• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEOLOGI FEMINIS DAN PENAFSIRAN FEMINIS

B. Pengaruh Gerakan Feminisme Terhadap Teologi Feminis

Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi feminis.

Sebelum abad ke 19, kaum perempuan dipandang sebagai yang kedua sesudah kaum laki-laki. Kitab Suci dalam masyarakat Barat disalahfungsikan sebagai sumber utama dan pembenar terhadap penindasan perempuan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun Gereja (Andalas, 2009:147).

Teologi lahir dari keinginan jemaat beriman untuk memahami secara lebih penuh relasi keimanannya dengan Allah, dengan menafsir keyakinannya itu atas cara-cara yang dapat dipahami oleh zaman dan tempatnya (Clifford, 2002:50). Teologi feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan kaum perempuan yang tertindas yang dinilai bertentangan dengan martabat mereka sebagai manusia dan kehendak Allah.

Teologi feminis sebagai suatu teologi kritis pembebasan, berkembang dalam tantangan terhadap androsentrisme simbolik dan dominasi patriarki dalam agama, berusaha menemukan kembali warisan biblis untuk memperkuat perjuangan kaum perempuan demi pembebasan (Fiorenza, 1995: 14).

Aruna Granadason memilah kekerasan terhadap perempuan menjadi kekerasan terbuka dan terselubung. Kekerasan terhadap perempuan disebut terbuka karena indra statistik dapat menangkapnya meskipun seringkali terbatas rengkuhannya. Sedangkan kekerasan pada perempuan seringkali terselubung karena ukuran statistik seringkali sulit menangkapnya. Kekerasan terselubung, baik verbal, mental, maupun fisik menimpa jutaan perempuan (Andalas, 2009:129-130). Teologi feminis mengandung renungan-renungan yang penting untuk dipahami (Zakiyuddin, 1997:47). Bahasa dalam upacara-upacara keagamaan serta bahasa dalam menamai Tuhan telah serius dibatasi tanpa mengikutsertakan pengalaman-pengalaman perempuan. Tujuan bentuk teologi feminis tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi itu sejauh membawa harapan dan kabar baik kepada kaum perempuan (Fiorenza ed, 1996:6-9).

Teologi feminis juga bisa didefinisikan sebagai sebuah cara tertentu untuk mengajar dan menyusun teologi yang dengan permenungannya yang konkret, menentang pengajaran teologis lain yang berpangkal pada ortodoksi dan bukanlah berlandaskan praksis (Zakiyuddin,1997:162). Semua teologi feminis Kristen menganut prinsip bahwa patriarkal dan androsentrisme dalam berbagai bentuknya bertentangan dengan iman akan Allah yang oleh pewahyuan Kristen dimaklumkan sebagai kasih itu sendiri (Clifford, 2002:52). Tujuan bentuk berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi itu sejauh tidak memberi arti kabar baik bagi orang-orang yang adalah kaum perempuan (Johnson, 2003:122). Visi yang membimbing teologi feminis adalah visi suatu masyarakat manusia baru yang

berdasarkan pada nilai-nilai saling dan timbal balik. Visi itu muncul dari analisis yang dilakukan oleh teolog feminis.

Analisis yang dilakukan oleh para teolog feminis yaitu seksisme sudah merasuk ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam “tempat” mereka sendiri (Johnson, 2003:123).

Maka beberapa ahli mengelompokkan model-model teologi feminis menjadi tiga bentuk, yaitu :

Teologi feminis revolusioner; teologi ini dipengaruhi oleh kaum feminis radikal yang pada mulanya ambil bagian dalam Gereja-Gereja Kristen dan menyimpulkan bahwa agama Kristen itu adalah patriarkal yang tidak dapat disembuhkan lagi, dan bahkan anti perempuan. Maka mereka meninggalkan agama Kristen serta hukum patriarkal yang dipengaruhi oleh Kitab Suci Kristen karena tidak akan memberikan harapan perbaikan. Masalah utama mereka ialah peran utama yang diberikan kepada pewahyuan tentang seorang Allah “laki-laki”, yang mereka yakini digunakan untuk mengabsahkan penindasan patriarkal atas kaum perempuan oleh Gereja-Gereja Kristen. Di samping itu, mereka menunjukkan bahwa orang-orang Kristen tetap saja merendahkan kaum perempuan di dalam Gereja-Gereja mereka dan di dalam relasi perkawinan mereka.

Teologi feminis reformis; teologi yang tidak berupaya untuk merekonstruksi total agama Kristen. Para teolog reformis tidak

berkehendak menggantikan Allah yang telah diwahyukan oleh Yesus Kristus. Pendukung model teologi feminis ini percaya bahwa mereka dapat memecahkan masalah menyangkut status kelas dua kaum perempuan melalui cara seperti terjemahan Kitab Suci yang lebih baik dan penekanan lebih banyak pada perikop-perikop yang berbicara tentang kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam Kitab Suci. Teologi feminis rekonstruksionis; model ini memiliki titik temu dengan feminis reformis dalam komitmen kepada agama Kristen. Para teolog feminis rekonstruksionis mencari pokok teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi Kristen itu sendiri, namun juga mencita-citakan suatu pembaruan yang lebih dalam, suatu konstruksi yang sejati, bukan saja menyangkut struktur-struktur gerejani melainkan juga struktur-struktur masyarakat madani. Kaum feminis rekonstruksionis membuat penilaian kritis terhadap patriarkal, namun mereka percaya bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisional agama Kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan dalam Yesus Kristus merupakan hal yang dicita-citakan. Feminisme rekonstruksionis sangat menekankan pentingnya tindakan konkret yang secara efektif mewujudnyatakan bahasa religius yang menyuarakan kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh sebab itu, mereka tidak tertarik pada ihwal membangkitkan kesadaran akan berbagai bentuk ungkapan patriarkal serta merancang tafsir yang berciri pembebasan, tapi berusaha merombak persekutuan Kristen dan masyarakat madani.

Wawasan-wawasan teologis yang dirumuskan mengalir dari dan bermuara ke dalam aksi yang berupaya mengakhiri seksisme, penindasan atas orang- orang tertekan dalam setiap bentuk dan kerusakan yang dilakukan manusia pada bumi ini (Clifford, 2002:66).

Dari ketiga model tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan terutama mereka yang aktif dalam kegiatan gerejani, atau yang menjadi umat gerejani memberikan aspirasi-aspirasi mereka dalam pemikiran melalui pendekatan yang khas agar impian-impian mereka demi memastikan adanya tindakan Gereja yang tanggap terhadap permasalahan kaum perempuan. Teologi feminis mengandung renungan-renungan yang penting untuk dipahami karena mengungkapkan pandangan-pandangan serta harapan-harapan akan dunia yang lebih baik. Sialnya hal ini kerap disepelekan, dengan begitu malah memblokir jalan bagi Gereja untuk memperoleh sumbangan yang akan membuatnya semakin kaya (Zakiyuddin, 1997:47). Kaum feminis mengupayakan adanya kemitraan sejati antara laki-laki dan perempuan di dalam Gereja, adanya keimanan terhadap masyarakat baru yang dijanjikan dalam Kristus.