• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, dapat ditarik kesimpulan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan menggunakan strategi pembelajaran REACT dengan teknik Scaffoldinglebih tinggi secara signifikan dibanding rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan secara konvensional degan strategi ekspositori.

Adanya perbedaan kemampuan koneksi matematik siswa kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol tidak terlepas dari perbedaan perlakuan yang diterapkan pada kedua kelompok selama proses pembelajaran. Pada kelompok eksperimen diterapkan strategi REACT dengan teknik Scaffolding, yaitu pembelajaran yang lebih terpusat kepada siswa sedangkan guru menjadi pembimbing yang mengarahkan siswa dalam belajar. Sedangkan pada kelompok kontrol pembelajaran dilakukan secara konvensional dengan strategi ekspositori sebagaimana pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru matematika di kelas tersebut. Pada pembelajaran secara konvensional ini guru berperan sebagai sumber dan pemberi informasi, dan siswa menerima apa yang disampaikan guru tanpa perlu adanya proses pencarian dan menemukan terlebih dahulu.

Penjelasan mengenai proses pembelajaran yang dilaksanakan pada kelompok eksperimen dan kontrol serta hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelompok eksperimen dan kontrol diuraikan sebagai berikut.

1. Proses Pembelajaran di Kelas

Penelitian ini dilakukan dalam 9 kali pertemuan dengan rincian 8 kali pertemuan untuk pelaksanaan pembelajaran dan 1 kali pertemuan untuk posttest. Pada kelas VII.6 yang berperan sebagai kelompok eksperimen pembelajaran dilaksanakan menggunakan strategi pembelajaran REACT dengan teknik Scaffolding. Strategi pembelajaran REACT dengan teknik Scaffolding terdiri dari berbagai kegiatan yang membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar, dimulai dari mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerja sama (cooperating) dan menransfer (transferring). Dalam melaksanakan kegiatan tersebut siswa diberikan pegangan

65

berupa LKS yang telah disusun sesuai tahapan-tahapan strategi pembelajaran REACT dan teknik Scaffolding. Peran guru adalah sebagai pembimbing dengan memberiScaffoldingguna mengupayakan tercapainya tujuan pembelajaran.

Pembelajaran matematika pada kelompok eksperimen diawali dengan tahap relating, yaitu dengan menyampaikan materi yang akan dipelajari, memberi motivasi dengan menyampaikan manfaatnya di kehidupan sehari-hari dan pada bidang lain, serta mengingatkan materi sebelumnya yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Siswa kemudian dibentuk dalam kelompok belajar dan diberikan LKS yang telah disusun sesuai tahapan strategi REACT dengan teknik Scaffolding untuk membantu mereka dalam membangun konsep yang akan dipelajari. Pada awal pertemuan proses pembentukan kelompok ini cukup memakan waktu. Siswa kemudian diminta mengamati ilustrasi yang ada pada LKS. Untuk membantu siswa memahami ilustrasi tersebut guru memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dekat dengan kehidupan siswa. Pertanyaan yang diajukan seperti ‘Apakah kamu pernah berjalan kaki dari rumah ke sekolah? Berapa lama waktu yang kalian butuhkan? Pernahkan kamu ke sekolah dengan naik sepeda? Berapa lama waktu yang dibutuhkan?’. Hal ini efektif untuk memunculkan partisipasi siswa (inviting student participation) dalam pembelajaran karena pertanyaan yang diberikan dapat dijawab dengan mudah oleh semua siswa namun dapat memberikan gambaran mengenai materi yang akan dipelajari. Siswa terlihat antusias, aktif dan berlomba-lomba menjawab pertanyaan guru sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Siswa kemudian diarahkan untuk menuliskan jawaban mereka pada LKS. Gambar 4.2 adalah contoh pekerjaan siswa kelompok eksperimen pada tahaprelating:

Gambar 4.2

Tahap relating dalam pembelajaran dapat membantu siswa mengingat kembali materi yang telah ia pelajari dan mengetahui kaitan materi pelajaran dengan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan membuka wawasan siswa bahwa banyak masalah di kehidupan nyata yang menggunakan konsep matematika dan membantunya mencari keterkaitan tersebut. Tidak hanya dengan masalah dalam kehidupan nyata, siswa juga memahami bahwa materi matematika saling berkaitan antara satu dengan lainnya.

Tahap pembelajaran selanjutnya adalahexperiencing, dimana siswa diberikan masalah yang dapat mengarahkannya pada pembentukan konsep. Pada awal pertemuan siswa tampak bingung dengan apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara menyelesaikan LKS. Oleh karena itu sebelumnya guru memberikan contoh apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan LKS (modeling desired behaviours). Dalam tahap experiencing ini, siswa dituntut untuk dapat bekerja sama (cooperating) dengan anggota kelompoknya untuk berdiskusi, mengerahkan pengetahuan yang mereka miliki dan mengaitkannya untuk menyelesaikan masalah tersebut sampai akhirnya mereka dapat menemukan kembali konsep yang akan dipelajari. Namun pada praktiknya di kelas, terutama pada awal-awal pertemuan, proses diskusi ini belum berjalan dengan efektif. Beberapa kelompok masih terlihat mengerjakan secara individu, bahkan ada beberapa siswa yang tidak mengerjakan LKS dan hanya mengandalkan temannya sehingga banyak kolom-kolom pertanyaan yang kosong. Untuk itu guru memberikan pengertian pada siswa bahwa LKS ini adalah tanggung jawab kelompok dan akan dijadikan nilai kelompok sehingga siswa harus terlibat dalam diskusi. Seiring berjalannya waktu, siswa mulai memahami tugasnya sehingga pada pertemuan-pertemuan berikutnya kegiatan diskusi kelompok ini mulai berjalan dengan efektif.

Selama proses penyelesaian LKS, beberapa siswa aktif bertanya mengenai hal-hal yang tidak ia pahami. Guru menjalankan perannya dengan memberikan scaffolding berupa penjelasan lebih lanjut (offering explanation) mengenai langkah-langkah maupun menegaskan inti dari permasalahan. Guru juga memberikan bantuan secara tidak langsung dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan

67

yang mengarahkan sehingga siswa tetap harus menggunakan nalarnya untuk menyelesaikan LKS. Gambar 4.3 berikut adalah pekerjaan siswa pada tahap experiencing.

Gambar 4.3

Pekerjaan Siswa Kelompok Eksperimen Pada TahapExperiencing

Pada tahap experiencing siswa tidak hanya diminta menyelesaikan masalah namun juga diminta membuat kesimpulan berdasarkan masalah tersebut. Kesimpulan yang dibuat adalah konsep inti dari materi yang mereka pelajari. Jadi konsep yang dimiliki siswa pada kelompok eksperimen bukanlah hasil menerima materi yang ‘sudah jadi’ dari guru, melainkan hasil dari menemukan kembali dengan mengolah dan mengaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Mengutip kembali apa yang disampaikan Sousa pada pembahasan sebelumnya bahwa segera terlibat dalam pembelajaran baru, dengan mempraktikkannya, dapat meningkatkan memori pembelajaran tersebut.1Artinya, kegiatanexperiencingini dapat memberikan dampak positif terhadap pemahaman dan memori siswa mengenai materi yang dipelajari.

1

Tahap selanjutnya adalah applying. Pada tahap ini siswa ditugaskan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang terdapat di LKS. Kemampuan siswa yang dilatih pada tahap ini adalah kemampuan dalam menerapkan konsep matematika yang telah mereka dapatkan pada berbagai masalah yang relevan dari kehidupan sehari-hari. Dengan berdiskusi kelompok siswa berusaha menyelesaikan masalah yang diberikan. Namun tidak jarang siswa justru langsung bertanya pada guru jika menemui kesulitan dibanding mendiskusikannya lebih dulu dengan kelompok masing-masing, terutama pada awal-awal pertemuan. Oleh karena itu guru memberikan bantuan dalam bentuk pertanyaan arahan seperti “apa yang diketahui di soal? Coba tuliskan dalam bentuk yang lebih sederhana. Kalau jumlah ayam semakin banyak makanannya makin cepat habis atau makin lama? Berarti masalah ini menggunakan konsep perbandingan apa?”. Dengan bantuan berupa pertanyaan-pertanyaan, siswa tetap melalui proses berpikir dan kegiatan diskusi untuk menemukan solusinya. Namun bantuan ini dapat membuat cara berpikir siswa lebih terarah dan dapat melihat kaitan antara masalah dengan konsep yang telah dipelajari. Gambar 4.4 berikut ini adalah contoh pekerjaan siswa pada tahap applying:

Gambar 4.4

Pekerjaan Siswa Kelompok Eksperimen Pada TahapApplying

Setelah siswa menyelesaikan LKS pada tahap experiencing dan applying, guru meminta perwakilan dari beberapa kelompok untuk menuliskan dan menjelaskan jawabannya di depan kelas. Proses ini dilakukan untuk melatih rasa percaya diri dan tanggung jawab siswa atas hasil pekerjaannya. Pada awal-awal

69

pertemuan sangat sulit meminta siswa untuk mau mempresentasikan hasil pekerjaannya. Siswa selalu menolak saat ditunjuk untuk melakukan presentasi di depan kelas. Kebanyakan siswa beralasan malu dan takut jawabannya salah. Akhirnya peneliti harus membujuk siswa dan meyakinkannya agar mau melakukan presentasi. Pada pertemuan berikutnya guru menyampaikan bahwa siswa yang bertugas melakukan presentasi akan ditunjuk secara acak agar siswa mengikuti proses diskusi dengan serius dan berusaha memahami pekerjaannya. Secara bertahap, siswa mulai terbiasa dengan kegiatan presentasi, sehingga tidak sulit lagi meminta mereka mempresentasikan pekerjaannya. Bahkan pada pertemuan-pertemuan akhir siswa kerap kali mengajukan diri untuk presentasi. Peran guru adalah memberikan klarifikasi dan verifikasi atas apa yang disampaikan siswa (verifying and clarifying student understanding). Guru menguatkan kembali jawaban siswa yang sudah tepat dan meluruskan jawaban yang kurang tepat untuk menghindari terjadinya miskonsepsi. Gambar 4.5 berikut adalah gambaran suasana pembelajaran di kelompok eksperimen.

Gambar 4.5

Kegiatan Pembelajaran di Kelompok Eksperimen

Tahap terakhir adalah transferring, yaitu siswa diberikan masalah-masalah yang membutuhkan kemampuan siswa dalam menransfer materi pelajaran. Transfer yang dimaksud adalah menerapkan konsep yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan berbeda dari yang sudah ia temui pada tahap sebelumnya. Masalah yang diberikan berkaitan dengan mata pelajaran lain atau dengan topik matematika lain yang lebih kompleks. Tahap transferring dalam pembelajaran dapat membantu siswa terlatih untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks dan memiliki kaitan yang luas. Selanjutnya di akhir pembelajaran guru

mengajak siswa untuk membuat kesimpulan dan menyebutkan konsep dan gagasan penting yang telah mereka pelajari (inviting student to contribute clues). Gambar 4.6 berikut adalah contoh pekerjaan siswa pada tahaptransferring.

Gambar 4.6

Pekerjaan Siswa Kelompok Eksperimen Pada TahapTransferring

Dari proses pembelajaran menggunakan strategi REACT dengan teknik Scaffolding seperti dijabarkan di atas terlihat bahwa siswa dibiasakan untuk mengkonstruksi sendiri konsep yang akan dipelajari serta dilatih untuk dapat memahami masalah dengan melihat kaitan materi pelajaran dengan konsep lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Dwi Ratna Wulandari yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dengan Strategi REACT Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT siswa dilatih untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan menghubungkan berbagai konsep dan keterampilan yang telah dimiliki siswa sehingga kemampuan pemecahan masalah siswa semakin baik. Begitupula hasil penelitian berjudul Pengaruh Teknik Scaffolding Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa yang dilakukan Ita Falina Hapsari. Hal penelitian menyatakan bahwa pembelajaran dengan teknikScaffoldingdapat membantu siswa memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan strategi penyelesaian serta memeriksa kembali hasil penyelesaian.

71

Pada kelompok kontrol, pembelajaran dilaksanakan secara konvensional dengan strategi ekspositori. Pembelajaran ini lebih menempatkan guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi tanpa ada proses mengolah atau menemukan kembali. Siswa pada kelompok kontrol diberikan LKS, namun bukan sebagai alat bantu dalam menemukan konsep, tapi lebih kepada sarana untuk latihan siswa. Pada kelompok kontrol, materi pelajaran disampaikan terlebih dahulu oleh guru, kemudian diberikan contoh-contoh soal, lalu dilanjutkan dengan menyelesaikan soal-soal yang ada pada LKS dan setelah itu dibahas bersama. Siswa pada kelompok kontrol belajar secara individu. Kalaupun terjadi proses diskusi hanya antar teman sebangku, dan lebih kepada saling mencocokkan jawaban bukan kegiatan diskusi untuk menemukan konsep ataupun menyelesaikan masalah.

2. HasilPosttestKemampuan Koneksi Matematik Siswa

Dalam penelitian ini, untuk menguji hipotesis yang telah diajukan, dilakukan analisis terhadap data hasil posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Soal posttest yang diberikan terdiri dari 8 butir soal uraian yang dikembangkan dari tiga indikator kemampuan koneksi matematik siswa, yaitu koneksi antar topik matematika, koneksi matematika dengan mata pelajaran lain, dan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari. Jawaban-jawaban siswa terhadap tiap butir soal dianalisis dan digunakan sebagai alat ukur terhadap kemampuan koneksi matematik dari kedua kelompok. Sebagai gambaran umum hasil penelitian mengenai kemampuan koneksi matematik siswa, berikut ini akan ditampilkan soal posttest beserta jawaban yang diberikan siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

a. Kemampuan Koneksi Antar Topik Matematika

Kemampuan koneksi antar topik matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan topik perbandingan dengan topik matematika lainnya, yaitu topik himpunan, segitiga dan operasi aljabar. Indikator ini salah satunya terdapat pada soal nomor 2 berikut ini.

“Diketahui sebuah segitiga siku-siku memiliki keliling 72 cm. Jika perbandingan sisi-sisi segitiga tersebut adalah 3 : 4 : 5, tentukanlah panjang sisi-sisi dan luas segitiga tersebut!”

Soal nomor 2 tersebut membutuhkan kemampuan siswa dalam mengaitkan topik perbandingan dengan topik segitiga siku-siku. Siswa harus mampu menggunakan konsep sifat perbandingan untuk menentukan panjang sisi-sisi segitiga siku-siku, menentukan sisi alas, tinggi, dan sisi miring dengan mengaitkannya dengan konsep sifat-sifat segitiga, mengetahui cara mencari luas segitiga siku-siku dan melakukan perhitungan dengan tepat. Berikut ini adalah contoh jawaban benar dan jawaban yang kurang tepat yang diberikan oleh siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Gambar 4.7

Jawaban soalposttestnomor 2 yang benar pada (i) kelompok eksperimen dan (ii) kelompok kontrol

Jawaban di atas adalah jawaban benar dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kedua jawaban tersebut dapat dilihat bahwa siswa mampu mengaitkan bahwa keliling segitiga merupakan hasil penjumlahan panjang sisi-sisi segitiga lalu mengaitkannya dengan informasi yang diketahui dan menyatakan dalam bentuk 3 = 72 12 atau dalam bentuk pecahan. Siswa mampu menyelesaikan perbandingan tersebut dan mendapat panjang sisi atau sisi 1 yaitu 18 cm. Begitupula dengan sisi atau sisi 2 sepajang 24 cm dan sisi atau sisi 3 sepanjang 30 cm. Siswa pada kedua kelompok mengetahui bahwa rumus luas segitiga siku-siku adalah = × × . Selanjutnya siswa dapat mengaitkan panjang sisi-sisi yang ia dapat dengan sifat segitiga, yaitu dapat menentukan mana

73

sisi alas, sisi tinggi, dan sisi miring. Siswa kemudian menentukan luas segitiga yang dicari dengan memasukkan sisi-sisi yang bersesuaian ke dalam rumus dan didapatkan hasil yang tepat yaitu 216cm2. Perbedaan jawaban (i) dan jawaban (ii) hanya terletak pada cara menjawab dimana siswa kelompok eksperimen lebih dahulu menuliskan informasi yang diketahui dan lengkap dengan menambahkan gambar. Sebanyak 20 siswa pada kelompok eksperimen memberikan jawaban dengan tepat dan lengkap. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya 4 siswa yang memberikan jawaban benar dan lengkap. Pada jawaban tersebut tampak bahwa siswa kelompok eksperimen dan kontrol dapat mengaitkan topik perbandingan dengan topik segitiga siku-siku dan mampu menjawab soal dengan benar.

Gambar 4.8

Jawaban soalposttestnomor 2 yang kurang tepat pada (i) kelompok eksperimen dan (ii) kelompok kontrol

Pada gambar 4.8 terlihat bahwa kedua siswa sudah dapat mengaitkan topik perbandingan dengan segitiga untuk menemukan panjang sisi segitiga dengan tepat. Kedua siswa sudah dapat menuliskan rumus luas segitiga dengan tepat. Hanya saja pada jawaban (i), siswa keliru dalam menentukan sisi alas dan sisi tinggi. Hal ini menunjukkan siswa belum dapat mengaitkan topik panjang sisi segitiga dengan sifat segitiga siku-siku. Namun siswa menjawab dengan lengkap dengan menuliskan informasi yang diketahui dan menggambarkan segitiga. Sebanyak 11 siswa kelompok eksperimen memberikan jawaban yang kurang tepat. Sedangkan jawaban (ii) menunjukkan siswa belum cukup memahami maksud dari rumus luas segitiga sehingga perhitungan yang dilakukan menjadi tidak tepat. Sebanyak 18 siswa kelompok kontrol menjawab dengan kurang tepat seperti jawaban di atas.

Kemampuan koneksi antar topik matematika pada kelompok eksperimen mencapai nilai 59,47 sedangkan kelompok kontrol mencapai nilai 56,06. Data ini menunjukkan bahwa kemampuan koneksi antar topik matematika yang dimiliki kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Hal ini terjadi karena selama proses pembelajaran siswa pada kelompok eksperimen terbiasa untuk bereksplorasi dan menggunakan kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika. Bantuan yang diberikan kepada kelompok eksperimen juga lebih dalam bentuk pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk dapat mengingat kembali dan menemukan kaitan dengan konsep yang dipelajari. Sedangkan pada kelompok kontrol, siswa terbiasa diberikan informasi langsung oleh guru tanpa kegiatan mengolah informasi sendiri. Namun, dibanding indikator lainnya, pencapaian siswa baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol terhadap indikator koneksi antar topik matematika termasuk paling rendah. Hal ini dapat disebabkan siswa lupa akan konsep yang sudah ia pelajari. Selain itu juga dapat disebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang dikaitkan dengan materi perbandingan seperti himpunan, segitiga ataupun operasi aljabar sehingga siswa menemui kesulitas ketika materi perbandingan yang sedang ia pelajari dikaitkan dengan materi tersebut.

b. Kemampuan Koneksi Matematika dengan Mata Pelajaran Lain

Kemampuan koneksi matematika dengan mata pelajaran lain yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan topik perbandingan dengan masalah atau konsep dalam mata pelajaran lain, seperti mata pelajaran IPA. Indikator ini terdapat pada soal nomor 8 berikut.

“Jumlah suhu badan Robert dan Dodi adalah ° . Saat itu, Robert sedang

demam sehingga suhu tubuhnya 39 . Tentukan suhu badan Dodi dalam !”

Untuk dapat menyelesaikan soal tersebut siswa harus mengetahui hubungan perbandingan antara skala Celcius dan Reamur pada mata pelajaran IPA dan menggunakan konsep perbandingan untuk menemukan jawabannya.

75

Gambar 4.9

Jawaban soalposttestnomor 8 yang benar pada (i) kelompok eksperimen dan (ii) kelompok kontrol

Gambar 4.9 menunjukkan bahwa siswa dari kedua kelompok sudah dapat mengaitkan topik perbandingan dengan topik pengukuran suhu pada pelajaran IPA. Siswa terlebih dahulu menuliskan informasi yang diketahui pada soal dengan lengkap. Selanjutnya siswa dapat menentukan hubungan perbandingan antara skala Celcius dan Reamur dengan tepat, yaitu = 4 5. Siswa juga dapat menentukan informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal yaitu dengan mensubstitusi jumlah suhu Robert dan Dodi sebesar 60° ke dalam persamaan. Selanjutnya perhitungan yang dilakukan siswa sudah tepat sehingga didapat bahwa jumlah suhu badan Robert dan Dodi dalam °Celcius adalah 75 . Siswa menyelesaikan pekerjaan hingga tahap akhir yaitu menentukan suhu badan Dodi dalam °Celcius dengan cara mengurangkan 75 dengan 39 sehingga didapat bahwa suhu badan Dodi adalah 36 . Sebanyak 19 siswa pada kelompok eksperimen memberikan jawaban dengan tepat sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 13 siswa.

Gambar 4.10

Jawaban soalposttestnomor 8 yang kurang tepat pada (i) kelompok eksperimen dan (ii) kelompok kontrol

Pada jawaban (i) terlihat siswa kelompok eksperimen sudah mampu menentukan hubungan perbandingan skala Celcius dan Reamur, dapat memilih informasi dan menyubstitusi pada persamaan, dan melakukan perhitungan dengan tepat. Namun siswa tidak menyelesaikan sampai tahap akhir yaitu menentukan suhu badan Dodi sehingga hasil akhirnya kurang tepat. Sebanyak 16 siswa pada kelompok eksperimen memberikan jawaban seperti jawaban (i). Sedangkan jawaban (ii) di atas memperlihatkan bahwa siswa belum mampu mengaitkan topik perbandingan dengan pengukuran suhu. Siswa keliru dalam menuliskan perbandingan skala Celcius dan Reamur dengan menyatakannya sebagai = 5 4. Akibatnya, meskipun siswa sudah dapat memilah informasi yang dibutuhkan dan menyubstitusi dengan benar, karena persamaan yang dibuat keliru maka hasil yang diperoleh tidak tepat. Sebanyak 9 siswa pada kelompok kontrol menjawab dengan cara yang sama seperti jawaban (ii).

Kemampuan koneksi matematika dengan mata pelajaran lain pada kelompok eksperimen mencapai nilai 71,59 sedangkan kelompok kontrol mencapai nilai 58,33. Terdapat selisih perolehan nilai menunjukkan bahwa nilai kelompok eksperimen dalam mengaitkan matematika dengan pelajaran lain lebih baik dibanding kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan pada kelompok eksperimen siswa dilatih untuk dapat menemukan kembali konsep pengukuran suhu dengan melakukan kegiatan penemuan pada tahap experiencing. Sedangkan pada kelompok kontrol siswa menerimanya langsung dari guru.

c. Kemampuan Koneksi Matematika dengan Kehidupan Sehari-hari

Kemampuan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari yang dimaksud adalah kemampuan mengaitkan topik perbandingan dengan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah-masalah produksi. Indikator ini salah satunya diukur dalam soal nomor 7 berikut.

“Sebuah perusahaan konveksi mendapat pesanan membuat baju dengan jangka waktu 80 hari. Untuk memenuhi pesanan tersebut diperlukan pekerja sebanyak 315 orang. Setelah bekerja selama 25 hari, pekerjaan itu terhenti selama 10 hari. Berapa banyak pekerja yang harus ditambah agar

77

pesanan baju itu dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan?”

Soal nomor 7 adalah masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan masalah perbandingan berbalik nilai. Untuk dapat menyelesaikannya siswa harus dapat memahami masalah dengan tepat, mengetahui konsep perbandingan jenis apa yang digunakan, apakah perbandingan senilai atau berbalik nilai dan mengaitkannya dengan informasi yang diketahui untuk menentukan solusinya. Siswa juga harus dapat menyusun persamaan perbandingan yang digunakan dari masalah yang diberikan.

Gambar 4.11

Jawaban soalposttestnomor 7 yang benar pada (i) kelompok eksperimen dan (ii) kelompok kontrol

Pada gambar 4.11 terlihat siswa dari kedua kelompok dapat menuliskan informasi yang diketahui pada soal dengan lengkap dan maksud sebenarnya dari masalah yang diberikan. Selanjutnya siswa dapat menentukan bahwa masalah tersebut menggunakan konsep perbandingan berbalik nilai, sehingga ia dapat membuat persamaan perbandingan dengan tepat yaitu 55 45 = 315. Perhitungan yang dilakukan pun tepat dan lengkap yaitu jumlah pekerja yang

Dokumen terkait