• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Sanksi Pidana dan Orientasi Tujuan Pemidanaan

BAB IV WEWENANG PENETAPAN SANKSI PIDANA PADA

C. Penetapan Sanksi Pidana dan Orientasi Tujuan Pemidanaan

Penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi akan sangat dipengaruhi oleh konstruk berpikir para perancang Perda tentang fungsionalisasi pidana yang di ajukan untuk dibahas di lembaga legislatif. Pengaruh yang paling menonjol dalam setiap pembicaraan rancangan peraturan perundang-undangan adalah adanya keberagaman jenis pidana dan bentuk sanksi pidana sebagaimana telah diuraikan di sebelumnya.

Keberagaman jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana harus memperoleh perhatian para pemegang kebijakan legislasi untuk menjadikan sanksi itu sangat sederhana (simple) agar tak terjadi tumpang tindih (overlapping) antara produk perudang-undangan pidana yang satu dengan yang lainnya, dan hendaknya sanksi pidana itu pada akhirnya dapat difungsionalkan pada tataran aplikasi. Sedemikian pentingnya peran legislator dalam menyensor perangkat- perangkat sanksi dalam hukum pidana dikemukakan ole H.J. Smidt, bahwa:

The legislator’s choice for a simple sanction system was considered to be advantageous: “The last sanctions, the easier their intrinsic comparability and

151

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 53.

without such comparison no meeting out of a sentence in a just proportion to the relative seriousness of crime is possible.152

Keberagaman jenis dan bentuk sanksi yang berupa sanksi tindakan (treatment) memang lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, lebih canggih dan berdimensi baru (new dimention of criminality). Di samping itu, adanya pencarian model-model pemidanaan yang sedapat mungkin tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap narapidana, selama menjalani pemidanaan, maupun pasca menjalani pemidanaan telah mendorong para perancang peraturan perudang-undangan pidana dalam hal penetapan sanksinya membutuhkan strategi tertentu untuk mendapatkan alternatif terbaik.

Barda Nawawi Arief,153 mengemukakan strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat pemidanaan, bila hakikat lebih dekat dengan masalah-masalah dibidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih di utamakan penggunaan sanksi tindakan dan/atau pidana denda.

Kebijakan aspek kriminal mengemukakan, penetapan sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional. Berdasarkan konsepsi rasionalitas ini, maka kebijakan penetapan sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara

152

HT Smidt, Geschiedenis van het Wetboek Van Strafrecht, dalam peter J.P. Tak, Sentencing In the Netherlands, 1997, hlm. 78.

153

keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Penetapan tujuan ini oleh Karl O. Christiansen dikatakan sebagai prasyarat yang fundamental154. Pernyataan ini oleh Barda Nawawi Arief diberikan komentar:

“sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu,

maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaannya yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. Barulah kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan”. Menurut Barda Nawawi Arief, persoalannya sekarang apakah hukum pidana positif telah merumuskan tujuan pemidanaan itu. Sebab bila tidak, hal ini akan menyebabkan ketidak konsistenan (inconsistency) pada tahap kebijakan legislasi dalam membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Padahal, tujuan pemidanaan inilah yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu jalinan mata rantai dalam suatu kebulatan sistem yang rasional155. Dengan demikian, apapun jenis bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan harus menjadi patokan, sehingga ada kesamaan pandang atau pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri.

154

Karl O. Christiansen, Op., Cit., hlm. 74, The fundamental prerequisite of defining a means, method or measure as rational is that the aim or purpose to be achieved is well defined.

155

Muladi156 berpendapat tujuan pemidanaan dijadikan patokan dalam rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan pidana dimaksudkan untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, meliputi sinkronisasi struktural (structural synchronization), sinkronisasi subtansial (subtansial synchronization) dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural synchronization). Dalam hal sinkronisasi kultural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi subtansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalanya sistem peradilan pidana.

Mengikuti tata pergaulan dunia, politik hukum yang hendak dilaksanakan tidak dapat mengabaikan perkembangan-perkembangan di negara-negara beradab, meskipun tetap harus berpijak pada nilai-nilai lokal yang merupakan roh dalam setiap pembangunan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut eksistensi politik hukum di Indonesia, di satu pihak tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional yang terdapat di Indonesia, tetapi di pihak lain, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realitas dan politik hukum internasional.

156

Pemidanaan dalam hukum pidana diberbagai negara pada saat ini terdapat beberapa sistem, baik yang sistem hukumnya menganut anglo-saxon maupun kontinental, seperti Amerika, Belanda, Kanada, dan Norwegia. Memperhatikan perkembangan sistem pemidanaan di negara-negara lain merupakan suatu hal yang mutlak harus diperhatikan apabila dilihat dari sudut politik hukum.

Faktor-faktor berpengaruh terhadap politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung kepada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut pula ditentukan oleh kenyataan dan perkembangan hukum di lain-lain negara serta hukum internasional. Apalagi bila dicermati bahwa sasaran kajian politik hukum adalah kebijakan yang digunakan oleh pembuat hukum nasional157. Kebijakan tersebut menurut Soewoto Moeljosoedarmo158 dapat berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan pembentukan hukum termasuk kabijakan agar mendasarkan hukum nasional pada asas-asas hukum yang berlaku.

Penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya, harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Dalam hukum pidana bentuk sanksi pada umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu pidana

157

Sunaryati Hartono, Perspektif Politik Hukum Nasional; Sebuah Pemikiran, Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 5 Tahun ke 10, September, 1980, hlm. 465.

158

Soewoto Moeljosoedarmo, Pengertian dan Problematik Politik Hukum, Makalah Diskusi Politik Hukum, Pascasarjana Untag, Surabaya, Agustus, 1999.

(straf) dan tindakan (maatregel). Menurut Sholehuddin keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: “untuk

apa diadakan pemidanaan itu”159

. Bertolak dari ide dasar yang berbeda membawa konsekuensi sifat kedua sanksi itu berbeda. Sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera, sedangkan sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Sanksi pidana lebihmenekankan unsur pembalasan (pengimbalan) yang merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar, sedangkan sanksi tindakan, bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat160. J.E. Jonkers menyatakan titik berat sanksi pidana pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial161.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, aspek tujuan pemidanaan merupakan faktor yang berpengaruh dalam penetapan pidana oleh para pembentuk produk hukum, termasuk penetapan pidana peraturan daerah. Aspek itu akan berpengaruh

159

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: lde Dasar Double Track Sistem & lmplementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.17.

160

Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1 A, Badan Penyediaan Kuliah FH-UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.

161

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 350.

terhadap konstruk berpikir para perancang peraturan daerah di dalam memanfaatkan sanksi pidana sebagai dasar ditaatinya norma hukum. Pada sisi yang lain, pemikiran tentang tujuan dari pemidanaan telah berkembang sedemikian pesat, sehingga secara keilmuan telah menjadi kajian tersendiri di bidang Penologi dan Penitentiere. Perbedaan orientasi tujuan pemidanaan dan tindakan memiliki kaitan dengan filsafat yang memayungi ide pengenaan sanksi tersebut. Filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber ide sanksi tindakan. Asumsi dasar filsafat indeterminisme bertolak dari pemikiran bahwa manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika melakukan kejahatan. Sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku. Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada162. Perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku.

162

A. Mangunhardjana, lsme-isme Dalam Etika: dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 41.