• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pasca swasembada beras, masalah utama Indonesia yang belum dapat terpecahkan hingga kini adalah meningkatnya kerawanan pasokan beras. Bahkan, swasembada beras yang pernah dicapai, ternyata hanya dapat dipertahankan hingga tahun 1990 (Kasryno et.al. 2001). Selanjutnya, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tahun 1996 jumlah impor beras mencapai 1,5 juta ton, pada tahun 1999 impor beras mencapai puncak tertinggi dengan total impor 4,7 juta ton kemudian terus menurun hingga tahun 2005 mencapai 0,2 juta ton (Sawit dan Lokollo 2007).

Beras yang berasal dari tanaman padi, sebagaimana diketahui, merupakan komoditas strategis yang memiliki pengaruh politik, ekonomi dan sosial yang tinggi. Dalam perekonomian, usaha tani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 25 juta rumah tangga petani (BPS 2004). Padi adalah bahan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras diatas 55 persen; dan sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras (Sudaryanto dan Adang 2003). Pengalaman tahun 1966 dan 1998, memperlihatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya goncangan politik adalah karena harga beras yang melonjak tinggi dalam waktu yang singkat (Zainal Abidin dan Syam 2005).

Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi untuk terus bertahan dalam swasembada beras sehingga terhindar dari kerawanan pasokan beras. Mengapa, karena secara faktual masih ada kesenjangan produktivitas padi sebesar 25% dari potensi yang dapat dikelola (World Bank 2009). Apalagi, penguatan teknologi bangsa ini relatif memadai untuk meningkatkan kapasitas aktual tersebut, hanya saja, terkendala oleh rendahnya anggaran yang tersedia, termasuk tidak memadainya anggaran infrastruktur pertanian di pedesaan pada umumnya (Darsono 2008). Namun lebih dari hal itu, patut dipertanyakan kemauan politik pemerintah untuk menjalankan agenda swasembada beras tersebut, atau isu terkini

dikenal dengan nama „Ketahanan Pangan’, atau yang lebih fundamental lagi disebut „Kedaulatan Pangan’.

Pembangunan sektor pertanian dan pedesaan di Indonesia, pernah mencoba mengaplikasikan beragam model-model adaptasi pembangunan pertanian padi. Satari (2002) mencatat, setidaknya sejak 1963/1964, pemerintah mulai mencoba menerapkan model bimbingan masyarakat (Bimas), dengan penekanan pada peningkatan produksi beras. Hasilnya, produksi beras dapat ditingkatkan lebih dari 10% pertahun. Kuncinya, sekali lagi menurut Satari, terletak pada bantuan dan sokongan dari semua instansi, termasuk adanya tekad dari pimpinan nasional, diantaranya, untuk mewujudkan jumlah alokasi anggaran pertanian yang memadai.

Tekad pimpinan nasional itu, pernah diwujudkan pada tahun 1981-1982, dengan alokasi anggaran Pertanian menduduki rangking tertinggi dalam APBN, yakni 17% dari total APBN (Nitisastro 2009). Kondisi keuangan negara juga sangat memungkin pada masa itu karena “oil boom”, sehingga dapat memberikan pendanaan yang memadai untuk berbagai program pendukung, seperti mensukseskan “revolusi hijau”, pemberian kredit, program subsidi pupuk, dan pembangunan jaringan pengairan secara intensif. Rangkaian kebijakan tersebut berhasil menjadikan bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Bappenas 2009).

Sejak pertengahan periode 1990-an sektor pertanian tidak lagi mampu menjadi pendukung tumbuh-kembangnya perekonomian Indonesia hingga pasca krisis moneter 1997 (Martin and Warr 1993; Booth 2002; Muslim 2002; Fuglie 2004; Druska and Horrace 2004; Sastrosoenarto 2006). Menurut Darsono (2008), kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari gejala rendahnya anggaran pertanian, termasuk prasarananya. Selain itu, terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang cenderung “terlalu cepat berpaling” pada program agroindustri – industrialisasi yang padat modal.

Penurunan anggaran pembangunan di sektor pertanian, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand. Selama periode 1980-2005, alokasi belanja pemerintah pusat untuk sektor pertanian mengalami penurunan konsisten di tiga negara tersebut. Indonesia dari 16,04% menurun menjadi 2,96%, Malaysia juga turun dari 7,09% menjadi 2,88%. Thailand turun dari 10,24% menjadi 5,65%

(Darsono 2008). Berdasarkan fakta tersebut, Braun dan Greenwood (2007) mensinyalir pemerintah di Asia Tenggara yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, semakin menjauhi petaninya. Dalam kajian agraria, hal ini dikenal sebagai de-agrarianisasi (Soetarto 2010).

Gejala rendahnya anggaran sektor pertanian di Indonesia ini justru terjadi ketika jumlah populasi rumah tangga petani (RTP) meningkat tajam selama tiga periode sensus pertanian yakni dari 15.174.098 jiwa pada 1983, meningkat menjadi 19.713.744 jiwa pada 1993 dan kembali meningkat pada 2003 menjadi 24.868.675 jiwa (Sensus Pertanian 1983; 1993; 2003). Peningkatan RTP ternyata juga ditandai oleh peningkatan lahan pertanian sawah yang pada masa Orde Lama, yakni tahun 1961, luasannya baru mencapai 6,867 juta Ha, selanjutnya bertambah menjadi 8,135 juta Ha pada masa awal Orde Baru, yakni pada tahun 1970, dan kembali meningkat menjadi 9,764 juta Ha beberapa saat setelah swasembada, tahun 1984. Hingga pada masa akhir kejatuhan Orde Baru, luas sawah meningkat hingga mencapai 11,141 juta Ha. Gejala ini terus berlanjut hingga tahun 2007 dengan luasannya mencapai 12,166 juta Ha (FAOstat 2011).

Anggaran pembangunan pertanian yang menurun di Indonesia, terlihat pada data time series APBN. Pada tahun 1981/82, anggaran pembangunan sektor pertanian mencapai 17% dari APBN (Nitisastro 2010), namun, dibandingkan dengan APBN 2011, Pemerintah hanya mengucurkan anggaran pertanian sejumlah 1,3 % dari APBN (Dep.Keu 2011). Meskipun jika dilihat dari tahun 1996-2011, anggaran terus meningkat, seperti pada tahun 1996 adalah Rp. 1,192 triliyun, kemudian meningkat pada tahun 2000 menjadi Rp. 2,044 triliyun rupiah dan pada tahun 2004 telah mencapai Rp. 2,990 triliyun namun, jumlah tersebut tidak lebih dari sekitar 2% dari APBN (Deptan 2004).

Rendahnya anggaran pertanian, juga disebabkan alokasi anggaran terfragmentasi pada beragam instansi Kementerian dan Lembaga. Menurut Dep.Keu (2007), sejak tahun 2002 Alokasi Anggaran Pertanian tersebar di 21 instansi Kementerian dan Lembaga, yang dikelompokkan menjadi 12 instansi, diantaranya seperti Depdagri, Deptan, BPPT, LIPI, Depag, Deperindag, Kementerian Koperasi dan UKM, Depnakertrans, KLH dan Dephut, Dep.PU, BPN, Depkes, dan Kementrian Daerah Tertinggal. Rata-rata nilai anggaran

pertanian selama periode 2002-2007 di berbagai instansi ini adalah 13,77% dari APBN.

Di tingkat pemerintah daerah, gejala rendahnya anggaran pertanian nasional tersebut, terjadi juga di Kabupaten Agam, yang merupakan salah satu

luhak nan tigo” dimana masyarakat Minangkabau berasal. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran sektor Pertanian dan Kehutanan serta sektor Sumberdaya Air dan Irigasi Kab.Agam antara tahun 1994-2010,1 yang menunjukkan hasil berfluaksi. Pada tahun 1994, alokasi anggaran sektor Pertanian berjumlah Rp. 55 juta. Alokasi anggaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain pada tahun yang sama, seperti sektor Perdagangan yang mendapat alokasi anggaran Rp. 108 juta, sektor transportasi mendapat alokasi dana Rp. 4,5 milyar, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan yang mendapat alokasi Rp. 1.7 milyar. Anggaran pertanian meningkat lima tahun kemudian, yakni tahun 1999, dengan alokasi anggaran mencapai Rp. 9 milyar, kemudian menurun kembali pada tahun 2002 dengan alokasi belanja Rp. 1 milyar kemudian kembali meningkat pada tahun 2008 dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar. Pada tahun 2010, alokasi sektor Pertanian tersebut mencapai Rp. 6,5 milyar saja.

Hal yang sama juga terjadi dengan alokasi dana infrastruktur pertanian, seperti pengairan. Prasarana pengairan yang termasuk dalam sektor sumberdaya air dan irigasi ini, pada tahun 1994 dan tahun 1995 tidak mendapat alokasi anggaran. Pada tahun 1999, sektor ini mendapat alokasi anggaran sebesar Rp. 9 milyar. Sedangkan Alokasi anggaran terbesar diperoleh pada tahun 2000 yakni sebesar Rp. 10 milyar, selebihnya, anggaran sektor ini berada di bawah angka tertinggi tersebut.

Rendahnya anggaran pembangunan sektor pertanian di Kab.Agam sangat ironi, mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian Kab. Agam mencapai 43,5 persen pada tahun 2010. Angka ini menunjukkan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Minangkabau di Kab.Agam berada dari

1

Data MAKUDA yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Melalui situs http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/47 Dengan judul sub-link APBD Historis. Data yang ada hanya dari tahun 1994 hingga 2002. Tahun selanjutnya, 2003 hingga 2009 diolah dari penjabaran APBD Kab.Agam dan data 2010 kembali di olah dari data Makuda.

sektor pertanian.2 Sesuai dengan hasil PDRB, data angkatan kerja menunjukkan dari 208.577 jiwa yang telah bekerja, 133.121 jiwa diantaranya adalah mereka yang bekerja sebagai petani (Agam Dalam Angka 2010). Data Luas lahan pertanian pangannya pun mendukung pendapat bahwa sebahagian besar masyarakat Kab.Agam bekerja sebagai petani, dimana luas keseluruhan pertanian pangannya mencapai 68.014 Ha dari ± 81.500 Ha dari lahan yang dapat ditanami (Agam Dalam Angka 2010).

Lebih penting lagi, bagi Masyarakat Agam, serta Minangkabau pada umumnya, pertanian sawah bukan hanya sekedar masalah nafkah, tetapi juga berhubungan dengan kebudayaan dan keteraturan sosial. Beras yang dihasilkan oleh sawah tersebut umumnya masih merupakan salah satu unsur utama dari harta

yang dimiliki secara komunal, dengan penguasaan “ganggam ba untuak”3

(Syarifuddin 1984).4 Ekonomi sawah bersifat subsistensi itu telah memelihara kelestarian sistem Matrilineal Minangkabau (Kahn 1979), termasuk sistem otoritas tradisional (Manan 1995). Ketika terjadi pemberontakan pajak dan komunis di Minangkabau pada tahun 1908 dan 1926-1927 terhadap kolonial Belanda, salah satu penyebabnya adalah kebijakan Belanda yang “memaksa” petani Minangkabau merubah lahan sawah untuk menjadi lahan pertanian ekspor (Schrieke 1955).

Pada tataran politis, gejala rendahnya anggaran sektor pertanian ini juga cukup ganjil mengingat tiga hal, pertama, pada era otonomi daerah Kepala Daerah dan DPRD yang merupakan aktor-aktor penganggaran keuangan daerah (APBD) dipilih secara langsung oleh rakyat dalam jabatannya. Kedua, rakyat yang memilih anggota DPRD beserta Kepala Daerah tersebut, justru sebahagian besar adalah para petani. Petani subsistensi (Dobbins 2008) yang sebahagian besar masih mengolah lahan milik komunal, dimana lahan komunal tersebut menjadi penyangga sistem Matrilineal (Kahn 1979), berikut otoritas tradisional Minangkabau yang menyertainya (Manan 1995). Dengan kondisi kuatnya otoritas

2

Hasil wawancara bersama Bupati dan juga dijabarkan dalam situs resmi pemerintah Kab.Agam beritukut http://www.agamkab.go.id/?agam=berita&se=detil&id=836 (diakses hari Jum’at, 4 September 2010.

3

hal kelola, bukan hak milik

4Hak kelola. Pepatah menyebutkan, “airnya boleh di minum, buahnya boleh dimakan, batangnya

tradisional Minangkabau tersebut bagaimana Kepala Daerah dan anggota DPRD mendapat legitimasi ketika anggaran pertanian yang merupakan kebutuhan bersama mereka di alokasikan dengan tidak memadai. Ketiga, di era otonomi daerah ini pula terdapat UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional (SPPN), UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Pembangunan Nasional, yang mengharuskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran APBD dan APBN. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji dan diangkat menjadi pertanyaan konseptual bagaimana APBD sektor pertanian-pedesaan ini direncanakan dan dianggarkan oleh Birokrasi Pemerintahan ketika tatanan keteraturan sosial dari kehidupan para petani masih kuat dilegitimasi oleh sistem Otoritas Tradisional Minangkabau.

Studi yang telah mengungkap terjadinya penurunan proporsi anggaran pertanian di Indonesia telah banyak dilakukan. Seperti disarikan temuan Darsono (2008), Pasaribu (2007), Arifin dan Rachbini (2005), Kasryno, Pasandaran dan Adiningsih (2001), Simatupang, Rusastra dan Maulana (2000) di atas. Namun, tidak banyak studi yang mencoba menelusuri bagaimana anggaran pembangunan pertanian yang rendah itu direncanakan dan dianggarkan pada era pemerintah daerah (Kab/Kota/Prov.) yang memiliki otonomi luas untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat (Usman dan Hermanto 2007).

Studi mengenai anggaran pembangunan pertanian, sebagaimana yang dimaksud, pada umumnya menjadi bagian agregat studi mengenai pengelolaan keuangan daerah. Studi pengelolaan keuangan daerah tersebut, telah banyak pula dilakukan seperti dilakukan oleh Sudjito (2008), Abdullah dan Asmara (2006), Halim dan Syukry (2011), namun kajian tersebut tertuju pada ranah penganggaran saja. Pada hal, pengelolaan keuangan daerah, khususnya penganggaran APBD, terdiri dari dua ranah yakni perencanaan dan penganggaran.

Studi yang telah dilakukan ini, mengkaji bagaimana kontestasi elite yang merupakan unsur otoritas tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan ketika proses Perencanaan dan Penganggaran APBD dilakukan. Studi ini menemukan bahwa, pertama, usulan yang merupakan kebutuhan petani

tersisih dalam proses Musrenbang berjenjang. Pada forum SKPD, Pemerintah Daerah selanjutnya hanya menjatah satu usulan program untuk masing-masing hasil Musrenbang Kecamatan. Hal ini sengaja dilakukan agar SKPD dan Pemerintahan Daerah tidak melanggar Undang-Undang No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Kedua, baik pada ranah perencanaan ketika proses Musrenbang dilangsungkan, maupun dalam ranah penganggaran ketika membahas KUA-PPAS dan RAPBD, suasana kedua ranah tersebut ditandai dengan kontestasi antar sesama elite Birokrasi Pemerintahan. Kontestasi terjadi di antara SKPD, TAPD DPRD, maupun di antara DPRD.

Ketiga, prasarana (infrastruktur) seperti jalan Nagari dan Jorong, pengairan (irigasi), pendidikan, serta sarana ibadah menjadi prioritas, karena dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk Nagari. Program pembangunan pertanian yang menuntut pengorbanan harta pusaka, serta hanya dapat dinikmati sekelompok orang dalam Nagari, sangat dihindari dan mendapat hambatan, karena mengandung sengketa yang akan berdampak buruk pada hubungan antar kaum, dan suku.

Studi ini juga menemukan bahwa keteraturan sosial masyarakat di dalam Nagari-Nagari, masih pekat dilegitimasi oleh Otoritas Tradisional Minangkabau (OTM). Pekatnya pengaruh OTM, kemudian menjadi ”modal” bagi unsur-unsur OTM yang memiliki kedudukan tokoh adat, tokoh agama, kaum cendikia dan bundo kandung menjadi pengurus partai politik, calon Legislatif (Caleg) dan calon Kepala Daerah. Unsur OTM yang menjadi Caleg dan Calon Kepala Daerah ini kemudian didukung dan dipilih oleh orang Kampung dan Nagarinya agar dapat duduk menjadi anggota DPRD yang kemudian diberi peran sebagai ”pejuang

anggaran”, atau memperjuangkan Jorong dan Nagari yang diwakilinya agar mendapat alokasi anggaran APBD. Temuan ini penting, mengingat perencanaan pembangunan partisipatif atau bottom up planning sebagaimana yang telah lama dicita-citakan, baik oleh negara maupun rakyat, selalu gagal karena lemahnya posisi tawar rakyat, dan ketidak pedulian elite. Di Kab.Agam, pada kajian ini, rakyat memiliki kisah sukses itu. Sehingga, pada daerah-daerah di mana otoritas tradisionalnya masih pekat, kisah sukses ini dapat di replikasi. Hanya saja, akibat euforia unsur-unsur OTM menjadi Caleg, suara rakyat Nagari kemudian terpilah-

pilah berdasarkan kelompok kekerabatan genealogis. Akibatnya, keterwakilan mereka dalam DPRD tidak representatif, sehingga alokasi anggaran yang berhasil diperjuangkan oleh utusan OTM, terdistribusi secara tidak merata dalam Nagari- Nagari di Kab.Agam.

Pada aras teori, kajian ini menemukan bahwa Birokrasi Pemerintahan patrimonial sebagai mana yang berlangsung di Pemerintahan Pusat (Crouch 1985; Webber 2006; van Klinken 2009), mengalami ubah sesuai ketika berdialog dan berkompromi dengan Otoritas Tradisional Minangkabau. Birokrasi Pemerintahan yang muncul kemudian adalah Birokrasi dengan ciri patrimonial (didominasi lelaki), namun memiliki ciri heterarki, bukan hierarkis dan relasi patronase sebagaimana layaknya birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial heterarki ini memperlihatkan bahwa para birokrat memiliki kepentingan partikular sehingga tidak impersonal, birokrasi pemerintahan menjadi ajang kontestasi antar sesama birokrat tanpa mengindahkan kedudukan dan wewenang.

Dalam ranah perencanaan dan penganggaran, birokrasi patrimonial heterarki ini ditandai dengan praktik kontestasi dalam tahap-tahap Musrenbang, penyusunan RKPD, KUA-PPAS, RAPBD dan APBD. Sehingga, program yang menjadi bagian APBD dapat naik dan turun di tengah jalan. Bahkan, ketika telah menjadi bagian dari APBD, program dapat berpindah tempat pengalokasiannya atau tidak terserap dalam pelaksanaannya, sehingga menjadi SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang cukup tinggi. Hal tersebut menunjukkan menyoloknya kontestasi antar sesama birokrat yang bersumber dari kepentingan partikular.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana interaksi dan ketegangan-ketegangan terentang antara Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa kolonial Belanda hingga dilangsungkannya otonomi daerah?

2. Bagaimana peranan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD sektor pertanian-pedesaan?

3. Bagaimana kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD?

4. Bagaimana Birokrasi Pemerintahan di Kab.Agam menata dan mengelola pembangunan masyarakat lokal?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji interaksi antara Otoritas Tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan. Dari kajian terhadap interaksi keduanya diharapkan mendapat konsep-konsep untuk menutup celah-celah

“lubang kebocoran” Birokrasi Pemerintahan, khususnya bagaimana agar APBD ketika direncanakan dan dianggarkan dapat melibatkan serta mengakomodir kepentingan-kepentingan petani dan rakyat pada umumnya.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa ke masa di Sumatera Barat.

2. Menggambarkan secara analitis peran-peran dan hubungan keduanya dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran APBD

3. Mendapatkan kerangka persaingan yang menggambarkan hubungan keduanya ketika penganggaran APBD di laksanakan.

4. Mendapatkan kerangka bagaimana pembangunan masyarakat lokal ditata dan dikelola oleh program pembangunan yang dijalankan oleh Birokrasi Pemerintahan Daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan mencapai keempat tujuan penelitian tersebut, pada ranah praksis, dapat memberi masukan terhadap permasalahan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD. Khususnya memperkuat proses penyusunan, pembahasan dan penetapan APBD, sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan petani (rakyat) serta menjawab permasalahan mereka bersama dengan indikasi meningkatnya anggaran pertanian-pedesaan secara proporsional.