• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vaksin merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit melalui strategi preventif, dimana efisiensi vaksin ditentukan oleh kemampuan antigen untuk merangsang sistem kekebalan tubuh hewan sasaran. Kelebihan vaksin diantaranya adalah stimulasi terhadap sistem kekebalan tubuh inang tidak periodik dan lama waktu perlindungan yang dihasilkan vaksin lebih baik dibandingkan dengan antibiotik. Tujuan melakukan vaksinasi adalah untuk menstimulasi sistem imun dengan cara meningkatkan resistensi ikan terhadap jenis patogen tertentu. Vaksin pada industri budidaya ikan biasanya menggunakan formula dari bakterin (yang diinaktifasi dengan formalin atau pemanasan bakteri sel utuh), sel bakteri hidup yang tidak virulen, toksin bakteri, vaksin rekombinan, dan menggunakan asam nukleat dari bakteri. Pada prinsipnya preparasi antigen vaksin dibuat dari bakteri patogen yang telah dibuat menjadi non-patogen dengan berbagai macam metode (Skinner 2009).

Produk ekstraseluler bakteri merupakan produk metabolisme bakteri yang mengandung bahan toksin yang dapat merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Protein ECPcrude S. agalactiaeini mudah mengaktifkan respons imun inang karena dikeluarkan dari sel sehingga lebih mudah bersentuhan dengan inang (Zhang et al. 2012). Selain itu metode vaksinasi ECP relatif lebih aman karena bahan yang digunakan merupakan bahan toksin sehingga tidak terdapat lagi bakteri di dalamnya.

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, pada penelitian pertama bertujuan untuk mengidentifikasi protein yang menyusun ECP berdasarkan berat molekulnya dan selanjutnya mengevaluasi toksisitas protein tersebut. Hasil pengukuran konsentrasi protein total ECP crude adalah 8,6 µg mL-1. Hampir sama dengan hasil penelitian Hardi (2011) sebesar 8,18 µg mL-1, namun berbeda jauh dengan Sugiyani (2012) sebesar 1,89 µg mL-1.

Hasil fraksinasi protein toksin bakteri S. agalactiae dengan metode SDS- PAGE terdiri atas 3 pita protein dengan berat molekul 76,52 kDa; 89 kDa dan 132,92 kDa. Hasil ini berbeda dengan penelitian Hardi (2011) yang mendapatkan protein dengan berat molekul 55,8 kDa dan 62,3 kDa, sedangkan Sugiyani (2012) mendapatkan protein 83,42 kDa dan 21,99 kDa. Tidak diketahui dengan pasti penyebab perbedaan kandungan protein total maupun protein hasil fraksinasi dalam ECP crude yang dihasilkan diantara penelitian ini. Namun diduga disebabkan oleh perbedaan media kultur bakteri pada saat isolasi atau ada tidaknya pemekatan ECPcrude.

Pada penelitian ini digunakan SDS-PAGE untuk melakukan fraksinasi protein toksin dari ECP crude. Metode ini merupakan salah satu metode fraksinasi protein berdasarkan panjang rantai polipeptida atau bobot molekul protein dalam medan listrik. Fraksinasi protein dengan SDS-PAGE dimulai dengan menginkubasi bakteri pada media BHI selama 72 jam pada suhu 27°C. Hasil kultur bakteri ditambahkan neutral buffer formalin (NBF) hingga konsentrasi akhir menjadi 3% (untuk pengujian toksisitas tidak ditambahkan NBF), diinkubasi pada pada suhu 27°C selama 24 jam. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 30 menit kemudian disaring dengan filter miliphore steril 0,22 µm. ECPcrudedipekatkan dengan vivaspin dan difraksinasi

dengan metode SDS-PAGE. Potongan gel dipreparasi dengan pewarnaan silver stainingyang selanjutnya dijadikanframeuntuk memotong protein. Sampel hasil SDS-PAGE dipotong dan dielusi dengan electro-eluter, hingga diperoleh vaksin protein ECP.

Hasil pengujian toksisitas 3 protein dengan dosis yang berbeda, menunjukkan bahwa hanya ECPP89 yang bersifat toksik. ECPP89 pada dosis 2, 4, 8, 16 µg mL-1, menyebabkan terjadinya perubahan anatomi luar perubahan pola renang dan perubahan pola makan serta kematian ikan nila. Ikan yang diinjeksi degan ECPP89 menunjukkan perubahan dan kematian yang sama dengan ikan nila yang diinjeksi dengan WCB dan ECPP. Namun perubahan dan kematian ikan tidak terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECPP89 dosis 1 µg mL-1dan semua dosis perlakuan ECPP76,52 dan ECPP132,92 serta ikan yang diinjeksi dengan PBS.

Ikan yang diinjeksi dengan ECPP89 dosis 4, 8, 16 µg mL-1 pada akhirnya mengalami kematian yang secara signifikan lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan protein toksin 76,52 kDa; 132,92 kDa (semua dosis) dan protein toksin 89 kDa dosis 2 dan 1 µg mL-1. Mortalitas ikan antara perlakuan protein 89 kDa dosis 4, 8 dan 16 µg mL-1 tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), namun lebih rendah dibandingkan dengan bakteri utuhS. agalactiae(p<0,05).

Pengujian toksisitas protein secara in vitro dapat dilakukan untuk melihat toksisitas protein yang dihasilkan, namun pengujian ini tidak dilakukan dalam penelitian ini. Pengujian toksisitas protein dilakukan berdasarkan petunjuk Kawaharaet al. (1990) dengan cara mengamati kerusakan limfosit ikan nila yang diinjeksi dengan protein toksin dengan perbandingan 1:1 pada beberapa durasi waktu. Pengamatan dilakukan pada mikroskop dengan melihat jumlah kerusakan sitoplasma dan inti sel akibat pemaparan protein toksin.

Pada penelitian kedua dievaluasi protein toksin ECPP89 yang dilemahkan dengan NBF menjadi protein 89 kDa (ECP89) terhadap respons imun ikan nila.

Pada prinsipnya penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa protein toksin ECPP89 yang menyebabkan kelainan bahkan kematian ikan pada penelitian pertama bersifat imunogenik sehingga mampu meningkatkan respons imun dan menjadi kandidat vaksin apabila toksinnya dilemahkan dengan NBF.

Pada penelitian kedua protein toksin ECPP89 ditambahkan dengan NBF untuk menginaktifkan toksinnya tanpa merusak imunogeniknya dan disebut dengan protein ECP89. Protein ini diinjeksikan pada ikan nila masing-masing dengan dosis 2, 4, 6 dan 8 µg mL-1 ekor ikan-1 dan dipelihara selama 20 hari. Setelah diinjeksi dengan protein ECP89 respons imun spesifik maupun respons imun nonspesifik ikan nila mengalami peningkatan. Protein ECP89, WCV dan ECPV meningkatkan titer aglutinasi ikan mulai pada hari ke-5 setelah injeksi dan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin. Pada hari ke-10 hingga hari ke-20 titer antibodi ikan yang diinjeksi dengan perlakuan ECP89-6 dan ECP-8 lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan titer antibodi ikan yang diinjeksi ECPV dan UV setelah dilakukan booster. Demikian pula dengan OD ELISA, meningkat sejak hari ke-5 dan tetap meningkat pada hari ke-10 setelah dilakukanbooster hingga hari ke-20 pasca penginjeksian protein. Protein ECP89- 4, ECP89-6 dan ECP89-8 juga meningkatkan respons imun nonspesifik ikan yang terdiri atas penjenisan leukosit, aktivitas fagositik dan aktivitas lisozim dan lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan ikan yang tidak divaksin.

Protein ECP89 pada dosis yang tepat dapat meningkatkan respons imun spesifik maupun nonspesifik. ECP89 pada dosis yang tepat merupakan imunogen yang kuat sehingga dalam waktu yang singkat ikan nila dapat mengenali antigen dan memberikan respons berupa peningkatan respons imun yang bersifat nonspesifik dan selanjutnya respons spesifik dalam bentuk peningkatan antibodi ikan nila. Hasil yang berbeda pada perlakuan tanpa vaksinasi yang tidak mengandung antigen yang dapat menginduksi respons imun. Sebaliknya pada ECP89-2, dosis protein toksin kemungkinan tidak cukup untuk merangsang pembentukan respons imun ikan nila.

Pada penelitian ketiga dievaluasi imunoproteksi ECP89 sebagai vaksin toksoid untuk mengendalikan penyakit streptococcosis pada ikan nila. Pada penelitian ketiga ini dibuktikan bahwa repons imun spesifik dan nonspesifik yang telah meningkat dengan pemberian protein ECP89 pada hasil penelitian kedua dapat memproteksi ikan nila dari serangan bakteriS. agalactiae.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksin ECP89 khususnya ECP89-8 dan ECP89-6 secara signifikan memproteksi ikan secara optimal dari serangan bakteri S. agalactiae. Ikan yang divaksin dengan vaksin ECP89-8 dan ECP89-6 memiliki SR yang lebih tinggi (masing-masing 74.67% dan 73.67%) dibandingkan dengan perlakuan ECPV (46,67%) dan PBS (29,33%) (p<0,05). Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian tahap kedua dimana ikan nila yang diinjeksi protein ECP89-8 dan ECP89-6 memiliki respons imun spesifik dan nonspesifik secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan ECP89-2, ECP89- 4, ECPV dan UV.

SR ikan yang tinggi pasca uji tantang menunjukkan bahwa vaksin ECP89-8 dan ECP89-6 dapat memproteksi ikan nila secara optimal ketika diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RPS vaksin ECP89-8 (64,00%) dan ECP89-6 (62,00%) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan vaksin ECPV (24,33%), vaksin ECP89-2 (11,00%) dan ECP89-4 (33,67%). Perbedaan SR yang signifikan antara ikan divaksin ECP89 dengan ikan yang tidak divaksin menunjukkan bahwa antibodi spesifik memainkan peran penting dalam kekebalan terhadap S. agalactiae dan tingkat proteksi vaksin ini berkorelasi dengan level antibodi yang dihasilkan (Pasniket al. 2006).

Vaksinasi dengan vaksin ECP89-4, ECP89-6 dan ECP89-8 meningkatkan respons imun spesifik dan nonspesifik ikan nila selama masa inkubasi vaksin pada penelitian tahap kedua. Demikian pula pada penelitian tahap ketiga secara signifikan berkorelasi dengan tingginya SR ikan pasca uji tantang. Ikan yang divaksin dengan ECP89-6 dan ECP89-8 respons imun yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang vaksin ECPV maupun ikan yang tidak divaksin. Pasca vaksinasi maupun pasca uji tantang, titer antibodi perlakuan ECP89-2 juga meningkat secara signifikan dibanding dengan ikan yang tidak divaksin, namun masih belum cukup melindungi ikan sehingga SR ikan masih rendah pada saat uji tantang dibandingkan perlakuan ECP89 lainnya.

Pengamatan antibodi ikan selain dilakukan dengan metode aglutinasi atau denganindirect ELISA, dapat pula dilakukan dengan metode imunodifusi ganda. Metode imunodifusi dilakukan dengan menggunakan lapisan agar sebagai media yang memisahkan antigen dari antibodi. Pada lapisan agar tersebut dibuat sumur- sumur, kemudian ke dalam dua sumur yang berhadapan masing-masing

dimasukkan antigen dan antibodi. Setelah itu antigen dan antibodi dibiarkan mendifusi ke dalam lapisan agar dan ditempat dimana keduanya bertemu dan mencapai keseimbangan akan terbentuk kompleks antigen-antibodi berupa garis presipitasi.

Secara keseluruhan dari tahapan penelitian ini membuktikan bahwa vaksin ECP89 diidentifikasi sebagai protein imunogenik yang secara signifikan meningkatkan respons imun spesifik dan nonspesifik ikan nila dan menunjukkan fungsi protektif pada ikan terhadap serangan S. agalactiae. Meskipun respons imun ikan yang divaksin ECP89-6 dan ECP89-8 lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif vaksin WCV, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan respons imun kontrol positif vaksin ECPV maupun ikan yang tidak divaksin. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi vaksin protein 89 kDa, misalnya dengan menggunakanadjuvant.

Hasil penelitian Hardi (2011) menggunakan vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe N14G seperti pada penelitian ini memiliki RPS 79%, dan vaksin ECP crude S. agalactiae memiliki RPS 62.5%. Apabila vaksin sel utuh S. agalactiae digabung dengan ECP crude maka RPS meningkat menjadi 92%. Berdasarkan penelitian ini maka vaksin ECP89 dapat juga diujicobakan dengan menggabungkan dengan vaksin sel utuh untuk melihat efisiensi. Namun permasalahannya adalah menggunakan dua macam vaksin berarti pula menambah biaya vaksinasi dibandingkan dengan vaksinasi dengan satu jenis vaksin.

Kelebihan dari vaksin protein dibandingkan dengan vaksin konvensional adalah tidak adanya bakteri dalam substransi vaksin sehingga lebih aman. Kelebihan lainnya terutama bila dibandingkan dengan vaksin hidup adalah penyimpanan yang lebih praktis. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk dapat menghasilkan vaksin dalam jumlah yang besar dengan harga murah. Teknologi rekombinan merupakan salah satu langkah pengembangan vaksin protein.

Untuk mengembangkan vaksin ECP89 menjadi vaksin rekombinan maka protein 89 kDa perlu diidentifikasi lebih lanjut. Berbagai metode identifikasi yang lebih sensitif dapat digunakan, diantaranya asam aminosequenserdanliquid chromatography-tandem mass spectrometry (LC-MS/MS protein identification). Secara umum proses identifikasi melalui fraksinasi dengan LC-MS/MS, terdiri atas empat tahapan yaitu presipitasi dan adsorpsi, filtrasi, sentrifugasi dan kromatografi. Proses pertama adalah presipitasi, bertujuan untuk memisahkan satu protein dengan protein lainnya. Adsorpsi terjadi ketika gas atau zat terlarut cair terakumulasi pada permukaan padat membentuk lapisan film molekuler (adsorbat). Pada proses kedua dilakukan filtrasi yang dilanjutkan dengan sentrifugasi untuk memisahkan materi. Tahap keempat adalah menggunakan kromatografi yang dapat memisahkan dan mengisolasi protein yang diinginkan dari protein lain dalam campuran.

Metode identifikasi protein lainnya adalah gabungan antara 2-dimensional electrophoresis (2-DE) dan imunobloting dengan matrix-assisted laser desorption/ionization time-of-flight mass spectrometry (MALDI-TOF MS) (Nho

Dokumen terkait