• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembukuan dan Pencatatan

Dalam dokumen Bahan Ajar Pajak Penghasilan (Halaman 92-103)

BAB 5 CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN

B. Pembukuan dan Pencatatan

Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan

1. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan

penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang KUP, yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

a. Wajib Pajak Badan.

Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap (BUT) diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto dalam 1 tahun lebih dari Rp4.800.000.000,0087wajib menyelenggarakan pembukuan.

2. Yang Wajib Melakukan Pencatatan

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.

Pasal 28 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah:

a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00.

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek Pajak Penghasilan, penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

3. Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Pasal 14 Undang-undang Pajak Penghasilan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak yang Dapat Menghitung Penghasilan Netto dengan Menggunakan Norma Penghitungan, mengatur antara lain:

a. Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan netto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:

1) Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap88;

2) Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

b. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

c. Wajib Pajak yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto wajib menyelenggarakan pencatatan89 sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

d. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:

1) Tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;

2) Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaansehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan netto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Contoh pemakaian Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Brian Prasetya kawin dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon.

Peredaran Usaha – IndustriRotan (setahun) di Cirebon Rp 40.000.000,00 Penerimaan Bruto – Dokter(setahun) di Jakarta Rp 72.000.000,00 Penghasilan Netto dihitung sebagai berikut:

a. Dari industri rotan: 12,5% x Rp 40.000.000,00

Rp 5.000.000,00 b. Sebagai dokter :

45% x Rp 72.000.000,00

Rp 32.400.000,00

Jumlah Penghasilan Netto Rp 37.400.000,00

PTKP (K/3) Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 16.280.000,00

PPh yang terutang :

5% x Rp 16.280.000,00 Rp814.000,00

Catatan:

a. Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode 33100 b. Angka 45% sebagai dokter, lihat kode 93213

c. Istri tidak punya penghasilan

4. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan

a. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;

b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;

c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas.

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:

1) Stelsel pengakuan penghasilan. a) Stelsel Akrual

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estate.

b) Stelsel Kas

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.

Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya

apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:

• Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeilian dan persediaan.

• Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

• Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.

2) Tahun buku.

Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender, kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan

menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 bulan pertama atau lebih.

Contoh:

a) Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.

b) Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.

3) Metode penilaian persediaan. 4) Metode penyusutan dan amortisasi.

d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

Contoh:

Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus (straight line method). Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun (declining balance method), Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang

diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.

Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Pengaturan ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

f. Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perUndang-undang perpajakan menentukan lain.

g. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak badan.

Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan

mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

5. Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, mengatur antara lain:

a. Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, meliputi:

1) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-undangan Penanaman Modal Asing;

2) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;

3) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan PerUndang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;

4) Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait;

5) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;

6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan pasar modal;

7) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.

b. Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai berikut:

1) Pada awal tahun buku:

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs:

a) untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

b) Untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut.

c) untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

d) apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

e) untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

f) untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;

g) dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), huruf c), huruf d), dan huruf e) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

2) Dalam tahun berjalan:

a) Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan;

b) Untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai berikut :

• Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut;

• Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.

c. Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran

berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.

d. Dalam hal terdapat bukti pembayaran atau pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah yang akan dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran atau

pemotongan/pemungutan pajak tersebut.

e. Sisa kerugian fiskal dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan ke Tahun Pajak dimulainya pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada akhir tahun buku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi.

Dalam dokumen Bahan Ajar Pajak Penghasilan (Halaman 92-103)