• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng

Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa konsentrasi protein inhibitor katepsin semakin menurun dengan meningkatnya pengenceran. Penambahan larutan buffer sebagai media pengencer mengakibatkan konsentrasi protein yang terkandung pada inhibitor berkurang. Konsentrasi protein inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 1,23 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:1 sebesar 0,76 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 0,28 mg/ml, dan inhibitor dengan pengenceran 1:3 sebesar 0,12 mg/ml. Menurut hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3c). Inhibitor katepsin pada penelitian ini berasal dari ekstrak daging ikan patin yang mengandung protein. Menurut BPMHP (1998) diacu dalam Erdiansyah (2006), kadar protein daging ikan patin adalah sebesar 16,10 %.

Inhibitor protease dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti bakteri, hewan, dan tanaman. Diketahui bahwa inhibitor alami yang mengatur protease di dalam tubuh organisme ini adalah protein dan hanya beberapa mikroorganisme menghasilkan sedikit komponen inhibitor non-protein untuk menghalangi aktivitas protease dari inang yang diserang. Protease inhibitor terakumulasi dalam jumlah yang tinggi dalam biji tanaman, telur burung, jaringan hewan, dan berbagai cairan tubuh (Rondanelli 2002). Hasil ini juga menjelaskan bahwa inhibitor katepsin yang didapatkan diduga merupakan suatu protein.

4.3 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng

Penentuan fase post mortem ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui dan menilai derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya beberapa tahapan kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik. Penentuan kesegaran ikan dengan cara ini menekankan pada pengamatan faktor-faktor mutu organoleptik yang dimiliki ikan seperti bau, rupa, cita rasa (flavor), dan tekstur atau konsistensi daging ikan tersebut secara visual (Lampiran 1).

Sebelum dilakukan penentuan tahap post mortem, dilakukan penanganan ikan bandeng yang diperoleh dari Tambak Salembaran Jaya, Tangerang. Ikan bandeng dibawa dalam kondisi hidup dengan menggunakan kantong plastik

polybag yang berisi air dari tambak dimana ikan dipelihara dan diberi tambahan oksigen. Ikan bandeng kemudian langsung dimatikan dengan cara menusuk medula oblongatanya.

Ikan bandeng yang baru mati langsung direndam secara bersamaan ke dalam larutan inhibitor dengan pengenceran 1:1 selama 1 jam dalam kondisi suhu chilling (<5 ºC). Kondisi suhu chilling dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan selama proses perendaman berlangsung dan suhu ini juga dapat menjaga stabilitas inhibitor. Proses yang sama juga dilakukan untuk ikan kontrol, tetapi media perendaman yang digunakan adalah Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, pH 5,5). Kedua proses ini dilakukan secara bersamaan dan ikan yang sudah melalui proses perendaman 1 jam lalu disimpan dalam media tupperware selama masa penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC).

Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu chilling menghasilkan empat titik untuk dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol), kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada penyimpanan selama 0 jam (0 hari). Fase rigor mortis pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol dicapai setelah penyimpanan selama 96 jam (4 hari). Fase post rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 365 jam (15 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 360 jam (15 hari). Fase busuk untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 576 jam (24 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 504 jam (21 hari).

Fase pre rigor merupakan kondisi pada saat ikan baru mati dan tubuh ikan memiliki tekstur yang elastis (FAO 1995). Ikan badeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol sama-sama mengalami fase pre rigor selama 96 jam (4 hari). Inhibitor pada fase ini belum bekerja dengan baik karena proses yang paling berperan pada fase ini adalah pembentukan ATP dari ADP dan kreatin fosfat (CP). Pada kondisi pre rigor terjadi penurunan CP secara cepat. Konsentrasi ATP coba dipertahankan untuk beberapa saat dengan proses resintesis dari ADP dan CP. Namun ketika konsentrasi CP sama dengan ATP maka terjadi proses

30   

penurunan ATP dan rigor mortis pun dimulai (Iwamoto et al. (1988) diacu dalam Wang et al. 1998).

Fase rigor mortis adalah keadaan pada saat otot ikan mengalami kontraksi yang mengakibatkan tubuh ikan manjadi keras dan kaku (Lawrie 1995). Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis selama 269 jam (11 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase rigor mortis selama 264 jam (11 hari). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis lebih lama 5 jam dibanding dengan ikan bandeng kontrol. Pada fase ini diduga kerja inhibitor belum bekerja dengan baik. Lama atau tidaknya fase rigor mortis ditentukan oleh kandungan glikogen ikan pada saat ikan itu mati (Govidan 1985).

Fase post rigor terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis, fase ini ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post rigor selama 211 jam (9 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase post rigor selama 144 jam (6 hari). Perendaman dengan inhibitor katepsin dapat memperpanjang fase post rigor ikan bandeng sebanyak 72 jam atau 3 hari lebih lama dibanding ikan bandeng kontrol. Inhibitor katepsin lebih berperan dalam menghambat kemunduran mutu pada saat ikan sudah memasuki fase post rigor.

Menurut hasil penelitian Rustamadji (2009) menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi enzim katepsin pada ikan bandeng terjadi pada saat ikan memasuki fase post rigor. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa inhibitor katepsin lebih terlihat perannya selama ikan memasuki fase post rigor atau pada saat aktivitas katepsin memiliki aktivitas tertinggi sehingga perannya tidak begitu terlihat pada fase pre rigor dan rigor mortis.

Enzim lisosomal (katepsin) mempunyai peran dalam setiap aktivitas proteolitik dan pelunakan daging ikan selama fase post mortem. Hal ini dikarenakan enzim ini mendegradasi protein (substrat) yang sama selama fase post mortem daging ikan. Banyak enzim lisosomal juga menunjukkan aktivitas

yang sama pada saat nilai pH mendekati pH pada saat fase post rigor (Rondanelli 2002).

Inhibitor katepsin dari ikan patin tidak bekerja sebaik dengan inhibitor katepsin dari ikan bandeng pada saat diaplikasikan untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Menurut penelitian Zaenuri (2010) menunjukkan bahwa inhibitor katepsin dari ikan bandeng (aktivitas inhibisi 80,50 %) mampu menghambat kemunduran mutu ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) sampai dengan 624 jam (26 hari) atau lebih lama 48 jam (2 hari) dibandingkan dengan ikan bandeng yang direndam dengan inhibitor katepsin dari ikan patin (aktivitas inhibisi 85,29 %). Hal ini diduga karena inhibitor katepsin dari ikan patin mengandung pigmen daging (mioglobin) dan hemoglobin yang lebih banyak dibandingkan inhibitor dari ikan bandeng. Larutan inhibitor katepsin dari ikan patin tampak berwarna lebih merah dibandingkan dengan inhibitor dari ikan bandeng (Lampiran 6). Warna pada daging secara nyata dipengaruhi oleh kandungan mioglobin. Mioglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma dan bersifat larut dalam air (Lawrie 1995). Proses pengeluaran darah yang tidak optimal juga mengakibatkan hemoglobin ikut terekstrak pada saat proses ekstraksi inhibitor. Proses kemunduran mutu ikan diantaranya disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis, mikrobiologis, dan oksidasi. Adanya mioglobin dan hemoglobin pada larutan inhibitor ini diduga dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan melalui proses oksidasi.

Dokumen terkait