• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

Makna menurut Frankl (1984) adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang ada dalam realitas. Makna adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting dan dirasakan berharga. Makna juga memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna menurut Malik (2012) dalam artikelnya adalah pemahaman yang membuat sesuatu berarti dalam hidup, yang serta merta merombak alam berfikir dan menemukan nilai baru, kita tak mungkin hidup tanpa nilai. Nilai ini menambah kualitas kita, sehingga dapat lebih mudah berkreasi dan menjalani hidup.

Dari pemahaman tersebut maka peneliti mencoba menjelaskan bahwa sebuah pemaknaan terhadap fenomena kesurupan meliputi aspek pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam memaknai sesuatu tentunya tidak lepas dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana dampak bagi perilaku kita. Aspek pikiran, perasaan, dan perilaku akan menjadi satu kesatuan yang membentuk ketiga subjek dalam memaknai fenomena kesurupan yang mereka alami pada pentas kesenian jathilan dalam kelompok Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh.

Dari hasil analisis data, dapat diketahui bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1) Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2) Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3) Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri.

Ketiga subjek memaknai fenomena kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga. Hal tersebut tampak dalam pikiran mereka bahwa kesurupan mereka yakini sebagai suatu hal yang diutamakan dalam kesenian

jathilan.

“Tujuan utamanya mungkin jathilan itu kesurupan ya. Jathilan itu emang kalo dijathilan saya mungkin dari awalnya udah kesurupan jadinya ya mungkin itu sisi apa ya sisi tujuan utamanya dari jathilan ya kesurupan dari segi uniknya mungkin

kesurupan” (FnI.PK,8-9); (FnI.PK, 13-16).

Bagi penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, kesenian jathilan mereka yakini sebagai kesenian yang sakral dan mengandung unsur magis dari suatu kebudayaan asli Indonesia (khususnya Jawa). Hal tersebut terwujud dalam tari-tarian yang dinamis dan melibatkan fenomena kesurupan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

“Ya kalau untuk di Kepuh kesurupan itu sakral mbak, sakral itu ya kesurupan beneran, gak maen-maen. Dijathilan-jathilan lain selain Kepuh mungkin banyak yang kesurupannya cuma main- main ya mbak tapi ya tadi itu kalau di Kepuh kesurupannya

tidak direkayasa macem-macem” (AsI.PK, 16-25).

Kesenian jathilan merupakan kesenian tradisional bagi kebudayaan Jawa. Pertunjukkan kesenian jathilan di jaman dulu selalu melibatkan kesurupan yang sesungguhnya. Seiring berjalannya waktu, esensi kesurupan dari sebuah pertunjukan jathilan mulai luntur. Di jaman sekarang banyak kesenian jathilan di luar jathilan Turonggo Jati Manunggal yang melibatkan kesurupan pura-pura dan memposisikan kesurupan sebagai sekedar hiburan

dalam suatu pentas kesenian jathilan. Lain halnya dengan kesurupan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, sampai saat ini para penari jathilan tetap mempertahankan kesurupan yang sesungguhnya.

Bagi ketiga subjek, kesurupan pura-pura mereka yakini sebagai kesurupan yang salah dan tidak seharusnya dilakukan. Setiap pentas berlangsung, ketiga subjek selalu mengupayakan diri mereka untuk bisa mengalami kesurupan sesungguhnya. Jika ada halangan dan gagal untuk bisa mengalami kesurupan sesungguhnya, mereka terpaksa untuk melakukan kesurupan pura-pura karena mereka akan dihantui rasa malu dan sungkan jika ada penonton yang mengetahui bahwa mereka tidak mengalami kesurupan saat pentas jathilan.

“Kesurupan pura-pura itu ya seharusnya tidak dilakukan mbak, namanya juga pura-pura kan ya bohong ya jadi semua yang

bohong itu pasti gak baik, termasuk kesurupan” (FnII.PK,

61-67).

“Ya itu ya gimana ya…ya kita aslinya tetep anu ke minder ya sama sama pawang-pawangnya otomatis sama pawangnya itu otomatis minder karena kan kita cuma pura-pura to, tapi kita tetep berusaha…berusaha menepis nganu itu, ya kita biasa aja. Iya..kita tetep malu aslinya malu kalo sampai diketahui gitu cuma pura-pura itu tetep ya malu gitu. Tapi kan kita tetep berusaha, saya kan tetep berusaha gimana supaya tidak bisa

diketahui bahwa kalo saya itu pura-pura” (AsII.PR, 112-

127).

Njathil hingga kesurupan membuat diri ketiga subjek menjadi lebih

berharga. Pada dasarnya mereka mengaku bahwa selalu ada keinginan dan upaya untuk mengalami kesurupan setiap pentas njathil. Dari hal tersebut, dapat terlihat bahwa betapa fenomena kesurupan dimaknai sebagai sesuatu

yang penting dan berharga karena ketiga subjek ingin tetap melestarikan budaya Jawa dalam sebuah kesenian jathilan yang memang melibatkan unsur kesurupan yang sesungguhnya. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga.

“Yo kita yo bangga juga mbak yang jelas wong orang kita bisa apa ya istilahnya itu bisa melestarikan kebudayaan Jawa gitu

yang jelas kita juga bangga” (PtIV.PR, 324-329).

Selain memaknai fenomena kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, ketiga subjek juga memaknai fenomena kesurupan sebagai sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup. Hal tersebut tampak dalam pikiran mereka yang meyakini bahwa banyak hal positif yang didapat dari kesurupan dalam kesenian jathilan sekalipun dalam kenyataannya rasa lelah dan cidera fisik setelah kesurupan kerap menghampiri mereka. Ketiga subjek merasa senang dan puas bisa njathil hingga kesurupan. Terasa sebagai sebuah prestasi yang membanggakan bisa melestarikan kebudayaan Jawa sekaligus dapat menghibur masyarakat yang menonton pertunjukkan jathilan dengan kesurupan yang sesungguhnya.

Ketiga subjek merasa bahwa masyarakat menghargai profesi subjek sebagai penari jathilan. Seringnya ketiga subjek mengalami kesurupan memunculkan perasaan bangga, puas, dan senang , selain itu seringnya terlibat dalam kegiatan jathilan juga membuat ketiga subjek semakin dekat dengan masyarakat. Dengan adanya penghargaan dan “dipandang lebih” oleh

masyarakat karena sering mengalami kesurupan saat pentas kesenian jathilan, serta adanya kedekatan antara ketiga subjek dan masyarakat membuat rasa percaya diri ketiga subjek bertambah besar.

“Mereka menghargai dan dengan kegiatan saya ini saya merasa lebih dekat dan akrab dengan mereka lha wong misalnya ada acara jathilan gitu semuanya biasa kerjasama “tulung tinulung” untuk kelancaran acara jathilan…yang saya maksud jadi tambah dekat dan akrab ya karna saya dihargai

karena kesurupan saya tadi mbak” (FnV.PL, 456-467).

Ketiga subjek mengaku menjadi semakin nyaman untuk “srawung” (bersosialisai) dengan masyarakat. Mereka merasa bahwa masyarakat sangat mendukung dan menghargai profesi subjek sebagai penari jathilan. Dari hal tersebut terlihat bahwa betapa fenomena kesurupan dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menambah kualitas hidup ketiga subjek dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna dapat memberikan nilai khusus bagi seseorang, hal serupa juga dikemukakan dalam artikel yang ditulis oleh Malik (2012).

Dari adanya pemaknaan fenomena kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga serta fenomena kesurupan sebagai sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup, hal tersebut menjadikan ketiga subjek dengan tulus dan atas dasar keinginan sendiri dalam mengalami kesurupan setiap pentas njathil. Ketiga subjek meyakini dalam pikiran mereka bahwa kesurupan yang mereka alami merupakan suatu panggilan, suatu bentuk tanggung jawab, dan adanya suatu keinginan untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa.

“Kalau dari awal-awal dulu dari awal-awal berdirinya kelompok jathilan itu cuma penasaran aja jadi rasa ingin tau rasanya orang kesurupan itu gimana cuma itu aja. Gak ada maksud lain itu gak ada, misal untuk menyombongkan diri gitu gak ada ya kalau sekarang ya seperti yang saya bilang tadi mbak, gak bisa saya pungkiri nggih saya mau kesurupan itu ya karna dah jadi opo...tanggungjawab dan kewajiban saya sebagai penari jathilan Kepuh yang sesungguhnya. Penari sejati

ngono kae lo mbak...hahaaaa” (AsIV.PK, 332-350).

“Awalnya mungkin karna udah terbiasa, kayak udah ada

panggilan” ( FnIV.PK 195-197).

Tak luput dari dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena kesurupan yang mereka alami, seperti badan terasa lelah, cidera fisik, dan berpengaruh dalam menurunnya kinerja subjek namun tidak mengurangi semangat subjek untuk tetap njathil hingga kesurupan. Ketiga subjek mengaku tetap merasa senang dan bangga bisa njathil hingga kesurupan dan semuanya itu didasari dengan ketulusan.

“Ya saya rasa ya kesurupan ga kesurupan tu capek mbak…itu wis tetep e…ya satu…sampe…bahkan bisa sampe satu minggu itu ya rasa capek kita itu belum hilang itu…itu tapi kalo gak...opo tambah penyemangat kerja atau gimana itu gak ada. Malah bikin males itu yang sering saya lakukan itu itu…asline gitu, itu tapi anehnya yang kalau dilogika emang bikin capek dan gak semangat itu faktanya yang harusnya capek malah badan jadi tahan banting, yang harusnya gak semangat eh semangatnya malah nambah. Intinya ya tetep jadi dampak yang positif mbak, mungkin karna saya melakukan kesurupan itu dari niat dan ketulusan jadinya dampaknya itu dampak positif”

(AsV.PR 634-657).

“Maksudnya sewaktu kesurupan itu ya sudah jelas yo istilahe bangga, puas ya menyenangkan mbak bisa sampai kesurupan tapi ya walaupun saat njathil saya gak kesurupan ya saya tetap berusaha menghibur penonton mbak tetep saya itu ya saya pastinya tetep semangat walau sebenarnya merasa minder terus ee..,opo yo ya mati gaya kae lo mbak kalau sampai tidak

Dari hal tersebut terlihat bahwa betapa sebuah makna memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga dapat menggerakkan ketiga subjek untuk tetap njathil hingga kesurupan. Pemaknaan tersebut sesuai dengan teori makna yang dikemukakan Frankl bahwa sebuah makna dapat memberikan nilai khusus bagi seseorang, dalam hal ini adalah nilai ketulusan untuk tetap

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1) Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2) Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3) Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri. Ketiga makna yang dihayati para penari jathilan

tersebut membuat mereka tulus dan senang hati tetap njathil hingga kesurupan. Walau esensi kesurupan bagi sebagian penari jathilan mulai bergeser, penari jathilan Turonggo Jati Manunggal tetap tulus dan senang hati menjalani aktifitas njathil hingga kesurupan sekalipun pada kenyataannya memberi efek fisik seperti kelelahan maupun cidera fisik, dan menurunkan kinerja. Hal lain yang mendasari ketiga subjek tetap mau njathil hingga kesurupan adalah sebagai bentuk perwujudan pelestarian tradisi budaya Jawa.

B. Saran

1. Bagi penari jathilan, sebaiknya berusaha untuk menularkan makna yang dihayatinya kepada para penari jathilan lainnya untuk lebih menghidupkan kesenian jathilan dengan melibatkan kesurupan sesungguhnya yang merupakan warisan kebudayaan asli Indonesia (khususnya Jawa).

2. Bagi masyarakat, sebaiknya berusaha terlibat dalam pelestarian budaya yang sudah ada dan mendukung penari jathilan untuk tetap njathil hingga kesurupan agar pelestarian budaya Jawa tetap ada dan tidak punah seiring berkembangnya jaman karena dukungan dari masyarakat menjadi motivasi bagi penari jathilan untuk tetap njathil hingga kesurupan dan menjadi motivasi penari jathilan pula untuk tetap melestarikan kesenian tradisional asli Jawa.

3. Bagi peneliti selanjutnya, yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama dapat dilakukan penelitian mengenai makna kesurupan bagi penari jathilan dengan menambah variasi subjek (penari perempuan atau kelompok-kelompok jathilan di wilayah lain selain Kepuh) dan menambah review literatur tentang makna untuk lebih memperkaya hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anzwar, S. (1995). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ardhi. (2009, 13 April). Jathilan mataraman “SATRIA MUDA BUDAYA”. Diunduh dari http://jathilanmataraman.blogspot.com/2009/04/lakon- lakon-dalamtarian-jathilan.html.

Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1982). Qualitative research for education : an

intoduction to theory and methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among

five traditions. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

Danim, S. (2002). Menjadi peneliti kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Dewi, Heristina. (2007). Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang pada

Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari Medan. Diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18730

Hadiwijoyo, H. (1980). Sari sejarah filsafat barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1993). Teori-teori psikodinamik klinis. Ed:

Dr. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Itha. (2007, 16 Agustus). Fenomena kesurupan sebagai suatu bentuk histeria. Diunduh dari http://itha.wordpress.com/category/karya-ilmiah/.

Jathilan sebuah tarian magis. (2007, 7 Desember). Diunduh dari

http://www.beritaindonesia.co.id/budaya/jathilan-sebuah-tarian-magis.

Koesworo, E. (1987). Psikologi eksistensial. Bandung : Rosda Offset.

Kuda lumping. (2012, 28 Maret). Diunduh dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping.

Kurniawan, Bobby. (2010, 11 Mei). Fenomena kesurupan menurut perspektif

psikologi. Diunduh dari

http://09034bobby.wordpress.com/2010/05/11/fenomena-kesurupan menurut-perspektif-psikologi/.

Malik, Idham. (2012, 15 Januari). Mengartikan makna, menghayati arti. Diunduh dari http://bontocina-kaizen.blogspot.com/2012/01/mengartikan- makna-menghayati-arti.html.

Masyarakat seni pertunjukan Indonesia, (1999). Direktori Seni Pertunjukan Tradisional. Indonesia : Arti Line.

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Poerwandari, Kristi. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku

manusia. Jakarta: LPSP3.

Riza, Muhammad. & Rahayu, Istina. (2010). Perception of javanese ritual trance at kuda lumping and sablang bakungan: an indigeneous study in

javanese culture. Diunduh dari

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=324&op=save&ids=1225 822&ref=%2fDDefault.aspx%3ftabID%3d52%26%26prang%3dRiza %252c%2bMuhammad.

Sejarah kuda lumping. (2012, 28 Maret). Diunduh dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping.

Soedarsono. (1972). Jawa dan Bali: dua pusat perkembangan drama tari

tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sulistyo. (2006). Metodolgi penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Supraktiknya, A. (2007). Kiat merujuk sumber acuan dalam penulisan karya

ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Usman, Pelly. (1994). Teori-teori sosial budaya. Jakarta: Depdikbud.

Walker, Sheila S. (1973). Ceremonial spirit possession in Africa and Afro- America: forms, meaning, and functional significance for individuals

and social groups. Diunduh dari

http://books.google.co.id/books?id=aNIUAAAAIAAJ&printsec=front cover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f= false.

Wallance, Alfred Russel. (2001). On miracles and modern spiritualism: rise of

victorian spiritualism. Diunduh dari

http://books.google.co.id/books?id=oKWo2nlLN-

gC&printsec=frontcover&dq=inauthor:%22Alfred+Russel+Wallace% 22&hl=id&sa=X&ei=7JgtUfzGG4bRrQeEoYHgCQ&ved=0CGMQ6 AEwCQ#v=onepage&q&f=false.

VERBATIM SUBJEK 1

Wawancara I

I. Kesurupan secara umum

1. Bagaimana mas Fn itu memandang peristiwa kesurupan di Kepuh?

 Kesurupan? iya memandang kesurupan itu dikesenian jathilan di Kepuh tu seperti apa sih? biasa sih mungkin tujuan utamanya mungkin jathilan itu kesurupan ya. Jathilan itu emang kalo dijathilan saya mungkin dari awalnya udah kesurupan jadinya ya mungkin itu sisi apa ya sisi tujuan utamanya dari jathilan ya kesurupan dari segi uniknya mungkin kesurupan.

2. Yang mas Fn rasakan emm…sebelum kesurupan, saat kesurupan

sama setelahnya gitu gimana?

 Sebelumnya kan kita nari, lama-lama badan kita jadi lemes ya kita sempet “bleng” lupa kayak gitu tapi ditengah-tengahnya mungkin kita juga gimana ya…kita tau apa yang kita lakukan disitu kita sempet tau mungkin beberapa kali kita sempet tau juga istilahnya antara sadar dan tidak sadar ya mungkin terus setelahnya kalo gak kesurupan itu…pernah saya njathil dan tidak kesurupan emang rasanya badan capek banget, capeknya tu kerasa banget gitu lo tapi kalo pas kesurupan kita bisa rileks terus kita bisa pokoknya kayak

fresh gitu lo setelahnya, tapi emang wis capek tapi gak kerasa banget capeknya kalo pas kita gak kesurupan.

3. Nah terus dari hal tadi emm…ada gak sih dampak dalam kehidupan

sehari-hari maksudnya dampak dari kesurupan tadi, lingkungan

gimana memandangnya atau dari mas Fn sendiri bagaimana?

 Kalo dari lingkungan gak ada dampak buruk mungkin udah terbiasa lihat jadinya gak kaget mungkin. Kalo dari saya sendiri juga dah biasa nggih biasa karena juga itu menurut saya biasa, biasa banget malahan karna dah biasa jadi ya gak gimana gitu.

II. Kesurupan yang tidak sesungguhnya (kesurupan pura-pura)

1. Kalau menurut mas Fn sendiri ada gak sih kesurupan yang pura

pura?

 Ada,jelas ada. Kesurupan pura-pura itu ya seharusnya tidak dilakukan mbak, namanya juga pura-pura kan ya bohong ya jadi semua yang bohong itu pasti gak baik, termasuk kesurupan.

2. Itu yang mas Fn rasain gimana ketika apa itu ngeliat ada kesurupan

yang pura-pura atau mungkin pernah mengalami sendiri?

 Kalau yang saya alami sendiri pernah waktu mau masuk pas mau istilahnya waktu mau diangkatkan ke kesurupan itu lo, itu kan pernah saya ngemut permen saya lupa gak melepehnya terus saya

jadi sadar saya jadi gak kesurupan mungkin saya mau masuk tapi tapi gak bisa masuk karna jalannya buntu terus saya cuma ikut-ikut aja mungkin saya bingung ya apa yang harus saya lakukan tapi pas saya gak kesurupan kalo temen yang lainnya kesurupan makan makan itu semua mungkin saya enggak cuma joget-joget biasa halah ngikut-ngikut yang lain gitu lo. Kalo yang lain kalo saya lihat mungkin dari kita bisa lihat kalo kesurupan itu kayak gimana mungkin bisa dilihat dari wajahnya wis wajahnya itu itu pucat, putih pucat gitu lo trus matanya merem pokoknya gerakan tarinya itu detailnya itu gak keliatan lemes banget. Agak kaku emang agak kaku kalo kesurupan. Yang dirasakan saya perasaan saya bingung dan malah salah tingkah kalau gak kesurupan.

3. Terus itu dampaknya dalam kehidupan sehari-hari waktu

apa…maksudnya mas Fn biasanya njathil bener-bener kesurupan

tapi kok ini kesurupannya pura-pura gitu berdampak gimana sih?

 Ya biasa aja mungkin orang ngiranya juga kesurupan jadinya kan biasa aja tapi pawangnya mungkin udah tau kalau saya gak kesurupan gitu. Kalo gak yang bener-bener tau jathilan mungkin gak tau yang kesurupan beneran atau enggak gitu tau tapi kalo kebanyakan penonton juga tau tapi gak ada yang koment kayak gitu. Tau kalo gak kesurupan pun tapi gak biasa diomongin sih. Gak ada dampak buruk gitu mbak.

III. Kesurupan sebagai kesatuan dalam kesenian jathilan

1. Kalau menurut mas Fn itu fenomena kesurupan dalam kesenian

jathilan merupakan suatu kesatuan yang utuh atau tidak?

 Sebenarnya ada, sebenarnya jathilan itu kan merupakan sebuah tari karna kalo pas ada festival itu yang diambil cuma tariannya trus variasi tariannya itu kayak gimana kalo pas festival jathilan pun kalo kesurupan itu paling batal, gugur tetapi kalo dipentas-pentas kayak Kepuh gitu satu kesatuan kalo gak kesurupan gak seru karna serunya di kesurupannya itu. Berarti kalau ditanya kalau buat di Kepuh sendiri apakah kesurupan itu merupakan suatu kesatuan yang

utuh atau tidak? kalau di Kepuh iya saya jawab iya sepaket.

2. Itu perasaannya mas Fn gimana sewaktu njathil mengalami

kesurupan sama waktu njathil dan gak kesurupan itu perasaannya

gimana?

 Mungkin beda ya..kalo kesurupan itu ya kita baru tau setelah kita kesurupan tapi setelah itu kita gak tau apa yang dilakukan disitu walopun sdikit-sdikit inget cuman kita gak tau sepenuhnya apa yang saya lakukan pas kesurupan itu tapi kalo pas gak kesurupan mungkin bedanya saya bisa tau apa yang terjadi di ring jathilan itu, apa yang dilakukan temen-temen jathilan saya bisa tau. Bedanya yang dirasain gitu gimana mas? bedanya perasaannya kaya gimana?

harus kesurupan. Mungkin merupakan kebiasaan kalo dah pernah kesurupan seterusnya pasti akan kesurupan juga kalo gak ada hal-hal lain.

3. Nah itu dampak buat keseharian mas Fn bagaimana?

 Kalo gak kesurupan capek, capeknya itu kerasa banget, tapi kalo kesurupan juga capek tapi capeknya tu kayak plong, fresh kayak gitu lo...ya walo capek tapi malah kaya ada semangat baru gitu lo mbak. Kalo buat masyarakat sendiri ya saya rasa jadi penyemangat juga ya mbak, keakrabannya jadi nambah.

IV. Motivasi yang mendorong penari jathilan sehingga tetap mau njathil

hingga kesurupan

1. Yang membuat mas Fn tu mau tetap njathil sampe kesurupan, yang

Dokumen terkait