• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lahan Pembibitan Durian

Lahan pembibitan durian Menoreh Kuning terletak di Dusun Kajoran, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembibitan durian Menoreh Kuning terletak pada ketinggian 300-400 m dpl. Bibit durian yang dikembangkan terdiri atas empat varietas yaitu durian Menoreh Kuning, Menoreh Jambon, Menoreh Legit, dan Petruk. Bibit durian Menoreh Kuning diproduksi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga varietas lainnya. Lahan pembibitan durian berbentuk terasering dengan luas 4 500 m2. Masing-masing tingkatan terasering mempunyai umur bibit durian yang berbeda. Tanaman yang berada di sekitar pembibitan durian adalah jambu kristal, kopi, sirkaya, pisang, dan cengkeh.

Menurut World Agroforestry Centre (2010), lokasi yang baik untuk pembibitan adalah tempat datar dengan drainase yang baik seperti penyiraman bibit yang teratur. Tempat pemeliharaan bibit yang baik adalah dengan menggunakan rak yang terbuat dari bilah bambu atau besi. Tujuan dari penggunaan rak adalah mencegah penularan bibit penyakit dari tanah yang terlontar ke daun ketika terjadi hujan. Bibit ditanam menggunakan media tanah yang kemudian dimasukkan ke dalam polybag. Jarak antar polybag diatur secara tidak berhimpitan. Pembibitan durian harus mempunyai naungan dengan ketinggian minimal dua meter untuk mengatur sinar matahari yang masuk ke pembibitan. Naungan yang baik adalah terbuat dari seng plastik hijau, paranet dari plastik atau nylon, anyaman bambu, dan daun kelapa.

a b

7

Gambar 2 Lahan pembibitan durian: (a) bentuk lahan terasering, (b) pembibitan umur 3 minggu, (c) 12 minggu, (d) 24 minggu, (e) 48 minggu, (f) 96 minggu, (g) 6 minggu double rootstock (h) 96 minggu double rootstock

Lahan bibit durian berbentuk terasering dengan setiap tingkatan terdiri dari tujuh umur tanaman (Gambar 2a). Tingkat paling atas merupakan bibit berumur 12 minggu (Gambar 2c). Tingkat selanjutnya yaitu bibit umur 3 minggu (Gambar 2b), bibit umur 24 minggu (Gambar 2d), bibit umur 48 minggu (Gambar 2e), bibit umur 96 minggu (Gambar 2f), bibit umur 6 minggu double rootstock (Gambar 2g), dan 96 minggu double rootstock (Gambar 2h).

Teknik Pembibitan

Durian Menoreh Kuning merupakan durian yang dikembangkan pertama kali oleh Bapak Sugito dan telah mendapat Surat Keputusan Menteri Pertanian No 316&317/kpts/SR120/5/2007. Perbanyakan durian Menoreh Kuning berasal dari pohon induk tunggal (PIT) yang berumur ratusan tahun di lereng gunung Menoreh. Biji dan batang atas yang berasal dari PIT (bibit label putih) dikembangkan dan jadi nama Durian Menoreh Kuning. Selanjutnya, dari bibit berlabel putih tersebut durian Menoreh Kuning diperbanyak dan ditrisbusikan. Media Tanam

Media tanam yang digunakan yaitu tanah, pupuk kompos, dan sekam dengan perbandingan (4:1:1). Tanah yang digunakan mempunyai tekstur liat. Pupuk kompos merupakan campuran dari kotoran kambing atau sapi sebanyak 1 ton, dolomit 4 karung, dan tanah disekitar perakaran bambu 4 karung. Kompos tersebut kemudian disiram dengan EM4 dan ditutup dengan plastik selama tiga minggu. Menurut World Agroforestry Centre (2010), media tanam yang baik

e f

h g

8

adalah ringan, murah, mudah didapat, gembur, dan subur yang mengandung unsur hara. Penggunaan media tanam yang tepat menentukan pertumbuhan optimum bibit. Komposisi media tanam yang baik adalah campuran tanah, pupuk kandang, dan sekam (WAC 2010).

Teknik Perbanyakan Bibit

Perbanyakan bibit durian Menoreh Kuning dilakukan dengan cara okulasi. Okulasi adalah penggabungan dua bagian tanaman yang berlainan sehingga tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan pada bekas luka sambungan (WAC 2010). Teknik okulasi dilakukan dengan dua cara yaitu okulasi menggunakan satu batang bawah dan okulasi dua batang bawah.

Teknik okulasi satu batang bawah digunakan batang atas (entres) dan batang bawah. Batang atas yang digunakan berasal dari PIT atau klon tanaman durian Menoreh Kuning. Klon tanaman durian Menoreh Kuning merupakan tanaman yang biji dan batang atasnya berasal dari PIT. Batang atas yang digunakan terdiri atas dua mata tunas yang bertujuan mengurangi kegagalan okulasi. Batang bawah yang digunakan berasal dari biji berbagai jenis durian yang telah tumbuh. Syarat batang bawah adalah berukuran panjang yaitu 40 cm dan minimal berumur tiga bulan.

Teknik okulasi dua batang bawah (double rootstock) digunakan entres yang berasal dari tanaman hasil okulasi satu batang bawah dan telah berumur 9-12 bulan dengan varietas Menoreh Kuning. Batang bawah yang digunakan berasal dari varietas durian Menoreh Kuning atau varietas lain. Syarat batang bawah adalah berumur minimal satu tahun. Fungsi dari dua batang bawah adalah untuk membantu percepatan pertumbuhan batang utama dan memperkokoh tanaman.

Gambar 3 Alat dan yang digunakan yaitu: (a) pisau, (b) plastik, (c) batang atas (entres), (d) batang bawah, (e) polybag dan tanah, (f) entres dan

double rootstock

a b c

9 Alat yang digunakan dalam teknik okulasi yaitu pisau khusus okulasi yang berukuran kecil dan tidak digunakan untuk kegiatan lain selain okulasi (Gambar 3a). Bahan yang digunakan yaitu plastik dengan ukuran kurang lebih 2 cm x 10 cm (Gambar 3b). Bahan lain yang diperlukan yaitu entres (Gambar 3c), batang bawah (Gambar 3d), serta tanah dan polybag (Gambar 3e).

Gambar 4 Langkah okulasi: (a) pengeratan kulit batang bawah, (b) peruncingan batang atas, (c) penempelan batang atas, (d) pengikatan plastik, (e) pengikatan sampai ujung, (f) helai daun yang disisakan

Langkah okulasi dimulai dari pengeratan kulit pada batang bawah dengan ketinggian 20-25 cm dari tanah (Gambar 4a). Kulit batang dikerat menggunakan pisau dengan keratan berbentuk segitiga kemudian ditarik ke bawah dengan panjang antara 1-2.5 cm (Gambar 4a). Kulit hasil keratan dipotong dua pertiganya, kemudian batang atas dipotong bagian ujung pangkal dengan berbentuk runcing (Gambar 4b). Batang atas ditempelkan pada batang bawah yang sudah dikerat (Gambar 4c) dan diikat menggunakan plastik (Gambar 4d). Pengikatan dimulai dari bawah sampai ujung entres. Setelah pengikatan, disisakan tiga helai daun (Gambar 4f). Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi penguapan agar nutrisi pada batang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan tunas baru.

a b c

10

Gambar 5 Langkah double rootstock: (a) penanaman dua seedling dan entres ke dalam satu polybag, (b) pengeratan kulit entres, (c) peruncingan batang bawah, (d) penempelan seedling, (e) pengikatan plastik, (f)

double rootstock yang telah jadi

Teknik okulasi dua batang bawah (double rootstock) dimulai dengan penanaman dua batang bawah dan entres dalam satu polybag (Gambar 5),

kemudian dilakukan pengeratan pada entres. Pengeratan kulit entres dilakukan pada dua sisi entres dengan ketinggian antara 15-20 cm dari atas tanah. Pengeratan dimulai dari arah bawah ke atas dengan panjang antara 1-2.5 cm. Juluran kulit dipotong dua pertiganya, kemudian bagian ujung double rootstock

dipotong runcing. Panjang batang adalah antara 15-20 cm, selanjutnya ujung

double rootstock ditempel pada entres yang telah dikerat dan diikat menggunakan plastik.

Teknik perbanyakan bibit durian yang dilakukan oleh Bapak Sugito tidak berbeda dengan teknik perbanyakan secara umumnya. Perbedaannya adalah entres

yang digunakan oleh bapak Sugito berasal pohon induk tunggal (PIT) atau klon tanaman durian Menoreh Kuning. Saat ini, bibit durian yang beredar di Indonesia belum dapat dijamin keaslian varietasnya. Hal tersebut dikarenakan bibit yang dikembangkan menggunakan entres yang bersal dari pohon yang tidak bersertifikat.

a b c

11 Hama Bibit Durian

Hama bibit durian yang menyerang pada bagian daun adalah kutu loncat

Allocaridara sp. (Hemiptera: Psyllidae) (Gambar 6a), belalang Valanga sp. (Orthoptera: Acrididae) (Gambar 6f), belalang Atractomorpha sp. (Orthoptera: Pyrgomorphidae) (Gambar 6e), dan tungau Tetranychus sp. (Trombidiformes: Tetranychidae) (Gambar 6d). Hama bibit durian yang menyerang pada bagian batang adalah kumbang Xyleborus sp. (Coleoptera: Scolytidae) (Gambar 6b), rayap Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae) (Gambar 6c). Masing-masing hama mempunyai bentuk yang berbeda-beda.

Gambar 6 Hama pada bibit durian: (a) Allocaridara sp., (b) Xyleborus sp., (c)

Coptotermes sp., (d) Tetranychus sp., (e) Atractomorpha sp., (f)

Valanga sp..

Allocaridara sp. (Kutu loncat). Gejala yang ditimbulkan Allocaridara sp. yaitu terdapat bintik-bintik kuning pada permukaan daun sehingga daun menjadi kasar (Gambar 7a). Populasi nimfa kutu loncat yang besar menyebabkan daun mengecil dan akhirnya rontok.

Xyleborus sp. (Penggerek kulit batang). Xyleborus sp. menyerang durian dengan cara masuk ke kulit batang, sehingga pada batang terdapat lubang kecil (Gambar 7b). Xyleborus sp. menyerang bagian kulit batang tanaman. Tanaman yang terserang berubah menjadi kering. Ketika kulit batang dikupas, terdapat bekas gerekan Xyleborus sp. (Gambar 7c).

Coptotermes sp. (Rayap). Coptotermes sp. menyerang bibit durian dengan cara memakan kambium tanaman. Kambium yang dimakan mengakibatkan tanaman menjadi lapuk sehingga tanaman mati (Gambar 7d).

Tetranychus sp. (Tungau). Gejala serangan yang ditimbulkan

Tetranychus sp. yaitu terdapat bintik-bintik kecil berwarna kuning pada permukaan daun (Gambar 7e). Gejala yang luas meyebabkan sebagian daun berwarna kuning.

Atractomorpha sp. (Belalang). Gejala yang ditimbulkan oleh

Atractomorpha sp. yaitu pada permukaan daun terdapat lubang bekas gigitan (Gambar 7f). Belalang menggigit daun pada bagian tengah dan pinggir daun. Lubang bekas gigigatan berukuran sedang sampai lebar.

a b c

d e f

12

Gambar 7 Gejala serangan hama: (a) bintik kuning oleh Allocaridara sp., (b) lubang masuk Xyleborus sp., (c) bekas gerekan Xyleborus sp., (d) gejala serangan Coptotermes sp., (e) gejala bintik kuning oleh

Tetranychus sp., (e) daun berlubang oleh Atractomorpha sp..

Berdasarkan data yang didapatkan (Gambar 8), Allocaridara sp. mempunyai kepadatan populasi paling tinggi pada semua umur bibit tanaman dibandingkan dengan Xyleborus sp., Coptotermes sp., Tetranychus sp., Atractomorpha sp., dan

Valanga sp.. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Allocaridara sp. merupakan hama penting pada bibit durian.

Gambar 8 Kepadatan populasi hama yang menyerang bibit durian

Menurut Brown (1997), hama yang menyerang tanaman durian di India adalah kumbang Ambrosia beetles, kumbang Adoretus sp., kutu loncat

Allocaridara malayensis, kumbang hitam Apogonia sp., rayap Cryptotermes cynocephalus, tungau Eutetranychus africanus, rayap Microtermes palidus,

0 20 40 60 80 100 120 140 160 3 12 24 48 96 6 (DR) 96 (DR) Allocaridara Xyleborus Coptotermes Tetranychus Atractomorpha Valanga P opulas i ha ma (e kor ) Umur (minggu) d e f a b c sp. sp. sp. sp. sp. sp.

13 penggerek biji Mudaria magniplaga, kutu putih Pseudococcus sp., penggerek kulit Synanthedon sp., kutu loncat Tenaphalara malayensis, tungau merah

Tetranychus fijiensis, ulat tandan Tirathaba mendella, penggerek batang Zeuzera

sp., dan kumbang bubuk Xyleborus cordatus. Menurut Nguyen (2003), Allocarida

sp. merupakan hama utama durian di Thailand, Filipina, dan Indonesia.

Allocaridara sp. mempunyai populasi yang tinggi dan menimbulkan gejala serangan paling tinggi dibandingkan dengan hama yang lain. Gejala serangan yang tinggi disebabkan oleh nimfa yang menyerang daun muda dan tua pada tanaman durian. Nimfa bersembunyi di dalam daun muda yang masih menutup dan berada di atas permukaan daun yang tua. Menurut Nguyen (2003), nimfa dari

Allocariadara sp. menghisap cairan jaringan daun muda. Serangan yang ditimbulkan mengakibatkan permukaan daun terdapat bercak kecil kuning, kering, dan rontok.

Kepadatan populasi Allocaridara sp. tinggi terjadi pada umur 3 dan 12 minggu. Kepadatan populasi Allocaridara sp. pada umur 24, 48, 96, 6 double rootstock, dan 96 minggu double rootstock rendah diduga disebabkan oleh aplikasi pestisida dan jenis pestisida yang digunakan. Populasi Allocaridara sp. yang tinggi pada tanaman umur 12 dan 3 minggu, disebabkan penyemprotan pestisida belum dilakukan. Penyemprotan pestisida oleh petani dilakukan setelah umur tanaman diatas 12 minggu. Pestisida yang digunakan adalah Decis berbahan aktif deltametrin (golongan piretroid).

Menurut National Pesticide Information Center (2010), deltametrin merupakan bahan aktif insektisida golongan piretroid. Deltametrin membunuh serangga melalui kontak langsung atau residu yang ada di permukaan daun. Keunggulan piretroid sintetik yaitu mempunyai kemampuan menjatuhkan serangga dengan cepat. Piretroid memiliki tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia. Golongan piretroid merupakan golongan racun saraf serangga dengan berbagai macam kerja pada susunan saraf pusat. Piretroid pada umumnya memiliki spektrum pengendalian yang luas dan efektif terhadap banyak spesies serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Thysanoptera, dan Hemiptera (Djojosumarto 2008).

Kepadatan populasi Xyleborus sp., Coptotermes sp., Tetranychus sp., Atractomorpha sp., dan Valanga sp. pada bibit durian menunjukkan nilai yang rendah. Gejala serangan yang ditimbulkan juga rendah. Populasi yang rendah diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yaitu suhu, kelembaban, cuaca, tanah, dan keberadaan tanaman di sekitar pembibitan durian. Cuaca yang berfluktuasi, kondisi tanah yang bertekstur liat, dan perawatan terhadap bibit oleh petani mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut. Rata-rata curah hujan harian di kecamatan Kalibawang dari bulan Februari sampai Maret adalah 14.77 milimeter (BMKG 2015). Rata-rata suhu di lokasi pembibitan adalah 27-300C.

Menurut Wylie dan Speight (2012), keberadaan serangga di alam dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi yaitu ketinggian, suhu, panjang hari, cahaya, curah hujan, kelembaban, angin, dan perubahan iklim. Faktor biotik yang mempengaruhi keberadaan serangga di alam yaitu populasi, kompetisi, dan musuh alami.

Menurut Sukartana (2013), Xyleborus sp. termasuk kumbang ambrosia. Keberadaan Xyleborus sp. tinggi apabila terdapat sumber makanan yang banyak.

14

cendawan. Xyleborus sp. masuk ke batang membentuk lubang gerekan berwarna gelap. Lubang gerekan berwarna gelap disebabkan karena Xyleborus sp. membuat lubang pada bekas pertumbuhan cendawan. Lubang gerek tersebut merupakan tempat bagi cendawan yang akan menjadi sumber makanan. Lubang gerek juga berfungsi sebagai pelindung terhadap pengganggu dan predator.

Menurut Prasetiyo dan Yusuf (2005), penyebaran rayap sangat berhubungan dengan faktor lingkungan. Menurut Subekti (2010), faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi rayap yaitu curah hujan, suhu, kelembapan, serta ketersediaan makanan. Coptotermes sp. mempunyai preferensi yang tinggi terhadap tanah liat dan mengandung bahan organik yang tinggi. Tanah di pembibitan yang sedikit kering akibat curah hujan yang fluktuatif merupakan salah satu faktor yang menyebabkan populasi rayap rendah.

Menurut Peairs dan Davidson (1961), perkembangbiakan populasi

Tetranychus sp. pada musim hujan akan terhambat karena pengaruh langsung curah hujan. Curah hujan dengan kondisi suhu berkisar 27-30 oC menyebabkan populasi tungau rendah. Suhu tinggi dengan kelembapan rendah menyebabkan proses reproduksi dan kelangsungan hidup tungau tinggi.

Menurut Borror dan White (1970), keberadaan Valanga sp. dan

Atractomorpha sp. dipengaruhi oleh cuaca, Valanga sp. dan Atractomorpha sp. hidup di daerah panas. Populasi belalang yang rendah disebabkan kondisi curah hujan yang fluktuatif yaitu antara 2-86 milimeter per hari.

Penyakit Bibit Durian

Penyakit yang ditemukan pada bagian daun bibit durian Menoreh Kuning adalah bercak daun, hawar, antraknosa, alga, dan embun hitam. Penyakit yang ditemukan pada bagian batang dan pucuk adalah mati pucuk dan layu. Bercak daun, antraknosa dan alga merupakan penyakit yang muncul pada setiap umur tanaman dengan tingkat kejadian dan keparahan penyakit tertinggi (Tabel 2 dan 3).

Penyakit pada durian disebabkan oleh patogen yang berbeda-beda. Bercak daun pada durian disebabkan oleh cendawan Corynespora sp. Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp. Penyakit alga desebabkan oleh Cephaleuros

sp. Hawar daun disebabkan oleh Rhizoctonia sp. Embun hitam disebabkan oleh

Meliola sp. Mati pucuk dan layu disebabkan oleh Phytophthora sp..

Corynespora sp.. Gejala yang ditimbulkan Corynespora sp. adalah pada permukaan daun terdapat bercak kecil berwarna cokelat (Gambar 9a). Bercak kemudian melebar dengan bagian tengah bercak berwarna orange. Bercak yang melebar diikuti dengan halo berwarna kuning. Bercak pada permukaan daun menyebabkan proses fotosintesis daun terganggu.

Colletotrichum sp.. Gejala yang ditimbulkan oleh Colletotrichum sp. yaitu terdapat bercak-bercak kecil berwarna cokelat (Gambar 9b). Bercak-bercak tersebut kemudian melebar dan berubah warna menjadi cokelat muda dengan pinggiran berwarna cokelat. Bercak tersebut membentuk lingkaran konsentris, selanjutnya bercak berubah menjadi warna putih dan mengering.

Cephaleuros sp.. Gejala yang ditimbulkan oleh cendawan Cephaleuros sp. yaitu tedapat bercak kecil seperti karat pada permukaan daun (Gambar 9c). Bercak tersebut berwarna orange. Bercak berkembang dan berubah warna

15 menjadi hijau. Perkembangan selanjutnya bercak akan berubah warna menjadi putih, kering dan daun berlubang.

Meliola sp.. Gejala Meliola sp. yaitu terdapat embun berwarna hitam pada permukaan daun (Gambar 11b). Embun hitam tersebut berkumpul dalam beberapa kelompok. Embun hitam memiliki bulu, sehingga permukaan daun menjadi kasar.

Rhizoctonia sp.. Gejala yang ditimbulkan oleh Rhizoctonia sp. adalah terdapat bercak kebasahan pada permukaan daun (Gambar 11a). Bercak melebar menyebabkan sebagian daun berwarna hijau kecokelatan, kemudian warna bercak berubah menjadi cokelat.

Phytophthora sp.. Gejala pada mati pucuk oleh Phytophthora sp. yaitu bagian pucuk tanaman berwarna cokelat dan lunak (Gambar 10a). Daun-daun menjadi cokelat dan akhirnya rontok. Akar tanaman berwarna hitam seperti busuk (Gambar 10b). Bagian batang bawah dekat akar berwarna cokelat seperti busuk.

Phytophthora sp.. Gejala layu oleh Phytophthora sp. yaitu tanaman yang sehat tiba-tiba layu (Gambar 10d). Batang berwarna cokelat seperti busuk (Gambar 10e). Daun-daun berubah menjadi cokelat, selanjutnya daun-daun gugur dan tanaman mati.

Gambar 9 Gejala dan mikroskopis (perbesaran 40x10) Corynespora sp., Colletotrichum sp., dan Cephaleuro sp.: (a) bercak daun, (b) antraknosa, (c) alga, (d) konidia Corynespora sp., (e) aservulus

Colletotrichum sp., (f) thalus dan sporangium Cephaleuros sp..

Berdasarkan gejala serangan yang ditimbulkan, penyakit mati pucuk dan layu merupakan penyakit penting pada bibit durian. Gejala serangan oleh

Phytophthora sp. menyebabkan kerugian ekonomi tinggi. Bibit yang mati menyebabkan produksi bibit menjadi berkurang. Produksi bibit yang berkurang mengurangi pasokan bibit di pasaran. Menurut Drenth dan Guest (2004), kerugian akibat serangan Phytophthora sp. pada tanaman durian di ASEAN diperkirakan mencapai 20-25% dengan mencapai 45 trilyun rupiah. Patogen tersebut dilaporkan telah merusak 30% durian di Penang, Malaysia, dan 54% menyerang koleksi durian di Australia.

a b c

16

Tabel 2 Kejadian penyakit (%) berdasarkan umur tanaman

Penyakit Umur (Minggu)

3 12 24 48 96 6 (DR) 96 (DR)

Bercak 15.00 ± 3.16c 25.00 ± 2.74bc 28.00 ± 5.15bc 14.00 ± 5.75c 17.00 ± 4.06c 50.00 ± 5.48a 37.00 ± 8.75ab Hawar 5.00 ± 0.00ab 2.00 ± 1.22b 7.00 ± 2.00a 2.00 ± 1.22b 2.00 ± 1.22b 2.00 ± 1.22b 2.00 ± 1.22b Antraknosa 26.00 ± 4.85a 2.00 ± 1.22d 21.00 ± 7.48ab 9.00 ± 2.92bcd 17.00 ± 4.64abc 4.00 ± 1.87cd 5.00 ± 5.04cd Alga 7.00 ± 1.22cd 3.00 ± 2.00d 15.00 ± 3.16bcd 9.00 ± 1.87cd 24.00 ± 8.72abc 42.00 ± 7.52a 33.00 ± 10.2ab Embun hitam 4.00 ± 1.87bc 1.00 ± 1.00bc 0.00 ± 0.00c 5.00 ± 2.24bc 7.00 ± 1.22b 4.00 ± 2.92bc 13.00 ± 3.00a Mati pucuk dan Layu 2.00 ± 1.22ab 3.00 ± 2.00a 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b Keterangan: Angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan Tabel 3 Keparahan penyakit (%) berdasarkan umur tanaman

Penyakit Umur (Minggu)

3 12 24 48 96 6 (DR) 96 (DR)

Bercak 3.75 ± 0.79c 6.75 ± 0.64bc 7.25 ± 1.39bc 3.50 ± 1.39c 4.75 ± 1.45c 13.00 ± 1.16a 11.50 ± 3.07ab Hawar 1.75 ± 0.31ab 0.50 ± 0.31c 2.25 ± 0.47a 0.50 ± 0.31c 0.75 ± 0.50bc 0.50 ± 0.31c 0.50 ± 0.31c Antraknosa 10.00 ± 1.94a 1.25 ± 0.97c 6.25 ± 1.58ab 3.00 ± 1.16bc 7.25 ± 2.03ab 1.25 ± 0.53c 1.25 ± 1.25c Alga 1.75 ± 0.31bc 0.75 ± 0.5c 3.75 ± 0.79bc 2.25 ± 0.47bc 6.50 ± 2.28ab 10.75 ± 2.08a 11.5 ± 3.12a Embun hitam 1.50 ± 0.73bcd 0.25 ± 0.25d 0.00 ± 0.00d 2.75 ± 1.39abc 3.50 ± 0.47ab 1.00 ± 0.73cd 4.00 ± 0.61a Mati pucuk dan Layu 0.75 ± 0.5ab 1.00 ± 0.61a 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b 0.00 ± 0.00b Keterangan: Angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan

17 Berdasarkan data yang didapatkan (Tabel 2 dan 3), penyakit bercak daun, antraknosa dan alga merupakan penyakit penting pada bibit durian. Bercak daun, antraknosa, dan alga mempunyai nilai kejadian dan keparahan penyakit tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bercak daun, antraknosa, dan alga merupakan penyakit penting setelah mati pucuk dan layu.

Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun tertinggi terjadi pada umur tanaman 6 minggu double rootstock. Serangan Corynespora sp. yang tinggi didukung oleh curah hujan yang berubah-ubah di lokasi pembibitan. Menurut Semangun (1999), Corynespora sp. menginfeksi tanaman pada semua tingkat umur tanaman. Menurut Situmorang et al (2007), kondisi lingkungan abiotik sangat mempengaruhi perkembangan cendawan Corynespora sp. Kondisi curah hujan yang tinggi kurang sesuai bagi perkembangan Corynespora sp.. Semakin tinggi curah hujan, semakin rendah keparahan penyakitnya.

Kejadian dan keparahan penyakit antraknosa mempunyai nilai tertinggi pada umur 3 minggu. Kondisi tersebut diduga cendawan Colletotrichum sp. lebih menyukai daun yang muda dan terdapat pengaruh dari gulma disekitar pembibitan durian. Pembibitan durian umur 3 minggu berada di lokasi dimana gulma tumbuh lebat. Pemangkasan terhadap gulma juga tidak dilakukan. Selain itu, suhu di lokasi pembibitan berpengaruh terhadap perkembangan penyakit antraknosa. Suhu di lokasi pembibitan berkisar 27-30oC. Menurut Lukito et al. (2010), penyakit antraknosa sedikit ditemukan pada musim kemarau, di lahan yang mempunyai drainase baik, dan gulmanya terkendali dengan baik. Perkembangan antraknosa paling baik terjadi pada suhu 30oC (Semangun 2007). Colletotrichum sp. umumnya menyerang daun muda.

Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun tertinggi terjadi pada umur 96 minggu double rootstock. Kondisi tersebut diduga Cephaleuros sp. lebih menyukai tanaman yang lebih tua. Menurut Suwandi (2007), cendawan

Cephaleuros sp. menimbulkan infeksi lebih parah pada tanaman tua dibandingkan tanaman muda. Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun menunjukkan suatu epidemi. Epidemi Cephaleuros sp. didukung oleh kesehatan tanaman rendah. Kesehatan tanaman rendah disebabkan oleh rendahnya kesuburan tanah, kekurangan air, pemanenan yang berlebihan, dan sanitasi kebun yang buruk.

Keberadaan Phytophthora sp. pada kebun bibit durian diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan. Kondisi tanah yang bertekstur liat dan lembap serta penyiraman terhadap bibit tanaman secara terus-menerus diduga merupakan penyebab Phytophthora sp. muncul di pembibitan durian. Menurut Semangun (2007), gejala yang ditimbulkan Phytophthora sp. akan meluas pada curah hujan yang tinggi. Selain curah hujan, keberadaan Phytophthora sp. juga dipengaruhi oleh suhu. Kondisi suhu tinggi dapat menyebabkan beberapa infeksi dari satu sporangium, akan tetapi Zoospora dapat tersebar hanya pada jarak pendek. Hal tersebut dikarenakan Phytophtora sp. rentan terhadap kekeringan. Menurut Drenth dan Guest (2004), Phytophthora sp. mempunyai kemampuan bertahan hidup di luar atau jaringan tanaman sebagai Oospora atau Klamidospora untuk waktu yang lama. Sporangia dapat tersebar melalui udara, air hujan, run-off dan air irigasi. Phytophthora sp. merupakan cendawan dari kingdom Stramenopiles yang mempunyai jalur biokimia berbeda dengan cendawan lain, sehingga fungisida tidak sangat efektif terhadap Phytophthora sp..

18

Gambar 10 Gejala dan mikroskopis (perbesaran 40x10) Phythophthora sp.: (a) bagian pucuk bibit tanaman mati, (b) akar busuk, (c) sporangia (d) tanaman layu dengan daun cokelat, (e) akar busuk, (f) sporangia dan sporangiofor

Tingkat kejadian dan keparahan penyakit hawar daun dan embun hitam menunjukkan nilai yang rendah. Kondisi tersebut diduga dipengaruhi oleh curah hujan yang fluktuatif dan kondisi tanah di lokasi pembibitan. Tanah di pembibitan diolah dengan baik.

Menurut Lim dan Sangchote (2003), askospora dan miselium Meliola sp. disebarkan oleh angin. Kondisi yang lembap menyebabkan proliferasi Meliola sp. meningkat. Menurut Sumartini (2011), Rhyzoctonia sp. banyak ditemukan pada musim hujan, terutama pada tanah yang lembap. Rhyzoctonia sp. dapat membentuk struktur dorman berupa sklerotia pada permukaan tanah dan pangkal batang. Sklerotia mempunyai kulit tebal dan keras sehingga tahan terhadap lingkungan kekeringan dan suhu tinggi. Masa dorman akan berakhir jika kondisi lingkungan cocok untuk berkembang. Menurut Ownley et al (2003),

Dokumen terkait