• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945 1945

Pada masa Republik pertama (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949) yang landasannya ialah UUD 1945, soal pengisian jabatan Presiden diatur dalam pasal 6

ayat (2), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat dengan suara yang terbanyak”.23

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui tiga hal, yakni:24 1. Jabatan Presiden diisi dengan cara pemilihan.

2. Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung. Rakyat memilih terlebih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk di dalam suatu badan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian selnjutnya badan tersebut yang melakukan pemilihan Presiden. majelis tersebut bukan merupakan badan ad hoc melainkan badan tetap yang selain berwenang memilih Presiden (dan Wakil Presiden), juga mempunyai wewenang lain, yaitu menetapkan undang-undang dasar, menetapkan garis besar haluan negara dan mengubah undang-undang dasar. 3. Cara mengambil keputusan digunakan asas suara terbanyak, dengan kata lain

melalui pemungutan suara. Hal tersebut menunjukan bahwa pembuat UUD 1945 mengantisipasi lebih dari satu orang calon Presiden. selanjutnya yang terpilih ialah

23 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 45.

calon yang mendapatkan suara terbanyak, maksudnya adalah suara terbanyak mutlak.

Namun teori di atas dengan praktiknya berbeda. Pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 1945, Soekarno dipilih sebagai Presiden secara aklamasi.25 Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat satu orang calon atau calon tunggal untuk masing-masing jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Maka dengan kata lain, PPKI di dalam rapatnya pada saat itu tidak mengadakan pemilihan melainkan menyetujui dengan suara bulat pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tanpa melalui pemungutan suara sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan pada setiap proses pemilihan/pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.26

Pada masa Republik kedua (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) yang berdasarkan konstitusi RIS perihal pemilihan Presiden diatur di dalam Pasal 69 ayat (2), yakni:

“Beliau (Presiden, pen.) dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh

pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai

kata sepakat.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa pada masa ini pemilihan dilaksanakan dengan sistem pemilihan yang tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.pemilihan dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri

25 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 26

Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara), cet. I, (Jakarta: Nadhilah Ceria Indonesia, 1995), h. 163.

dari orang-orang yang mendapat mandate dari pemerintah daerah-daerah bagian. Badan ini bersifat ad hoc yang berarti tugasnya ialah khusus untuk memilih Presiden. Setelah tugas itu selesai, maka badan itu pun bubar. Selanjutnya sebagai catatan bahwa pada Pemilihan Presiden yang kedua ini yakni pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno juga terpilih secara aklamasi, dengan kata lain, terulang kembali preseden calon tunggal untuk kedua kalinya.27

Pada masa Republik ketiga (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yang berlandaskan UUD 1950, Ir. Soekarno tetap memangku jabatan Presiden berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 141 ayat (3) UUD 1950.28

Soal pengaturan pemilihan Presiden (baru) didelegasikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat Undang-Undang biasa, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 45 ayat (3), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih

menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Namun hingga berakhirnya masa republik ketiga, undang-undang yang dimaksud tersebut tidak terbentuk. Demikian pula konstituante hasil pemilihan umum 1955 tidak berhasil membentuk undang-undang dasar baru yang diharapkan dapat mengatur perihal pemilihan Presiden. badan tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno sebelum tugasnya selesai.29

27 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46.

28Ibid , h. 47. 29Ibid.

Pada masa Republik keempat (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) menurut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yang berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun Pasal tersebut belum bisa diterapkan, dikarenakan MPR hasil pemilu belum terbentuk. Hal tersebut merupakan berkat yang tersembunyi (blessing in disguise); jikalau pemilu dilaksanakan pada masa Orde Lama, maka kemungkinan besar MPR akan didominasi oleh PKI, karena Masyumi dan PSI telah dibubarkan dan PNI sudah retak.30

Situasi politik berubah setelah perebutan kekuasaan (kudeta) yang dilakukan oleh PKI (30 September 1963) mengalami kegagalan. Peristiwa tersebut merupakan

the beginning of the end bagi Presiden Soekarno yang tidak mengambil tindakan tegas terhadap PKI.31

Untuk menyelesaikan situasi konflik antara kekuatan Orde Lama dan Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang para anggotanya telah diganti oleh unsur-unsur Orde Baru, mengadakan sidang umum ke-IV dari tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966. Sidang tersebut menghasilkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan atau penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan pejabat Presiden. Pasal 3 Ketetapan MPRS yakni: “Dalam hal terjadi

yang disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil

pemilihan umum.” Maka dengan demikian ketetapan MPRS No. 111/MPRS/1963

30Ibid , h. 48. 31Ibid.

tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, dicabut dengan ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS/1966.32

MPRS yang pembentukannya menyalahi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 ternyata menjadi boomerang bagi Presiden Soekarno. Dalam sidang istimewa MPRS pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, lahirlah ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Adapun Pasal 4 Ketetapan MPRS yakni:

“Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1996, dan mengangkat Jendral Soeharto, Pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya

Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”

Maka dengan demikian, berakhir era Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.33

Dalam sidang umum MPRS yang ke-V (terakhir) yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 maret 1968. Dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, kedudukan hukum Jendral Soeharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden (Seutuhnya). Hal tersebut mengabaikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1996 dan Pasal 4 Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 yang mengatur bahwa masa jabatan Pejabat Presiden ialah sampai terbentuknya MPR hasil Pemilihan Umum.34

32Ibid , h. 49. 33Ibid. 34Ibid , h. 50.

Setelah Majelis Permusyawaratan hasil Pemilihan Umum 3 Juli terbentuk, dalam sidang umum MPR 1973 dikeluarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang mengatur tata cara pemilihan Presiden sebagai berikut:

1. Tiap-tiap fraksi, melalui pimpinan masing-masing, menyampaikan secara tertulis calon Presiden (yang telah disetujui oleh calon bersangkutan) kepada pimpinan MPR. Dalam waktu 24 jam sebelum Rapat Paripurna Pemilihan Presiden (Pasal 9 dan Pasal 10). Quorum rapat ialah 2/3 dari jumlah anggota MPR (Pasal 31).

2. Pimpinan MPR mengumumkan nama calon yang telah memenuhi syarat jabatan jabatan kepada rapat (Pasal 11).

3. Jika hanya ada satu orang calon, rapat langsung mengsesahkannya {Pasal 13 ayat (2)}.

4. Jika ada lebih dari satu orang calon, dilakukan voting {Pasal 13 ayat (1)}. Yang terpilih ialah calon yang mendapatkan suara minimal “setengah tambah satu”

(Pasal 14).

5. Jika tidak ada calon yang mendapatkan suara terbanyak mutlak, yaitu minimal

“setengah tambah satu”, maka diadakan pemungutan suara tahap kedua yang

dilakukan terhadap dua orang calon yang mendapat suara relative lebih banyak dari calon-calon lainnya (Pasal 15), maka calon ketiga dan seterusnya gugur. Selanjutnya siapa diantara kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak maka ialah yang terpilih (Pasal 16). Jika kedua calon tersebut mendapatkan suara sama banyak, maka pada tahap ketiga dilakukan pemungutan suara ulang (Pasal 17). Namun jika hasilnya tetap sama, maka pada tahap keempat dilakukan pemungutan

suara berdasarkan kehadiran wakil-wakil fraksi yang membawa jumlah suara dari fraksi masing-masing secara tertulis (Pasal 18). Selanjutnya, jikalau masih gagal juga, artinya tiap calon tetap mendapatkan suara sama banyak, maka fraksi-fraksi mengusulkan calon lain (Pasal 19).35

Namun dalam praktiknya belum pernah ada pemungutan suara. Pemilihan Presiden yang pertama kali sejak terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum (atau yang ketiga kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia) dilangsungkan pada 23 Maret 1973. Karena terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto, maka rapat langsung mengesahkannya sebagai Presiden, sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2).36

Pada pemilihan-pemilihan Presiden berikutnya (1978, 1983, 1988, dan 1993) juga hanya terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto. Selanjutnya, karena pada pemilihan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 16 Desember 1949 juga terdapat calon tunggal, yaitu Ir. Soekarno, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia telah timbul “tradisi calon tunggal” dalam hal

pemilihan Presiden.37

Menurut Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, pada masa ini (masa Republik keempat) meskipun pemilihan Presiden dilaksanakan secara tidak langsung, namun pengisian jabatan Presiden masuk dalam sistem (stelsel) pemilihan (election) bukan

35Ibid, h. 50 – 51. 36Ibid

, h. 52. 37Ibid.

pengangkatan (appointment). Karena itu, merupakan suatu anomali38, apabila terdapat ketetapan MPR mengenai pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden). MPR tidak mengangkat, melainkan memilih Presiden (dan Wakil Presiden).39

Apabila Presiden tetap dipilih MPR, tidak boleh ada ketetapan tentang pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden), karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih bukan diangkat. Untuk menetapkan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih, disusun suatu berita acara pemilihan yang berisi penyelenggaraan pemilihan dan penetapan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih.40

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan menjelaskan pula bahwa terdapat 3 hal yang menunjukkan pemilihan Presiden oleh MPR kurang demokratis, yakni:

1. MPR dikuasai oleh suatu kelompok kekuatan politik (Golkar yang selalu didukung ABRI), yang sangat dominan (sistem partai dominan). Tidak ada kekuatan politik lain yang berimbang untuk memungkinkan mekanisme demokrasi berjalan sebagaimana mestinya.

2. Praktik calon tunggal yang “dipaksakan”, sehingga secara riil tidak ada pemilihan

Presiden. MPR sekedar mengukuhkan calon tunggal yang tidak mungkin ditolak.

38

Anomali adalah penyimpangan dari normal; kelainan; atau ketidaknormalan. Lihat Ivenie Dewintari S dan Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, cet. I, (Jakarta: Aprindo, 2003),

h. 29. 39

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan

Presiden Secara Langsung, h. 39-40. 40Ibid,

3. Mekanisme kerja MPR (diatur dalam Tata Tertib) tidak memungkinkan peranan individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh atau atas nama fraksi.41