• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut :

1) Diharapkan pemerintah Indonesia meningkatkan pengamanan nya di daerah perbatasan- perbatasan dan di daerah pulau terluar agar dapat lebih mengontrol arus kedatangan pengungsi dan mengawasi pengungsi yang telah sampai ke wilayah Indonesia sehingga pemerintah Indonesia dapat bekerjasama dan berkoordinasi secara intensif dengan lembaga-lembaga internasional yang khusus menangani masalah pengungsi dan pencari

suaka seperti UNHCR dan IOM, kemudian memberikan transparansi atau keterbukaan informasi tentang masalah pengungsi dan pencari suaka, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

2) Diharapkan sebelum negara melakukan pengusiran terhadap seorang pengungsi dengan alasan pengungsi tersebut menjadi ancaman atau menimbulkan bahaya terhadap negara dimana ia mencari tempat perlindungan, maka negara itu harus dapat membuktikan hal tersebut atau pengungsi itu sudah dijatuhi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap bahwa dia melakukan suatu tindak kejahatan yang serius. Hal ini harus diperhatikan karena pengungsi dipandang sebagai individu yang harus dilindungi menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

3) Diharapkan pemerintah Indonesia membuat aturan khusus mengenai batas-batas perilaku pengungsi dan pencari suaka yang ada di wilayahnya agar pengungsi dan pencari suaka tidak bertindak sembarangan. Sehingga negara lain dapat mencontoh Indonesia dalam menangani masalah pengungsi meskipun Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi 1951. Hal ini dapat membantu mengurangi hingga mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pengungsi.

BAB II

PENGATURAN PENGUNGSI DI INDONESIA

A. Pengertian Pengungsi

Pengertian atau istilah ‘pengungsi’ secara umum mengalami dinamikanya sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu “Orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang mengancam”. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa pengungsi terjadi karena adanya bahaya. Misalnya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi juga bisa terjadi karena bencana manusia (man made disaster) seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kebebasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya.43

Terdapat dua pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang Dunia II. Ia memberi pandangan tentang pengungsi sebagai berikut : “The forced movements,.. were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jew and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the air and under the threat or pressure of advance of retreat of armies over immense areas of

43

Europe; the forced removal of populations from coastal or defence areas undrv military dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort”.44

Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada Pasal 1 Konvensi 1951 khususnya pada kalimat ‘applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’.

Menurut pandangan Proudfoot tersebut, pengungsi merupakan suatu kelompok orang- orang yang terpaksa pindah ketempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula dalam bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman. Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.

45

Pada pandangan Pietro Verri pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya penyiksaan. Menilik lebih jauh, batasan terminologi pengungsi, hal tersebut beririsan dengan batasan suaka. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah.46

44 Ibid. Hlm. 36 45 Ibid. 46 Wagiman, Op Cit., Hlm. 99

Terminologi pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa takut yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu

kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada diluar negeri kebangsaannya, dam tidak dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya. Dengan istilah lain, refugee adalah pengungsi yang lari ke negara lain yang sudah jelas diatur statusnya melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

Terdapat dua jenis pengungsi, yaitu pengungsi internal (Internal Displaced Person/IDP) dan pengungsi lintas batas (refugee). Perbedaan keduanya hanya pada wilayah. Pengungsi internal adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi masih dalam satu daerah kekuasaan satu negara. Sedangkan pengungsi lintas batas merupakan mereka yang mengungsi ke negara lain.

Istilah-istilah yang berkaitan dengan pengungsi menurut Achmad Romsan47

1. Migrant Economic (migran ekonomi)

, yaitu:

Ia mendefinisikan istilah tersebut dengan “person who, in pursuit of employment or a better over all standard of living (that is, motivated by economic considerations), leave their country to take up residence elsewhere”.

Economic migrant adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat tinggal dimanapun.

47

2. Refugees Sur Place (pengungsi sur place)

Romsan mendefinisikannya sebagai “A person who was not a refugee when she left her country, but who became a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence”.

Refugee sur place merupakan seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena keadaan di negara asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.

3. Statutory Refugees (pengungsi statuta)

Pengertian pengungsi statuta adalah “Persons who meet the definitions of international instruments concerning refugees prior to the 1951 Convention are usually referred to as “statutory refugees”.

Statutory refugees adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai untuk membedakan antara “pengungsi sebelum Konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut konvensi 1951”.

4. War Refugees (pengungsi perang)

Pengungsi perang adalah “Persons compelled to leave their country of origin as a result of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951 Conventions of the 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other international instrument, i.e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the case of forces

invasion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the populations. In such cases, asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.

War refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya akibat pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang tidak dianggap pengungsi biasa menurut Konvensi 1951 atau Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan menurut instrumen internasional yang lain, yakni Konvensi-Konvensi Jenewa 1949.

5. Mandate Refugee (pengungsi mandat)

Mandat dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang diakui statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh statuta UNHCR. Istilah pengungsi mandat dipergunakan terhadap para pengungsi yang berada di bawah kewenangan atau mandat UNHCR seperti :

a) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR, dimanapun mereka berada, sebelum berlakunya Konvensi 1951 pada 22 April 1964 dan/sebelum berlakunya Protokol 1967 pada 4 Oktober 1967,

b) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR yang berada di luar negara- negara pihak pada Konvensi 1951 (sesudah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4 Oktober 1967).

Pengungsi mandat adalah seseorang yang memenuhi kriteria statuta UNHCR sebagai pengungsi dan oleh karena nya mendapat perlindungan dari PBB, baik yang bersangkutan berada di dalam atau di luar negara peserta Konvensi 1951 atau Protokol 1967.

Pengertian lain dari pengungsi mandat adalah seseorang yang mengklaim dirinya pencari suaka sebagai pengungsi atau bukan, yang diberi status, diberi kartu identitas kepada mereka yang telah dinyatakan sebagai pengungsi, dan dilakukan terhadap mereka seperti pencegahan penahanan, pengusiran, atau pengembalian paksa pengungsi ke tempat wilayah pengungsi yang sedang terjadi persekusi.

6. Statute Refugee (pengungsi statuta)

Pengungsi Konvensi dipergunakan untuk menunjuk pada orang-orang yang berada di dalam wilayah negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4 Oktober 1967), yang statusnya sebagai pengungsi diakui oleh negara-negara pihak Konvensi 1951 dan/atau Protokol 1967 berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh instrumen-instrumen tersebut.

Pengungsi statuta adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen sebelum tahun 1951.

7. Internally Displaced Person/IDP’s (pengungsi dalam negeri)

Istilah Internally Displaced Persons/IDP’s digunakan oleh PBB dan UNHCR pertama kali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena terjadi konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. Istilah ini dipakai sampai pada tahun 1974.

UNHCR mengartikan istilah Displaced Persons/DP’s sebagai orang-orang yang karena konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih di dalam wilayah negara mereka sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan PBB memakai istilah ini untuk merujuk orang-orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang dirasanya aman, sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya, tetapi yang (sudah) berada diluar perbatasan negara asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally Displaced Persons/IDP’s.

Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1975 yang memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang- orang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam “kondisi seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang sebagai “bencana buatan manusia”) yang timbul dalam negara asal mereka.

Istilah internally displaced persons (IDPs) timbul karena adanya bahaya yang mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana buatan manusia (man-made disaster).

8. Stateless Persons (orang-orang tanpa warga negara)

Stateless Persons adalah “persons who either from birth or as result of subsequent changes in their country of origin are without citizenship”.

Jadi orang yang termasuk stateless persons adalah setiap orang baik sejak kelahiran atau akibat perubahan di dalam negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Berarti ada dua penyebab seseorang dapat menjadi tidak bernegara, yaitu sejak lahir atau akibat perubahan dalam negara asalnya. Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”.

Pengertian lain dari stateless persons adalah seseorang yang berada diluar negara kewarganegaraannya atau apabila tidak memiliki kewarganegaraannya, yang disebabkan karena mempunyai atau pernah mempunyai rasa kecemasan yang berdasar atas persekusi karena alasan ras, agama, rumpun bangsa, atau opini politik yang dapat atau tidak dapat, berdasarkan kecemasan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan pemerintah negara kewarganegaraannya.48

Dalam Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, definisi pengungsi secara umum adalah sebagai berikut :

Dengan adanya istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pengungsi maka dapat mengetahui dan dapat membedakan antara pengungsi itu sendiri dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pengungsi, karena terkadang masyarakat awam berpandangan semuanya itu sama pengertiannya.

49

“As a result of events occurring before 1 January and owing to well-founded fear of being persecuted for reason of race, religion, nationality, membership, of particular social group or political opinions, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is

48

49

Convention and protocol relating to the status of refugees, diakses dari diakses pada hari minggu 17 Mei 2015, pukul 11.00 WIB

unwilling to avail himself of the protection of that country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”.

Pasal tersebut memaparkan bahwa “Sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951, dengan rasa takut yang mendalam akan mengalami persekusi karena alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, maupun opini- opini politik yang mereka anut, berada diluar negara asalnya, serta tidak mampu, atau karena rasa takutnya, menolak memanfaatkan perlindungan yang disediakan oleh negara dimana ia sebelumnya berasal akibat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tidak mampu, atau karena rasa takutnya, menolak kembali kenegara tersebut”.

Konvensi 1951, yang rancangannya dibuat sebagai hasil rekomendasi dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang baru saja dibentuk, menjadi petunjuk dalam menyusun standar perlakuan terhadap pengungsi.

Konvensi menyusun standar minimum bagi perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak dasar mereka. Konvensi juga menetapkan status hukum pengungsi, dan mencantumkan ketentuan-ketentuan tentang hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan, mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalanan, mengenai penerapan biaya fiskal, dan mengenai hak mereka untuk memindahkan aset miliknya ke negara lain dimana mereka telah diterima dengan tujuan permukiman kembali.

Konvensi melarang pengusiran dan pemulangan paksa terhadap orang-orang berstatus pengungsi. Pasal 33 Konvensi menetapkan bahwa “tidak satupun negara pihak dapat mengusir atau mengembalikan (memulangkan kembali) pengungsi dengan alasan apapun ke wilayah perbatasan dimana jiwa atau kemerdekaan mereka akan terancam karena pertimbangan ras,

agama, kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pendapat politik tertentu”. Pasal 34 membahas persoalan naturalisasi dan asimilasi bagi pengungsi. Ketentuan-ketentuan lain berkenaan dengan masalah hak atas akses terhadap pengadilan, pendidikan, jaminan sosial, perumahan dan kebebasan untuk bergerak.

Konvensi 1951 ini lebih maju dibandingkan dengan instrumen-instrumen pengungsi lainnya, misalnya:50

• Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini dirumuskan sangat umum

sekali.

• Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur dalam pasal 33.

• Konvensi ini menetapkan standar minimum tentang perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh pengungsi serta kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang pengungsi.

• Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak untuk mendapatkan pekerjaan

dan kesejahteraan lainnya.

• Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Pengenal (KTP), dokumen perjalanan, tentang naturalisasi, serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah administrasi lainnya.

• Konvensi menghendaki agar negara bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya, serta memfasilitasi tugas supervise dalam penerapan konvensi.

Konvensi 1951 hanya dapat bermanfaat bagi orang yang menjadi pengungsi akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Namun tahun-tahun setelah 1951 membuktikan bahwa pergerakan pengungsi tidak hanya merupakan dampak sementara dari Perang Dunia

50 Achmad Romsan, Op Cit., Hlm. 88

Kedua dan keadaan pasca perang. Sepanjang tahun-tahun terakhir 1950-an dan 1960-an muncul kelompok-kelompok pengungsi baru, terutama di Afrika. Para pengungsi ini membutuhkan perlindungan yang tidak dapat diberikan pada mereka karena batas waktu yang ditetapkan oleh Konvensi 1951.

Dengan diberlakukannya Protokol tanggal 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi, maka terlihat perubahan pada pemaknaan pengungsi yang tidak hanya terbatas lagi pada pengungsi yang muncul sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1951, melainkan menjadi pengungsi yang muncul akibat peristiwa yang terjadi sebelum maupun sesudah tanggal 1 Januari 1951.

B. Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi

Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :

1. Pengungsian karena bencana alam (natural disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.

2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (man made disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari pemerintah dimana ia berasal.

Dari dua jenis pengungsi diatas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee Law (hukum pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.

Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari unsur/faktor, yaitu faktor subjektif dan obyektif.

Prinsip Penentuan Status Pengungsi

Faktor subyektif adalah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri (yang meminta status pengungsi), faktor inilah yang menentukan ialah apakah pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi atau penuntutan, maka jika ada alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut Eligibility (kelayakan), ketakutan itu dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.

Faktor objektif adalah keadaan asal pengungsi. Di negara tersebut apakah benar-benar terhadap persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya akibat perbedaan ras. Perbedaan agama, karena suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility.

Seseorang tidak dapat dinyatakan sebagai Eligibility ialah :

1) Orang-orang yang melarikan diri keluar negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

2) Kaum Emigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke negara lain tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

3) Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi.

Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi : “sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada diluar kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dank arena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, sebagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan tersebut, tidak mau kembali kebekas tempat tinggalnya itu”.51

Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut sebagai pengungsi diatur secara yuridis seperti dalam Konvensi 1951 didalam nya juga mengatur tentang ‘The exclusion clauses’ dan ‘The cessasions clauses’. Suatu keadaan dimana seseorang tidak diberikan status sebagai pengungsi yang termasuk dalam kategori ‘The exclusion clauses’ kalau telah memenuhi kriteria Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengungsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka. Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia.

sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan perlindungan, misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi hanya pengakuan yang menyatakan bahwa statusnya adalah pengungsi.

Penetapan seseorang menjadi pengungsi merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap, yakni :

• Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang tersebut adalah refugee.

• Fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi atau bukan.

Selanjutnya, dengan adanya perbedaan dalam menentukan status pengungsi oleh beberapa negara, maka Excom No.8 Tahun 1977 52

1. Petugas-petugas yang menangani proses pemberian status suaka harus mempunyai keterampilan yang memadai, dalam hal ini termasuk pula pemahaman akan prinsip non refoulement dan segera menyerahkan ke pihak yang berwenang atau memiliki otoritas.

mengonklusikan beberapa standar dasar yang perlu ditegakkan agar tercipta prosedur yang adil dan efesien. Standar-standar tersebut yakni :

Dokumen terkait