• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS

B. Komodifikasi dan Reproduksi Pakaian Bekas

B.5. Pemutakhiran Mode

Proses komodifikasi selanjutnya adalah komodifikasi mode lewat proses pemutakhiran mode. Dalam hal ini pelbagai bentuk dan keragaman pakaian bekas yang diperjualbelikan di pelbagai tempat secara tidak langsung menghadirkan usulan atau penawaran tentang mode kepada masyarakat. Pelbagai ragam mode sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas itu oleh para pedagang dihadirkan kembali ke tengah-tengah konsumsi masyarakat. Pelbagai jenis mode dalam pakaian bekas yang secara umum sudah out of date dibandingkan dengan mode dalam pakaian pakaian baru dihadirkan kembali sebagai mode baru. Perdagangan pakaian bekas itu oleh para pedagangnya dipakai sebagai media untuk melakukan

refashioning of fashion atau pemutakhiran mode. Pelbagai jenis mode yang ditawarkan dalam perdagangan pakaian bekas kemudian menjadi semacam sumber mode tersendiri bagi masyarakat pada umumnya. Mode sebagaimana dihadirkan oleh para pedagang menjadi alernatif mode dalam berpakaian.

Dalam dunia mode pada umumnya istilah refashioning of fashion juga dikenal di sana. Istilah ini menjadi bagian dari fenomena siklus mode; perputaran mode pakaian dari masa ke masa. Maksudnya ada satu kurun di mana satu mode tertentu

106

mengalami perulangan; tepatnya dihadirkan ulang oleh para desainernya kepada publik. Sebagai contoh, di Inggris dan di pelbagai tempat di Eropa saat ini mode “Sixties” atau mode 60-an kembali menjadi mode, terutama di kalangan muda. Akan tetapi pemutakhiran mode antara keduanya sama sekali berlainan. Dalam dunia mode saat ini pemutakhiran mode mengacu pada proses replikasi mode sebagaimana dikenal dengan mode Vintage atau Retrogade. Dalam pakaian bekas mode yang dihadirkan ke tengah masyarakat tidak berdiri sendiri, tetapi dilakukan bersama- sama dengan pakaiannya.

Melalui pemutakhiran mode ini kembali kita melihat adanya peningkatan nilai atau status mode pakaian bekas dalam masyarakat sekarang ini. Dalam proses pemutakhiran ini unsur ke-“lama”-an”, ke-“ou-of-date”-an, dan ke-“murah”-an sebagaimana melekat dalam pakaian bekas sebagai bagian dari identitas oleh para pedagang dihadirkan ke tengah masyarakat dalam nuansa yang baru tanpa mengalami perubahan bentuk. Pemutakhiran mode sebagaimana terjadi dengan demikian tidak terbatas pada menarik ingatan atau imajinasi orang jaman sekarang tentang gaya pakaian yang pernah menjadi mode dalam suatu waktu di masa lampau, tetapi sebaliknya menghadirkan masa lampau itu sendiri ke masa kini. Proses komodifikasi mode sebagaimana dilakukan oleh para pedagang lewat pemutakhiran mode pakaian bekas ini pada gilirannya selain memiliki kekuatan dalam melahirkan mode baru dalam masyarakat, juga memiliki kekuatan besar dalam melahirkan model pertukaran khusus atau tersendiri yang sama sekali berbeda dari model pertukaran modern sebagaimana berkembang dalam msayarakat dewasa ini.

107

Pemutakhiran mode itu sendiri dilakukan oleh para pedagang dalam pelbagai cara. Cara yang paling lazim dilakukan adalah dengan membuat pengubahan atau modifikasi terhadap bentuk, ukuran, dan model pakaian bekas yang ada. Pemutakhiran mode juga berkaitan dengan sejumlah kecacatan yang diidap oleh pakaian bekas yang mereka perdagangkan. Dengan kata lain pemutakhiran juga dipergunakan oleh para pedagang untuk menyembunyikan kecacatan yang dipandang cukup kentara dan diperhitungkan akan memengaruhi animo pembeli atau memengaruhi harga jual pakaian. Pemutakhiran mode ada kalanya tidak melulu datang dari inisiatif para pedagang pakaian bekas itu sendiri, melainkan juga dari para konsumen atau pembeli. Persis di sini para pedagang itu kemudian banyak mencatat atau memerhatikan keinginan para konsumen atau pedagang. Para pedagang kemudian banyak memerhatikan bentuk, ukuran, dan model pakaian yang sejauh ini banyak diminati konsumen atau sedang menjadi trend.

C. Serba-serbi Pakaian Bekas

Pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan di sejumlah gerai dan tersebar di pelbagai penjuru di Yogyakarta memiliki sejumlah keragaman. Keragaman yang dimaksudkan di sini mengacu pada unsur-unsur yang meliputi: mode (dalam arti desain dan trends), model (dalam arti jenis, potongan atau style), corak dan motif bahan, jenis dan karakter bahan pakaian, warna, merk (brands), ukuran (size), kekhususan pengguna (dalam arti gender) dan kekhususan penggunaan

108

(occasionality).28 Di sisi lain keragaman itu sendiri juga bersifat labil. Dalam hal ini mengacu pada fakta yang ada di lapangan bahwa keragaman pakaian bekas sepenuhnya ditentukan pasar lewat para grosir dan distributor. Dengan demikian sejauh ini tingkat keragaman pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan oleh para pedagang sepenuhnya berada di luar kendali para pedagang yang bersangkutan. Karenanya, tidak sedikit pakaian bekas dengan mode, jenis, merk, dan model tertentu, tersedia dalam jumlah terbatas atau bahkan hanya sebanyak satu buah saja (out stock). Akibatnya, pakaian bekas yang ada kebanyakan akan mengalami kelangkaan atau bahkan habis, justru ketika banyak diminati oleh konsumen atau pembeli. Sebuah kondisi yang sudah barang tentu sangat bertolak belakang dengan model perdagangan pakaian non-bekas pada umumnya.

Melengkapi uraian sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, paragraf-paragraf berikut akan mengemukakan unsur-unsur keragaman yang melekat di dalam pakaian bekas. Pelbagai unsur keragaman yang ada merupakan representasi dari properties atau identitas yang secara inherent melekat dalam pakaian bekas. Salah satu bagian yang cukup penting dan memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi pertimbangan dan pembuatan keputusan para pembeli untuk mengonsumsi pakaian bekas. Oleh karena data atau informasi berkenaan dengan unsur-unsur keragaman pakaian bekas yang bisa digali dan dikumpulkan dari para pedagang sangat minim, saya memutuskan untuk melakukan sebuah terobosan. Terobosan yang dimaksudkan adalah dengan melakukan penelusuran secara langsung terhadap dua bal pakaian bekas yang terdiri dari 500 potong pakaian bekas

28 Tentang peristilahan dalam dunia busana, lihat Arifah A. Riyanto (2003), Modul Dasar Busana. Bandung:Yapemda, hlm. 12.

109

sebagaimana diperjualbelikan di dua gerai. Dua gerai yang dimaksudkan adalah gerai “XX” (tanpa nama) sebagaimana dijalankan oleh Dedi Suryadi dan isterinya (Suryani) yang masing-masing berlokasi di Senuko, Jl. Godean KM 9, dan di Ngijon, Jl. Godean KM 11, Godean.

C.1. Mode

Mengikuti peristilahan sebagaimana berkembang di dalam dunia fesyen pada umumnya, mode pakaian bekas dibedakan ke dalam dua kelompok: first line dan

secondary line.29 First line -- disebut juga dengan high fashion, haute couture

(Perancis), alta moda (Italia) -- adalah istilah yang lazim dipakai untuk menamai pelbagai jenis dan model pakaian yang merupakan kreasi para desainer (designer clothing) kelas dunia dengan sejumlah kekhususan tertentu yang dimilikinya. Eksklusivitas yang dimaksudkan mencakup aspek: orisinalitas desain; popularitas desainer; pengerjaan yang 80-90% dilakukan secara manual dengan ketelitian pada detail; tempat pengerjaan yang hanya terbatas pada fashion house (studio);

penggunaan bahan pakaian bermutu tinggi; serta aktivitas produksi yang hanya dijalankan secara terbatas berdasarkan pada pesanan pelanggan, terutama mereka yang datang dari kalangan high-class seperti aktor dan aktris film, para pejabat, atau pengusaha.30 Selain karena kualitasnya, mode ini juga dikenal karena harganya yang

29 Mode dalam hal ini berarti: (1) desain atau gaya (style) pakaian yang akan selalu berubah sesuai siklus mode (fashion cycle), (2) gaya, cara (trends), dan selera berpakaian yang berlaku dalam masyarakat pada periode tertentu, dan (3) pakaian (fesyen) itu sendiri. Irma Hardisurya, et al, (2011),

Kamus Mode Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 146.

30 Di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mulai banyak rumah mode yang khusus menjual pakaian karya desainer dunia seperti: Fendi (Italia), Marks & Spencer (UK), Sophie Paris (Perancis), Ninna Richi,

110

sangat fantastis (istilah khususnya adalah designer).31 Dari segi penampilan, mode ini umumnya banyak mengembangkan model (style) Avant Garde.32

Secondary line fashion adalah istilah yang lazim dalam dunia fesyen untuk menyebut pelbagai bentuk pakaian jadi atau pakaian siap pakai (ready-to-wear atau

Prèt-à-Porter) yang memenuhi kriteria sebagaimana high fashion. Kriteria yang dimaksudkan meliputi empat hal, yakni: dibuat berdasarkan fashion design tertentu;

merupakan karya desainer; 60% dikerjakan dengan tangan dan selebihnya dikerjakan secara mekanis atau mesin; dan menggunakan bahan pakaian berkualitas tinggi. Kriteria itu menjadi semacam rule atau kanon yang akan menjadi rujukan bagi para desainer dalam menciptakan dan mengembangkan karya-karya mereka. Mode secondary line fashion ini dalam perkembangan selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi tiga jenis, yaknii: high end, high street,33 dan fast fashion.34Dilihat dari

harganya, secondary line fashion ini umumnya relatif lebih murah dibandingkan dengan high fashion. Adapun harga secondary line fashion selanjutnya dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: bridge (sangat mahal), better (mahal), dan moderate

(terjangkau).35 Mode secondary line fashion ini banyak mendasari gaya new look,36 retrospective,37dan hip hop.38

dan Ralph Lauren (USA). Lihat, Liesbeth Sluiter (2009), “Indonesia: Jobs at a Discount” dalam

Clean Shirts: A Global Movement to End Sweatshops, London: Pluto Press, hlm. 57-63.

31 Para pengamat fesyen melihatnya sebagai karya seni sehingga sulit diukur dengan uang. Taryn Benbow-Pfalzgraf, ed. (2002), Contemporary Fashion, New York: St. James Press, hlm ix-x.

32 Model yang menekankan unsur eksperimentasi, inovasi, orisinalitas, dan non-konvensional. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.16.

33 Pakaian siap pakai berkualitas sejajar dengan high fashion. Perbedaannya, mode high end sebagian ada yang dibuat sesuai musim (dingin, gugur, semi, panas) dan dipresentasikan dalam even fashion week (peragaan busana); sementara high street tidak. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 95. 34 Pakaian yang didesain menurut trend terbaru, diproduksi secara cepat dan berbiaya produksi relatif rendah, sehingga memungkinkan konsumen mengikuti gaya mutakhir dengan harga terjangkau. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.78.

111

Pengelompokan mode itu sendiri berkait berkelindan dengan perubahan trend mode sebagaimana terjadi di Perancis. Sejak medio abad XIX dunia fesyen hanya mengenal satu mode, yakni high fashion atau haute couture sebagaimana dikembangkan oleh para fashion designer yang tergabung dalam Chambre Syndicale De La Haute Couture Parisienne. Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi garmen, pada tahun 1970 muncul sebuah gerakan yang bermaksud mengapresiasi keberadaan pakaian jadi atau pakaian siap pakai. Gerakan ini berhasil menarik kelompok pertama untuk bergabung dalam Fédération Française De La Couture, du Prèt-à-Porter Des Couturiers et des Créateurs de Mode. Dampaknya, laju dan warna mode yang berkembang di tengah masyarakat semakin cepat dan beragam. Para desainer pun dengan sendirinya kemudian tidak hanya melulu mengembangkan mode high fashion, tetapi juga mode high street fashion yangdiperbanyak melalui perusahaan pakaian atau retail.39

Meskipun sudah mendapatkan sentuhan mekanis atau proses pabrikasi, dalam dunia fesyen pada umumnya mode first line dan secondary fashion secara tegas dibedakan dari mode pakaian yang dikategorikan sebagai mass production clothing atau market production clothing. Berbeda dari kedua mode lainnya, mass production clothing atau market production clothing adalah istilah yang lazim

36New Look adalah mode pakaian yang didesain dengan mengeksplorasi unsur feminitas. Untuk kali pertama istilah ini diperkenalkan oleh Christian Dior pada tahun 1947. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 153.

37 Retrospective atau retrogade adalah mode pakaian yang dikembangkan berdasarkan pada mode yang populer di masa lalu. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.178.

38Hip-hop adalah gaya pakaian yang merupakan bagian dari budaya pop (culture pop) dan terkenal di kalangan DJ (disk jokies) di MTV (Music Television) era 80-an yang ditandai dengan penggunaan celana komprang plus bretel, T-shirt warna-warni, dan aksesoris serba berat dan mencolok. Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm. 96.

39 Tentang klasifikasi harga dari ketiga mode dan persoalan relativitas harga di pelbagai negara, lihat Rebecca Arnold (2009), Fashion. A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, hlm. 48-49.

112

dipakai dalam dunia fesyen untuk menamai pelbagai jenis dan bentuk pakaian siap pakai atau pakaian jadi (ready-to-wear atau Prèt-à-Porter) yang diproduksi secara massal oleh perusahaan-perusahaan pakaian pada umumnya. Selain bersifat massal,

mass production atau market production clothing juga menggendong sejumlah ciri lainnya. Ciri-ciri yang dimaksudkan adalah: sarat dengan penjiplakan terhadap desain (mode) yang telah ada sebelumnya (tentunya desain yang laku atau banyak diminati konsumen) sebagai dasar kreasinya; penggunaan bahan secara hemat sehingga tidak memungkinkan untuk dimodifikasi (baik ukuran atau bentuknya), berkualitas rendah, dan harga murah (budget).40 Mengenai pembagian mode sebagaimana diuraikan di atas bisa diikuti dalam Tabel 6 berikut.

Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6 di atas, dari 500 potong pakaian bekas yang ada, 16 buah (3%) di antaranya merupakan mode first line; sementara 484 buah sisanya merupakan mode second line yang terdistribusi dalam high end fashion sebanyak 44 buah (9 %), high street fashion sebanyak232 buah (46%), dan

fast fashion sebanyak 208 buah (42%). Ke-16 mode first line yang ada merupakan

40 Irma Hardisurya, et al, (2011), Op. cit., hlm.143.

Kategori Mode Jumlah Persentase

First Line Alta Moda, High

fashion, Haute Couture 16 3 % Second Line High End 44 9 % High Street 232 46 % Fast 208 42 % Total 500 100 % Tabel 6

113

kreasi dari 16 desainer kontemporer dunia yang popularitasnya hingga akhir-akhir ini masih banyak disebut-sebut dalam pemberitaan tentang fesyen atau gaya hidup di sejumlah media massa luar negeri dan tanah air. Ke-16 desainer yang dimaksudkan itu adalah: Max Azria, Michael Koors, Oscar de la Renta, dan Vera Wong (AS); Helmut Lang (Austria); Carlos Miele (Brasil); Henry Lau (China); Han Lau (Hong Kong); Laksmi (India), Laura Ashley (Inggris), Zeena Zaki (Irak), Andre Kim (Korea); Amir Adnan (Pakistan); J. Lindeberg (Swedia); Phillip Lim (Thailand); dan Harmanli Deri (Turki).

Sementara itu nama-nama seperti Alexander McQueen, Calvin Klein, Carolina Herrera, Dona Karan, David Abercrombie, Jerome Dahan, Trafton Cole & Eddie Haan, Max Mara, Perry Ellis, Tommy Hilfiger, Van Heusen (AS); Arthur Galan (Australia); Alice-Louise Shreeve, Hannah Coniam, Dorothy Perkins, Jennifer Adler, Jim Hamilton (Inggris); Max Mara, Giorgio Armani, Guccio Gucci, Salvatore Feragamo (Italia); Dean dan Dan Catenacci (Kanada); Yves Saint Laurent (Perancis); dan Anna Gonzales (Spanyol) adalah sebagian dari sejumlah besar disainer papan atas dunia yang memiliki kontribusi besar bagi kelahiran dan persebaran secondary fashion dan fast fashion ke seluruh belahan dunia dan tetap produktif atau eksis hingga kini. Dari keempat mode yang ada sebagian besar masih

fashionable sampai saat ini.

Bagaimana persoalan mode itu sampai kepada para pedagang pakaian bekas pada umunya? Apakah kesadaran fesyen berjalan sejajar dengan kesadaran berdagang? Untuk menjawab pertanyaan ini lebih dulu perlu melihat bagaimana para pedagang pakaian bekas pada umumnya memahami persoalan mode. Berkenaan dengan mode, sebagian besar pedagang mengaku bahwa pada awalnya

114

mereka sama sekali tidak pernah memerhatikan perkara mode. Orientasi pokok sebagian besar pedagang umumnya lebih terfokus pada bagaimana pakaian yang mereka miliki selekasnya bisa diserap pasar; laku. Sebab, hanya dengan begitu mereka akan mendapatkan uang; di mana sebagian untuk meneruskan usaha dan sebagian lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian mereka. Membiarkan pakaian terbengkalai atau berlama-lama di dalam karung bisa menjadi bumerang bagi mereka, sebab pakaian bisa mengalami kerusakan akibat diserang jamur, dimakan kecoa, atau dikerat tikus.

Orientasi pedagang sebagaimana disampaikan di atas salah satunya bisa disimak dari ungkapan Dedi Suryadi berikut ini:

“Setelah dapat tempat usaha, yang saya lakukan mah gimana

menyelamatkan pakaian yang bertumpuk-tumpuk itu. Biar nggak

jamuran atau dimakan kecoa dan tikus karena kelamaan ngendon di karung. [Pakaian] Dikeluarkan, diangin-anginkan, dijemur. Udah gitu

didagangkan. Dapat uang!” 41

Perhatian para pedagang tentang mode baru terasah belakangan lewat pengamatan mereka terhadap perilaku konsumen saat berbelanja di gerai mereka. Dalam kaitan itu, Yanti menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

“Saya tidak pahamsoal mode. Kalau bahan sedikit-sedikit tahu. Hanya, setiap melihat pembeli yang belanja di sini, saya selalu heran. Kenapa mereka milihnya model ini, tidak yang itu. Padahal menurut saya pilihannya biasa saja. Yang seperti itu saya perhatikan dan saya catat. Jadinya, soal mode saya dapat secara bodon (commonsense) saja.” 42

41 Wawancara dengan Dedi, Suryadi pemilik kios “XX” di Ngijon pada 14 Mei 2010. 42 Wawancara dengan Yanti (isteri Dedi), pemilik kios “XX” di Senuko pada 14 Mei 2010.

115

Pengamatan secara bodon (commonsense) ditambah dengan sedikit pengetahuan tentang bahan pakaian sebagaimana dilakukan oleh Yanti selanjutnya selanjutnya banyak menginspirasi para pedagang untuk “membahasakan” persoalan mode sesuai dengan bahasa mereka sendiri. Pembahasaan mengenai mode tersebut tampak dari klasifikasi yang mereka lakukan terhadap pakaian bekas yang mereka miliki atau mereka perdagangkan. Hampir semua pedagang yang ada di pelbagai gerai di Yogyakarta menglasifikasikan pakaian bekas yang mereka miliki ke dalam dua kelompok, yakni: “pakaian berkelas” dan “pakaian tidak berkelas”. Pertanyaannya, bagaimana proses pengklasifikasian itu dilakukan? Apa dasar yang secara material melandasi proses tersebut? Apabila hal itu berkaitan dengan selera konsumen, unsur apa dan mana dari pakaian bekas yang kemudian dipandang mampu membangkitkan selera konsumen? Unsur-unsur apa dan mana dari pakaian bekas yang ikut menentukan proses klasifikasi itu?

Apa yang dipahami sebagai selera konsumen umumnya mengacu pada faktor popularitas dan kualitas pakaian sebagaimana ditandai oleh nama-nama desainer pembuatnya, merk yang sebagian besar berasal dari luar negeri, model atau potongannya yang mutakhir (up to date), dan kondisi fisik pakaian. Selanjutnya “pakaian berkelas” mereka bagi dalam tiga kelas: A, B, dan C. Kelas A meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan brand terkenal, bahan berkualitas, gaya menarik, serta kondisi yang tanpa cacat. Kelas B meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan brand terkenal, bahan berkualitas, gaya menarik, dengan sedikit kecacatan. Kelas C meliputi pelbagai jenis pakaian bekas dengan merk terkenal, bahan dan gaya “biasa”, dengan sedikit kecacatan. Identifikasi semacam ini sekaligus menjadi dasar bagi para pedagang untuk menentukan harga pakaian bekas

116

yang mereka jual. Satu hal yang di antara masing-masing pedagang tidak memiliki kesamaan persepsi. Ada sebagian pedagang yang lebih menekankan pada persoalan merk, sementara ada juga di antara mereka yang lebih menekankan pada persoalan kualitas atau kondisi fisik pakaian.43

Dalam perspektif mode apa yang selama ini pedagang kategorikan sebagai “pakaian berkelas” secara umum adalah mengacu pada pengertian mode high fashion dan high street fashion, dan fast fashion sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Sedangkan istilah “pakaian tidak berkelas” atau yang populer di antara mereka dengan sebutan “pakaian aba-abal” paralel dengan pengertian market/mass production clothing. Pakaian kategori kedua ini lebih dicirikan dengan kualitas bahan sedang, merk yang tidak terkenal, model biasa, dan secara fisik mengandung banyak kecacatan. Dari kedua mode itu menurut catatan para pedagang selama ini “pakaian berkelas”-lah yang paling laku atau paling diminati konsumen atau pengguna. Sirkulasi yang terjadi di pelbagai gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta sejauh ini sebagian besar digerakkan oleh keberadaan mode. Sejumlah transaksi yang terjadi dalam perdagangan pakaian bekas sejauh ini lebih banyak ditentukan oleh karena keberadaan “pakaian berkelas” alih-alih mode “pakaian tidak berkelas”.

C.2. Model

Model pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta meliputi terusan (overall) dan potongan (seperates). Menurut bagiannya model

117

Model Jenis Jumlah Persentase

Overall Gaun 30 6 Tops Kaos 95 19 Kemeja 75 15 Blus 18 3,6 Sweater 36 7,2 Blazer 15 3 Jas 21 4,2 Jaket 79 15,8

Shorts Rok (skirts) 31 6,2

Celana 100 20 Total 500 100

Tabel 7

Kategori Model Pakaian Bekas

terusan (overall) dibedakan menjadi dua kelompok: overall dan two-pieces garment. Overall adalah mengacu pada sepotong pakaian yang terdiri dari bagian badan atas (bodice) dan bagian bawah (skirt). Sementara model two-pieces garment mengacu pada perpaduan antar-pakaian, seperti perpaduan antara blazer dengan rok atau jaket dengan gaun. Berdasarkan pada susunan atau komposisinya model seperates

dibedakan lagi menjadi dua, yakni: atasan (tops) dan bawahan (shorts). Jenis pakaian yang termasuk dalam kategori overall adalah gaun (gown, dress); sedangkan jenis pakaian yang termasuk model tops adalah kaos, kemeja (shirt),

sweater, blus (blouse), blazer, dan jaket; dan jenis pakaian yang termasuk model bawahan (short) adalah celana dan rok (skirt).44 Perhitungan tentang jenis, jumlah dan persentase pakaian bekas setiap modelnya selengkapnya bisa diikuti dalam Tabel 7 berikut.

118

Dari Tabel 7 di atas tampak bahwa dari jumlah dan persentase setiap model pakaian yang diidentifikasikan menandai adanya gradasi atau peringkat model dalam pakaian bekas. Model atasan (tops) adalah model yang paling banyak tersedia dalam jumlah besar, yakni sebanyak 339 buah (67,8%). Disusul model bawahan (shorts) sebanyak 131 buah (26,2%) dan model terusan (overall)sebanyak 30 buah (6%) dari total 500 potong secara keseluruhan. Sementara berdasarkan jenis pakaian setiap modelnya, dari total keseluruhan pakaian bekas yang diidentifikasikan peringkat pertama ditempati oleh celana dalam pelbagai jenis dengan jumlah sebanyak 100 buah (20%). Disusul dengan kaos dalam pelbagai jenis sebanyak 95 buah (19%), jaket sebanyak 79 buah (15,8%), kemeja dalam pelbagai jenis sebanyak 75 buah (15%), sweater dalam pelbagai jenis sebanyak 36 buah (7,2%), rok sebanyak 31 (6,2%), gaun sebanyak 30 (6%), jas sebanyak 21 (4,2%), blus sebanyak 18 (3,6%), dan terakhir adalah blazer dengan jumlah sebanyak 15 (3%).

Di samping mengacu pada potongan (design), susunan, dan bentuknya, persoalan model juga berkait berkelindan dengan persoalan gaya (style) dan kesan (look) yang ditampilkan oleh setiap jenis atau model pakaian yang ada. Gaya dan kesan yang muncul ke permukaan sebagaimana layaknya sebuah – meminjam istilah Malcolm Barnard -- “statement”.45 Dalam konteks mode, gaya dan kesan tersebut tidak bisa dipisahkan dari pengembangan aksen dan aplikasi sebagaimana dilakukan oleh para desainer secara terus menerus sehingga akhirnya menjadi bagian dari kekhasan, karakter, atau kekhususan masing-masing pakaian yang mereka buat.46 Paragraf-paragraf berikut akan menguraikan secara lebih terperinci tentang pelbagai

45 Malcolm Barnard (2010), “Fashion Statements: Communication and Culture” dalam Ronn Scapp dan Brian Seitz, (eds.), Fashion Statement. On Style, Appearance And reality, New York: Palgrave Macmillan, hlm. 24-25.