• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan

METODE PENELITIAN

2. Keanekaragaman spesies

3.5.3 Pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan

Hubungan antara peubah jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Mattjik dan Sumertajaya (2006) menyatakan regresi linier sederhana merupakan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara dua faktor antara satu peubah bebas (X, independence variable)

dan satu peubah tak bebas (Y, dependence variable) dimana hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Regresi linier sederhana dapat dituliskan dalam bentuk persamaan (Mattjik & Sumertajaya 2006):

Y = α+ β X

Dimana: Y= Peubah tak bebas, X= Peubah bebas, α = Intersep, β = Kemiringan. Hipotesis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan yaitu:

H0: Jarak dari jalan tidak berpengaruh secara nyata terhadap sebaran jumlah

individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan.

H1: Jarak dari jalan berpengaruh nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies

tumbuhan asing invasif yang dominan.

Hipotesis diuji secara statistik dengan uji f dan uji t pada persamaan regresi yang dihasilkan. Taraf kepercayaan yang digunakan adalah sebesar 95% atau nilai

α sebesar 0,05. Apabila nilai signifikansi pada uji f dan uji t lebih kecil daripada

nilai α, maka hipotesis yang diterima yaitu H1 atau jarak dari jalan mempengaruhi secara nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan, sedangkan apabila nilai signifikansi pada uji f dan uji t lebih besar

daripada nilai α, maka hipotesis yang diterima yaitu H0 atau jarak dari jalan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan.

3.5.4 Alur proses penelitian

Proses pendugaan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif dengan menggunakan metode interpolasi dan proses analisis regresi untuk mengetahui pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan diuraikan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses pembuatan peta sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan. Pengaruh jarak

terhadap sebaran jumlah individu IAS

Analisis Regresi Linier

Uji normalitas sisaan

Data jarak titik pengamatan terhadap jalan

Proses Euclidean Distance untuk memperoleh jarak titik pengamatan dari jalan Koreksi hasil

interpolasi dengan keadaan di lapangan

Peta Interpolasi Sebaran Jumlah Individu IAS di Cagar Alam Kamojang Peta Jaringan Jalan Jawa Barat

(shp)

Peta Cagar Alam Kamojang (shp)

Proses Clip Peta

Peta Jaringan jalan di Cagar Alam Kamojang

Proses Overlay Peta Peta Hasil Interpolasi Sebaran Jumlah Individu IAS

Reclassify

Proses Interpolasi dengan metode IDW dan kriging

Transformasi koordinat UTM Arc Gis 9.3 (Shapefile) MS Excel (tipe file

text delimated/*txt)

Data titik koordinat

Metode interpolasi yang sesuai

4.1 Letak dan Luas

Secara administrasi pemerintahan, kawasan Cagar Alam Kamojang (CAK) terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Menurut administrasi pengelolaan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah kerja Seksi KSDA Garut, Balai Besar KSDA Jawa Barat. Di kawasan ini, terdapat dua tipe kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang yang terletak hampir di tengah-tengah kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang. Batas-batas kawasan Cagar Alam Kamojang sebagai berikut (Anonim 2005):

 Sebelah Utara : Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung  Sebelah Barat : Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung

 Sebelah Timur : Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut  Sebelah Selatan : Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 110/Kpts-II/90 tanggal 14 Maret 1990 ditetapkan luas Cagar Alam Kamojang adalah 7.805 Ha. Pada tahun 1994, luas kawasan bertambah 12,196 Ha sebagai lahan kompensasi dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 433/Kpts-II/94 sehingga luas total kawasan cagar alam menjadi 7817,196 Ha dan luas taman wisata alam 481 Ha. Pada tahun 2004 terjadi penambahan fungsi cagar alam di Blok Guntur sehingga terjadi pengurangan luas Cagar Alam Kamojang seluas 500 Ha untuk hutan lindung dan ± 25 Ha untuk Taman Wisata Alam (TWA) Cipaniis sehingga luas total kawasan menjadi 7067,196 Ha. Penetapan kawasan cagar alam didasarkan pada gejala alam yang unik berupa peristiwa vulkanologi dengan munculnya kawah kecil di daerah kaldera Kamojang (Anonim 2005).

4.2 Kondisi Fisik dan Biologis Kawasan 4.2.1 Topografi dan tanah

Kawasan Cagar Alam Kamojang berada pada ketinggian antara 1.650 – 2.610 mdpl. Topografi kawasan pada umumnya berbukit landai dengan

kelerengan lapang yang terjal, miring dan bergelombang. Sudut kemiringan bervariasi diantara 20% - 40%. Hasil peta tanah eksploitasi Balai Penyelidikan tahun 1960 menyatakan jenis batuan pembentuk tanah Cagar Alam Kamojang adalah aluvial dari endapan sungai. Jenis tanah yang terdapat di kawasan ini terdiri dari andosol umbrik dan andosol vitrik dengan struktur gumpal bersudut, pH masam sampai agak masam (3-6), kejenuhan basa rendah dan berkembang dari tufa volkan (Anonim 2005).

4.2.2 Iklim dan hidrologi

Wilayah Kamojang merupakan daerah pegunungan yang dicirikan oleh kondisi iklim khas pegunungan. Wilayah Kamojang memiliki suhu udara maksimum sebesar 26,8°C pada bulan September sedangkan kondisi terendah terjadi pada bulan Desember. Suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 5,4°C dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 10,7°C. Kelembaban relatif (RH) wilayah Kamojang termasuk tinggi yaitu sebesar 82- 94%, sehingga lama penyinaran hanya 33 - 64% dalam sehari. Sepertiga hingga dua per tiga hari sering terjadi kabut atau hujan teutama pada bulan November dan Januari (Anonim 2005).

Cagar Alam Kamojang secara hidrologis terletak di daerah hulu dari daerah aliran sungai (DAS) besar di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum di bagian barat- utara dan Sungai Cimanuk di bagian selatan. Masing-masing hulu DAS tersebut membentuk sub DAS dan yang terletak di Cagar Alam Kamojang diantaranya sungai Cikaro, Ciharus dan Ciwelirang.

4.2.3 Flora dan fauna

Ekosistem Cagar Alam Kamojang dapat dibedakan menjadi ekosistem terestrial dan ekosistem akuatik. Ekosistem terestrial terdiri dari ekosistem hutan cagar alam dan ekosistem hutan lindung, sedangkan ekosistem akuatik terdiri dari ekosistem danau Ciharus dan danau Cibeureum. Secara umum kondisi vegetasi yang terdapat di Cagar Alam Kamojang didominasi oleh famili Juglandaceae, Theaceae, Lauraceae dan Fagaceae. Komposisi vegetasi yang terdapat di dalam kawasan berupa kihujan (Engelhardia spicata), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus lutea), Lauratus nobilis dan Litsea

cubeba. Hasil analisis vegetasi yang dilaksanakan di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kamojang diperoleh dominansi dan keanekaragaman spesies pada tiap tingkat pertumbuhan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Dominansi dan nilai keanekaragaman spesies pada setiap tingkat pertumbuhan

No. Tingkat Pertumbuhan Spesies tumbuhan INP (%) H’

1 Pohon Engelhardia spicata 30,94 1,144

Schima wallichii 29,44

Sloanea sigun 25,04

2 Tiang Litsea javanica 81,56 1,183

Villebruinea rubescens 37,66

Engelhardia spicata 18,95

3 Pancang Plectronia glabia 43,38 1,274

Pterocarpus indicus 33,33 Litsea javanica 32,67 4 Semai/tumbuhan bawah Ageratina riparia 50,54 1,293 Dicksonia sp. 29,04 Achasma coccineum 28,53 Sumber: Anonim (2005)

Spesies satwa liar yang terdapat di Cagar Alam Kamojang antara lain walik (Treron grisscipilla), kadanca (Ducula sp), walet (Collocalia vulconorum), saeran gunung (Dicrurus macocarpus), ayam hutan (Gallus g. speciosa), lutung (Presbytis Pyrrhus), musang (Paradoxurus hermaproditus), babi (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Hystrix sp), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), surili (Presbytis comata), kancil (Tragulus javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing (Callociurus notatus), macan tutul (Panthera pardus), ular sanca (Phyton sp), Trenggiling (Manis javanica), londok (Callotes notatus) dan kodok buduk (Bufo melanoticus).

Diantara spesies satwa liar yang ditemukan di wilayah CA Kamojang terdapat 27 spesies satwa dilindungi yang terdiri dari 11 spesies mamalia, 14 spesies burung dan 2 spesies reptil. Selain itu, Cagar Alam Kamojang memiliki satwa endemik yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), wergan jawa (Alcippe pyrroptera) dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) yang penyebarannya hanya terbatas di Pulau Jawa.

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Sekitar Kawasan

Masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Kamojang meliputi desa-desa di wilayah Kecamatan Ibun, Kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet yang berada di Kabupaten Bandung dan Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Pasir Wangi serta Kecamatan Leles yang berada di Kabupaten Garut. Anonim (2005) menyatakan jumlah penduduk yang berada di sekitar kawasan cagar alam sekitar ± 168.548 jiwa dan tersebar di wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut sebagai petani dan buruh tani. Mata pencaharian warga di sekitar kawasan cagar alam berupa pedagang, buruh bangunan dan pegawai negeri sipil.

Penggunaan lahan yang berada di sekitar kawasan cagar alam sebagian besar masih berupa hutan lindung. Lahan di sekitar kawasan pun digunakan untuk hutan produksi terbatas, hutan dapat dikonversi, sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, perkebunan dan pemukiman. Keberadaan lahan hutan yang telah ada sejak dahulu mulai terganggu akibat konversi lahan menjadi lahan pertanian.

4.4 Pemanfaatan Sumberdaya Panas Bumi di CA/TWA Kamojang

Ladang panas bumi Kamojang merupakan salah satu daerah kerja Pertamina Unit EP III yang berlokasi di daerah Jawa Barat. Daerah potensial panas bumi Kamojang memiliki luas wilayah ± 21 Km2. Kaldera Kamojang merupakan wilayah vulkanis yang berada di dalam gugusan Gunung Guntur dan Masigit. Pada tanggal 29 Januari 1983, daerah panas bumi Kamojang diresmikan oleh Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina menjadi Lapangan Panas Bumi Kamojang sebagai lapangan produksi panas bumi pertama dan dimulainya era pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Ladang panas bumi Kamojang dikelola oleh PT. Pertamina Area Geothermal sebagai unit bisnis dari Pertamina Direktorat Hulu yang memproduksi dan mendistribusi uap ke konsumen yaitu Perusahaan Listrik Negara (Indonesian Power) sebagai single buyer.

Area produksi panas bumi kamojang yang memiliki luas daerah potensial sebesar 21 Km2 meliputi kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang. Untuk mengoptimalkan produksi panas bumi dari kawah Kamojang, maka pihak pertamina mengajukan izin pemanfaatan pada kawasan konservasi

tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.022/Kpts – II/84 tentang Ijin Penggunaan Sebagian Cagar Alam Kamojang Untuk Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Panas Bumi Oleh Pertamina unit EP III. Ketetapan tersebut memutuskan untuk memberikan izin kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi di dalam Cagar Alam Kamojang selama lima belas tahun dengan status pinjam pakai dan dapat diperpanjang kembali selama PT. Pertamina melaksanakan ketentuan- ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahun 1996, Pertamina mengajukan kembali pemanfaatan kawasan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang seluas ± 12 Ha melalui Surat No.1141/Kwl – 6/1995 dan disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 341/Menhut – VII/1996 dengan status pinjam pakai selama 20 tahun dan diadakan evaluasi paling sedikit setiap lima tahun sekali (Anonim 2005).

4.5 Permasalahan Kawasan

Beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan Cagar Alam Kamojang baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal yaitu (Anonim 2005):

a. Adanya Perambahan areal hutan untuk pertanian kemudian ditinggalkan oleh penggarap (sistem pertanian ladang berpindah) sehingga menyebabkan areal hutan terbuka dan menyebabkan fungsi kawasan berkurang.

b. Kesadaran masyarakat di sekitar kawasan terhadap lingkungan masih rendah. Hal ini dilatarbelakangi juga oleh rata-rata tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam di sekitar kawasan cukup tinggi.

c. Perambahan dan kebakaran hutan akibat krisis moneter dan tidak teralokasinya masyarakat untuk ikut serta dalam program tumpangsari di lahan hutan produksi. Tingkat perambahan paling tinggi terjadi di tepi kawasan terutama di sekitar Blok Cihijo.

d. Pencurian kayu terjadi di daerah berhutan lebat kawasan Cagar Alam Kamojang. Kayu-kayu yang menjadi sasaran pencurian diantaranya saninten (Castanopsis argentea), rasamala (Altingia excelsa), kibeureum (Toona sureni), puspa (Schima wallichii), tebe (Sloanea sigun).

5.1 Komposisi Tumbuhan 5.1.1 Komposisi famili dan spesies

Komposisi tumbuhan berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi sebanyak 86 spesies tumbuhan dari 50 famili (Lampiran 1). Sebagian besar spesies yang teridentifikasi merupakan famili Poaceae dengan jumlah spesies sebanyak 6 spesies sedangkan famili yang lainnya memiliki jumlah spesies yang berkisar diantara 3 sampai dengan 5 spesies (Gambar 4).

Gambar 4 Sebelas famili yang memiliki jumlah spesies ≥ 3.

Spesies yang termasuk kedalam famili Poaceae di lokasi penelitian diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica), jampang (Eleusine indica), jampang kawat (Cynodon dactylon), jampang piit (Panicum colonum), jukut lampuyang (Panicum repens) dan kaso (Saccharum spontaneum). Menurut Sastroutomo (1990) beberapa spesies dari famili Poaceae merupakan gulma bagi tanaman perkebunan seperti alang-alang (I. cylindrica), jampang (E. indica), jampang kawat (C. dactylon), jukut lampuyang (P. repens) dan jukut pait (Axonopus compressus). 0 1 2 3 4 5 6 Poaceae Asteraceae Urticaceae Lauraceae Arecaceae Euphorbiaceae Fagaceae Melastomaceae Meliaceae Moraceae Rubiaceae Jumlah spesies F am il i

5.1.2 Indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman

Indeks nilai penting (INP) yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi menunjukkan pada setiap tingkat pertumbuhan didominasi oleh spesies yang berbeda. Pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, spesies tumbuhan bawah teklan (Ageratina riparia) memiliki INP tertinggi sebesar 46,15%. Pada tingkat pancang, semak dan terna, INP tertinggi terdapat pada spesies kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) sebesar 67,37%. Tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, spesies kuray (Trema orientalis) mendominasi dengan INP masing-masing tingkat sebesar 85,06% dan 91,64%. Spesies yang memiliki INP cukup tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Indeks nilai penting dan keanekaragaman spesies setiap tingkat pertumbuhan

No. Tingkat pertumbuhan dan habitus

Nama Spesies INP (%) H’

1 Pohon Trema orientalis 91,64 2,17

Sloanea sigun 48,55

Macropanax sp. 40,50

2 Tiang Trema orientalis 85,06 2,51

Toona sureni 34,48

Sloanea sigun 20,86

3 Pancang, semak dan terna Austroeupatorium inulifolium

67,37 2,52

Saccharum spontaneum 30,46

Musa acuminata 15,69

4 Semai dan tumbuhan bawah Ageratina riparia 46,15 3,27

Imperata cylindrica 13,33

Clidemia hirta 8,78

Spesies tumbuhan teklan (A. riparia) dan kirinyuh (A. inulifolium) merupakan spesies dengan INP tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai/tumbuhan bawah dan pancang, semak dan terna. Kedua spesies ini memiliki kerapatan individu dan frekuensi perjumpaan yang tinggi pada plot pengamatan sehingga kedua spesies tersebut lebih dominan daripada spesies lain di dalam komunitasnya.

Nilai indeks keanekaragaman pada umumnya memiliki nilai lebih dari nol. Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008) menyatakan indeks

keanekaragaman (H’) dikategorikan rendah (H’< 1), sedang (1<H’<3) dan tinggi (H’ > 3). Keanekaragaman spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan di Cagar Alam Kamojang menunjukkan kategori keanekaragaman berada pada kategori sedang sampai tinggi. Tingkat pertumbuhan semai dan habitus tumbuhan bawah memiliki kategori keanekaragaman yang tinggi sedangkan tingkat pertumbuhan dan habitus yang lainnya berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem hutan Cagar Alam Kamojang yang sudah terganggu dengan kondisi yang relatif terbuka sehingga semai atau tumbuhan bawah lebih banyak ditemukan sebagai spesies pionir atau sebagai penutup lantai hutan pada kondisi tutupan hutan yang terbuka (Indriyanto 2006).

5.1.3 Dominansi spesies tumbuhan

Indriyanto (2006) menyatakan untuk mengetahui tingkat terpusatnya dominansi (penguasaan) spesies dalam komunitas dapat dilakukan dengan menghitung indeks dominansinya (C). Dominansi spesies dalam komunitas dapat terpusat pada satu spesies, beberapa spesies atau pada banyak spesies dengan memperkirakan tinggi rendahnya nilai indeks dominansi (Indriyanto 2006). Nilai indeks dominansi yang diperoleh untuk masing-masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Indeks dominansi (C) di lokasi penelitian

Tingkat Pertumbuhan/habitus Indeks Dominansi (C)

Semai dan tumbuhan bawah 0,15

Pancang, semak dan terna 0,30

Tiang 0,13

Pohon 0,19

Besarnya nilai indeks dominansi pada berbagai tingkat pertumbuhan berkisar diantara 0,13 – 0,30. Dominansi oleh satu spesies di dalam komunitasnya akan terlihat apabila nilai indeks dominansi bernilai 1 atau mendekati 1 sedangkan apabila beberapa spesies yang mendominasi secara bersama-sama maka nilai C akan bernilai rendah atau mendekati nol (Indriyanto 2006). Nilai indeks

dominansi pada setiap tingkat pertumbuhan yang berkisar antara 0,13 – 0,30 menunjukkan dominansi atau penguasaan spesies terhadap komunitasnya di Cagar Alam Kamojang tersebar pada beberapa spesies.

Soerianegara dan Indrawan (2008) menyatakan dominansi spesies dapat diketahui menggunakan parameter indeks nilai penting (INP). Spesies tumbuhan dinilai mendominasi apabila INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10% sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15% (Sutisna 1981 diacu dalam Rosalia 2008). Dominansi oleh beberapa spesies terhadap komunitasnya di Cagar Alam Kamojang juga ditunjukkan oleh INP yang cukup tinggi. Spesies yang memiliki indeks nilai penting lebih dari 10% disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Spesies dengan INP > 10% pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi pengamatan.

Spesies yang dominan merupakan spesies yang mampu mengoptimalkan sumberdaya yang terdapat di lingkungannya. Spesies-spesies tersebut mampu bersaing dengan spesies lainnya dan dapat beradaptasi dengan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, spesies teklan (A. riparia), kirinyuh (A. inulifolium), kaso (S. spontaneum), kuray (T. orientalis), suren (T. sureni), cerem (Macropanax

sp) dan tebe (S. sigun) yang memiliki INP tinggi di dalam komunitasnya mampu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A. riparia I. cylindrica A. inulifolium S. spontaneum M. acuminata L. camara T. orientalis T. sureni M. tanarius M. blumei S. sigun S. pendula T. orientalis S. sigun Macropanax sp E. spicata M. tanarius INP (%) S p es ies Semai/ t.bawah Pohon Tiang Pancang, semak dan terna

mengoptimalkan sumberdaya dibandingkan spesies yang lainnya sehingga pertumbuhannya mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang.

Salah satu spesies yang cukup mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang adalah kaso (Saccharum spontaneum). Hal ini ditunjukkan oleh INP S. spontaneum di lokasi pengamatan yang mencapai 30,46%. Spesies S. spontaneum merupakan tumbuhan asli India dan sangat banyak ditemukan di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Tumbuhan ini dapat beradaptasi pada lingkungan yang beragam mulai dari wilayah tropis sampai subtropis. Tempat alami bagi pertumbuhan S. spontaneum berupa lahan yang terdegradasi akibat kebakaran atau penggunaan lahan yang berlebihan (Hammond 1999).

Gambar 6 Spesies kaso (Saccharum spontaneum) yang cukup mendominasi di Cagar Alam Kamojang.

Spesies S. spontaneum merupakan gulma serius pada lahan pertanian di Thailand, Philipina, India dan Indonesia yang bersaing pada lahan yang terganggu (Holm et al. 1997 diacu dalam DHAOGTR 2004). Di luar wilayah Asia seperti Panama, S. spontaneum menjadi spesies tumbuhan asing invasif pada hutan yang terdegradasi (Hammond 1999). Wishnie et al. (2002) menyatakan bahwa S. spontaneum merupakan tumbuhan semak belukar yang mampu menghambat pertumbuhan spesies tumbuhan berkayu dan bersifat resisten terhadap upaya pengendalian gulma pada spesies yang memiliki sistem perakaran yang dalam dan menyebar luas. Upaya reboisasi pada lahan yang telah terinvasi oleh S. spontaneum memerlukan upaya pengendalian gulma secara intensif meliputi kombinasi pengendalian secara mekanik dan kimia (Wishnie et al. 2002).

Meskipun spesies S. spontaneum tidak termasuk sebagai spesies tumbuhan asing invasif berdasarkan Webber (2003) dan Invasive Species Specialist Group (ISSG) (2005), namun menurut Pacific Island Ecosystems at Risk Project (PIER) (2011) spesies ini merupakan salah satu spesies yang berpotensi menjadi invasif di Indonesia.

5.2 Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Asing Invasif 5.2.1 Jumlah spesies tumbuhan asing invasif

Spesies yang teridentifikasi sebagai tumbuhan asing invasif di lokasi penelitian terdapat sebanyak 13 spesies tumbuhan. Apabila dibandingkan dengan jumlah total spesies yang teridentifikasi, maka jumlah spesies tumbuhan invasif masih tergolong sedikit. Daftar spesies yang termasuk tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang

No. Nama Spesies Famili Habitus Sumber

1. Ageratum conyzoides Asteraceae Terna 2

2. Rubus moluccanus Rosaceae Terna merambat 2

3. Clidemia hirta Melastomataceae Perdu 1,2

4. Cynodon dactylon Poaceae Terna 1,2

5. Panicum repens Poaceae Terna 1,2

6. Mimosa pudica Fabaceae Semak 2

7. Mimosa pigra Fabaceae Perdu 1,2

8. Austroeupatorium inulifolium Asteraceae Semak 2

9. Passiflora edulis Passifloraceae Terna merambat 1,2

10. Lantana camara Verbenaceae Perdu 1,2

11. Mikania micrantha Asteraceae Terna 1,2

12. Piper aduncum Piperaceae Perdu 1,2

13. Ageratina riparia Asteraceae Semak 1,2

Sumber: 1)Webber (2003), 2)ISSG (2005)

Spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang termasuk ke dalam delapan famili. Famili Asteraceae merupakan famili terbanyak yang ditemukan di lokasi penelitian dengan jumlah spesies tumbuhan asing invasif sebanyak empat spesies yaitu babadotan (A. conyzoides), kirinyuh (A. inulifolium), sembung rambat (M. micrantha) dan teklan (A. riparia). Pada umumnya spesies dari famili Asteraceae merupakan tumbuhan liar dan mudah untuk tersebar di beberapa habitat (Pujowati 2006) dan merupakan salah satu spesies gulma yang berbahaya (Sastroutomo 1990).

Sebagian besar habitus dari spesies tumbuhan asing invasif yang teridentifikasi merupakan terna atau herba. Tercatat sebanyak tujuh spesies dari spesies tumbuhan asing invasif berhabitus terna (herba). Sementara itu, spesies tumbuhan asing invasif yang berhabitus pohon seperti mahoni (Swietenia macrophylla) tidak ditemukan di lokasi penelitian. Daftar yang dimuat oleh ISSG (2005) menyebutkan sebagian besar spesies tumbuhan asing invasif merupakan tumbuhan bawah dan memiliki habitus terna dan semak.

Selain teridentifikasi spesies tumbuhan asing invasif, teridentifikasi juga spesies lokal namun bersifat invasif yaitu Imperata cylindrica (Gambar 7). ISSG (2005) dan Holm et al. (1977) diacu dalam Collins (2005) menyatakan bahwa I. cylindrica merupakan spesies yang berasal dari wilayah Asia Tenggara dan dapat ditemukan pada wilayah tropis yang hangat mulai dari Jepang sampai Cina Tenggara. Keberadaan I. cylindrica di Cagar Alam Kamojang cukup dominan yang ditunjukkan dengan INP sebesar 13,33%. Dominansi I. cylindrica yang cukup tinggi di Cagar Alam kamojang disebabkan kondisi kawasan cagar alam yang sudah terganggu sehingga spesies ini menjadi tumbuhan pionir yang memiliki daya adaptasi tinggi dan menjadi invasif pada areal hutan yang terbuka.

Gambar 7 Alang-alang (Imperata cylindrica).

Meskipun I. cylindrica berasal dari wilayah Asia, namun spesies ini menjadi gulma penting di berbagai negara tropis dan sub-tropis terutama di daerah yang memiliki curah hujan tinggi di Asia Tenggara dan Afrika Barat. I. cylindrica

dapat berkembangbiak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan rimpang. Tumbuhan ini mampu menghasilkan 3000 biji per tanaman sehingga

memungkinkan untuk menyebar serta mendominasi daerah-daerah lain yang cukup jauh, memiliki kontribusi dalam kebakaran lahan dan mengakibatkan rusaknya tanaman muda (Suryaningtyas 1996).

Sebaran jumlah individu I. cylindrica pada plot pengamatan di Cagar Alam Kamojang tidak terlalu tersebar merata. Spesies I. cylindrica memiliki INP sebesar 13,33% sehingga penyebarannya di plot pengamatan tidak begitu banyak dibandingkan dengan A. inulifolium dan A. riparia yang memiliki nilai INP yang tinggi. Jumlah individu I. cylindrica berdasarkan hasil interpolasi berkisar diantara 2 sampai dengan 15 individu atau sekitar 5.000 – 37.500 individu per hektar. Pola sebaran spasial I. cylindrica berdasarkan jumlah individunya disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta sebaran spasial Imperata cylindrica di Cagar Alam Kamojang. Di Cagar Alam Kamojang, I. cylindrica lebih banyak tersebar pada kondisi lahan yang terbuka dibandingkan kondisi yang lebih tertutup oleh tajuk pohon. ISGG (2005) menyatakan bahwa I. cylindrica dapat ditemukan pada kondisi habitat yang beragam seperti pada hutan yang terdegradasi dan lahan yang terbuka, kondisi kemasaman tanah yang cukup tinggi (pH 4,7) dan kondisi iklim

yang bervariasi. Kondisi tersebut diduga menyebabkan sebaran jumlah individu I. cylindrica tidak dipengaruhi oleh jarak dari jalan (Lampiran 6D).

5.2.2 Dominansi spesies tumbuhan asing invasif