• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONDISI UMUM

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pesantren

2.1.3. Pengelolaan Hutan Oleh Pesantren

Pesantren bukan sekadar pusat pendalaman agama, tafaqquh fiddin. Pesantren juga memiliki potensi pengembangan ekonomi. Sejarah awal pesantren sejatinya adalah sejarah kemandirian ekonomi, selain kemandirian pandangan keagamaan. Saat ini, sejumlah pesantren telah membuktikan kepiawaian mereka

memerankan diri sebagai pelaku ekonomi. Sebagian dalam bentuk pengembangan koperasi pesantren. Selain itu, ada sederet pesantren yang menekuni usaha agribisnis serta memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat (Karni 2009). Salah satu contoh usaha agribisnis adalah pengelolaan hutan. Beberapa contoh pesantren yang menjalankan usaha mandirinya adalah sebagai berikut:

1. Pesantren Luhur Al-Wasilah

Pesantren yang terletak di Kabupaten Garut ini dipimpin oleh Bapak Kyai Thonthowi Djauhari Musaddad. Pesantren tersebut melakukan sebuah program pembangunan pedesaan mandiri yang diarahkan bagi penguatan pelaksanaan otonomi desa, yang diupayakan pada optimalisasi partisipasi masyarakat desa, sikap kemandirian individu yang berorientasi pada kemandirian masyarakat desa. Kemandirian diterjemahkan sebagai kesanggupan suatu desa untuk memberdayakan setiap potensi sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya alam (SDA) yang semuanya dikelola menjadi kekuatan sistem di desa itu sendiri. Pesantren ini mengajak pada masyarakat sekitarnya untuk melestarikan lingkungan. Adapun bentuk kegiatan pelesatrian lingkungan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah kegiatan persemaian. Kegiatan ini bekerja sama antara mustame (masyarakat yang ikut pengajian di pesantren) dan pesantren Luhur Al-Wasilah. Kegiatan ini dapat dikatakan berhasil. Indikator keberhasilannya yaitu ekonomi masyarakat pelaksana program mengalami peningkatan seperti dapat menyekolahkan anak, membuat rumah, bahkan membeli lahan (Diniyati 2010). 2. Pesantren Cintawana

Yayasan pesantren Cintawana terletak di Desa Cikunten, Kecamatan Singapatna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pesantren ini didirikan pada tahun 1917 oleh K.H. Muhammad Toha (Alm.) dan sekarang dipimpin oleh generasi ke-3 yaitu Kyai Asep Sujai Farid.

Pesantren Cintawana memiliki perhatian terhadap hutan sejak milad (ulang tahun) ke-90. Keterlibatan pesantren dalam kegiatan kehutanan disebabkan oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat setelah mereka bekerja sama dengan perusahaan atau pemerintah sehingga memerlukan pendamping. Pelibatan santri dilakukan dengan memilih santri-santri tertentu yang mempunyai minat saja terutama santri dewasa yang mempunyai potensi dan kemauan untuk

melakukan survey, pemetaan, dan lainnya. Bentuk perhatian yang dilakukan oleh pesantren adalah membentuk kelompok tani dimana pengelompokan petani berdasarkan letak lahan. Jumlah anggota kelompok tani 300 orang, terbagi dalam 35 ha lahan yang tersebar di Desa Cilolohan, Suka Senang, dan Cikesal. Pemilihan desa tersebut berdasarkan pada kesiapan kelompok dan kesiapan lahan yaitu ada lahan kritis. Setiap desa memiliki satu koordinator dan alumni pesantren yang membantu kegiatan ini (Diniyati et al. 2010).

3. Pondok Pesantren Darussalam

Pesantren yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur tersebut mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.112/Kpts-II/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Persetujuan dan Pengesahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode Tahun 2007-2016 atas nama Koperasi Pondok Pesantren Darussalam Provinsi Kalimantan Timur. Luas hutan yang dikelola adalah ± 21.690 ha (Dephut 2008).

2.2.Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat

Pergeseran dalam paradigma pembangunan dari pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan top down menuju pendekatan pembangunan partisipatif memberikan imbas juga kepada pembangunan kehutanan, dari kehutanan industrial (konvensional) menuju kehutanan yang berbasiskan masyarakat. Dalam kepustakaan terdapat beberapa istilah yang digunakan secara bergantian, saling melengkapi, atau bahkan tertukar, yakni community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry, agroforestry, dan lain-lain (Suharjito et al. 2000).

Menurut Suharjito et al. (2000) umumnya istilah social forestry digunakan sebagai istilah payung yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau yang dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak.

2.2.1. Hutan Rakyat

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman Pemanfaatan Hutan Hak, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang lazim disebut dengan hutan rakyat yang di atasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh bupati/ walikota. Menurut Hardjanto (2000), hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan. Oleh karena itu, hutan rakyat disebut hutan milik.

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah dan air, serta udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan berbeda-beda antar kelompok masyarakat (Suharjito 2000).

2.2.2. Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu diusahakan dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakat dan lingkungannya. Sekalipun demikian pada awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang “dilirik” oleh para birokrat, peneliti maupun ilmuwan pada umumnya, hingga adanya temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat (Darusman dan Hardjanto 2006).

Menurut Direktur Penghijauan dan Perhutanan Sosial (Departemen Kehutanan 1995) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai manfaat ganda,

yaitu selain manfaat ekologis juga manfaat ekonomis. Departemen Kehutanan sendiri menegaskan bahwa tujuan pokok dari pengembangan hutan rakyat adalah antara lain memenuhi kebutuhan kayu, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperluas kesempatan kerja penduduk, dan salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3, dengan luas 1.568.415 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019 dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Anonim 2004 dalam Darusman dan Hardjanto 2006).

2.2.3. Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Purwanto at al. (2004) dari hasil kajian dan studi hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh Balai Sumber: Litbang Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) di Surakarta, secara garis besar terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat yaitu:

1. Monokultur (satu jenis kayu)

a. Agroforestry, kayu dengan tanaman semusim dan kayu dengan tanaman perkebunan.

b. Sylvopasteur, kayu dengan tanaman makanan ternak. c. Wanafarma, kayu dengan tanaman obat-obatan. 2. Polikultur atau campuran

Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti agroforestry terdiri dari:

a. Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk ditanami kayu milik rakyat sebaiknya dipilih di kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara

permanen. Apabila di lahan-lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa tanaman kayu atau buah-buahan, maka tanaman kayu dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan di antara tanaman lain yang sudah ada sehingga seluruh kebun akan menjadi lebih produktif.

b. Persiapan lahan

Tanah-tanah yang akan ditanami tanaman kayu pada umumnya berupa tanah yang telah berupa kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak mengandung tumbuhan liar. Oleh karena itu, untuk menanam kayu tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter lubangnya ± 100 cm (sistem camplongan). Apabila tanaman kayu akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

c. Pemilihan jenis kayu

Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang sudah lazim ditanam di Pulau Jawa misalnya: kayu sengon, kayu afrika, mindi, dan lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu kontruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri.

d. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan cangkokan pada tanaman muda sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian, tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan.

e. Pengangkutan

Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi sumber air yang tersedia sepanjang tahun, dan kondisi tanah yang datar.

f. Penanaman

Jarak tanam yang tepat sesuai dengan rencana perlu ditetapkan dalam penanaman bibit. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu. Sementara itu, apabila tanaman kayu yang akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 m x 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m sehingga per ha akan diperoleh 500 pohon, sedangkan di antara dua larikan pohon dapat ditanam palawija atau tanaman lain sebagai tanaman campuran. Bila jaraknya sesuai, tanaman campuran tidak akan saling mengganggu tanaman pokoknya. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak membahayakan.

g. Pemeliharaan tanaman

Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya di antara larikan ditanami palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelei, kacang wijen, dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, penyiangan melingkar, meminimalkan persaingan, pemangkasan yang tepat, dan melindungi pohon dari hama dan penyakit. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan kayunya.

h. Penebangan

Penebangan pohon-pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu: tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar, dan cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, sebaiknya dilaksanakan secara tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan, maka perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah

harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar.

i. Penanaman kembali

Bekas pohon yang ditebang harus segera ditanam kembali sehingga jumlah tanaman akan selau tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.

j. Kemurnian tanaman

Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang tidak saling mengganggu. Tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela antara lain adalah tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbi-umbian, dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palwija yang ada di bawahnya.

2.3.Kontribusi Hutan Rakyat

Pengembangan di bidang ekonomi, pada umumnya pondok pesantren berkecimpung dalam berbagai jenis usaha ekonomi di sektor pertanian (agrobisnis). Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar atau 78,5% dari 14.067 pondok pesantren berkedudukan di daerah pedesaan. Dengan kegiatan pengembangan ini pondok pesantren meraih minimal tiga manfaat sekaligus, yaitu pertama, mendidik dan membekali para santri dengan pengetahuan, keterampilan, dan jiwa kewirausahaan. Kedua, mendidik masyarakat sekitar pondok pesantren tentang cara-cara dan teknis yang lebih maju dalam menjalankan usaha agrobisnis dan sekaligus memperkenalkan berbagai komoditas baru yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih baik. Ketiga, meningkatkan dan menambah sumber-sumber pendapatan bagi pondok pesantren dan masyarakat (Khaeroni 2010).

Pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam

perekonomian desa minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa. Selain peran memberikan kontribusi pendapatan, pengusahaan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter (Darusman 2006).

2.4. Mangium (Acacia mangium)

Acacia mangium yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan nama dari salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (National Research Council 1983).

Mangium merupakan tanaman yang berasal dari keluarga Leguminoseae dan di Indonesia memiliki beberapa nama lokal yang antara lain mangga hutan, tonkehutan (Seram), nak (Maluku), laj (Aru), dan Jerri (Irian) (Turnbull 1986). Di Negara lain pohon mangium memiliki nama local, antara lain black wattle, brwnsalwood, hickory wattle, mangium, sabahsalwood (Australia, Inggris), mangium, kayu safoda (Malaysia), arr (Papua Nugini), maber (Filipina), zamorano (Spanyol), dan krathintepa (Thailand) (Hall et al. 1980; Turnbull 1986). Pohon mangium umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m, dengan batang bebas cabang lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total tinggi pohon. Pohon mangium jarang mencapai diameter setinggi dada lebih dari 60 cm, akan tetapi di hutan alam Queensland dan Papua Nugini pernah dijumpai pohon dengan diameter hingga 90 cm (National Research Council, 1983). Di tempat tumbuh yang buruk pohon mangium bisa menyerupai semak besar atau pohon kecil dengan rata-rata antara 7 m sampai 10 m (Turnbull 1986).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2011.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah form kuisioner, kamera digital, alat perekam, alat tulis, alat hitung, alat pengukur tinggi pohon, meteran/ phiband, peta hutan pesantren, dan peta situasi lokasi penelitian.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Pengamatan (observasi); yaitu teknik pengambilan data melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap obyek yang diteliti. Observasi dilakukan terutama untuk mengetahui kondisi hutan pesantren dan pola tanam yang dilakukan di hutan pesantren.

2. Wawancara; yaitu teknik pengambilan data dengan cara tanya jawab yang dilakukan terhadap pengelola utama hutan pesantren. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara struktur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan wawancara bebas tanpa daftar pertanyaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.

3. Pengukuran; yaitu melakukan pengukuran jumlah pohon, diameter pohon (cm), dan tinggi bebas cabang (m) pada tegakan hutan pesantren untuk mengetahui gambaran mengenai volume dan struktur tegakan hutan pesantren yang diusahakan oleh pesantren.

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Jenis dan sumber data primer

No Jenis data Sumber data

1. Latar belakang pembangunan hutan pesantren, tujuan pembangunan hutan, dan pengelola hutan.

Kepala biro usaha hutan pesantren

2. Kegiatan perencanaan, pembibitan, cara penanaman (cara penanaman, tata waktu kegiatan penanaman, pola tanam, jumlah bibit per tahun yang ditanam, biaya penanaman pertahun, dll), pemeliharaan (pemupukan, pemangkasan, penjarangan, dll), dan pemanenan (tujuan pemanenan, umur pohon yang ditebang, alat pemanenan, dan jumlah tenaga kerja).

Kepala biro usaha pesantren

3. Jumlah hasil produksi yang dijual dalam setahun, harga satuan dari hasil produksi yang dijual, dan pendapatan dari hutan pesantren.

Kepala biro usaha pesantren dan bendahara pesantren

4. Karakteristik industri penggergajian kayu yang meliputi tahun pendirian, izin pendirian, pengelola, dan kapasitas produksi.

Kepala usaha penggergajian kayu Pesantren

5. Jumlah pohon, diameter (cm), dan tinggi bebas cabang (Tbc) tegakan Acacia mangium yang diusahakan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining.

Pengukuran langsung

Adapun data sekunder diperoleh melalui studi pustaka disajikan pada Tabel 3:

Tabel 3. Jenis dan sumber data sekunder

No Jenis data Sumber data

1.

2.

Kondisi umum lokasi penelitian yang meliputi kondisi geografis pesantren, kondisi fisik lingkungan pesantren.

Peta lokasi penelitian/ hutan pesantren.

Studi literatur dokumen Pesantren Darunnajah 2 Cipinng

Dokumen pesantren

3.5. Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh hanya dilakukan pada pendugaan potensi hutan pesantren. Penentuan plot contoh hutan Acacia mangium dilakukan dengan menggunakan metode Purpossive Sampling pada salah satu blok masing-masing

kelas umur tegakan mangium. Adapun umur dan luasan tegakannya adalah sebagai berikut: Umur 1 tahun : 15 ha Umur 2 tahun : 10 ha Umur 3 tahun : 18 ha Umur 4 tahun : 5 ha Umur 5 tahun : 4 ha

Selanjutnya pada masing-masing umur tegakan dibuat plot contoh berukuran 20 m x 50 m sebanyak 1 plot contoh, sehingga dalam penelitian ini plot contoh yang dibuat adalah sebanyak 5 plot. Dalam plot contoh tersebut dihitung dan diukur jumlah pohon per plot, diameter (cm) dan tinggi bebas cabang (m) untuk mendapatkan data potensi tegakan dan struktur tegakan hutan pesantren dengan tegakan Acacia mangium.

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1.Informasi Pengelolaan Hutan Pesantren

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai latar belakang pengusahaan dan sistem pengelolaan hutan rakyat di Pesantren darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. 3.6.2.Potensi Hutan Pesantren Darunnajah Cipining

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi tegakan hutan rakyat Acacia mangium yang diusahakan oleh pesantren. Beberapa asumsi yang mendasari analisis potensi hutan pesantren sebagai berikut:

a. Jenis kayu yang akan ditentukan potensinya adalah jenis kayu komersial b. Daur ditentukan berdasarkan daur nyata di lapangan

c. Potensi dihitung umur daur, rumus volume kayu: Vst = ¼ x π x d2

x h x f

Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam pendugaan potensi hutannya adalah sebagai berikut:

a. Kerapatan tegakan per hektar: ∑pohon tiap plot

0,1 ha

b. Volume pohon dengan rumus berikut: V = ¼ x π x d2

x Tbc x f Keterangan:

V : Volume pohon (m3) d : diameter pohon (cm) Tbc : tinggi bebas cabang (m) f : angka bentuk mangium (0,7)

c. Volume per hektar (m3/ha) dapat dihitung dengan rumus: ∑pohon per hektar x volume pohon

3.6.2.Kontribusi Hutan Pesantren terhadap Pendapatan Pesantren

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara desktiptif berdasarkan tabulasi dan gambar untuk mendapatkan gambaran dan informasi mengenai besarnya pendapatan total Pesantren Darunnajah dari berbagai sumber usaha yang ada di Pesantren dan besarnya kontribusi pendapatan hutan pesantren terhadap pendapatan total pesantren. Besarnya pendapatan total pesantren dapat dihitung dengan rumus:

P = Ppt + Pi + Ppp + Ppi + Ppd +Pk P = Pendapatan total pesantren Ppt = Pendapatan Usaha Peternakan Pi = Pendapatan Usaha Industri

Ppp= Pendapatan Usaha Pertanian dan Perkebunan Ppi = Pendapatan Usaha Perikanan

Ppd= Pendapatan Usaha Perdagangan Pk = Pendapatan Usaha Kehutanan

Persentase pendapatan usaha kehutanan terhadap pendapatan total pesantren dapat dihitung dengan rumus:

%Pk = (Pk/P) x 100%

Pk = Pendapatan Usaha Kehutanan P = Pendapatan total usaha pesantren

BAB IV KONDISI UMUM

4.1. Lokasi Penelitian

Hutan Pesantren merupakan bagian dari wilayah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining yang terletak di jalan Argapura kotak pos 1 Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian

4.2. Kondisi Fisik dan Iklim Hutan Pesantren

Kondisi fisik menunjukkan keadaan yang dimiliki suatu wilayah tertentu dan berhubungan dengan fisiknya seperti keadaan tanah, relief, fisiografi, dan drainase. Keadaan tanah di lokasi penelitian berdasarkan hasil penelitian tim LPPM IPB (2006) secara garis besar tanah-tanah yang ditemukan terdapat lima subgroups, yaitu 1) Tropaquepts Litik, 2) Palehumults Tipik, 3) Paleudults Tipik, 4) Dystropepts Litik, dan 5) Haplohumults Tipik. Selanjutnya, relief di tempat penelitian tergolong ke dalam bentuk wilayah yang bervariasi dari datar sampai agak berombak (lereng 0-3%), yaitu yang digunakan untuk areal pesawahan dan danau atau bendungan, serta sebagian bangunan dan areal bermain, berombak (undulating) yaitu dengan kisaran lereng 3-8%, bergelombang (rolling) dengan kisaran lereng 8-15%, berbukit agak bergelombang (hilly torolling) dengan kisaran lereng > 30%. Dipandang dari fisiografinya, lokasi penelitian dalam tingkat tingginya atau jenisnya tergolong fisiografi lipatan (Folded muntain = F), sedangkan pada tingkat tengah atau macamnya tergolong fisiografi lipatan pula,

dan pada tingkat rendah atau rupanya tergolong fisiografi punggung lipatan (Fold ridge) yang bercampur dengan sedikit bukit karts, dengan cirri ditemukannya sink hole atau gua-gua kapur. Adapun drainase pada lokasi penelitian baik permukaan