• Tidak ada hasil yang ditemukan

Noe (2000), mengemukakan sejumlah pendekatan untuk mengukur kinerja yang didasarkan pada atribut, perilaku dan hasil kerja karyawan serta perbandingan secara menyeluruh di antara kinerja karyawan sebagai berikut. 1. Pendekatan Komparatif

Pendekatan komparatif untuk mengukur kinerja berisi teknik-teknik yang menuntut penilai untuk membandingkan kinerja individu dengan individu lain. Pendekatan ini biasanya menggunakan suatu penilaian secara menyeluruh terhadap kinerja atau nilai dari seorang individu, dan berusaha membuat ranking dari individu-individu tersebut dalam suatu kelompok tertentu. Sedikitnya ada tiga teknik yang masuk ke dalam pendekatan komparatif, yaitu ranking, forced distribution dan paired

comparison.

a. Ranking adalah teknik sederhana yang dapat digunakan oleh para rnanajer untuk meranking karyawan dalam departemen mereka dari kinerja yang tertinggi hingga kinerja terendah (terjelek) dengan cara, menuliskan daftar nama-nama karyawan untuk dinilai pada sisi kiri lembar kertas penilaian. Pilih karyawan yang bernilai paling bagus dari daftar tersebut, dan beri tanda silang. Kemudian letakkan (pindahkan) nama karyawan tersebut pada daftar paling atas di sisi sebelah kanan kertas penilaian. Selanjutnya, pilih dan beri tanda silang nama karyawan yang bernilai paling jelek dari daftar pada kolom sebelah kiri, dan pindahkan pada daftar terbawah dari kolom sebelah kanan. Ulangi proses ini untuk seluruh nama pada daftar di sebelah kiri lembar kertas penilaian. Daftar nama-nama yang telah dihasilkan pada kolom sebelah kanan menunjukkan suatu ranking karyawan dari yang paling bernilai bagus hingga yang bernilai jelek.

b. Distribusi yang Dipaksakan (Forced Distribution)

Teknik ini juga menggunakan format ranking, tetapi karyawan yang diranking dimasukkan ke dalam kelompok. Teknik ini menuntut penilai untuk membandingkan kinerja karyawan dan menempatkan suatu persentase karyawan tertentu pada berbagai level kinerja. Teknik ini beranggapan level kinerja dalam suatu kelompok karyawan akan didistribusikan sesuai dengan bentuk genta (lonceng) atau kurve normal. Sebagai contoh, penilai dituntut untuk menilai, misalnya, 60 persen karyawan adalah memenuhi harapan, 20 persen melampaui harapan dan 20 persen tidak memenuhi harapan.

c. Pembandingan Berpasangan (Paired Comparison)

Teknik ini akan lebih baik diilustrasikan dengan contoh (Byars dan Rue, 1997). Katakan seorang penilai akan menilai enam orang. Nama-nama individu yang dinilai didaftar pada sisi sebelah kiri lembar penilaian. Penilai, kemudian membandingkan karyawan pertama dengan karyawan kedua pada kriteria kinerja yang telah dipilih, seperti kuantitas kerja. Jika penilai percaya bahwa karyawan pertama telah menghasilkan kerja lebih banyak daripada karyawan kedua, maka tanda centang (v) ditempatkan pada nama karyawan pertama. Penilai, selanjutnya, membandingkan karyawan pertama dengan karyawan ketiga, keempat, kelima dan keenam pada kriteria kinerja yang sama, dan menempatkan tanda centang pada nama karyawan yang menghasilkan kerja yang paling banyak dalam setiap pasang pembandingan. Proses diulang hingga setiap karyawan telah dibandingkan dengan setiap karyawan lain pada semua kriteria kinerja yang dipilih. Karyawan dengan tanda centang terbanyak dinyatakan sebagai berkinerja terbaik. Sebaliknya, karyawan dengan tanda centang paling sedikit dinyatakan berkinerja terjelek. Teknik ini akan menghadapi masalah, jika karyawan yang dibandingkan lebih banyak.

2. Pendekatan Atribut

Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada sejauh mana individu memiliki atribut tertentu (ciri atau sifat) yang diyakini diperlukan untuk keberhasilan perusahaan. Teknik yang digunakan dalam pendekatan ini cenderung untuk menetapkan seperangkat sifat (seperti inisiatif, kepemimpinan dan kemampuan bersaing/competitiveness) dan menilai individu pada sifat-sifat tersebut. Tabel 1. Contoh Skala Penilaian Grafik

No. Dimensi Kinerja Penilaian

Terkemuka Prima Patut dihargai Cukup Jelek

1. Pengetahuan 5 4 3 2 1 2. Komunikasi 5 4 3 2 1 3. Pertimbangan 5 4 3 2 1 4. Keahlian manajerial 5 4 3 2 1 5. Kualitas kerja 5 4 3 2 1 6. Kerja tim 5 4 3 2 7. Keahlian interpersonal 5 4 3 2 8. Inisiatif 5 4 3 2 9. Kreatifitas 5 4 3 2 10. Pemecahan masalah 5 4 3 2 Sumber: Noe (2000).

Penilaian Grafik (Graphic Rating Scales) Bentuk yang paling umum dari pendekatan atribut adalah skala penilaian grafik. Dalam teknik ini, penilai dihadapkan pada seperangkat sifat sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, dan meminta penilai menilai karyawan pada setiap karakteristik yang telah didaftar. Dalam contoh, daftar sifat dinilai dengan lima poin skala penilaian. Jumlah karakteristik yang dinilai bervariasi dari yang memiliki nilai sedikit (seperti 1) hingga nilai terbesar (seperti 5). Penilaian dapat dalam bentuk serangkaian kotak (discrete scale), atau dapat berbentuk skala kontinyu (misal, 1, 2, 3, ....,9). Penilai mempertimbangkan seorang karyawan pada satu waktu dan melingkari atau memberi tanda (misal, x) pada nomor atau atribut yang menyatakan berapa banyak atau tinggi sifat yang dimiliki seorang individu.

3. Pendekatan Keperilakuan

Pendekatan ini berusaha untuk mendefinisikan perilaku karyawan yang harus efektif dalam pekerjaan (Noe, 2000). Berbagai macam teknik mendefinisikan perilaku tersebut, selanjutnya meminta manajer untuk menilai sejauh mana karyawan berkinerja. Berikut akan dibahas tiga teknik yang tergantung pada pendekatan keperilakuan (Noe, 2000). a. Insiden Kritis (Critical Incidents)

Teknik ini menuntut penilai untuk membuat catatan-catatan tertulis dari suatu peristiwa/insiden sebagaimana peristiwa itu terjadi (Byars dan Rue, 1997). Insiden yang dicatat harus mencakup perilaku kerja yang menggambarkan baik kinerja yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan dari karyawan yang dinilai. Sebagaimana yang berhasil dicatat sepanjang waktu, insiden tersebut memberikan suatu basis bagi penilaian kinerja dan memberikan umpan balik kepada karyawan.

Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah, penilai dituntut untuk mencatat peristiwa secara teratur dan terus-menerus hingga membuat perasaan bosan dan memakan banyak waktu. Di samping itu, definisi peristiwa kritis merupakan hal yang tidak jelas yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh orang yang berbeda. Teknik ini juga dapat menimbulkan friksi antara manajer dan karyawan apabila karyawan menganggap manajer menyembunyikan catatan untuk mereka.

b. Skala Penilaian Berdasarkan Perilaku (Behaviorally Anchored Rating Scale/BARS)

Teknik ini dirancang untuk menilai perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan secara berhasil (Byars dan Rue, 1997). Fokus teknik ini bukan pada hasil kinerja, tetapi pada perilaku fungsional yang ditunjukkan pada pekerjaan. Asumsinya adalah bahwa perilaku fungsional tersebut akan dihasilkan dalam kinerja pekerjaan yang efektif. Kebanyakan BARS menggunakan istilah dimensi pekerjaan, yang dimaksudkan sebagai kategori tugas dan tanggung jawab yang luas yang memperbaiki pekerjaan. Tiap-tiap pekerjaan dimungkinkan untuk memiliki beberapa dimensi pekerjaan, dan sebaiknya digunakan skala

secara terpisah untuk masing-masing pekerjaan tersebut. Tabel 2. menggambarkan suatu BARS yang ditulis untuk dimensi pekerjaan yang ditemukan di banyak pekerjaan dan perencanaan manajerial, pengorganisasian dan penjadwalan tugas-tugas proyek. Nilai skala nampak pada sisi kiri tabel dan definisi kategori kinerja spesifik. Dasar (anchor), yang nampak pada sisi sebelah kanan, adalah pernyataan tertulis spesifik mengenai perilaku aktual yang menunjukkan level kinerja pada lawan skala yang merupakan dasar (anchor) tertentu.

Penilaian kinerja menggunakan BARS menuntut penilai membaca daftar anchor pada setiap skala, untuk menemukan kelompok anchor yang paling baik dalam mendeskripsikan perilaku pekerjaan karyawan selama periode pengamatan. Nilai skala lawan kelompok anchor kemudian dicek. Proses ini diikuti oleh semua dimensi yang teridentifikasi.

Umumnya BARS dikembangkan melalui serangkaian pertemuan yang dihadiri oleh manajer dan pemegang jabatan yang mencakup tiga tahap sebagai berikut.

1. Manajer dan pemegang jabatan mengidentifikasi dimensi pekerjaan yang relevan.

2. Manajer dan pemegang jabatan menulis dasar perilaku untuk masing-masing dimensi pekerjaan. Sebanyak mungkin dasar (anchor) harus ditulis untuk masing-masing dimensi.

3. Manajer dan pemegang jabatan meraih suatu konsensus berkaitan dengan nilai skala untuk digunakan dan pengelompokan pernyataan dasar (anchor) bagi setiap nilai skala.

Tabel 2. Contoh Skala Pengukuran Berdasarkan Keperilakuan Nilai Skala Dasar (Anchors)

7 ( ) Prima

Mengembangkan rencana proyek komprehensif, mendokumen secara baik, memperoleh pengesahan yang diperlukan, dan mendistribusikan rencana kepada seluruh anggota.

6 ( ) Sangat bagus

Merencanakan, mengkomunikasikan, mengobservasi peristiwa penting: kondisi dari minggu ke minggu di mana proyek berada dalam kaitannya dengan rencana. Memelihara kemutakhiran bagan penyelesaian proyek dan bagian-bagian yang belum dikerjakan dan menggunakan data ini untuk memberi rasa optimis modifikasi jadwal yang diperlukan.

5 ( ) Bagus Aturlah semua bagian-bagian dan jadwalkan masing-masing bagian. Puaskan ketidakleluasaan waktu pelanggan.

4 ( ) Rata-rata Bikin daftar batas tanggal dan merevisinya sesuai perkembangan proyek.

3 ( ) Di bawah rata-rata Rencana didefinisikan secara jelek, jadwal waktu tidak realistik menjadi hal umum.

2 ( ) Sangat jelek Tidak memiliki rencana waktu jadwal kerja bagian-bagian yang akan dikerjakan.

1 ( ) Ditolak Jarang dapat menyelesaikan proyek, karena kurang perencanaan dan tidak serius.

Sumber: Byars dan Rue (1997).

c. Skala Observasi Berhubungan dengan Perilaku (Behavioral Observation Scales/BOS)

Teknik ini merupakan variasi dari BARS. Sebagaimana BARS, BOS dikembangkan dari kejadian kritis untuk mengidentifikasi serangkaian perilaku yang menutupi ranah pekerjaan. Untuk mengembangkan BOS, pertama adalah dengan mengidentifikasi kelompok kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang memiliki kemiripan antara yang satu dengan lain, dan membentuknya dalam dimensi kinerja. Dalam Tabel 2, menunjukkan empat butir perilaku yang digunakan untuk menilai kinerja supervisor garis pertama dalam pabrik manufaktur. Dalam format penilaian BOS ini, 25 butir yang berhubungan dengan perilaku telah teridentifikasi. Skor maksimum adalah 125 (25 x 5) dan skor minimum adalah 25. Supervisor dengan skor di atas 115 dinilai berkinerja prima, sedangkan skor antara 25-34 dinilai sangat jelek (Ivancevich, 1992). Masing-masing perusahaan yang menggunakan BOS harus menentukan arti dan pentingnya skor total bagi karyawan yang dinilai.

Sebagaimana teknik BARS, teknik BOS ini juga tidak jelas keunggulannya atas format skala penilaian alternatif Salah satu keterbatasan yang sangat signifkan dari pendekatan BOS adalah dari segi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk pengembangannya, khususnya untuk penggunaan secara aktual dalam penilaian.

4. Manajemen Berdasarkan Sasaran

Pendekatan goal setting untuk penilaian kinerja atau manajemen berdasarkan sasaran (MBO) lebih umum digunakan untuk profesional dan karyawan manajerial. Proses MBO secara khas berisi langkah-langkah sebagai berikut (Byars dan Rue, 1997).

a. Membuat definisi pernyataan secara jelas dan tepat tentang sasaran kerja yang akan dilakukan oleh karyawan.

b. Membuat suatu rencana tindakan yang menunjukkan bagaimana sasaran tersebut dapat dicapai.

c. Membiarkan karyawan mengimplementasikan rencana tindakan. d. Mengukur pencapaian sasaran.

e. Mengambil tindakan korektif bila perlu. f. Membuat sasaran baru di masa mendatang.

Sistem MBO dapat berhasil, beberapa persyaratan harus dipenuhi. Pertama, sasaran harus dapat dikuantifikasikan dan diukur. Sasaran juga harus menantang untuk dicapai dan harus dinyatakan secara tertulis, jelas, ringkas dan tidak ambigius. Tabel 3 menunjukkan contoh pernyataan sasaran yang jelek dan yang lebih baik. Kedua, MBO juga mensyaratkan karyawan berpartisipasi dalam proses penyusunan sasaran. Partisipasi aktif karyawan juga penting dalam pengembangan rencana tindakan. Ketiga, agar MBO sukses maka sasaran dan rencana tindakan harus bertindak sebagai basis diskusi reguler antara manajer dan karyawan berkaitan dengan kinerja karyawan.

Tabel 3. Contoh Bagaimana Mengembangkan Sasaran Kerja Jelek : untuk memaksimalkan produksi

Lebih baik : meningkatkan produksi sebesar 10 persen dalam tiga bulan mendatang Jelek : untuk mengurangi tingkat absensi

Lebih baik : membuat rata-rata tidak lebih dari tiga hari absen per karyawan per tahun Jelek : tidak boros bahan mentah.

Lebih baik : boros yang tidak lebih dari dua persen bahan mentah Jelek : meningkatkan kualitas produksi

Lebih baik : memproduksi dengan tidak lebih dua persen per 100 unit produksi

Sumber: Byars dan Rue, 1997.

2.5. Masalah-masalah Penilaian Kinerja dan Cara Mengatasinya 1. Beberapa kesalahan dalam penilaian

Masalah-masalah proses penilaian kinerja haruslah dikenali dan diminimalkan oleh penyelia yang terlatih, orang yang seyogyanya tidak hanya mengetahui masalah-masalahnya saja, tetapi juga mempelajari bagaimana menghindari kesalahan-kesalahan penilaian yang lazim terjadi. Semua metode penilaian kinerja merupakan subyek bagi kesalahan, tetapi manajemen dapat menghalau kesalahan-kesalahan dan permasalahan penilaian kinerja melalui pelatihan (Simamora, 1997). a. Bias Penyelia

Kesalahan paling lazim yang ada dalam setiap metode penilaian adalah kesadaran atau ketidaksadaran bias kepenyeliaan (supervisory bias). Bias-bias tersebut tidak berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, dan dapat bermuara dari karakteristik yang berkaitan dengan organisasi seperti senioritas, keanggotaan pada sebuah tim atletik perusahaan, atau hubungan dekat dengan kalangan puncak.

b. Hallo Effect

Pada saat seorang penyelia membiarkan satu aspek tertentu dari kinerja karyawan mempengaruhi aspek lainnya yang sedang dievaluasi, maka terjadilah efek halo (hallo effect). Opini pribadi penilai mempengaruhi pengukuran kinerja karyawan. Beberapa individu mempunyai kecenderungan memberikan penilaian kinerja dengan menilai sama semua dimensi atau karakteristik yang tengah dinilai. Karenanya, orang yang dinilai tinggi pada kuantitas pekerjaan akan juga dinilai pada tinggi pada kualitas, tinggi pada inisiatif, tinggi pada kerja sama, dan seterusnya.

c. Central Tendency

Penyelia mungkin menjumpai sulit dan tidak menyenangkan untuk mengevaluasi beberapa karyawan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lainnya, meskipun kinerja mereka memperlihatkan perbedaan yang nyata. Permasalahan yang ditimbulkan oleh tendensi terpusat adalah membuat penilaian kinerja hampir tidak mungkin mengidentifikasi karyawan yang sangat efektif yang merupakan calon untuk promosi di satu pihak ataupun permasalahan karyawan yang membutuhkan konseling dan pelatihan di pihak yang lain.

d. Leniency

Penyelia yang tidak berpengalaman atau yang buruk mungkin memutuskan cara yang paling mudah untuk menilai kinerja, yaitu dengan memberikan setiap orang nilai evaluasi yang tinggi. Penyelia mungkin mempercayai bahwa karyawan-karyawan akan merasa bahwa mereka telah dinilai secara akurat, atau bahkan meskipun mereka tahu bahwa mereka dinilai secara tidak akurat, hal ini hanya merupakan keuntungan belaka bagi mereka. Bias kemurahan hati seperti itu tidak dikehendaki karena hasilnya para karyawan bakal terlihat lebih kompeten dari kenyataan yang sesungguhnya. Pada akhirnya, kekurangan akurasi penilaian ini mengarah kepada perputaran karyawan di antara karyawan-karyawan terbaik yang pindah ke organisasi lain

yang sanggup menilai kinerja mereka secara akurat dan memberikan mereka pengakuan yang berdasar.

e. Strictness

Kadang-kadang penyelia secara konsisten memberikan nilai-nilai yang rendah meskipun beberapa karyawan mungkin telah mencapai tingkat kinerja rata-rata atau di atas rata-rata. Masalah keketatan ini adalah kebalikan dari masalah kemurahan hati. Dalam praktiknya, permasalahan-permasalahan keketatatn tidaklah seluas permasalahan kemurahan hati.

f. Recency

Idealnya, penilaian kinerja karyawan haruslah didasarkan pada observasi yang sistematik dari kinerja karyawan sepanjang seluruh periode penilaian (umumnya 1 tahun). Adalah merupakan sifat manusia bagi penyelia untuk lebih mengingat kejadian-kejadian yang baru saja terjadi daripada kejadian-kejadian di masa lalu.

g. Pengaruh-pengaruh Organisasional

Pada intinya, penilai cenderung memperhitungkan kegunaan akhir data penilaian pada saat mereka menilai bawahan-bawahan mereka. Apabila mereka meyakini bahwa promosi-promosi dan kenaikan-kenaikan gaji tergantung pada nilai kinerja, mereka cenderung memberikan nilai-nilai tinggi. Dalam hal ini penyelia cenderung membela bawahan-bawahan mereka.

h. Standar-standar Evaluasi

Masalah-masalah dengan standar evaluasi muncul karena perbedaan-perbedaan konseptual dalam makna kata-kata yang dipakai untuk mengevaluasi karyawan-karyawan. Dengan demikian, kata-kata “baik, memadai, memuaskan, dan sangat bagus” dapat mempunyai arti yang berbeda bagi masing-masing evaluator.

2. Mengatasi Kesalahan dalam Penilaian

Potensi melakukan kesalah dalam penilaian kinerja adalah sangat besar. Salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan membuat pemurnian dalam desain metode penilaian (Byars dan Rue, 1997). Sebagai contoh, metode distribusi yang dipaksakan berusaha mengatasi kesalahan akibat kelonggaran dan kecenderungan sentral. BARS didesain untuk mengurangi kesalahan efek halo, kelonggaran dan kecenderungan sentral. Namun demikian, oleh karena instrumen yang dimurnikan seringkali tidak dapat mengatasi semua hambatan-hambatan, maka di sini tidak nampak kemungkinan bahwa pemurnian instrumen penilaian akan secara total mengatasi kesalahan dalam penilaian kinerja.

Suatu pendekatan yang lebih menjanjikan untuk mengatasi kesalahan dalam penilaian kinerja adalah meningkatkan keahlian penilai. Penilai harus dilatih untuk dapat mengobservasi perilaku lebih akurat dan memberikan pertimbangan lebih fair. Riset mendalam diperlukan sebelum seperangkat topik yang definitif untuk pelatihan penilai dapat diadakan. Minimal, penilai harus menerima pelatihan dalam metode penilaian kinerja yang digunakan oleh perusahaan. Disamping itu, topik-topik seperti pentingnya peranan penilai dalam proses penilaian total, penggunaan informasi penilaian kinerja, dan keahlian berkomunikasi perlu diberikan dalam kaitannya untuk memberikan umpan balik kepada karyawan.

Dokumen terkait