• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

Pembahasan dari hasil pengamatan peneliti adalah sebagai berikut :

Kasus yang diteliti oleh peneliti adalah mengenai persepsi masyarakat suku Batak Toba terhadap masyarakat suku Batak Karo, dan sebaliknya persepsi masyarakat Suku Batak Karo terhadap masyarakat suku Batak Toba. Penelitian ini diadakan di dua daerah, yaitu masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur, Kabupaten Samosir dan masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti, Kabupaten Karo. Penelitian ini bersifat kualitatif artinya peneliti mendapatkan data yang diinginkan dengan melakukan wawancara mendalam kepada setiap warga yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh peneliti, hal inilah yang dinamakan dengan tehnik purpossive sampling, karena adanya penentuan kriteria tertentu kepada informan yang hendak diwawancarai, yaitu bapak atau ibu yang sudah mempunyai anak berumur 17 tahun ke atas. Metode studi kasus adalah metode yang tepat untuk meneliti fenomena yang diamati oleh peneliti. Jadi, fenomena dan hasil pengamatan peneliti pun hanya berlaku di dua daerah yang dijadikan lokasi penelitian oleh peneliti, tidak boleh digeneralisasikan. Informan dalam penelitian kualitatif ini berkembang terus dan akan dicari terus oleh peneliti, sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan dan memenuhi data yang diinginkan oleh peneliti. Jika data yang dikumpulkan sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu lagi mencari informan lainnya. Informan

yang dimintai data oleh peneliti di Desa Surbakti ada sebanyak enam orang, sementara di Desa Unjur ada sebanyak lima orang.

Berdasarkan kasus penelitian tersebut, maka peneliti akan membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui persepsi dalam Komunikasi Antarbudaya suku Batak Toba terhadap suku Batak Karo dan sebaliknya, suku Batak Karo terhadap Batak Toba, kemudian untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai dari masing-masing kebudayaan dalam memahami arti perkawinan antarsuku tersebut. Kebudayaan tentu sangat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsikan sesuatu, sebab apa yang dianggap sama oleh seorang individu, belum tentu dianggap sama oleh individu lain, tergantung kebudayaan yang melatarbelakangi pribadi individu tersebut. Jelaslah bahwa ada hubungan antara budaya, persepsi, dan perilaku. Perilaku ini adalah wujud nyata dari nilai-nilai yang dipegang teguh oleh seorang individu, baik yang diwariskan dari keluarga atau yang didapatkan semasa pendidikan di sekolah. Inilah hal yang ingin dibukakan dalam pembahasan berikut, dengan menggunakan tehnik triangulasi data yaitu untuk mengecek dan juga mambandingkan data yang satu dengan yang lainnya.

1. Persepsi masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti terhadap suku Batak Toba

Menurut Mulyana (2002: 167), bahwa persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi akan memilih apa-apa saja yang diterima dan menolaknya. Persepsi yang sama akan memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan (Lubis, 2012). Sementara menurut De Vito (1997) dalam Lubis (2012), mengemukakan bahwa persepsi bermula dari diri sendiri dalam bertemu dengan orang lain, berpengaruh terhadap indera melalui umpan balik yang berharga (kesadaran) mengenai perasaan, pemikiran dan perilaku kita sendiri.

Ada tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-individu peserta komunikasi antarbudaya.

Yang pertama adalah Pandangan dunia yang mencakup kepercayaan, nilai, dan tingkah laku. Kedua adalah sistem lambang yaitu bahasa, dan yang ketiga adalah organisasi sosial (Sarbaugh 1998 dan Samovar,et,al, 2006).

Dalam mempersepsi budaya lain, ada juga unsur lain yang akan mempengaruhi kita, namun unsur ini bukanlah suatu keharusan yang akan kita temukan dalam persepsi setiap individu. Ada kalanya unsur ini tersirat dan ada kalanya unsur ini benar-benar tidak ada. Unsur-unsur tersebut adalah prasangka, stereotip, dan etnosentrisme.

a. Sistem Lambang

Forgas (1988) dalam (Lubis, 2012) menyatakan bahwa suatu peristiwa komunikasi dimana setiap orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Contohnya, dalam mengucapkan atau memberi ‘salam’ banyak budaya yang berbeda dalam praktiknya. Dalam suku Batak Toba, memberi ‘salam’ itu adalah dengan mengucapkan ‘Horas’, sementara dalam suku Batak Karo, memberi ‘salam’ itu diungkapkan dengan kata ‘mejuah-juah’. Hal ini tentu dipengaruhi oleh bagaimana kita berbicara dengan orang lain (bahasa). Begitu pentingnya bahasa bagi setiap budaya, bahasa membuat kita manusia untuk berbagi pikiran, perasaan dan informasi, bahasa juga merupakan salah satu alat atau metode untuk menyebarkan budaya, oleh karena itu bahasa disebut sebagai tanda identitas dari budaya (Samovar, 2010: 31).

Sesuai dengan hasil pengamatan peneliti selama di Desa Surbakti, hal yang paling disoroti masyarakat ketika memandang budaya suku Batak Toba, yaitu bahasa. Bahasa sudah menjadi hal yang sangat mempengaruhi masyarakat suku Batak Karo dalam mempersepsi orang suku Batak Toba. Bahasa Batak Karo jauh sangat berbeda dengan Batak Toba. Menurut pengakuan masyarakat yang telah diteliti, tidak ada sedikit pun kesesuaian bahasa Batak Karo dengan Batak Toba, bahkan mereka mengatakan kesesuaian bahasa mereka itu ada pada suku Batak Simalungun. Dari enam orang informan, hanya ada satu informan yang melarang keras anak-anaknya menjalin hubungan yang lebih dalam dengan seseorang yang berasal dari suku Batak Toba, yaitu pasangan Bapak Olet Sitepu

dan Ibu br Ginting. Hal ini dikarenakan bahasa yang sungguh sangat sulit untuk dimengerti. Beliau mengungkapkan, bagaimana nantinya menjalin komunikasi dengan baik jika bahasa orang Batak Toba sangat sulit untuk mereka mengerti, beliau sangat khawatir karena tidak akan ditemukan keefektivan berkomunikasi. Sementara lima informan lainnya menyatakan bahwa bahasa tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bergaul atau menjalin hubungan dengan orang Batak Toba. Karena menurut mereka bahasa itu adalah identitas budaya atau suku, dan tentunya berbeda-beda ketika kita menjalin hubungan diluar dari suku kita. Namun, masih banyak waktu untuk belajar. Menurut kelima informan ini, balajar adalah salah satu jalan keluar atau jawaban ketika kita ingin menjalin hubungan dengan orang lain di luar suku kita, salah satunya Batak Toba. Dalam penelitian ini, ada satu orang informan, yaitu Bapak Regina Sinulingga, menyatakan bahasa yang berbeda itu bisa dipelajari, namun disamping itu, beliau juga mengaku bahwa bahasa Batak Karo lebih lembut dan sopan dibandingkan dengan bahasa Batak Toba yang cukup lantang pengucapannya, sehingga terkesan kasar dan keras.

b. Pandangan Dunia

Pandangan dunia atau sering disebut dengan world view terdiri dari tiga unsur, yaitu Sistem Kepercayaan, Nilai, dan Perilaku. Sistem Kepercayaan dibentuk oleh budaya yang mendarah daging dalam diri seseorang. Kepercayaan ini adalah penting, karena “diterima sebagai suatu kebenaran”. Kita harus mampu mengenali bahwa budaya memiliki sistem kepercayaan yang berbeda-beda antara budaya yang satu dengan lainnya. Seseorang yang tumbuh dalam budaya dimana Kekristenan merupakan agama yang utama, akan mempercayai bahwa keselamatan akan diperoleh hanya dengan satu cara yaitu percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat yang hidup, sementara agama lain menolak hal tersebut, mereka memiliki kepercayaan tersendiri mengenai keselamatan (Samovar, 2010: 224). Fungsi sosial agama dapat memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral masyarakat. Sistem kepercayaan manusia berperan untuk menetralisir sifat jahat manusia, nilai-nilai agama berperan untuk

memperbaiki akhlak manusia. Jelas bahwa peranan agama dalam suku apa pun itu mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga (Lubis, 2012: 65). Nilai juga menjadi suatu pegangan dalam kehidupan seorang individu, baik itu nilai yang diajarkan dalam keluarga, maupun nilai yang diajarkan di sekolah. Bagaimana seorang individu diberitahukan dan diajarkan dalam keluarga mana yang baik dan buruk, benar dan salah, yang boleh dan yang tidak boleh, namun nilai ini tidak bersifat universal karena memang cenderung berbeda antara budaya yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai yang ada dalam suatu budaya atau suku itu adalah aspek penilaian dari sistem kepercayaan, nilai dan juga perilaku.

1. Sistem Kepercayaan

Menurut pengamatan peneliti, masyarakat Batak Karo yang ada di Desa Surbakti adalah masyarakat yang sudah beragama. Dari enam informan yang diteliti, tidak ada satupun informan yang tidak beragama lagi. Ada lima keluarga yang menganut kepercayaan Kristen Protestan dan ada satu keluarga yang menganut agama Islam. Bagi mereka agama memang menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan. Nilai-nilai agama pun diwariskan kepada anak-anak yang dikaruniakan Tuhan ke dalam keluarga mereka, karena menurut mereka nilai agama itu menjadi suatu pegangan hidup, mengarahkan kita untuk melangkah ke arah yang baik dan benar. Sesuai dengan ajaran dan didikan dalam agama, mereka mendidik anak-anak dalam keluarga. Informan yang beragama Kristen mengatakan bahwa mereka mengajari dan mendidik anak untuk berdoa, beribadah ke gereja, mengasihi sesama manusia, dan percaya kepada Tuhan Yesus. Informan yang beragama Islam, tentunya mewarisi nilai agama tersebut dengan cara mendidik dan mengajari anak untuk membaca Al-Quran dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana harus mengasihi sesama manusia, apa yang boleh dan tidak diperbolehkan oleh Allah SWT. Baik agama Kristen maupun agama Islam, nilai yang mendasari kepercayaan mereka adalah saling mengasihi sama seperti Tuhan mengasihi semua manusia tanpa pandang bulu. Itulah nilai dasar dari agama yang diwariskan kepada anak-anak.

Dalam kasus ini hanya ada satu pasangan suami isteri yang sangat teguh dalam memegang nilai agama yang dianutnya, yaitu pasangan Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting. sekalipun mereka mengungkapkan bahwa nilai dasar dari kepercayaan mereka adalah kasih, namun aapabila anak menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berbeda agama, mereka sangat melarang dengan keras. Jangankan dengan yang berbeda agama, dengan seseorang yang seagama namun beda aliran pun mereka tidak mengizinkan anak-anak. Menurut pengakuan mereka, menjalani hidup dengan seseorang yang berbeda agama itu tidak akan pernah damai sejahtera karena sudah pastii punya visi dan misi yang berbeda dalam membangun bahtera keluarga. Sementara Bapak Dedep dan Bapak Regina adalah kepala keluarga yang menganut kebebasan, tidak ada istilah melarang anak-anak untuk menikah dengan siapa pun, sekalipun itu berbeda agama. Mereka hanya sebatas mengarahkan dan pasrah terhadap jodoh anak nantinya.

Berbeda halnya dengan Bapak Kristop Siregar dan Ibu Ngina br Ginting, mereka mengizinkan anak-anak untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda agama dengan memenuhi satu syarat, yaitu anak tersebut ditarik ke agama yang diantut oleh pasangan ini. Ada hal yang berbeda yang ditemui peneliti dalam keluarga Bapak Efran Ginting. Bagi beliau agama adalah hal yang sangat penting, namun dalam perwujudannya tidak sepenting bagaimana beliau mengatakannya. Bapak Efran Ginting dan Ibu br Sitepu adalah pasangan yang memiliki rasa takut untuk menekankan dengan teguh kepercayaan yang mereka anut kepada anak, hal ini dikarenakan keluarga dari Ibu br Sitepu banyak menganut agama Islam, anak-anak mereka sangat dekat dengan keluarga dari pihak ibu. Sementara kita ketahui bahwa menurut kepercayaan orang Batak yang diungkapkan oleh Tinambunan (2010), anak akan berpegang teguh pada kepercayaan yang telah dipegang teguh oleh orang tuanya. Dalam keluarga Bapak Cinta Tami, berbeda dari yang lainnya. Beliau adalah penganut agam Islam, menurut kepercayaan agama Islam, jika anak sudah berumur 13 tahun, maka sudah dikatakan akil balik, artinya anak sudah menanggung dosanya sendiri. Jadi,

beliau membebaskan anak untuk menntukan pilihan, karena jika anak-anak murtad, itu adalah dosa anaknya sendiri.

2. Nilai dan Perilaku

Nilai adalah salah satu elemen pokok dalam mempersepsi dunia. Nilai merupakan norma dimana suatu suku atau etnis memberitahukan kepada seorang individu yang menjadi anggotanya mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah, yang boleh dan yang tidak boleh. Nilai itu tidak universal, karena cenderung berbeda nilai antara budaya yang satu dengan yang lainnya (Lubis, 2012: 67). Sebelum masuk dalam pembahasan nilai-nilai budaya yang dipegang dan diwariskan oleh informan kepada anak dalam keluarga, peneliti akan membahas nilai-nilai budaya yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat Batak Karo sehari-harinya.

Banyak nilai budaya Batak Karo yang akhirnya diketahui oleh peneliti, melalui informan yang mereka laksanakan dalam kehiduapan mereka, dan tentunya nilai ini tidak berlaku secara keseluruhan bagi budaya Suku Batak Toba, antara lain: antara menantu dengan mertua tidak boleh berbicara empat mata,

hanya ada pemberian istilah kain panjang bagi pengantin bukan ulos seperti

budaya Batak Toba, tukur atau harga yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak pemberi perempuan itu sudah mempunyai kelas-kelas tersendiri dan jauh lebih murah dibanding dengan harga di budaya Batak Toba, pesta pernikahan itu diadakan harus di tempat perempuan bukan di tempat laki-laki seperti Batak Toba,

sistem impal pun masih sangat kuat bagi masyarakat Batak Karo di Desa

Surbakti, duduk berhadapan namun berseberangan dengan mertua adalah suatu hal yang tabu, dalam acara adat orang yang meninggal pun jauh berbeda dengan Batak Toba, bagi Batak Karo pemberi ulos itu adalah pihak yang berduka kepada kerabatnya, sebaliknya dalam Batak Toba, dan nilai yang paling penting untuk mereka tekankan kepada anak-anak adalah sangkep sitelu Sangkep Sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam suku Batak Karo, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan,

disebut kalimbubu, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, disebut senina, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut anak beru. Dengan demikian anak- anak akan mengetahui posisi mereka dalam sistem bermasyarakat dan sistem kekerabatan adat istiadat. Informan yang diteliti memberikan jawaban yang rata- rata sama, dalam hal mewariskan nilai-nilai kepada anak, yaitu dengan mengajari dan mendidik anak, membawa mereka ke acara adat besar di Karo, pesta tahunan, dan juga menunjukkan perilaku yang menghargai dan menghormati adat istiadat yang dipegang. Nilai budaya yang paling mendasar yang harus diketahui anak adalah sangkep sitelu (nilai kekerabatan).

Kekentalan budaya Batak Karo yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting, terus diwariskan kepada anak dengan cara mendidik mereka sesuai nilai adat yang berlaku, memberitahukan kepada anak, norma yang berlaku, apa yang baik dan buruk, benar dan salah. Sangkep Sitelu menjadi nilai dasar yang diajarkan pasangan ini kepada anak-anaknya, dengan harapan anak-anaknya kelak bisa mengerti setelah mereka berumah tangga. Mensosialisasikan budaya kepada anak-anak lewat perilaku Bapak Olet dan Ibu br Ginting juga sudah mereka kerjakan, supaya anak nantinya memperhatikan. Sama halnya dengan pasangan Bapak Cinta Tami Sinulingga dan Ibu Rawati Ginting, yang selalu bekerja sama menjelaskan nilai budaya dan prinsip hidup kepada anak, berhubung karena Bapak Cinta Tami adalah seorang penatua adat yang diakui di Desa Surbakti. Bapak Efran Ginting juga ternyata mlakukan hal yang sama, yaitu mendidik anak-anak sesuai dengan adat yang berlaku, menunjukkan kepada anak nilai-nilai yang berlaku dalam budaya yang mereka pegang, namun beliau mengaku bahwa adat istiadat suku Batak Karo memang jauh lebih simpel dan sederhana dibanding dengan adat istiadat Batak Toba, hal ini menjadi salah satu pandangan yang membuat beliau menginginkan anak-anak menikah dengan orang Batak Karo saja, karena beliau lebih menganggap baik budaya mereka dan sangat menyenanginya.

Agak sedikit berbeda dengan pasangan Bapak Kristop dan Ibu ngina, dimana pernikahan mereka adalah pernikahan campuran Batak Toba dan Batak Karo. Nilai-nilai yang diwariskan kepada anak-anak juga adalah percampuran dari nilai kedua suku Batak Toba dan Batak Karo. Sekalipun keluarga ini tinggal di daerah Batak Karo, namun yang mendominasi nilai yang diwariskan itu adalah dari budaya Batak Toba. Salah satu cara yang digunakan beliau untuk mengajari anak dalam adat istiadat adalah dengan cara mengajak anak ke acara adat, supaya anak bisa memperhatikan dengan baik. Sama halnya dengan Batak Karo, beliau juga menanamkan hal yang paling mendasar bagi anaknya yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Batak Toba dan Sangkep sitelu dalam bahasa Batak Karo. Sementara pasangan Bapak Dedep dan Ibu br Sitepu adalah pasangan yang hanya mewariskan nilai yang mereka ketahui sekedar saja dalam adat budaya Batak Karo. Menurut pengakuan mereka, bahwa pasangan ini tidak begitu paham dan mendalam dalam hal adat istiadat Batak Karo, sekalipun mereka adalah suku Batak Karo.

c. Organisasi sosial

Organisasi sosial adalah sebagai wadah bagi orang tua untuk mewarisi nilai kepada anak-anak. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, keluarga dan sekolah. Dalam hal ini, peneliti ingin melihat dari sisi penerapan nilai yang dianut dalam keluarga, dan bagaimana sekolah menjadi salah satu mobilisasi yang mempengaruhi cara berpikir orang tua dalam hal mendidik anak. Peranan keluarga sangatlah penting seiring perjalanannya dari waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan mempengaruhi si anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenali kebudayaannya dan menilai kebudayaannya yang paling baik dibanding dengan budaya suku lain (Lubis, 2012: 76).

Seperti penjelasan sebelumnya, mengenai sistem kepercayaan, nilai dan juga perilaku, serta lambang yang menjadi ciri khas dari suatu budaya suku Batak Karo yang diwariskan dengan kuat oleh informan kepada anak, kita ketahui bahwa setiap keluarga merindukan hal yang sama, yaitu mempertahankan budaya

yang dianutnya. Hal ini tampak dari cara mewariskan nilai oleh masing-masing informan kepada anak dalam keluarga.

Dalam kasus ini, pasangan Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting adalah pasangan yang menerapkan nilai dengan sangat keras kepada anak. Bahkan untuk anak menjalin hubungan lebih dari teman (pacaran) dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba dilarang keras oleh Bapak Olet dan Ibu br Ginting. Menurut pengakuan mereka, mulai dari anak tertarik kepada lawan jenis, mereka sudah menekankan prinsip dan nilai ini kepada anak, dan sangat berusaha membuat anak mencintai budayanya sendiri. Hal yang sangat mereka soroti adalah bahasa dan adat istiadat yang jauh berbeda diantara kedua suku, biaya yang sangat besar dalam acara adat Batak Toba, jadi mereka selalu berpikiran bahwa hanya budaya Batak Karo saja yang simpel dan sederhana, namun bukan hanya itu saja. Pasangan keluarga ini juga merasa bahwa orang Batak Toba itu pada umumnya kasar dan sangat keras, penjorok, pemarah dan gila hormat. Terlepas dari hal itu, Bapak Olet dan juga Ibu br Ginting juga mengungkapkan kesenangan mereka terhadap Batak Toba, antara lain: kekompakan yang luar biasa, kesopanan dan kehormatan dalam menjunjung tinggi adat istiadat Batak Toba, pemikiran yang mau maju dan meningkatkan taraf hidup. Bahkan ketika anak hendak merantau demi menuntut ilmu, beliau selalu berpesan kepada anak untuk tidak pacaran dengan orang Batak Toba. Dari kasus ini peneliti menyimpulkan bahwa sekolah, selain menjadi wadah pewarisan nilai, juga menjadi salah satu hal yang membuat orang tua merasa khawatir, karena dengan merantau, maka anak-anak akan bertemu dengan banyak individu dengan keanekaragaman latar belakang, termasuk budaya dan agama.

Tidak jauh berbeda dengan keluarga di atas, Bapak Regina Sinulingga dan Bapak Efran Ginting juga mengakui tidak ada nilai atau prinsip melarang anak bergaul dengan seseorang yang berasal dari budaya Batak Toba. Hanya saja

mereka mengatakan tukur atau biaya yang sangat tinggi dan adat istiadat serta

bahasa yang sangat jauh berbeda. Mereka juga mengungkapkan lebih sederhana budaya Batak Karo daripada Batak Toba. Alasan bagi Bapak Regina mengatakan seperti itu dikarenakan silsilah sampai turunan berpuluh-puluh turunan harus ada

dalam acara adat. Bahasa Batak Toba yang cukup kasar kedengarannya. Alasan bagi Bapak Efran adalah begitu banyaknya kerabat yang terlibat dalam sebuah acara adat di Batak Toba, namun di sisi lain, beliau senang dengan semangat juang dan semangta hidup yang tinggi yang dimiliki oleh pribadi orang Batak Toba pada umumnya, tidak ada istilah gengsi dan menekankan harga diri yang

Dokumen terkait