• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Komposisi hasil tangkapan ikan

Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPS Cilacap sangat beragam, antara lain ikan cakalang, tuna, hiu, paruh, udang, dan ikan lainnya. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa ikan cakalang memiliki persentase sebesar 13% dari total hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap. Jenis lain yang juga tinggi adalah kelompok tuna. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu ikan dominan yang tertangkap di PPS Cilacap. Harga jual ikan cakalang tergantung kualitas ikan tersebut dan harganya berkisar Rp 14000–17000 per kg.

Gambar 4 Hasil tangkapan per jenis ikan di PPS Cilacap Sumber: Data Statistik Perikanan PPS Cilacap Tahun 2014

Rasio kelamin

Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada di perairan. Dalam statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi (Walpole 1993). Rasio kelamin ikan cakalang pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengambilan contoh

Waktu n Jumlah Perbandingan (%)

Betina Jantan Betina Jantan

25 Desember 2014 11 6 5 54,6 45,4 27 Januari 2015 5 0 5 0,0 100,0 24 Februari 2015 7 3 4 42,9 57,1 24 Maret 2015 9 4 5 44,4 55,6 Total 32 13 19 40,6 59,4 13% 13% 7% 3% 11% 53% Tuna/Tunas Cakalang/Skipjack tuna Hiu/Shark

Paruh Panjang/Bill fish Udang/Shrimp

11 Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada setiap pengambilan contoh, jumlah ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina. Jumlah keseluruhan ikan cakalang yang diamati jenis kelaminnya adalah 32 individu yang terdiri dari 13 individu ikan betina dan 19 individu ikan jantan. Secara keseluruhan perbandingan antara ikan cakalang betina dan jantan yang diamati pada penelitian ini sebesar 1:1,5 atau 40,6%:59,4%. Rasio kelamin TKG III dan IV tidak ditemukan pada betina selama penelitian, sedangkan pada jantan ditemukan hanya pada bulan Februari sebanyak 2 ekor.

Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad ikan (Effendie 2002). Grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh berdasarkan selang kelas panjang ikan (Lampiran 2 dan 3) disajikan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 5 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) betina

Gambar 6 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) jantan

Pada Gambar 5 dan Gambar 6 diperoleh bahwa baik ikan cakalang betina maupun jantan yang dominan tertangkap adalah TKG I dan TKG II. Berdasarkan perhitungan dengan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) panjang ikan

0% 20% 40% 60% 80% 100% 220-261 262-303 304-345 346-387 388-429 430-471 F rek u en si R elati f (% ) Selang Kelas (mm) TKG IV TKG III TKG II TKG I 0% 20% 40% 60% 80% 100% 220-261 262-303 304-345 346-387 388-429 430-471 F rek u en si R elati f (% ) Selang Kelas (mm) TKG IV TKG III TKG II TKG I

12

cakalang pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan jantan adalah 439,40 mm, sedangkan untuk ikan cakalang betina tidak ditemukan TKG III dan TKG IV sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad.

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur

Jumlah ikan cakalang yang diukur pada setiap pengambilan contoh berkisar antara 124-353 ekor. Total ikan cakalang yang diukur selama penelitian mencapai 822 ekor. Pada Gambar 7 menggambarkan bahwa frekuensi panjang ikan cakalang menyebar dari selang kelas panjang 220 mm hingga 791 mm. Panjang minimum dan maksimum ikan cakalang yang diamati adalah 220 mm dan 790 mm. Berdasarkan hasil Lm diketahui bahwa jumlah ikan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad sebanyak 657 ekor atau 79,93%. Oleh karena persantase yang diperoleh lebih besar dari 50%, maka dapat diduga bahwa telah terjadi gejala recruitmentoverfishing.

Gambar 7 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwnous pelamis) Analisis kelompok umur dilakukan setelah mengetahui sebaran distribusi frekuensi panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu pengambilan contoh. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini dikarenakan frekuensi panjang ikan tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal. Gambar 8 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang. 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 Fre k u en si (in d ) Selang Kelas (mm) Lm= 439,40 mm n= 822

13

Gambar 8 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terjadi pergesaran modus ke arah kanan pada bulan Desember hingga Januari dan Februari hingga Maret. Pergeseran ke arah kanan menunjukkan pertumbuhan ikan cakalang. Metode yang digunakan untuk analisis kelompok umur adalah metode NORMSEP melalui program FISAT II. Hasil analisis kelompok umur ikan cakalang berupa panjang rata-rata dan indeks separasi. Tabel 3 menunjukkan nilai indeks separasi lebih dari 2, sehingga hasil pemisahan kelompok umur ikan cakalang dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Menurut Hasselblad (1996) in Spare dan Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Bedasarkan Tabel 3 diperoleh bahwa setiap waktu pengambilan contoh hanya ditemukan maksimum 2 hingga 3 kelompok umur saja.

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5 Fre k u en si (in d ) 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5 Fre k u en si (in d ) Januari n= 209 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5 Fre k u en si (in d ) 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5 Fre k u en si (in d )

Nilai Tengah Panjang (mm)

Maret n= 353 Desember n= 136 Februari n= 124

14

Tabel 3 Sebaran kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Waktu Pengambilan Contoh Kelompok Umur Panjang Rata-Rata Indeks Separasi

Total (mm) Total 25 Desember 2014 1 323,5 ± 36,6 N.A 2 713,5 ± 60,2 8,1 27 Januari 2015 1 387,2 ± 52,9 N.A 2 496,4 ± 26,0 2,8 3 651,1 ± 54,1 3,9 24 Februari 2015 1 366,7 ± 28,7 N.A 2 471,5 ± 75,3 2,0 24 Maret 2015 1 302,4 ± 26,0 N.A 2 393,7 ± 51,0 2,4 3 609,6 ± 26,0 5,6

Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot dimanfaatkan untuk mengetahui pola pertumbuhan suatu organisme. Gambar 9 menyajikan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan cakalang.

Gambar 9 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Persamaan hubungan panjang bobot ikan cakalang adalah W= 0,00001L3,0 dengan koefisien determinasi 85,4%. Berdasarkan persamaan pada Gambar 7 diperoleh nilai b sebesar 3,0. Berdasarkan nilai t sebesar 0,5, diperoleh pola pertumbuhan ikan cakalang adalah isometrik, yang berarti pertumbuhan bobot sama dengan pertumbuhan panjangnya.

Parameter pertumbuhan

Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode Ford Walford (Lampiran 6) yang diturunkan dari model von Bertalanffy. Analisis parameter pertumbuhan terhadap ikan cakalang meliputi koefisien pertumbuhan (K), panjang

W = 0,00005L3,0 R² = 85,4% n = 822 0 2000 4000 6000 8000 10000 0 200 400 600 800 1000 B o b o t (g ram ) Panjang (mm)

15

asimtotik atau panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞) dan umur teoritis

ikan pada saat panjang ikan nol (t0). Tabel 4 menyajikan parameter pertumbuhan ikan cakalang berdasarkan model von Bertalanffy.

Tabel 4 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan model von Bertalanffy

Parameter Pertumbuhan Total

L∞ (mm) 992,6

K (tahun-1) 0,3

t0 (tahun) -0,2

Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan cakalang adalah Lt= 992,6(1-e -0,3(t+0,2)). Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang disajikan pada Gambar 10 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm).

Gambar 10 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Mortalitas dan laju eksploitasi

Suatu stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunan akibat tingkat mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas terdiri dari 2 jenis yakni mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan cakalang dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). Tabel 5 menyajikan informasi mengenai laju mortalitas dan laju eksploitasi.

0,0 200,0 400,0 600,0 800,0 1.000,0 1.200,0 -2 0 2 4 6 8 10 P an jan g ( m m ) Umur (tahun) Lt = 992,6 1 e 0,3 t+0,2

16

Tabel 5 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Parameter Total

Mortalitas alami (M) 0,3

Mortalitas penangkapan (F) 3,1

Mortalitas total (Z) 3,3

Laju Eksploitasi (E) 0,93

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan cakalang lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini menunjukkan bahwa ikan cakalang lebih banyak mati akibat adanya kegiatan penangkapan. Laju eksploitasi ikan cakalang sebesar 93%.

Model produksi surplus

Model produksi surplus digunakan untuk menentukan upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari. Data hasil tangkapan ikan cakalang dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (Lampiran 9) disajikan pada Tabel 6 (Data Statistik Perikanan PPS Cilacap 2014). Tabel 6 Produksi perikanan (ton) dan upaya penangkapan (trip)

Tahun Produksi perikanan (ton) Upaya (trip)

2008 2272,4 2906 2009 1835,8 2726 2010* 361,2 2789 2011 2519,2 2704 2012 2400,8 2513 2013 723,8 3071 2014* 675,4 1965

Note: *Data tidak dimasukkan ke dalam perhitungan model produksi surplus

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan cakalang mengalami fluktuasi. Produksi perikanan ikan cakalang tertinggi terdapat pada tahun 2011 dengan upaya penangkapan sebesar 2704 trip. Upaya penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2013, yaitu sebesar 3071 trip. Pada tahun 2010 dan 2014, data produksi perikanan dan upaya tidak dimasukkan dalam perhitungan karena merupakan data pencilan.

Analisis potensi sumberdaya ikan cakalang menggunakan model Schaefer dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 71,3%. Nilai upaya optimum (fmsy) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di peroleh masing-masing sebesar 1700 trip dan 3354,3 ton per tahun. Nilai potensi lestari (PL) dan Total Allowable Catch (TAC) masing-masing adalah 3018,8 ton per tahun dan 2683,4 ton per tahun. Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer disajikan pada Gambar 11.

17

Gambar 11 Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer

Pembahasan

Salah satu faktor penting untuk mengetahui struktur suatu populasi ikan maupun pemijahannya adalah dengan melakukan pengamatan rasio kelamin (sex ratio). Perbandingan rasio kelamin antara ikan cakalang betina dan jantan adalah 1:1,5. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang banyak tertangkap di perairan Samudera Hindia adalah ikan cakalang jantan dibandingkan ikan cakalang betina. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumadhiharga dan Hukom (1987) di Laut Banda yang menghasilkan perbandingan rasio kelamin antara ikan cakalang betina dan jantan adalah 0,82:1. Variasi rasio kelamin biasanya terjadi akibat adanya 3 faktor, yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan (Bal dan Rao 1984 in Saha et al. 2009). Perbandingan ikan betina dan jantan dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan 1:1 atau sedapat-dapatnya ikan betina lebih banyak, agar bertujuan untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001). Menurut Wilson (1982) in Sumadhiharga dan Hukom (1987) menyatakan hal yang menyebabkan perbedaan rasio kelamin adalah kurangnya ikan betina pada suatu perairan karena akan melakukan pemijahan.

Penentuan tahap kematangan gonad bertujuan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak melakukan reproduksi (Sulistiono et al. 2007). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba. Selain itu bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Berdasarkan hasil pengamatan gonad secara anatomis yang mengacu pada Orange (1961) terlihat bahwa selama penelitian ikan cakalang betina mempunyai TKG I dan TKG II, sedangkan pada ikan cakalang jantan didapatkan TKG I, TKG II, TKG III dan TKG IV. Pada penelitian ini diambil 32 contoh gonad (13 ekor di antaranya ikan cakalang betina dan 19 ekor ikan cakalang jantan) yang diamati, hanya ditemukan 1 ekor ikan cakalang jantan yang mencapai TKG III dan IV, dan pada ikan cakalang betina tidak

0,0 500,0 1.000,0 1.500,0 2.000,0 2.500,0 3.000,0 3.500,0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 H asi l T an g k ap an ( to n )

Upaya Tangkap (trip)

Fmsy MSY Tahun 2012 2011 2013

18

ditemukannya TKG III dan TKG IV. Menurut Koya et al. (2012) puncak musim pemijahan ikan cakalang di perairan Samudera Hindia mulai dari bulan Desember hingga Maret, pada saat memijah ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam, sehingga peluang untuk tertangkapnya ikan cakalang betina TKG III dan TKG IV sangat kecil.

Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi yang perlu diketahui dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, karena dapat dijadikan sebagai salah satu dasar pengelolaan perikanan (Waileruny 2014). Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986), dugaan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang jantan berada pada ukuran 430-471 mm, yaitu sebesar 439,40 mm, sedangkan untuk ikan cakalang betina tidak ditemukannya TKG III dan TKG IV sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad (Lampiran 4).

Pada penelitian Grande et al. (2014) menyebutkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang betina di perairan Samudera Hindia Barat diperkirakan sebesar 399 mm. Menurut Brock (1954), ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang betina di perairan sekitar kepulauan Hawai sebesar 400 mm. Penelitian Sumadhiharga dan Hukom (1987) diperoleh nilai Lm di Laut Banda sebesar 418 mm pada ikan cakalang betina dan 420 mm pada ikan cakalang jantan. Manik (2007) mendapatkan hasil ukuran ikan cakalang terkecil yang sudah matang gonad (TKG III) di perarian sekitar pulau Seram Selatan dan pulau Nusa laut berukuran 436 mm pada jantan dan 428 mm pada betina. Hasil pengamatan secara histologi yang dilakukan Mallawa et al. (2014) di perairan Laut Flores didapatkan bahwa ikan cakalang mencapai fase siap memijah pada ukuran 555 mm dan diduga memijah pada ukuran 560 mm pada betina dan 600 mm pada jantan.

Nikolsky (1963) menyatakan, bahwa perbedaan ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur, serta kecepatan pertumbuhan. Perbedaan tempat pemijahan dapat menimbulkan perbedaan musim pemijahan. Menurut Widiawati (2000), puncak pemijahan ikan cakalang untuk Selatan Jawa antara bulan Mei hingga Oktober, untuk Barat Sumatera pada bulan September hingga Desember, dan untuk perairan Laut Banda pada bulan Desember. Musim penangkapan ikan cakalang di PPS Cilacap berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober dan puncaknya pada bulan Agustus-September (Merta 2004).

Frekuensi panjang ikan cakalang menyebar mulai selang kelas panjang 220-791 mm. Apabila dibandingkan dengan penelitian Fadhilah (2010), panjang ikan cakalang total yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 246-535 mm. Panjang ikan cakalang total yang tertangkap pada perairan Samudera Hindia Barat menurut penelitian Mayangsoka (2010) bekisar antara 250-568 mm. Frekuensi tertinggi ikan cakalang terdapat pada selang kelas 324-375 mm. Hal ini menunjukkan bahwa banyak ikan cakalang berukuran kecil yang tertangkap, sehingga dapat diduga bahwa perairan tersebut merupakan daerah pengasuhan (nursery area). Banyaknya ikan-ikan muda yang tertangkap akan beresiko terhadap keberadaan stok ikan. Ikan cakalang merupakan spesies yang memiliki resiko terhadap stok besar

Menurut Nikolsky (1963) in Suwarni (2009) jika pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah ikan, hal tersebut mungkin disebabkan oleh

19 perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan ukuran pertama kali matang gonad, perbedaan masa hidup, dan adanya pemasukan jenis ikan atau spesies baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Spesies ikan yang sama dan hidup di lokasi perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda karena adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Faktor dalam tersebut adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, umur, serta penyakit, sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan adalah suhu dan makanan (Effendie 2002).

Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat adanya perubahan rata-rata panjang ikan setiap pengambilan contoh. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada pengambilan contoh ke-1 hingga ke-2 dan pengambilan contoh ke-3 hingga 4 terdapat pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan pada ikan cakalang. Pada pengambilan contoh ke-3, yaitu akhir Februari terjadi proses recruitment yang ditandai dengan adanya pergeseran ke arah kiri. Hal ini diduga terjadi karena adanya individu baru yang masuk ke dalam stok ikan cakalang, sehingga membentuk kelas panjang baru. Selain itu dapat diduga ikan yang ditangkap pada akhir Februari memiliki ukuran panjang yang kecil atau ikan cakalang yang berusia muda tertangkap oleh nelayan. Penangkapan ikan berusia muda sangat mempengaruhi keberadaan stok sumberdaya ikan cakalang. Faktor utama yang menyebabkan hal demikian, yaitu ukuran mata jaring yang terlalu kecil sehingga penangkapan tidak selektif.

Analisis hubungan panjang bobot pada ikan cakalang menghasilkan nilai b sebesar 3,0 dengan t sebesar 0,5. Berdasarkan uji t (α = 0,05) terhadap nilai b

didapatkan pola pertumbuhan ikan cakalang, yaitu isometrik yang berarti pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot. Perbedaan pola pertumbuhan dari beberapa penelitian sebelumnya disebabkan adanya perbedaan nilai b (Tabel 7).

Tabel 7 Perbandingan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Sumber Lokasi Persamaan

pertumbuhan

Pola pertumbuhan

Uktolseja (1987) Perairan Timur Indonesia

(Sorong) W= 0,00001L

3,1

Allometrik positif

Andrade et al.

(2002)

Samudera Atlantik Selatan

bagian tenggara W= 0,0000007L

3,3

Allometrik positif Mayangsoka

(2010)

Samudera Hindia Barat (Barat

Sumatera) W= 0,00001L

3,0

Isometrik

Fadhilah (2010) Palabuhanratu dan sekitarnya W= 0, 000004L3,2 Allometrik positif

Jamal et al.

(2011) Kawasan Teluk Bone W= 0,0004L

2,8

Isometrik Penelitian ini

(2015) Perairan Samudera Hindia W= 0,00001L

3,0

Isometrik

Berbedanya hasil analisis tersebut diduga karena diferensiasi kisaran panjang ikan yang dianalisis cukup besar, selain karena pengaruh faktor-faktor biologis dan ekologis dari masing-masing perairan dimana ikan tersebut hidup. Menurut Sumadhiharga (1991) in Jamal et al. 2011, menyatakan perbedaan nilai b dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta aktivitas penangkapan. Aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada suatu daerah akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan. Selain itu perbedaan

20

pola pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulos dan Stergiou 2002 in Kharat et al. 2008). Selanjutnya Matsumoto et al. (1984) in Jamal et al. (2011), menyatakan bahwa nilai b ikan cakalang berbeda-beda pada setiap lokasi penangkapan. Nilai terbesar b = 3,67 diperoleh dari lokasi Bonin Island, West Pacific dan terkecil b = 1,70 yang berasal dari Filipina.

Parameter pertumbuhan dengan metode von Bertalanffy (parameter L∞

dan K) dapat diduga dengan menggunakan metode plot Ford Walford yang merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga suatu parameter pertumbuhan dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama. Kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dipisahkan dengan menggunakan metode NORMSEP dalam program FISAT II. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan semakin lama waktu yang dibutuhkan spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik, dan sebaliknya semakin tinggi koefisien pertumbuhan semakin cepat waktu yang dibutuhkan mendekati panjang asimtotik. Hasil analisis beberapa penelitian mengenai ikan cakalang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber Lokasi L∞ (mm) Koefisien pertumbuhan (K) per tahun t0

Gaertner D et al. (2008) Perairan Atlantik

bagian Timur 893,8 0,4 -0,1705

Mayangsoka (2010) Samudera Hindia Barat

(Barat Sumatera) 591,2 0,4 -1,0749

Fadhilah (2010) Palabuhanratu dan

sekitarnya 662,0 0,2 -0,6909

Jamal et al. (2011) Kawasan Teluk Bone 759,8 0,2 -0,3600

Koya et al. (2012) Perairan Samudera

Hindia 920,0 0,5 -0,0012

Penelitian ini (2015) Perairan Samudera

Hindia 992,6 0,3 -0,2195

Secara umum pertumbuhan ikan cakalang lambat, hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien yang rendah. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut (L∞

dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematangan gonad (Merta 1992 in Jamal et al. 2011). Oleh karena itu, perbedaan nilai parameter pertumbuhan yang didapatkan dari lokasi-lokasi tersebut diduga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda. Waktu penelitian juga dapat mempengaruhi perbedaan nilai parameter pertumbuhan yang didapat. Selanjutnya Widodo dan Suadi (2008), menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan sampel yang dianalisis mengenai cara atau metode yang digunakan.

Pada penelitian Mayangsoka (2010) didapatkan nilai panjang infinitif yang kecil. Hasil tersebut mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi dimana ukuran ikan yang tertangkap semakin lama semakin kecil. Hal ini terjadi

21 karena ikan tidak mendapatkan waktu pulih untuk melakukan pertumbuhan. Perbedaan koefisien laju pertumbuhan menurut Gaertner (2008), menunjukkan bahwa ikan cakalang tumbuh lebih cepat di wilayah utara timur Samudera Atlantik daripada di daerah khatulistiwa

Penentuan tingkat eksploitasi dapat diperkirakan melalui parameter pertumbuhan dan mortalitas dari beberapa spesies ikan. Pauly dan Palomares (1986) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 (Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5). Laju eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum, yaitu sebesar 0,93 (Tabel 6). Nilai ini mengindikasikan adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overexploited) terhadap ikan cakalang, dengan tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Semakin besar aktivitas penangkapan maka akan mengakibatkan sumberdaya ikan terancam. Hal ini serupa dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh Mayangsoka (2010) yang memiliki nilai eksploitasi untuk ikan cakalang di perairan Samudera Hindia Barat sebesar 0,95 dan Fadhilah (2010) dengan nilai laju eksplotasi ikan cakalang di perairan Palabuhanratu dan sekitarnya, yaitu sebesar 0,94. Tingginya tingkat eksploitasi mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan cakalang di perairan Samudera Hindia tepatnya di perairan selatan Jawa. Penangkapan ini akan berpengaruh terhadap perubahan populasi ikan di suatu perairan (Oktaviyani 2013).

Pengelolaan sumberdaya perikanan pada awalnya didasarkan pada faktor biologi, yaitu dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (Waileruny 2014). Masing-masing model biologi pengelolaan perikanan secara eksplisit atau implisit mengandung informasi mengenai overfishing yang merupakan suatu masalah umum dari para pengelola perikanan. Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum) dan tangkapan maksimum lestari. Rumus-rumus model produksi surplus (MPS) hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan upaya penangkapan akan menyebabkan penurunan CPUE (Utami et al. 2012).

Model Schaefer menduga upaya optimum (fmsy) sebesar 1700 trip per tahun dan Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 3354,6 ton per tahun. Pada tahun 2010 produksi perikanan ikan cakalang sebesar 361,2 ton per tahun. Nilai ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi Reuters pada artikel medan bisnis (2011), produksi perikanan tangkap di Cilacap, Jawa Tengah selama tahun 2010 menurun di akibatkan pengaruh cuaca buruk yang sering terjadi sehingga nelayan mengalami musim panceklik yang berkepanjangan di wilayah perairan selatan.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ikan cakalang yang didaratkan di PPS Cilacap telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari upaya rata-rata yang lebih besar dari nilai upaya optimumnya. Pada tahun 2014 jumlah produksi perikanan ikan cakalang sebesar 675,4 ton dengan upaya 1965 trip, nilai tersebut dapat diduga bahwa produksi perikanan menurun akibat upaya melaut melebihi upaya optimum. Selain itu ditunjukkan pula dari tingginya laju eksploitasi yang sudah melebihi laju eksploitasi optimum dan tingginya laju mortalitas penangkapan.

22

perikanan tetap dapat lestari dan berkelanjutan. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan tersebut dapat dihindari dengan melakukan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan yang ada.

Dokumen terkait