• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia

PENGARUH KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN TERHADAP PERDAGANGAN

7.2. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia

7.2.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia

Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya mengenai biaya dan volume ekspor, untuk mengetahui indikator kualitas infrastruktur transportasi mana yang lebih berpengaruh terhadap biaya dan volume impor Indonesia, baik secara total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara, dilakukan analisis untuk masing-masing indikator variabel infrastruktur transportasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 43 dan Tabel 44. Berdasarkan Tabel 43 terlihat bahwa dari tiga model yang digunakan memiliki R2 yang cukup tinggi berkisar antara 0.7501 (model 3) sampai 0.9043 (model 1). Artinya variabel-variabel penjelas (explanatory variable) mampu menjelaskan sekitar 75.01 persen sampai 90.43 persen variasi variabel yang dijelaskan (dependent variable) yaitu biaya impor, sisanya sekitar 9.57 persen sampai 24.99 persen dijelaskan oleh variabel di luar model.

Hasil estimasi untuk model 1 yaitu tanpa membedakan moda transportasi menunjukkan bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang relatif berpengaruh signifikan terhadap biaya impor adalah kualitas pelabuhan (port quality) Indonesia sebagai negara pengimpor dengan koefisien yang bertanda negatif sebesar 0.2329. Artinya, semakin kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia akan menurunkan biaya impor Indonesia. Demikian halnya untuk model 2 yaitu model untuk moda transportasi laut menunjukkan hal yang sama, bahwa kualitas pelabuhan Indonesia yang berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya impor yaitu sebesar -0.2795.

Infrastruktur pelabuhan ini diantaranya mencakup infrastruktur dasar seperti, alur pelayaran, kolam pelabuhan, penahan gelombang (breakwater), pelampung tambat (mooring buoy), dan infrastruktur penunjang berupa dermaga, gudang, lapangan penumpukan dan jalan, maupun infrastruktur non fisik terkait penanganan dan lain sebagainya. Menurut Global Competitiveness Report (2011- 2012), indeks kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3.6 dari skala 7. Artinya, masih relatif jauh dari angka ideal. Di antara negara ASEAN sendiri, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih dibawah Singapura (6.8), Malaysia (5.7), Thailand (4.7), dan Kamboja (4.0). Dengan kata lain dapat dikatakan infrastruktur pelabuhan Indonesia masih belum efektif dan efisien. Tabel 43. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi

Terhadap Biaya Impor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) -1.1658*** -1.7994*** 2.5402*** Ln_H 0.0070 0.02143 -0.1604*** Ln_BBKR -0.1774*** -0.1935*** 1.4201*** INSTi 0.1470*** 0.2346 INSTj 0.0438 0.0450 -0.1921** PORTi -0.2329*** -0.2795*** PORTj AIRPORTi AIRPORTj 0.0730*** 0.0322 -0.4008*** LSCIi 0.0624*** 0.0842*** LSCIj -0.0015* -0.0014* ROADi 0.0930*** 0.1188*** -0.0840*** ROADj 0.0871* 0.1139** Adjusted R2 0.9043 0.9042 0.75011 S.E of Regresion 0.2818 0.3084 0.4278 F-stat 51.2842 51.8734 17.8022 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 27.8100 33.4045 64.7910

Durbin Watson Stat 1.7015 1.7464 1.7537

Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum 1.3017 (Kamboja) -0.7637 (Jerman) 1.366 (Kamboja) -0.7690 (Jerman) 1.3687 (Swedia) -0.6648 (Thailand) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Selama ini pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (freeder port). Hal ini lebih karena Indonesia tidak memiliki

pelabuhan Hub Internasional terutama dalam hal kurang memadainya kedalaman pelabuhan atau deep sea port. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa menjaga tingkat kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat memenuhi kriteria deep sea port. Sampai dengan tahun 2009, hampir setiap tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialihkapalkan melalui pelabuhan hubungan internasional yang berada di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kapasitas pelabuhan yang ada saat ini belum memadai untuk mengakomodasi pertumbuhan perdagangan curah (bulky) maupun peti kemas yang cenderung terus meningkat. Pada tahun 2011 Pelabuhan Tanjung Priok menangani hampir 6 juta TEU, padahal berdasarkan kapasitasnya hanya mampu sampai 5 juta TEU. Akibatnya, seringkali kapal-kapal mengantri menunggu giliran untuk berlabuh dan bongkar muat. Akibatnya, waktu tunggu (dwell time) pun menjadi lama yang pada akhirnya berakibat pada naiknya biaya. Seringkali waktu tunggu untuk berlabuh jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu berlayar, yang berimplikasinya pada tingginya biaya. Bahkan menurut laporan AUSAID (2012), diperkirakan pada tahun 2020 aliran peti kemas di Indonesia akan mencapai 30 juta TEU. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat 50 persennya. Apabila tidak segera dibenahi kapasitas dan kualitas pelabuhan yang ada saat ini tentunya akan semakin meningkatkan waktu tunggu dan semakin menurunkan daya saing perdagangan Indonesia.

Waktu tunggu (dwell time) adalah waktu yang diperlukan mulai dari peti kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu gerbang terminal. Pada Bulan Juli dan Agustus 2011, waktu tunggu di Jakarta International Container Terminal (JITC) Tanjung Priok, yang menangani lebih dari dua per tiga perdagangan internasional Indonesia adalah 6 hari. Jumlah ini mengalami peningkatan 22 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 4.9 hari. Bertambahnya waktu tunggu di pelabuhan memberikan dampak negatif pada perekonomian melalui dua hal. Pertama, bagi industri yang berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan sehingga mengurangi daya saing

produk Indonesia di luar negeri. Bagi industri manufaktur “just in time”, sistem

dimana perusahaan harus mengelola jadwal mengimpor bahan mentah dan mengekspor barang jadi secara ketat akan terpengaruh sehingga menganggu rantai

pasok yang efisien. Kedua, “waktu adalah uang”, waktu tunggu yang lebih lama akan meningkatkan biaya, sehingga harga yang akan dibayar konsumen menjadi lebih mahal.

Sumber : World Bank, 2010

Gambar 23. Waktu Tunggu (Dwell Time) Tahun 2010

Dari enam hari waktu tunggu yang diperlukan untuk menurunkan barang dari kapal sampai keluar pintu gerbang terminal meliputi 3 komponen, (1) pra penyelesaian prosedur kepabenan (waktu mulai saat kapal tiba hingga dokumen impor diajukan kepada bea cukai, (2) penyelesaian prosedur kepabenan, dan (3) pasca penyelesaian prosedur kepabeanan (waktu antara penyelesaian dokumen dan pengeluaran barang melalui pintu gerbang) JITC.

Sumber : World Bank, 2010

Menurut World Bank (2010), penyebab utama keterlambatan adalah pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan yang mencapai 58 persen (Gambar 24). Penyebab lamanya waktu pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan ini terkait peraturan termasuk metode pembayaran yang digunakan di Tanjung Priok. Sebagian besar importir dan produsen Indonesia wajib menunggu hingga kapal tiba dan harus membayar pajak dan bea masuk di muka sebelum mengajukan dokumen. Sementara umumnya di negara maju, mengijinkan pengajuan dokumen impor sebelum kapal tiba dan pada akhir proses dengan menyediakan satu faktur yang mencakup biaya pelabuhan, pajak dan bea masuk. Hal inilah diantaranya yang mempengaruhi dwell time di pelabuhan Indonesia. Keterlambatan akan semakin parah ketika kapal tiba hari kamis atau akhir pekan, karena administrasi baru bisa diselesaikan mulai hari senin. Akibat keterlambatan penanganan kargo tersebut banyak kapal menghindari Tanjung Priok untuk berlabuh. Bahkan untuk keperluan ekspor impor terutama kapal-kapal asing memilih berlabuh di Singapura dan Malaysia.

Menurut Ray (2008), rata-rata waktu pulang pergi kapal (suatu ukuran yang menjumlahkan seluruh waktu yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk waktu tunggu, wakatu pelayanan, waktu tidak efektif, waktu kerja, dan lainnya) juga menandakan kualitas pelabuhan Indonesia terutama Tanjun Priok yang masih rendah, dimana kapal-kapal memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan (sekitar 3.5 hari). Walaupun jauh mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 79 hari, namun masih relatif tertinggal dibandingkan Singapura dan Malaysia yang bisa mencapai 1 hari.

Hasil kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tahun 2012, biaya pelayaran masih relatif terbesar yaitu berkisar antara 52-60 persen dari total biaya angkutan, tergantung dari komoditas dan lokasinya. Biaya terbesar lainnya adalah biaya pelabuhan baik pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan sekitar 27-36 persen, sisanya adalah biaya angkutan darat sekitar 9-16 persen. Selama ini komponen tarif di pelabuhan Indonesia mencapai 60 persen dari total biaya angkutan laut. Apabila infrastruktur pelabuhan semakin baik sehingga kegiatan di pelabuhan menjadi efisien yang diindikasikan dengan biaya dan tarif pelabuhan bisa turun 50-70 persen, maka biaya perdagangan laut pun akan menurun secara

signifikan. Buruknya infrastruktur ini tentunya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan akan terus membebani industri, karena barang dan jasa yang dihasilkan tidak memiliki daya saing di pasar internasional dan tidak memiliki daya saing terhadap barang impor.

Upaya yang sedang diupayakan untuk mengurangi dwell time diantaranya penerapan Auto Gate System (sistem pintu otomatis) di Jakarta Internasional Container Terminal (JICT), yang merupakan terobosan untuk meningkatkan kecepatan layanan pemasukan dan pengeluaran kontainer di pintu kawasan pelabuhan (TPS). Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan operasional tempat pemeriksaan fisik terpadu (TPFT) di CDC Banda dan di Graha Segara. Program ini merupakan upaya bersama antara Bea Cukai dengan Karantina untuk melakukan pemeriksaan fisik barang secara terpadu untuk meninkatkan kecepatan layanan. Penerapan integrated cargo release (i-Care) System melalui pengoperasian cargolink di TPK Koja yang melakukan integrasi secara elektronik seluruh layanan yang terkait dengan pengeluaran barang pasca persetujuan dari Bea Cukai (post-clearance) juga mulai diupayakan.

Menurut World Bank (2011) untuk perdagangan lintas perbatasan khususnya kegiatan impor Indonesia menunjukkan bahwa jumlah dokumen yang diperlukan untuk mengimpor barang adalah 6, relatif lebih banyak dibanding Thailand (3), dan Singapura (4). Terkait dengan waktu, waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan impor barang di Indonesia paling lama (27 hari) dibanding negara ASEAN lainnya. Sementara untuk biaya impor mencapai US$ 660 per kontainer. Biaya ini mencakup biaya resmi untuk dokumen, biaya administrasi bea dan cukai, pengawasan teknis, dan biaya penanganan (terminal handling). Dari Tabel 44 terlihat bahwa kinerja prosedural kegiatan impor Philipina dan Vietnam tahun 2011 terus mengalami peningkatkan dibandingkan tahun 2010 terutama dalam hal waktu dan biaya impor per kontainer.

Tabel 44. Prosedural Impor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 Negara 2010 2011 Dokume n (jumlah) Waktu (hari) Biaya (US$/ kontainer) Dokume n (jumlah) Waktu (hari) Biaya (US$/ kontainer) Indonesia 6 27 660 6 27 660 Singapura 4 3 439 4 4 439 Thailand 3 13 795 3 13 795 Malaysia 7 14 450 7 14 450 Philipina 8 16 819 8 14 730 Vietnam 8 21 940 8 21 645

Sumber : World Bank, 2010-2011

Hasil estimasi indikator kualitas infrastruktur transportasi lainnya yaitu LSCI dan kualitas jalan serta kualitas bandara Indonesia sebagai negara pengimpor juga berpengaruh signifikan, walaupun dengan nilai koefisien yang relatif lebih kecil dibandingkan kualitas pelabuhan. LSCI Indonesia berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor Indonesia, baik untuk model 1 maupun model 2, masing-masing sebesar 0.0624 dan 0.0842. Hal ini dikarenakan belum efisiennya komponen pembentuk LSCI Indonesia sehingga tingkat konektivitas terhadap jaringan pelayaran internasional masih relatif rendah. Tidak demikian halnya dengan LSCI negara asal impor yang sudah relatif lebih baik. Hal ini diindikasikan dengan koefisien yang signifikan dan bertanda negatif, masing- masing dengan koefisien -0.0015 dan -0.0014.

Sama halnya dengan hasil estimasi biaya ekspor, hasil estimasi kualitas jalan menunjukkan bahwa kualitas jalan Indonesia berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor (model 1 dan model 2). Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur jalan (banyak yang beraspal sehingga semakin mudah diakses), justru akan meningkatkan biaya impornya. Hal ini diduga terkait dengan masih tingginya biaya-biaya perjalanan yang ilegal (pungutan liar) sepanjang perjalanan barang baik di sekitar pelabuhan maupun dari pelabuhan sampai ke tujuan (produsen/konsumen). Pentingnya infrastruktur jalan adalah dalam proses pengangkutan barang di sekitar pelabuhan, dari kapal ke gudang penyimpanan sementara, tempak cek fisik, maupun dari pelabuhan ke gudang importer (di luar pelabuhan) sampai ke konsumen akhir. Belum lagi sering terjadi kemacetan di

dalam bandara maupun sekitar bandara yang seringkali menimbulkan biaya. Sementara untuk model 3 berpengaruh signifikan negatif.

Untuk moda transportasi udara, kualitas infrastruktur yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor adalah kualitas bandara Indonesia dengan koefisien yang bertanda negatif sebesar -0.4008. Sampai saat ini peran moda transportasi udara dalam angkutan barang masih relatif terbatas, terutama untuk barang-barang tertentu yang berkarakteristik ‘time delivery”, bernilai tinggi, dan relatif ringan. Peran utama moda transportasi udara masih didominasi untuk angkutan penumpang. Dengan demikian masalah infrastruktur bandara pun tidak serumit seperti yang terjadi di moda transportasi laut. Masalah yang seringkali terjadi dalam hal infrastruktur bandara diantaranya, pertumbuhan jumlah bandara yang relatif stagnan, kapasitas penyimpanan kargo sudah melebihi kapasitas yang ada. Sementara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan negatif sebesar -0.0840. Masalah jalan menuju bandara tidak serumit seperti jalan menuju pelabuhan.

Sementara hasil estimasi pengaruh indikator kualitas infrastruktur terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 45. Berdasarkan hasil estimasi model 1 (total) dan model 2 (moda transportasi laut) terlihat bahwa kualitas pelabuhan Indonesia berpengaruh positif terhadap volume impor Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia akan mendorong peningkatan volume yang diimpornya.

Hasil estimasi tingkat konektivitas pelayaran Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional Indonesia berpengaruh signifikan negatif untuk kedua model (1 dan 2). Artinya semakin terkoneksi dengan jaringan pelayaran intenasional maka impor Indonesia (volume ekspor dari negara pengekspor ke Indonesia) justru semakin menurun baik total maupun moda transportasi laut. Hal ini diduga terkait dengan armada domestik yang belum mampu menguasai pasar luar negeri.

Tabel 45. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Volume Impor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) 13.1484*** 12.3760*** 14.0264*** Ln_GDPcapi 1.3618*** 1.3337*** 5.2387*** Ln_GDPcapj -1.2990*** -1.3614*** -4.3353*** Ln_Trdopnnsi -1.7885*** -1.8427*** -5.4565*** Ln_Trdopnnsj 0.6370*** 0.6277*** 4.9996*** PORTi 0.2639** 0.5798*** PORTj LSCIi -0.0257*** -0.0205*** LSCIj -0.0020 -0.0021 JLNi -0.0321 -0.1952*** 0.4506*** JLNj -0.0268 AIRINFRAi -0.13288** -4.5743 AIRINFRAj Adjusted R2 0.9821 0.9815 0.9828 S.E of Regresion 0.4124 0.4169 0.3286 F-stat 294.0416 284.4566 314.2882 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.000000

Sum square resid 59.5311 60.8587 38.0284

Durbin Watson Stat

1.6554 1.6400 2.0330

Fixed Effect (Intersep)

Maksimum 1.8821 (Qatar) 1.9197 (Qatar) 5.6332 (Estonia)

Minimum -2.2743

(Bangladesh)

-2.3782 (Bangladesh)

-7.4245 (Cina) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Untuk moda transportasi laut dan udara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan terhadap perdagangan. Untuk moda transportasi laut, kualitas jalan berpengaruh negatif. Artinya, semakin baik kualitas jalan di negara pengimpor akan menurunkan volume yang diperdagangkan. Hal ini diduga masih banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi selama perjalanan barang.

Untuk melihat indikator kualitas kelembagaan mana yang lebih banyak memengaruhi biaya impor Indonesia dapat dilihat pada Tabel 46. Hasil estimasi menunjukkan untuk ketiga model yaitu tanpa membedakan moda transportasi, moda transportasi laut dan moda transportasi udara, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor Indonesia adalah indikator terkait

efisiensi peraturan/birokrasi pemerintah dan indikator korupsi Indonesia. Kedua indikator tersebut untuk ketiga model konsisten berpengaruh signifikan negatif. Artinya, semakin efisien peraturan atau birokrasi pemerintah terkait perdagangan akan semakin menurunkan biaya. Demikian halnya dengan variabel korupsi, semakin tidk ada indikasi korupsi akan semakin menurunkan biaya.

Tabel 46. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Impor Indonesia

Variabel Total laut Udara

Konstanta (C) 0.7007*** 0.6344** 2.4504*** Ln_H 0.0375 0.0594 -0.1353*** Ln_BBKR 0.1136*** 0.1703*** 1.2737*** INFRAi -0.0182 -0.0082 -0.0112 INFRAj -0.0485 -0;0196 -0.1430*** CORRUPi -0.0040*** -0.0078*** -0.0072** CORRUPj -0.0004 -0.0018 0.0017 BURDENi -0.0410* -0.0688*** -0.1766** BURDENj 0.0304 0.0371 -0.0884 CRIMEi 0.0243** 0.0380*** -0.0220 CRIMEj Adjusted R2 0.9162 0.9137 0.7343 S.E of Regresion 0.2853 0.3122 0.4178 F-stat 59.8084 57.9696 15.8599 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 28.5070 34.1233 61.1022

Durbin Watson Stat 1.6382 1.696 1.7576

Fixed Effect (Intersep) Maksimum 1.1199 (Kamboja) 1.1554 (Kamboja) 1.1582 (Swedia) Minimum -0.5629 (Brazil) -0.6338 (Cina) -0.7057 (Brazil) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kelembagaan adalah adanya National Single Window (NSW) yang mulai diterapkan pada tahun 2007 di Pelabuhan Tanjun Priok. NSW ini merupakan sistem yang memungkinkan single submission dari data dan informasi, single and synchronous processing dari data dan informasi, serta a single decision making untuk pemeriksaan dan pengeluaran barang yang akan mempermudah DJBC dan pelaku perdagangan dalam kegiatan perdagangnnya

sehingga efektivitas dan kinerja lalulintas barang meningkat, minimisasi waktu dan biaya terutama terkait custom release dan clearance of cargoes, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing perdagangan. Ada 18 Kementerian dan Lembaga atau 21 instansi yang terintegrasi dalam memberikan izin pelayanan untuk ekspor dan impor. Sampai saat ini ada sembilan pelabuhan yang sudah menerapkan sistem INSW untuk 90 persen volume perdagangn luar negeri.

Terkait dengan indikasi korupsi, beberapa temuan lapang survei Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan walaupun sudah relatif mengalami perbaikan, namun masih ditemukan adanya pungutan yang yang sifatnya ilegal terutama pada saat pengecekan dokumen dan cek fisik untuk jalur merah. Hal ini umumnya dilakukan atas inisiatif importir untuk mempercepat proses pengeluaran barang, karena biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Jalur merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang, dan dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Kriteria jalur merah meliputi : importir baru, importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi (high risk importir), barang impor sementara, barang Operasional Perminyakan (BOP) golongan II, barang re-impor, terkena pemeriksaan acak, barang impor tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi dan/atau berasal dari negara yang berisiko tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada akhir 2012, pemerintah sudah berupa membangun fasilitas pemeriksanaan fisik terpadu yang biasanya selain melibatkan DJBC juga instansi Karantina. Fasilitas ini akan dioperasikan mulai tahun 2013 ini.

Hasil estimasi indikator indikator kejahatan terorganisir (organized crime) Indonesia yang berpengaruh signifikan positif untuk model 1 dan model 2. Artinya, semakin tidak ada biaya terkait kejahatan terorganisir justru akan meningkatkan biaya impor. Hal ini diduga walaupun secara resmi biaya untuk keamanan terkait kejahatan terorganisir semakin baik atau semakin tidak memberatkan, namun masih adanya biaya-biaya yang sifatnya tidak resmi yang yang harus dikelurkan para importir untuk mengatasi masalah keamanan atas barang-barang yang diimpornya, terutama apabila harus mengalami penyimpanan sementara di pelabuhan. Menurut Carana (2004) dalam Ray (2008), pengiriman

kargo dari Indonesia biasanya menarik premi asuransi sekitar 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidah hanya oleh perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok kejahatan terorganisisr, pencuraian umum dan pencuraian kecil sekaligus pemogokan dan penghentian kerja. Dari penjelasan ini terlihat bahwa masalah keamanan terutama di negara Indonesia sebagai negara pengekspor merupakan faktor penting yang harus mendapat perhatian.

Sementara untuk moda transportasi udara, kejahatan terorganisir tidak serumit dengan apa yang terjadi di pelabuhan. Masalah keamanan di bandara lebih dikarenakan dalam hal gudang penyimpanan kargo yang sudah melebihi kapasitas sehingga seringklai terjadi kehilangan.

Variabel lainnya yang digunakan dalam model yang diduga memengaruhi biaya impor adalah harga barang yang diperdagangkan, harga bahan bakar. Hasil estimasi ketiga variabel tersebut dapat dilihat juga di Tabel 46. Berdasarkan Tabel 46 terlihat bahwa variabel harga bahan bakar untuk ketiga model berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor. Koefisien harga bahan bakar tertinggi terlihat pada model 3, yaitu model moda transportasi udara yaitu sebesar 1.2657. Artinya apabila terjadi peningkatan harga bahan bakar avtur sebesar 1 persen akan meningkatkan biaya impor sebesar 1.2657. Dengan kata lain, apabila terjadi perubahan harga bahan bakar, biaya impor lebih responsif pada moda transportasi udara dibandingkan moda transportasi laut.

Hasil estimasi pengaruh masing-masing indikator kualitas kelembagaan terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 47. Untuk model 1 yaitu total tanpa membedakan moda transportasi terlihat bahwa ketiga indikator kelembagaan yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan. Variabel kebebasan korupsi dari kedua negara yang terlibat perdagangan baik negara pengimpor (Indonesia) maupun negara pengekspor (asal impor) berpengaruh positif terhadap perdagangan, masing-masing sebesar 0.0716 dan 0.0102. Artinya, semakin tidak ada indikasi korupsi baik di negara pengimpor maupun negara pengekspor akan meningkatkan volume perdagangan, meningkatkan impor oleh Indonesia dan sebaliknya. Demikian halnya dengan variabel efisiensi peraturan

pemerintah (burden of government regulatory) negara pengimpor berpengaruh signifikan positif,yaitu sebesar 0.1120.

Untuk model 2 yaitu impor Indonesia melalui moda transportasi laut, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan adalah efisiensi terkait peraturan pemerintah di negara Indonesia maupun terkait dengan kejahatan terorganisisr baik di negara Indonesia maupun negara asal impor Indonesia. Indikator kelembagaan terkait efisiensi peraturan pemerintah Indonesia sebagai negara pengimpor berpengaruh signifikan positif terhadap volume impor, yaitu sebesar 0.0626, sementara indikator kelembagaan terkait kejahatan terorganisir baik di negara Indonesia sebagai pengimpor maupun negara asal impor Indonesia berpengaruh signdifikan negatif, masing-masing sebesar -0.0849 dan -0.0604. Tabel 47. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap

Volume Impor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) 10.8823*** 13.2101*** 10.2056*** Ln_GDPcapi 2.1710*** 1.5616*** 4.5425*** Ln_GDPcapj -2.1750*** -1.4964*** -4.4020*** Ln_Trdopnnsi -2.1098*** -1.9442*** -5.6838*** Ln_Trdopnnsj 2.0157*** 0.8160 5.2641*** CORRUPTi 0.0176*** 0.0021 0.0715*** CORRUPTj 0.0102*** BURDENi 0.1120*** 0.0626** -0.1118*** BURDEN j -0.0865** -0.0770 0.0243 CRIMEi -0.0809** -0.0849*** -0.0134 CRIMEj -0.1714*** -0.0604** Adjusted R2 0.9810 0.9803 0.9889 S.E of Regresion 0.4411 0.4036 0.3147 F-stat 275.5470 268.9387 488.9777 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 67.9148 57.0300 34.7655

Durbin Watson Stat 1.7614 1.6266 1.9474

(Intersep)

Maksimum 3.5884 (Kuwait) 2.2922 (Qatar) 6.1200 (Mauritius) Minimum -2.3607 (Bangladesh) -2.4171 (Bangladesh) -7.7793 (Cina) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

Dari hasil estimasi dan pembahasan mengenai pengaruh kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan terhadap biaya maupun volume perdagangan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya bahwa kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan sangat menentukan perdagangan internasional baik terkait biaya maupun volume perdagangan, baik ekspor maupun impor. Mengingat infrastruktur transportasi sangat menentukan perdagangan, dari indikator transportasi yang dianalisis menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan (port quality) sangat menentukan perdagangan. Hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien kualitas pelabuhan yang relatif lebih besar. Terlebih lagi dengan perdagangan antar negara lebih banyak (> 95%) dilakukan melalui moda transportasi laut. Namun demikian bukan berarti moda transportasi udara tidak menjadi penting. Moda transportasi udara sangat diperlukan dalam perdagangan produk yang

bersifat cepat rusak/busuk, “time delivery”, bernilai tinggi tidak bersifat bulky.

Komponen pembentuk kualitas pelabuhan yang sangat menentukan lancarnya lalu lintas perdagangan sehingga diharapkan mampu meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia relatif sangat kompleks diantaranya terkait dengan kapasitas pelabuhan yang sudah tidak mencukupi lagi, terlebih lagi dengan semakin meningkatnya arus perdagangan yang terjadi saat ini yang diduga akan terus meningkat. Belum adanya pelabuhan yang berkapasitas pelabuhan hub internasional yang merupakan pelabuhan utama primer yang mampu melayani angkutan alih muat (transshipment) peti kemas nasional dan internasional dengan skala pelayanan transportasi laut dunia. Hal ini lebih dikarenakan masih terbatasnya kedalaman pelabuhan di Indonesia yang umumnya tidak bisa lebih dari 12 meter dan sangat rawan terhadap kedangkalan, yang pada akhirnya hanya kapal yang berkapasitas kecil dan menengah yang bisa berlabuh. Hal lainnya terkait dengan posisi pelabuhan utama yang umumnya berada di pusat kota