• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada kecendrungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, di mana yang terakhir cenderung untuk memberikan semacam patokan pada sifat sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut.73

Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit 2 (dua) tindakan, yakni :74

1. Menganakgadaikan (onderverpanden), di mana penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai pertama dengan penerima gadai pertama dan kedua antara penggadai kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan pihak ketiga (sebagai penerima gadai yang kedua).

2. Memindahgadaikan (doorverpanden), yakni suatu tindakan di mana penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga dan pihak ketiga tersebut

72Hermayulis, Keberadaan Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di dalam UUPA,Jurnal Hukum Bisnis, Vol.9, 1999, hlm28 - 29

73

Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 192

menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara penggadai dengan penerima gadai yang baru.

Pada gadai jangka waktu, biasanya dibedakan antara gadai jangka waktu larang tebus dengan gadai jangka waktu wajib tebus. Deskripsinya adalah, sebagai berikut :75

1. Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan penerima gadai ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai dilarang untuk menebus tanahnya. Dengan demikian maka apabila jangka waktu tersebut telah lalu gadai ini menjadi gadai biasa.

2. Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan penerima gadai ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah harus ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas.

Dalam hukum adat, tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat sebagai harta kekayaan yang dapat memberikan kehidupan bagi masyarakat dan sekaligus barang yang bernilai ekonomis, yang pada saat-saat tertentu dapat dipertukarkan dengan keperluan lain yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari dan dilakukan transaksi-transaksi yang ada hubungan dengan tanah.76

Pengalihan tanah untuk memperoleh uang kontan seketika itu juga dapat dilakukan dengan cara menjual. Pengertian jual dalam hukum adat meliputi jual lepas, jual tahunan dan jual gadai.

Gadai merupakan transaksi atas tanah dan benda-benda lain yang dipersamakan dengan tanah yang dilakukan oleh pemiliknya, dengan pihak lain untuk

75Ibid, hlm. 193

76 Rhengena Purba, Pembahasan Atas Laporan Hasil Penelitian tentang Hukum Adat di Bidang Pertanahan, Universitas Darma Agung dan Mahkamah Agung RI, Medan, 1996, hal. 1

jangka waktu sementara. Jadi hak milik sementara atas tanah dan benda berharga lainnya yang digadaikan tidak untuk dilepaskan selama-lamanya kepada orang lain, yang dalam jangka waktu tertentu akan diperoleh kembali dengan cara menebusnya.

Menurut R. Subekti, dalam kertas kerjanya yang berjudul perkembangan lembaga-lembaga jaminan di Indonesia dewasa ini, pada seminar hipotik dan lembaga jaminan lainnya tahun 1977 mengatakan bahwa transaksi gadai tanah mempunyai ciri-ciri penting yaitu : Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa, sipenerima gadai berhak untuk mengulang gadaikan (hervenpanden), oleh karenanya ia tidak boleh menuntut supaya tanahnya ditebus dan barang yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik sipenerima gadai apabila tidak ditebus, meskipun itu diperjanjikan tetapi selalu diperlukan transaksi lagi (penambahan uang).77

Dari pendapat di atas dapat ditarik suatu asas hukum dari gadai tanah adat adalah sebagai berikut:

1. Hak menuntut pengembalian uang gadai dari pemberi gadai tidak dapat dipaksakan.

Dalam hukum adat, selama transaksi gadai berlangsung, si penerima gadai tidak dapat memaksa si pemberi gadai untuk segera menebus benda gadai. Berkaitan dengan kapan gadai itu akan ditebus tergantung dari kehendak si pemberi gadai, sembarang waktu ia dapat menebus gadai itu dan hak menebus ini beralih kepada ahli warisnya sipemberi gadai, dengan demikian penebusan benda

77

R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 39

gadai tergantung kepada kemauan sipemberi gadai.

Hilman Hadikusuma, mengatakan bahwa waktu penebusan kembali itu akan dilakukan oleh penggadai terserah pada kehendak dan kemampuan si penggadai. Pemegang gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada penggadai agar tanahnya ditebus dan hak gadai dapat beralih kepada ahli warisnya.78

A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa pemegang gadai tidak dapat menuntut hutang gadai itu dalam hal tidak ditebus oleh pemberi gadai, sebab pokok transaksi disini adalah tanah bukan uang. Namun demikian sarjana menambahkan bahwa walaupun ada ketentuan tersebut tidak berarti bahwa setiap waktu dapat dilakukannya sehingga dapat mengakibatkan merugikan pemegang gadai, kecuali untuk tanah yang tidak diusahakan, kalau tanah yang diusahakan harus diperhatikan bahwa untuk tanah sawah jika yang mengerjakan sawah pemegang gadai, maka penggadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah selesai dipanen, untuk tebat tanah perikanan harus menunggu hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya.79

2. Hak menebus tidak hilang karena lewat waktu.

Menurut hukum adat Indonesia, hak menebus dalam transaksi gadai tanah tidak mungkin hilang karena pengaruh lewat waktu (verjaring). Selama uang gadai belum dibayar/ditebus kembali kepada pemegang gadai, maka sipemegang gadai

78

Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 127.

79

A. Fauzi Ridwan,Hukum Tanah Adat, (Jakarta: Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewa Ruci Press, 1982), hlm.37

tetap menguasai benda gadai tersebut. Demikian juga kalau dalam transaksi gadai yang di perjanjikan/ditentukan tidak berarti bahwa dengan habisnya waktu kemudian secara otomatis benda gadai menjadi milik sipemegang gadai akan tetapi harus ditempuh suatu tindakan hukum lain yakni dengan cara meminta kepada pemberi gadai agar tanah tersebut ditebus atau dijual, dari hasil harga jual diberikan kepada pemegang gadai sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai atau dengan perantaraan pengadilan.

Untuk diambil keputusan sesuai kebijaksanaannya, dengan adanya keputusan hakim tersebut maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemberi gadai saja tetapi sama-sama memikul kerugian. Hal ini dapat dilihat dari keputusan beberapa Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain :

a. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 33/K/SIP/1952 tanggal 21 September 1955 yang berbunyi: Gadai tanah tidak ada batas waktu untuk menebus kembali tanah itu.80

b. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 18/K/SIP/1956 tanggal 10 Januari 1957 yang berbunyi menurut hukum adat seluruh Indonesia hak menebus tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu.81

c. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret 1960 yang berbunyi : Jual gadai tanah sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya

80Abdurrahman, Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria VI, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 750

sipemegang gadai untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain.82

d. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 45/K/SIP/1960 jo Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 30/K/SIP/1961 tanggal 17 Mei 1961 yang berbunyi apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah harus ditebus ini tidak berarti bahwa setelah waktu itu lampau tanpa tebusan tanahnya dengan sendirinya menjadi milik sipemegang gadai melainkan harus ada suatu penegasan yang konkrit.83

e. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 116/K/SIP/1962 tanggal 30 Mei 1962 yang berbunyi : Dalam hal gadai tanah hak menebus menurut hukum adat tidak dapat lenyap secara daluarsa.84

f. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 420/K/SIP/1969 yang berbunyi gadai tanah tidak tunduk pada kadaluarsa.85

3. Pemegang gadai tidak dapat secara otomatis menjadi pemilik benda gadai.

Adakalanya dalam transaksi gadai, para pihak menentukan waktu penebusan gadai. Dengan batas waktu ini sipemberi gadai berkewajiban menebus benda gadai dari tangan pemegang gadai, maka benda gadai menjadi milik pemegang gadai. Kalau hal demikian telah diperjanjikan para pihak, maka menurut S.A. Hakim isi perjanjian

82Ibid,hlm. 773

83Ibid, hlm. 783

84Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, Jilid II, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1981), hlm. 32

itu tidak boleh diartikan secara leterlek (menurut kata-kata). Dengan perkataan lain isi perjanjian itu tidak berlaku secara

otomatis.86

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut harus ada tindakan hukum yang lain, berupa perbuatan kongkrit agar pemegang gadai dapat menjadi pemilik benda gadai. Hal ini dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam keputusannya Nomor: 45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret 1960 yang berbunyi sebagai berikut: Jual gadai tanah dengan perjanjian bahwa apabila lewat waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi milik sipemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan sawah itu dengan sendirinya menjadi miliknya sipemagang gadai. Untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain.87

Berdasarkan pendapat para sarjana dan didukung oleh putusan Mahkamah Agung maka dapat dipahami bahwa berakhirnya batas waktu gadai tidak mengakibatkan pemegang gadai menjadi pemilik benda secara otomatis, pendapat ini didasarkan kepada rasio transaksi gadai itu sendiri yang pada hakekatnya bukan untuk melepaskan tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya melainkan bersifat sementara.

Ini berarti sipemberi gadai memiliki keamanan untuk memiliki kembali benda gadai tersebut. Oleh karena itulah kalau sipenerima gadai ingin memiliki benda gadai

86

S.A. Hakim,Jual Lepas, Jual Gadai, Jual Tahunan, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1960), hlm. 23

maka ia harus menempuh cara lain yaitu adanya perbuatan hukum lain secara konkrit yang dikenal dengan istilah jual lepas.

Dari putusan Mahkamah Agung dapat disimpulkan bahwa gadai tanah ini bisa meliputi tanah secara umum dan gadai tanah khusus tanah sawah. Baik gadai atas tanah sawah atau tanah pada umumnya, hak menebusnya tidak hapus karena pengaruh lampau waktu (daluarsa).

Dalam masyarakat hukum adat, transaksi gadai tanah ini dapat dilakukan secara lisan dan tertulis. Walaupun transaksi dilakukan secara tertulis dengan janji bahwa sipemberi gadai akan menebusnya pada waktu yang ditentukan itu, ternyata sipemberi gadai tidak memenuhi janjinya, maka sipenerima gadai tidak dapat memaksa sipemberi gadai untuk menebus benda gadai dengan alasan waktu gadai telah berakhir. Berakhirnya waktu gadai juga tidak membawa akibat hukum bahwa sipemegang gadai dapat menjual atau memiliki benda gadai.

Hak menebus benda gadai ini suatu hal yang patut dicontoh adalah kebiasaan yang terjadi di Minangkabau yang dikenal dengan istilah “pitungguh gadai” yaitu bahwa pihak penerima gadai setiap tahun memberi kiriman nasi kepada pihak pemberi gadai. Perbuatan ini merupakan suatu pertanda bahwa pihak pemberi gadai mempunyai hak untuk menebus kembali benda gadai tersebut.

Hal ini berbeda dengan pand yang dikenal KUHPerdata bahwa jika waktu pand berakhir dan debitur tidak melaksanakan kewajibannya yakni membayar hutang beserta bunganya, maka menimbulkan hak bagi kreditur untuk menjual barang pand

(melelang). Dari hasil penjualan barang ini, kreditur berhak atas piutangnya dan sisanya dikembalikan kepada kreditur.

4. Penerimaan dan pengembalian uang gadai harus dilakukan sekaligus.

Transaksi harus dilakukan secara tunai dan pembayaran gadai ini tidak boleh sebahagian demi sebahagian melainkan harus dibayar sekaligus. Yang dimaksud dengan uang gadai adalah jumlah uang yang telah dibayar oleh sipemegang gadai kepada si pemberi gadai, tidak merupakan hutang yang dapat ditagih.88

Apabila dalam transaksi gadai, pembayaran dilakukan secara mencicil, maka perbuatan ini sudah tidak sesuai dengan sifat transaksi gadai itu sendiri, yang menghendaki adanya perbuatan tunai. Merupakan hal yang sukar di lingkungan hukum adat bahwa sipemberi gadai telah menyerahkan tanahnya dan sipenerima gadai membayar uang gadai sebahagian saja, sebahagian lagi akan dibayar pada waktu yang lain.

Hal ini juga ditegaskan oleh Ter Haar, bahwa pengembalian uang gadai harus dilakukan sekaligus tidak boleh sebahagian demi sebahagian, apabila pengembalian ini dilakukan sebahagian demi sebahagian harus diartikan bahwa sebahagian dari uang gadai diserahkan lebih dulu kepada sipemegang gadai sedangkan baru ada penebusan bila pembayaran sebahagian terakhir telah terlaksana.89

5. Hak gadai dapat dipindahkan oleh sipemegang gadai kepada pihak ketiga.

88Van Dijk,Pengantar Hukum Adat Indonesia,Terjemahan A. Soehardi, Verkink, Van Hove (Bandung: S. Groven Hage, Tanpa Tahun), hlm. 52

89

Ter Haar,Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti Proesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 117

Apabila sipemegang gadai memerlukan uang maka ia boleh memindahkan hak gadai kepada orang lain. Cara melakukan pemindahan gadai ini dapat dilakukan dengan dua cara :90

a. Antara sipenjual gadai semula dengan pemerima gadai semula (terang-terangan).

b. Antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi).

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kalau sipemegang gadai membutuhkan uang tunai misalnya tidak ingin lagi menguasai tanah itu ia dapat berbicara denga si pemilik, apakah si pemilik menebus kembali tanah itu, kalau tidak maka sipemegang gadai akan mencari orang lain yang dapat menolongnya dengan pemberian uang tunai, apabila pihak ketiga itu sudah ada yang bersedia, ada dua jalan yang dapat dilalui oleh si pemegang gadai, ia dapat menggadaikan lagi tanah itu kepada orang ketiga ini dengan menyerahkan tanah itu kepadanya dan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian, sewaktu-waktu berhak menebus tanah itu kembali dari seorang ketiga itu tersebut (onder verpanding), jalan kedua ia mengoperkan hak gadainya kepada seorang ketiga artinya ia menyerah juga tanah itu kepada orang ketiga dan menerima sejumlah uang tunai dari seorang itu tetapi dengan catatan sipemegang gadai menarik diri dari hubungan hukum terhadap tanah itu.91

90Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 30

91 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: Intermasa, 1986), hlm. 58

Sementara itu A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa sipemegang gadai dapat memperoleh uang kembali dengan 3 (tiga) jalan yang dapat ditempuh antara lain :92

1. Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain (doorverpanding), ini perlu tahu sipemberi gadai juga memerlukan kepala persekutuan, dengan begini kedudukan pemegang gadai lama digantikan oleh pemegang gadai baru dan dia inilah sekarang yang mempunyai hubungan gadai dengan pemberi gadai semula.

2. Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain, tetapi tetap atas nama dirinya sendiri sebagai pemegang gadai terhadap pemberi gadai (onderverpanding) ini tidak memerlukan bantuan kepala persekutuan dan pemberi gadai hanya mempunyai hubungan gadai dengan pemegang gadai artinya dengan menebus hutang gadai kepadanya saja maka ia berhak menerima kembali tanahnya.

3. Ia dapat mengikat pemberi gadai, dengan janji supaya tebusan dibayar pada waktu yang ditentukan, jika lewat waktu ia maka tanah itu akan menjadi milik si pemegang gadai. Ini berarti jika waktu yang ditentukan itu telah lewat, ia dapat menuntut supaya hubungan gadai diputuskan serta diganti dengan transaksi jual lepas. Dengan transaksi inilah pemegang gadai dapat memiliki tanah itu, jika tidak ada persesuaian maka diminta putusan hakim supaya tanah menjadi hak miliknya dengan pembayaran harga tanah yang ditetapkan/ditentukan dalam putusan ini.

Dokumen terkait