PALMIVORA BUTL INFECTION: RESPONSE OF 35 CACAO BASED ON DETACHED POD ASSAYS
A. Pendugaan Parameter Genetik
Pendugaan parameter genetik menggunakan analisis silang dialel dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe berdasarkan uji F
terhadap karakter luas bercak ketahanan penyakit busuk buah P. palmivora (Singh
& Chauddhary, 1979). Berdasarkan Anova pada Tabel 28, diperoleh hasil analisis yang sangat nyata antar genotipe berdasarkan parameter luas bercak akibat
inokulasi terhadap P. palmivora. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan
parameter genetik dapat dilakukan pada genotipe kakao yang diuji
Tabel 28. Anova ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora
SK Db SS MS F
Ulangan 2 1518,052555 759,0262773 2,496498297 tn
Genotipe 14 19883,53417 828,4805903 2,724939102**
Galat 28 14593,74571 304,036369
Total 44 35995,33243
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata, tn = berpengaruh tidak nyata
Interaksi Gen
Interaksi gen dapat dilihat berdasarkan nilai b(Wr,Vr), jika nialai b berbeda nyata dengan satu maka terdapat interaksi antar gen, tetapi jika nilai b tidak
berbeda nyata dengan satu maka tidak terdapat interaksi antar gen (Roy, 2000; Sousa & Maluf, 2003). Hasil uji koefisien regresi b (Wr, Vr) tidak berbeda nyata dengan satu (Tabel 29), dengan demikian tidak terdapat interaksi gen dalam
menentukan ketahanan terhadap karakter luas bercak pada penyakit busuk buah P.
palmivora. Hal ini membuktikan bahwa salah satu asumsi analisis silang dialel dapat dipenuhi.
Tabel 29 Pendugaan parameter genetik ketahanan genotip kakao terhadap P.
palmivora
Parameter Genetik Nilai Keterangan
Koefisien regresi (b) 0,4493 tn
Komponen ragam krn pengaruh aditif (D) 0,0386 **
Rerata Fr untuk semua array (F) 0,0188 tn
Komponen ragam krn pengaruh dominansi (H1) 0,0989 **
Proporsi gen-gen positif/negative dalam tetua (H2) 0,0700 **
Pengaruh dominansi (h2) 0,1497 **
Rata-rata tingkat dominansi (H1/D)1/2 1,6003 Over
dominan
Komponen ragam karena pengaruh lingkungan (E) 0,0017
Proporsi gen-gen positif/negatif dalam tetua 0,1768
Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua (Kd/Kr)
1,3594 Gen dominan
Jumlah gen pengendali ( h2/H2) 2,1396
heritabilitas arti sempit (h2ns) 0,5589 Tinggi
heritabilitas arti luas (h2bs) 0,9600 Tinggi
Pengaruh Aditif (D) dan Dominansi (H1)
Pengaruh aditif (D) berperan sangat nyata terhadap ketahanan kakao untuk penyakit busuk buah dari semua klon yang digunakan. Besarnya pengaruh aditif 0,0386, sedangkan pengaruh dominan (H1) juga sangat nyata (0,0989) (Tabel 29). Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap penyakit busuk buah yang
disebabkan P. palmivora pada persilangan tanaman kakao banyak dipengaruhi
oleh aksi gen aditif. Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan di antara kerabat (antara tetua dengan keturunannya). Ragam genetik dominan
merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung. Dengan demikian hanya aksi gen aditif dan dominan yang menentukan keragaman
ketahanan terhadap panyakit P. palmivora. Aksi gen aditif lebih kecil
dibandingkan gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen dominan.
Distribusi Gen di dalam Tetua
Distribusi gen tetua (Tabel 29) menunjukkan bahwa nilai H2 gen-gen yang
menentukan pewarisan sifat tahan terhadap penyakit busuk buah tidak menyebar
merata di dalam tetua. Hal ini terlihat dari nilai H2 (proporsi gen-gen
positif/negatif dalam tetua) yang sangat nyata. Proporsi gen-gen positif akan terlihat dari besarnya nilai H1 terhadap H2. Jika H1> H2 maka gen-gen yang
banyak adalah gen-gen positif, sebaliknya apabila H1<H2 maka gen-gen negatif
akan lebih banyak dari pada gen-gen positif. Ketahanan tanaman kakao terhadap
penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P. palmivora ini ditentukan oleh gen-
gen positif. Hal ini terlihat dari nilai H1>H2, ini mengindikasikan bahwa tetua
yang membawa gen yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap ketahanan penyakit busuk buah kakao.
Tingkat Dominansi.
Besarnya pengaruh dominansi dari nilai (H1/D)1/2.Nilai H1/D)1/2 (Tabel 29)
menunjukkan adanya over dominan dengan nilai 1,6003. Menurut Hayman
(1954), nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi,
sedangkan nilai (H1/D)1/2 antara nol dan satu menunjukkan dominansi parsial
(dominansi parsial atau resesif parsial)
Proporsi Gen Dominan terhadap Gen Resesif.
Banyaknya gen – gen dominan di dalam tetua tercermin dari nilai Kd/Kr. Apabila Kd/Kr> 1 maka gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Sebaliknya apabila Kd/Kr<1 maka gen-gen resesif lebih banyak di dalam tetua. Pada Tabel 29 terlihat bahwa nilai Kd/Kr adalah 1,3594 yang menunjukkan bahwa gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Hal ini mengindikasikan bahwa gen dominan dari genotipe kakao yang digunakan sebagai tetua untuk
menghasilkan keturunan yang lebih baik kemungkinan sulit dicapai. Oleh karena itu diharapkan dalam perakitan hibrida dikombinasikan antara tetua yang resesif.
Arah dan Urutan Dominansi
Urutan dominansi tetua (berdasarkan wr + vr) untuk sifat ketahanan
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora disajikan pada Gambar 18. Klon ICS
13 merupakan tetua paling banyak mengandung gen dominan (16,68), diikuti DR 1 (68,65) sedangkan tiga klon yang lainnya TSH 858 paling banyak mengandung gen resesif bersama dengan Sca 6 dan ICCRI 3. Berdasarkan urutan dominansi, makin dekat dengan titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen dominan, sebaliknya semakin jauh dengan titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif (Sudjindro et al., 1991; Sousa & Maluf, 2003).
Gambar 18. Hubungan peragam (Wr) dan Ragam (Vr) 5 klon kakao sifat ketahanannya terhadap penyakit busuk buah P. palmivora.
Berdasarkan arah dan urutan dominansi terhadap tetua-tetua tersebut dimungkinkan tetua yang resesif akan berpeluang menghasilkan hibrida yang baik dalam hal aspek heterosisnya. Jika hal tersebut terbukti maka, diduga peluang untuk menghasilkan hibrida pada tanaman kakao dimiliki oleh ICCRI 3 dan Sca 6.
Jumlah Gen Pengendali karakter.
Katahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan
oleh P. palmivora dikendalikan oleh gen resesif. Jumlah gen pengendali
ICCRI 3 ICS 13 Sca6 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 Vr Wr
tercermin dari nilai (h2/H2). Jumlah gen yang mengendalikan katahanan kakao
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora 2,1396 (dua).
Heritabilitas
Hasil analisis menggunakan ragam fenotipe dan ragam genetik aditif, diketahui bahwa hasil pendugaan nilai daya waris (heritabilitas) berdasarkan luas
bercak hasil inokulasi terhadap P. palmivora dengan pendekatan persilangan
dialel besarnya heritabilitas dalam arti luas (h2bs) adalah 0,9600, sedangkan
heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) sebesar 0,5589 (Tabel 30). Sedangkan
berdasarkan intensitas penyakit heritabilitas dalam arti luas dan sempit adalah tinggi dan sedang. Mangoendidjojo (2003) mengelompokkan heritabilitas sebagai berikut: h2> 50% = tinggi, 20% ≤ h2 ≤ 50% = sedang dan h2< 20% = rendah.
Menurut klasifikasi tersebut, heritabilitas terduga berdasarkan komponen luas
bercak tersebut tinggi. Heritabilitas dalam arti sempit yang tinggi menggambarkan besarnya peranan penampilan gen aditif. Hanson (1963) menyatakan bahwa heritabilitas dalam arti sempit hanya menggambarkan besarnya peran penampilan gen-gen aditif dalam menentukan besarnya keragaman genetik dalam hubungannya dengan keragaman fenotipik.
Tabel 30. Heritabilitas dalam arti luas (h2bs) dan heritabilitas dalam arti sempit
(h2ns ) komponen ketahanan berdasarkan luas bercak dan Intensitas
Penyakit terhadap P. palmivora
Heritabilitas (h2)
Karakter
h2bs (%) h2ns (%)
Luas bercak 96, 00 55, 89
Kriteria Tinggi Tinggi
Intensitas penyakit 50,46 20,95
Kriteria Tinggi Sedang
Berdasarkan nilai duga heritabilitas di atas dapat diartikan bahwa karakter ketahanan dapat digunakan sebagai alat yang efisien untuk seleksi klon kakao
dalam rangka mendapatkan bahan tanam yang unggul dan tahan terhadap P.
palmivora.
Berdasarkan Tabel 31 hasil analisis varian daya gabung umum dan daya gabung kusus menunjukkan bahwa daya gabung umum berpangaruh sangat nyata. Hai ini mengindikasikan bahwa terdapat klon yang memiliki kemampuan
menggabung yang tinggi dengan klon lainnya. Untuk daya gabung khusus berdasarkan analisis varian menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kombinasi persilangan tertentu dari tetua yang dapat menghasilkan hibrida yang lebih baik dari kombinasi persilangan lainnya. Analisis daya gabung umum dan daya gabung kusus, dapat dilanjutkan untuk mengetahui tetua yang memiliki DGU tinggi dan DGK agar diketahui kombinasi persilangan tertentu untuk menghasilkan hibrida yang diinginkan.
Tabel 31. Anova daya gabung karakter luas bercak terhadap penyakit
Phytopthora palmivora pada tanaman kakao.
Sumber variasi db JK KT F.Hitung
DGU 4 1651,6368 412,9092 4,67 **
DGK 10 1914,7124 191,4712 2,17 *
Galat 28 2475,4805 88,4100
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata, * = berpengaruh nyata) nilai-p=0,05199 Daya Gabung Umum (DGU)
Hasil analisis efek daya gabung umum berdasarkan luas bercak ditampilkan pada Tabel 32. Dapat diketahui bahwa klon TSH 858, Sca 6, dan ICCRI 3 mempunyai nilai daya gabung umum yang tinggi. Berasarkan intensitas penyakit klon DR1 mempunyai nilai daya gabung umum yang tinggi dibandingkan dengan klon lainnya. Ketiga klon kakao tersebut mempunyai nilai daya gabung umum tinggi. Sedangkan DR1 dan ICS 13 daya gabung terhadap klon lainnnya lebih rendah. Untuk indeks intensitas penyakit, DGU terendah dihasilkan oleh Sca 6. Nilai daya gabung umum Sca 6 yang kecil berarti tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung (rata-rata) yang lebih rendah dibandingkan dengan tetua-tetua lain.
Daya Gabung Khusus (DGK)
Daya gabung khusus merupakan ekspresi ragam genetik non aditif,
dominan dan epistasis (Bolanos-Aquilar et al., 2001). Dari Tabel 32 terlihat
bahwa kombinasi persilangan yang mempunyai DGK tertinggi adalah ICCRI 3 x Sca 6 dan DR1 x ICS 13, sedangkan persilangan TSH 858 x ICS 13 dan TSH 858 x DR1 menduduki peringkat ke 3 dan ke 4. Kombinasi persilangan tersebut berpeluang menghasilkan hibrida F1 pada tanaman kakao yang tahan terhadap
penyakit P. palmivora. Berdasarkan hasil nilai daya gabung khusus dapat diketahui bahwa tidak semua klon kakao yang memiliki nilai daya gabung umum yang tinggi menghasilkan DGK yang tinggi. Nilai daya gabung yang tinggi dari tetua yang menghasilkan nilai daya gabung khusus tinggi adalah kombinasi persilangan antara ICCR3 x Sca 6 (14,29%) berdasarkan parameter luas bercak. Berdasarkan intensitas penyakit nilai daya gabung khusus tertinggi dihasilkan oleh kombinasi persilangan dari tetua DR1 x ICS 13. Kedua tetua ini konsisten merupakan penggabung yang baik, karena kedua tetua ini menghasilkan nilai daya gabung umum yang tinggi berdasarkan intensitas penyakit.
Tabel 32. Nilai efek Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak (cm2) dan
intensitas penyakit (%) hasil inokulasi ketahanan terhadap penyakit Phytophthora palmivora Rata-rata DGU Genotipe Luas bercak Intensitas penyakit (a) (b) ICCRI 3 18,23 20.42 30,85 13,83 TSH 858 24,57 22.39 35,61 12,93 DR1 20,21 18.39 14,83 18,03 ICS13 13,47 23.24 4,46 16,28 Sca 6 14,71 15.33 34,37 3,20 Rara-rata DGK (a) (b) (a) (b) ICCRI 3 X TSH 858 24,67 13.83 -8,08 1,19 ICCRI 3 X DR1 20,29 15.49 -0,91 0,02 ICCRI 3 X ICS 13 10,15 12.27 -5,30 -2,23 ICCRI 3 X Sca 6 46,35 8.25 14,29 1,02 TSH 858 X DR1 26,17 9.62 2,32 -5,35 TSH 858 X ICS 13 23,02 11.70 4,93 -2,26 TSH 858 X Sca 6 35,53 13.17 0,82 6,44 DR1 X ICS 13 13,58 25.48 7,04 8,65 DR1 X Sca 6 14,72 6.25 -8,45 -3,32 ICS 13 X Sca 6 10,73 4.44 -6,67 -4,14 Heterosis
Berdasarkan pendugaan nilai heterosis pada klon kakao yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan merakit hibrida F1, dan berdasarkan luas bercak
yang dihasilkan dari ketahanan terhadap P. palmivora terdapat 5 hibrida yang
Hibrida yang mempunyai nilai heterosis tinggi untuk ketahanan terhadap infeksi P. palmivora ditunjukkan dengan nilai heterosis yang negatif tinggi dan melebihi dari rata-rata kedua tetuanya. Nilai heterosis/hibrida-hibrida tersebut adalah : DR
1 x Sca 6 (-52,07%), ICS13 X Sca 6 (-42,00%), DR1 x ICS13 (-47,00 %), TSH
858 x DR1 (-27,00 %), ICCRI 3 x ICS 13 (-36,00%) serta ICCRI 3 x DR1 (- 27,00%). Sedangkan nilai heterosis terkecil dihasilkan oleh persilangan TSH 858 x Sca 6 dengan menghasilkan nilai heterosis positif sebesar 23 %. Hibrida DR1 x Sca 6 menghasilkan nilai heterosis tertinggi berdasarkan parameter luas bercak yaitu (-52,07%) atau persilangan ini akan mnghasilkan ketahanan sebesar 52,07% lebih tinggi dari tetua yang tahan. Angka-angka negatif menunjukkan nilai ketahanan yang mengarah kekiri yaitu menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih baik. Semakin besar nilai heterosis negatif, maka semakin besar pula nilai pewarisan ketahanan yang dihasilkan dari hibrida tersebut.
Tabel 33. Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-
rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak. Persilangan P1(g) P2(g) F1 MP hMP (%) hHP (%) ICCRI3 X TSH 858 18,22672 34,55005 24,673 26,388 -7 35 ICCRI3 X DR1 18,22672 37,48375 20,294 27,855 -27 11 ICCRI3 X ICS13 18,22672 13,46766 10,149 15,847 -36 -25 ICCRI3 X Sca 6 18,22672 23,28629 19,67 20,757 -5 8 TSH 858 X DR1 34,55005 37,48375 26,17 36,017 -27 -24 TSH 858 X ICS 13 34,55005 13,46766 23,02 24,009 -4 71 TSH 858 X Sca 6 34,55005 23,28629 35,531 28,918 23 53 DR 1 X ICS 13 37,48375 13,46766 13,581 25,476 -47 1 DR 1 X Sca 6 37,48375 23,28629 14,717 30,385 -52 -37 ICS 13 X Sca 6 13,46766 23,28629 10,736 18,377 -42 -20
Keterangan: P1 = Tetua pertama, P2 = Tetua kedua, hMP = Heterosis rata-rata
tetua, hHP = Heterosis rata-rata tetua tertinggi, MP= rata-rata nilai
kedua tetua.
Untuk heterosis berdasarkan tetua tertinggi (hHP) terdapat 4 hibrida yang
memiliki nilai heterosis terbaik. Kombinasi persilangan tersebut adalah: DR1 x Sca 6, ICCRI3 X ICS13, TSH 858 X DR1 dan ICS 13 X Sca 6. Keempat kombinasi persilangan tersebut memiliki peluang yang besar digunakan sebagai sumber bahan tanam untuk merakit bahan tanam yang baru. Besarnya heterosis
berkisar antara (-20 %) hingga (-37%). Nilai heterosis tertinggi dihasilkan persilangan : DR1 x Sca 6 sebesar -37%. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan persilangan tersebut akan menghasilkan kenaikan ketahanan berdasarkan intensitas penyakit sebesar 37 % lebih tinggi dari tetua yang mempunyai ketahanan tinggi yang digunakan (Sca 6).
Nilai heterosis berdasarkan IIP (Tabel 34) bahwa hibrida ICS 13 X Sca 6, DR 1 X Sca 6, ICCRI 3 X Sca 6 dan TSH 858 X DR1 menghasilkan nilai tertinggi dibandingkan dengan hibrida lainnya.
Tabel 34. Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-
rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan Intensitas Indek Penyakit (IIP).
Persilangan P1(g) P2(g) F1 MP hMP (%) hHP (%) ICCRI3 X TSH 858 20.416 22.389 13.834 21.403 -35,4 -32,2 ICCRI3 X DR1 20.416 18.389 15.488 19.403 -,20,2 -15,8 ICCRI3 X ICS13 20.416 23.241 12.273 21.829 -43,8 -39,9 ICCRI3 X Sca 6 20.416 15.334 8.253 17.875 -53,8 -46,2 TSH 858 X DR1 22.389 18.389 9.622 20.389 -52,8 -47,7 TSH 858 X ICS 13 22.389 23.241 11.705 22.815 -48,7 -47,7 TSH 858 X Sca 6 22.389 15.334 13.167 18.862 -30,2 -14,1 DR 1 X ICS 13 18.389 23.241 25.477 20.815 22,4 38,5 DR 1 X Sca 6 18.389 15.334 6.250 16.862 -62,9 -59,2 ICS 13 X Sca 6 23.241 15.334 4.446 19.288 -76,9 -71,0
Keterangan: P1 = Tetua pertama, P2 = Tetua kedua, hMP = Heterosis rata-rata
tetua, hHP = Heterosis rata-rata tetua tertinggi, MP= rata-rata nilai
kedua tetua.
Simpulan
1. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam menentukan ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao. Ketahanan banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif.
2. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun sempit tergolong tinggi untuk luas bercak, sedangkan berdasarkan intensitas penyakit, tergolong tinggi hingga sedang.
3. Tetua TSH 858, ICCRI 3 dan Sca 6 mempunyai Daya Gabung Umum yang cukup tinggi untuk luas bercak dibandingkan dengan tetua lainnya.
4. Nilai DGK tertinggi kombinasi ICCRI 3 X Sca 6 untuk luas bercak sedangkan persilangan DR 1 x ICS 13 mempunyai DGK terbaik dibandingkan dengan persilangan lainnya berdasarkan luas bercak maupun IIP, sehingga kombinasi tetua ini berpeluang menjadi penghasil hibrida.
5. Haterosis tertinggi diperoleh dari persilangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6.
Daftar Pustaka
Ambreen A, Chowdhry MA, Khaliq I, Ahmad R. 2002. Genetic determination for
some drought related leaf traits in bread wheat. Asian Journal of Plant
Science 3:232-234.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 p.
Falconer DS. 1985. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd. London, New
York. Longman Group Limited.
Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. 4th ed.
Longman: Essex.
Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development. Theory and Techniques. Vol 2. London: Macmillan Publ.
Griffing B. 1956. Concepts of general and specific combining ability in relation to dialel crossing systems. Aust. J. Biol. Sci. 9:463-493.
Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39: 789-809.
Hanson WD. 1963. Heritability. In WD. Hanson and NF Robinson (Eds)
Statistical genetics and plant breeding. NAS-NRC Pbl. No 982, National Academy of Science, National Research Council, Washington DC., 125- 139.
Iswanto A. & Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the role of planting material resistant to VSD and black pod. In P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112.
Iswanto A & Yunianto D. 1987. Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: 185-188.
__________, Winarno H & Suhendi D. 1999. Kajian Stabilitas hasil dan
komponen buah beberapa hibrida kakao. Pelita Perkebunan 15(2): 81-90.
__________, Winarno H & Astutiningsih P. 1994. Seleksi Pendahuluan
Ketahanan terhadap penyakit kanker batang P. palmivora pada beberapa
kakao hibrida F1 setelah terjadinya banjir. Prosiding Simposium
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1993. Relationship between leaf and
pod resistance in cocoa to Phytophthora palmivora infection. CRU,
Univ.West Indies, Trinidad: 33-39.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1995. Differential reaction of cocoa
clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies,
Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1997. Phytophthora palmivora
resistance in cocoa (Theobroma cacao): influence of pod morphological
characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
Iwaro AD, Sreenivasan TN & Umaharan. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: effect of pathogen species, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol. 104:11-15.
Iwaro DA., T.N.Sreenivasan., Umaharan & Spence. H 1999. Studies on Black Pod Disease in Trinidad. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. p: 67-74. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Johnson R. 1978. Pratical breeding for durable resistance to rust diseases in self- pollinating cereal. Euphytica 27, 529-540.
Kushalappa CA & AB Eskes. 1989. Advances in coffee rust research. Ann. Rev.
Phytopathol. 27, 503-531.
McWhirter KS. 1979. Breeding of cross pollinated crops. In R. Knight (Ed.) ,
Plant breeding. Australian Vice Consellors Committee, Brisbane.
Mawardi S. 1996. Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika
Terhadap Penyakit Karat Daun (Hemileia vastatrix B.et Br) di
Indonesia.[Disertasi]. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 219 hal.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta. Kanisius.
Mahmood T, Shabbir G, Sarfraz M, Sadiq M, Bhati MK, Mehdi SM Jamil M,
Hassan G. 2002. Combining ability studies in rice (Oryza sativa L) under
salinized soil conditions. Asian Journal of Plant Science 1:88-90.
Noshin, Iqbal MM, Din R, Khan SJ, Khan SU, Khan IU & Khan MU. 2003. Genetic analysis of yield its components in F1 generation of brown
mustard (Brassica juncea L.Czem and Coss). Asian Journal of Plant
Science 2: 1027-1033.
Purwantara A. 1990. Pengaruh beberapa unsur cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58: 78-83. Purwantara A & Prawirosoemardjo S. 1990. Fluktuasi intensitas serangan
Phytophthora palmivora pada buah kakao di daerah beriklim basah. Menara Perkebunan 58: 44-50
Poelhman JM, Sleper AD. 1996. Breeding Field Crops. Iowa State University Press. Ames
Prawirosoemardjo S & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl) Butl. pada buah dan batang pada beberapa
varietas kakao. Menara Perkebunan 60: 67-72
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations..Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Roy D. 2000. Plant breeding analysis and exploitation of variation. New
Delhi:Narosa Publishing House. 701 hal.
Rocha, H.M. 1974. Breeding cacao for resistance to Phytophthora palmivora In
P.H Gregory (Ed). Phytophthora Disease of Cocoa: 211-218 Longman
London.
Sujiprihati S. 1996. Heterosis, combining ability and yield prediction in hybrid from local maize inbred lines [PhD]. Malaysia: University.247 p.
Saosa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and estimation of genetic parameters of hot pepper. Sci Agric 60. 105-113.
Singh RK & Chaudary BD. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic
analysis. Kalyani Pub. New Delhi, 304 p.
Suhendi D, Winarno H., & Susilo. 2005. Peningkatan produksi dan mutu hasil
kakao melalui penggunaan klon baru. Prosiding Simposium Kakao. Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, hlm. 98-111. Yogyakarta, 4-5 Oktober 2004.
van der Plank JE. 1963. Plants Diseases Epidemics and Control. Academic Press,
N.Y, 349p.
Wells JR.1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. USA: John Wiley &
Penggunaan varietas kakao yang tahan merupakan cara efektif dan ekonomis untuk pengendalian busuk buah kakao (Muller, 1974). Di Indonesia, pemuliaan kakao ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap busuk buah dan vascular streak dieback (Iswanto & Winarno, 1992). Kemajuan dalam pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap busuk buah kakao sering kali kurang berhasil antara lain diduga karena rendahnya keragaman plasma nutfah kakao, belum tersedianya metode uji ketahanan yang efisien, belum digunakannya strategi pemuliaan yang efektif, dan terbatasnya informasi genetik sifat resisten dan mekanisme ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora.
Tersedianya metode uji ketahanan yang efektif dan mudah dilakukan merupakan langkah awal bagi keberhasilan pemuliaan tanaman kakao untuk
mendapatkan klon unggul yang tahan terhadap infeksi P. palmivora. Untuk itu,
pembakuan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P.
palmivora perlu dilakukan agar identifikasi plasma nutfah yang tahan dan yang rentan dapat dilakukan dengan akurat. Dengan metode baku yang dikembangkan, hasil uji ketahanan plasma nutfah dapat diperbandingkan antar peneliti.
Hal ini sangat penting untuk kakao karena ketahanan buah kakao terhadap
infeksi P. palmivora diduga merupakan ketahanan horizontal (Simmonds, 1994),
yang relatif sulit penanganannya dengan pemuliaan tanaman. Zadoks (1997)
menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lainnya
cenderung bersifat tidak lengkap (partialresistance). Metode baku uji ketahanan
yang dikembangkan harus mampu mengidentifikasi perbedaan respon yang ada di antara koleksi plasma nutfah kakao. Dengan demikian, metode ujinya tidak boleh terlalu ketat sehingga semua plasma nutfah yang dievaluasi mengalami kematian dan tidak boleh terlalu ringan sehingga semua plasma nutfah tergolong tahan.
Dalam pembakuan metode uji ketahanan, faktor yang perlu dievaluasi
antara lain: tipe inokulum P. palmivora yang digunakan (zoospora atau miselia),
perlu tidaknya pelukaan jaringan sebelum diinokulasi (dengan atau tanpa
pelukaan), dan jaringan tanaman yang akan diinokulasi P. palmivora (jaringan
mempertimbangkan aspek teknis pelaksanaannya, yaitu mudah dilakukan tetapi dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji.
Di lapangan, P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan
miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang kakao, dan sisa-sisa tanaman yang tersebar di tanah. Oleh karena itu, dalam pengujian metode inokulasi perlu dievaluasi penggunaan zoospora dan miselia sebagai inokulum.
Dalam percobaan ini, zoospora yang digunakan untuk meginfeksi buah kakao menghasilkan persentase buah tidak terinfeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan miselia. Diameter bercak pada buah kakao yang diinokulasi dengan zoospora juga relatif lebih kecil dibandingkan miselia.
Sebaran diameter bercak pada buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi
dengan zoospora P. palmivora sama dengan klon Sca 12. Sebaliknya untuk buah
kakao yang diinokulasi dengan miselia, persentase buah dengan diameter bercak >8.2 cm lebih besar pada buah kakao klon GC 7 dibandingkan Sca 12.
Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena klon GC 7 merupakan klon kakao yang rentan dan Sca 12 merupakan klon kakao yang lebih tahan terhadap
infeksi P. palmivora. Sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao
akibat infeksi P. palmivora ditemukan antara lain pada klon kakao Sca 6 dan Sca