan tahun 2015 sebesar 86,5 %.

Selain menguji tingkat akurasi berdasarkan data lapangan, dilakukan juga perhitungan Kappa Accuracy untuk mengetahui nilai tingkat keakuratan hasil klasifikasi citra satelit dengan menggunakan matrik kesalahan (error matrix). Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra tahun 1995, 2005, dan 2015 terdiri dari dua citra yaitu row 057 dan row 058. Hasil perhitungan tahun 1995 diperoleh nilai Overall Accuracy sebesar 96,26% dan 94,53%, sedangkan nilai Kappa

Accuracy95,66% dan 90,93%. Untuk akurasi citra tahun 2005 diperoleh nilai Overall Accuracy sebesar 97,16% dan 98,26%, sedangkan untuk nilai Kappa Accuracy 96,76% dan 97,67%. Serta hasil perhitungan akurasi citra tahun 2015 diperoleh nilai Overall Accuracy sebesar 97,84% dan 95,42%, dan untuk nilai Kappa Accuracy sebesar 97,50% dan 93,20%.

Berdasarkan hasil nilai akurasi diatas, hasil klasifikasi citra termasuk baik dan dapat diterima karena nilai akurasinya lebih dari 85%, sehingga tidak perlu dilakukan pengklasifikasian ulang. Nilai akurasi diatas 85% berarti hasil klasifikasi dapat diterima dengan kesalahan kurang atau sama dengan 15% sehingga hasil akurasi yang di dapat sudah layak untuk digunakan (Howard, 1996). Klasifikasi harus diulang jika nilai dari Overall Accuracy besarnya kurang dari 85%. Semakin tinggi akurasinya, baik Overall Accuracy maupun Kappa Accuracy maka hasil klasifikasi yang dilakukan akan semakin baik.

Tabel 1. Perbedaan Luasan Tutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Wampu Tahun 1995, 2005, dan 2015

No. Kelas tutupan lahan

Tahun 1995 Tahun 2005 Tahun 2015

Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) 1. Awan 19.700,57 6,25 2.520,18 0,80 1.365,48 0,43 2. Badan Air 1.458,80 0,46 2.732,56 0,86 1.207,50 0,38 3. Bayangan Awan 18.566,31 5,89 3.920,10 1,24 1.016,85 0,32 4. Hutan Mangrove 9.885,24 3,13 7.255,91 2,30 6.008,63 1,90 5. Hutan Lahan Kering Primer 102.232,73 32,47 114.969,95 36,51 102.828,27 32,66 6. Hutan Lahan Kering Sekunder 29.329,55 9,31 35.689,39 11,33 40.559,30 12,88 7. Kebun Karet 50.742,00 16,11 41.866,14 13,29 36.742,43 11,67 8. Kebun Sawit 21.132,89 6,71 42.590,92 13,52 53.433,56 16,97 9. Lahan Terbuka 2.546,13 0,80 2.371,36 0,57 9.162,48 2,91 10. Pemukiman 1.314,34 0,41 5.668,55 1,80 6.325,35 2,00 11. Pertanian Lahan Kering Campuran 48.648,96 15,45 50.519,95 16,04 49.013,55 15,56 12. Sawah 1.838,36 0,58 790,97 0,25 1.267,91 0,40 13. Semak 4.018,38 1,27 1.244,76 0,39 1.102,27 0,35 14. Tambak 3.427,93 1,08 2.701,46 0,85 4.808,62 1,52 Total 314.842,27 100,00 314.842,27 100,00 314.842,27 100,00

Berdasarkan data tabel 1, diketahui bahwa tutupan lahan yang paling luas adalah hutan lahan kering primer, sedangkan tutupan lahan yang paling kecil adalah sawah yaitu di bawah 1% . Hutan lahan kering primer memiliki luas lebih dari 30% dari luas total DAS Wampu. Luasnya hutan lahan kering primer tidak diikuti dengan luas hutan lahan kering sekunder yang hanya memiliki luas dibawah 13%.

Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra satelit Landsat 5 TM tahun 1995 didapat luas tutupan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer yaitu sebesar 102.232,73ha dan pada tahun 2005 mengalami pertambahan luas tutupan lahan menjadi 114.969,95 ha. Sedangkan luasan terkecil yaitu pemukiman sebesar1.314,34 ha di tahun 1995 dan sawah sebesar 790,97 ha di tahun 2005. Hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra satelit Landsat 8 TM tahun 2015 juga memiliki luas tutupan lahan terbesar pada hutan

lahan kering primer yaitu 102.828,27 ha atau sekitar 32,66 % dari total luas DAS Wampu. Sedangkan luasan tutupan lahan terkecilnya berada pada semak yaitu 1.102,27 ha.

Hasil klasifikasi tutupan lahan di DAS Wampu menunjukkan bahwa luas tutupan lahan di dominasi oleh hutan lahan kering primer, hal ini disebabkan karena DAS Wampu memiliki luas hutan terbesar di kabupaten langkat. Selain memiliki luasan yang besar, DAS Wampu juga memiliki keadaan hutan yang masih baik. Daerah Aliran Sungai Wampu memliki tiga bagian yaitu DAS Wampu bagian hulu, DAS Wampu bagian tengah (Sei Bingei) dan DAS Wampu bagian hilir. Kawasan hutan di DAS Wampu berada di bagian hulu, dimana pada bagian hulu merupakan bagian yang penting dari suatu kawasan hutan.

Data dari tabel 1 menunjukkan bahwa luas hutan lahan kering primer mengalami penurunan dari tahun 2005 sampai tahun 2015. Hal ini disebabkan karena kegiatan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia sehingga mengakibatkan adanya perubahan kawasan hutan. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan Wendika et al., (2012) yang menyatakan bahwa penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsungberhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan. Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara optimal dan efisien. Penggunaan lahan adalah wujud atau suatu bentuk usaha kegiatan pemanfaatan suatu bidang tanah pada satu waktu.

Tutupan lahan hutan di Daerah Aliran Sungai Wampu termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sehingga ekosistemnya harus dijaga dan dipertahankan agar keadaan hutan tetap baik. Dari tabel 1 diketahui

bahwa hutan lahan kering primer memiliki luas sebesar 32,66%. Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas aliran sungai atau pulau dengan sebaran yang proposional. Berdasarkan undang-undang tersebut DAS Wampu termasuk memenuhi luasan minimal hutan yang harus dipertahankan pada suatu DAS. Selain itu, kondisi hutan lahan sekunder juga harus tetap dijaga agar dapat menopang fungsi dari kawasan hutan primer.

Selain Daerah Aliran Sungai bagian hulu, DAS bagian tengah juga memiliki peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia, seperti pemanfaatan air sungai. Menurut Valiant (2014) bahwa Daerah Aliran Sungai bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan juga danau.

Perubahan Tutupan Lahan DAS Wampu Tahun 1995-2005

Identifikasi perubahan tutupan lahan dilakukan dengan software ArGis 10.1 dengan menggunakan calculate geometry pada attribute table untuk menghitung luas tutupan lahan. Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan membandingkan peta tutupan lahan tahun 1995 dengan peta tutupan lahan tahun 2005 sehingga diperoleh perbedaan tutupan lahan yang terdapat pada tahun 1995 dan 2005. Perubahan tutupan lahan yang terjadi pada tahun 1995 sampai tahun 2005 terdapat jumlah yang signifikan terhadap hutan lahan kering primer dan hutan mangrove. Selain itu terjadi juga perubahan pada hutan lahan kering

sekunder, kebun karet, kebun sawit, semak dan tambak. Data hasil perubahan tutupan lahan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Tipe Tutupan Lahan di DAS Wampu tahun 1995-2005

No. Tipe Tutupan Lahan Perubahan Luas

(ha)

Tahun 1995 Tahun 2005

1. Hutan Mangrove Badan Air 597,98

2. Hutan Mangrove Kebun Karet 295,13

3. Hutan Mangrove Kebun Sawit 314,82

4. Hutan Mangrove Pemukiman 118,84

5. Hutan Mangrove Tambak 1.315,23

6. Hutan Lahan Kering Primer Kebun Karet 2.302,14

7. Hutan Lahan Kering Primer Kebun Sawit 6.777,98

8. Hutan Lahan Kering Sekunder Kebun Karet 5.495,02

9. Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campuran 1.945,12

10. Kebun Karet Hutan Mangrove 165,29

11. Kebun Karet Hutan Lahan Kering Primer 2.002,97

12. Kebun Karet Hutan Lahan Kering Sekunder 4.991,67

13. Kebun Sawit Hutan Lahan Kering Primer 1.243,58

14. Semak Hutan Lahan Kering Primer 225,45

15. Tambak Hutan Mangrove 370,90

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa antara tahun 1995 sampai tahun 2005 hutan mangrove berubah fungsi menjadi badan air, kebun karet, kebun sawit, pemukiman dan tambak. Hutan lahan kering primer dan hutan lahan kering sekunder mengalami perubahan menjadi kebun karet, kebun sawit dan, pertanian lahan kering campuran. Pada tahun 1995-2005 terjadi perubahan paling besar dari hutan lahan kering primer menjadi kebun sawit sebesar 6.777,98 ha. Perubahan terbesar kedua di ikuti hutan lahan kering sekunder menjadi kebun karet sebesar 5.495,02ha. Tutupan lahan pada hutan mangrove mengalami perubahan yang paling besar menjadi tambakyaitu 1.315,23 ha. Selain itu, kebun karet juga mengalami perubahan menjadi hutan lahan kering sekunder sebesar 4.991,67 ha dan kebun sawit menjadi hutan lahan kering primer sebesar 1.243,58 ha.

hutan sekunder dapat berakibat fatal, salah satunya dapat mengakibatkan terjadinya banjir. Adanya perusakan oleh manusia seperti illegal logging merupakan salah satu penyebab berkurangnya luasan hutan. Pada tahun 2003, terjadi banjir bandang di desa Bukit Lawang yang berada di sepanjang tepi sungai Bahorok dan menelan ratusan korban jiwa dan juga ratusan bangunan hancur. Hal ini diakibatkan tingginya curah hujan yang terjadi dan adanya kerusakan hutan pada bagian hulu DAS Wampu sehingga terjadi bencana banjir.

Menurut As-Syakur et al., (2011) penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup mereka. Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi lahan pada kurun waktu yang berbeda.

Tutupan luasan hutan mangrove banyak mengalami perubahan yang cukup besar menjadi tambak. Hutan mangrove mengalami penurunan produktivitas akibat pemanfaatan atau pengeksploitasian ekosistem mangrove secara besar-besaran oleh masyarakat pesisir tanpa diikuti proses rehabilitasi kembali

ekosistem mangrove tersebut. Perubahan mangrove menjadi tambak dalam skala besar dapat mempengaruhi ekosistem hutan mangrove.

Menurut Saparinto (2007), konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya. Pertambakan ini juga diduga dapat memengaruhi produktivitas perairan estuari dan laut di sekitarnya. Seperti contoh menurunnya produksi udang laut sebagai akibat menciutnya luas hutan mangrove.

Perubahan tutupan lahan dari hutan primer menjadi kebun sawit yang terjadi selama 10 tahun merupakan perubahan penggunaan fungsi lahan hutan primer ke penggunaan lahan kebun sawit. Perusahaan-perusahaan besar perkebunan kelapa sawit yang ada di hulu dan tengah DAS Wampu yang jumlah luasannya semakin bertambah dari tahun ke tahunmengakibatkan percepatan sedimentasi yang berakibat pada melebarnya bidang sungai.

Aadanya perubahan tutupan lahan hutan sekunder juga terjadi menjadi pertanian lahan kering campuran, hal ini disebabkan karena faktor kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang setiap tahunnya meningkat terutama kebutuhan ekonomi. Dwiprabowo (2014) menyatakan bahwa pada awalnya hutan berada dalam kondisi yang baik (utuh) namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi diperlukan sumber pendanaan antara lain dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada khususnya hutan (kayu). Disamping itu lahan hutan dikonversi untuk memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi seperti pertanian, perkebunan, dan pemuk

Perubahan tutupan lahan DAS Wampu tahun 2005-2015

Pada interval waktu yang terjadi pada tahun 2005 sampai tahun 2015, perubahan tutupan lahan terbesar terjadi pada hutan lahan kering primer menjadi kebun karet. Adanya perubahan juga terjadi pada luasan tutupan lahan hutan mangrove, hutan lahan kering sekunder, badan air, kebun karet, pemukiman, pertanian lahan kering campuran dan tambak. Data perubahan tutupan lahan tahun 2005-2015 disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Perubahan Tipe Tutupan Lahan di DAS Wampu tahun 2005-2015

No. Tipe Tutupan Lahan Perubahan Luas

(ha)

Tahun 2005 Tahun 2015

1. Hutan Mangrove Kebun Karet 1.021,00

2. Hutan Mangrove Kebun Sawit 691,14

3. Hutan Mangrove Lahan Terbuka 313,53

4. Hutan Mangrove Tambak 444,07

5. Hutan Lahan Kering Primer Kebun Karet 3.904,66

6. Hutan Lahan Kering Primer Kebun Sawit 2.219,39

7. Hutan Lahan Kering Primer Lahan Terbuka 376,66

8. Hutan Lahan Kering Primer Pemukiman 1.612,94

9. Hutan Lahan Kering Sekunder Kebun Karet 1.863,89

10. Hutan Lahan Kering Sekunder Lahan Terbuka 492,51

11. Badan Air Hutan Mangrove 394,13

12. Kebun Karet Hutan Lahan Kering Primer 675,45

13. Pemukiman Hutan Lahan Kering Sekunder 154,94

14. Pertanian Lahan Kering Campuran Hutan Lahan Kering Sekunder 82,52

15. Tambak Hutan Mangrove 686,21

Berdasarkan tabel 3, diketahui perubahan luas terbesar pada tahun 2005-2015 yaitu hutan lahan kering primer menjadi kebun karet sebesar 3.904,66ha. Perubahan terbesar kedua juga terjadi pada hutan lahan kering primer menjadi kebun sawit sebesar 2.219,39 ha. Hutan mangrove juga mengalami perubahan fungsi lahan yang cukup tinggi menjadi kebun karet yaitu 1.021 ha. Perubahan hutan mangrove menjadi tambak sebesar 444,07 ha. Selain itu, terjadi juga

perubahan dari kebun karet menjadi hutan lahan kering primer sebesar 675,45 ha dan tambak menjadi hutan mangrove sebesar 686,21 ha.

Pada tahun 2015 perubahan hutan mangrove dan hutan lahan kering primer menjadi kebun karet sangat besar. Salah satu penyebab perubahan ini adalah tingginya kebutuhan masyarakat dari segi ekonomi. Perubahan menjadi karet banyak dipilih oleh masyarakat karena karet memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Menurut Setyamidjaya(1993), karet merupakan bahan baku lebih dari 50.000 jenis barang. Dari produksi karet, 46% digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet busa, sepatu, dan beribu jenis barang lainnya. Karet dihasilkan oleh tidak kurang dari 20 negara di dunia. Negara-negara penghasil karet terbesar terletak di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesai dan Thailand.

Data dari tabel 3 menunjukkan bahwa perubahan terbesar kedua terjadi pada hutan lahan kering primer menjadi kebun sawit yaitu 2.219,39 ha. Peningkatan perubahan hutan menjadi kebun sawit dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi masyarakat di DAS Wampu yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dilihat dari segi ekonomi, tanaman kelapa sawit memberikan keuntungan yang lebih besar sehingga banyak masyarakat maupun perusahaan-perusahaan mimilih menanam kelapa sawit.

Menurut Adi (2010), tingginya permintaan terhadap minyak kelapa sawit disebabkan minyak sawit memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan produk substitusinya. Keunggulan tersebut antara lain adalah relatif lebih tahan lama disimpan, tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi relatif tinggi, serta bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis

industri. Keunggulan lain adalah dari sesi produktivitas dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan minyak nabati lainnya.

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungandan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagaiperubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garisbesar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makinbertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yanglebih baik (Lestari, 2009).

Perubahan kawasan hutan di DAS Wampu semakin memburuk. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi. Terjadinya perubahan kawasan hutan menjadi kebun karet dan kebun sawit karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di DAS Wampu, sehingga membuat masyarakat melakukan konversi kawasan hutan menjadi areal pertanian. Wijaya (2004) menyatakan mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.

Dokumen terkait