• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN A.Pengertian Perkawinan

C. Pengertian Hak Asuh Anak

Anak adalah tidak saja sebagai rahmat, tetapi anak juga sebagai amanah dari Allah swt. Sebagai bagian tak terpisahkan oleh rahmat itu, Allah menanamkan perasaan kasih sayang orang tua pada anaknya. Setiap orang tua didalam hatinya tertanam perasaan mengasihi dan menyayangi anaknya. Perasaan tersebut Allah tanamkan dalam hati para orang tuanya sebagai bekal dan dorongan dalam mendidik, memelihara, melindungi dan memperhatikan kemaslahatan anak-anak mereka sehingga semua hak anak dapat terpenuhi dengan baik serta terhindar dari setiap tindak kekerasaan dan diskriminasi. Terlepas dari rahmat dan amanah Allah swt, maka anak memeliki kedudukan, dan fungsi yang strategis bagi masa depan bangsa, yakni bukan saja sebagai penerus tetapi juga sebagai pemilik masa depan.

Anak sebagai pemilik masa depan memiliki hak menetukan nasibnya sendiri berdasarkan dari bimbimgan kedua orang tuanya dan pendidikan

20

Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat ( Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2009 ) h. 249.

yang dipersiapkan oleh orang tua, masyarakat dan negara. Pada hakekatnya dalam diri orang tua Allah swt menanamkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap anaknya, perasaan cinta dan kasih sayang yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak baik jasmani maupun rohani, serta melindungi anak dari setiap tindak kekerasan dan diskriminasi yang dimana akan mempengaruhi baik pada tumbuh kembang sang anak sehingga anak memiliki mental yang kuat dan tangguh utnuk meraih keberhasilan dan kesuksesan di kemudian hari di dalam hidup sang anak.

Hak asuh anak ( hadhannah ) dalam istilah fikih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhannah, yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan ibunya. Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada QS. Al-Baqarah [2] : 223,

                                

Artinya : isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan

menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S.

Al-Baqarah: 223)

Para Ulama Fikih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

Hadhonah berbeda maksudnya dengan pendidikan. Dalam hadhonah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani, di samping terkandunng pengertian tersebut terkandung juga pengertian pendidikan terhadap anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan ia merupakan perkerja profesional, sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika tidak mempunyai keluarga serta ia bukan profesional dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik21.

21

Zakiah Daradjat, Ilmu Fikih, ( Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1995 ), Jilid 2, h. 157.

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan syarat-syarat bagi hadhonah dan hadhin. Syarat-syarat-syarat itu ialah:

1. Tidak terkait dengan sesuatu perekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah denga baik, seperti hadhonah terikat dengan perkerjaan yang berjauahan tempatnya dengan tempat sie anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan unutk berkerja.

2. Hendaklah ia orang yang mukalaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak terganggu ingatanya. Hadhanah adalah suatu perkrjaan yang penuh dengan tanggung jawab, sedangkan orang yang bukan mukallaf adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatan. 3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.

4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti zina, pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.

5. Hendaklah hadhonah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubngan mahram dengan sang anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan sang anak, seperti kawin dengan paman sie anak dan sebagainya.

6. Hadhonah hendaklah orang yang tidak membenci sang anak. Jika hadhinah orang membenci sang anak dikhawatirkan anak berada dalam proses kesengsaraan.22

Undang-undang tidak secara khusus membicarakan pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya perkawinan, apa lagi dengan mengunakan nama hadhanah. Namun UU secara umum dalam pasal 5 sebagai berikut:

Pasal 45

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka

sebaik-baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban nama berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya orang tua putus.

Pasal 46

1) Anak wajib menghormati orang tua dan menanti kehendak mereka

yang baik.

2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuanya,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuanya.

Pasal 47

1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau

belom pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut dari kekuasaanya.

2) Orang tua memwakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau mengadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur delapan belas tahun atau belum pernak melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinhya.

Pasal 49

22

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat di cabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sanagat melalaikan kewajibanya terhadap anaknya.

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan mentrinya hampir keseluruhanya mengambil dari fiqih menurut jumhur ulama, khususnya syafiiyah dengan rumusan berikut:

Pasal 158

Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut

pasal 158.

Pasal 160

Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan suami.23

Dari pasal-pasal yang membahas tentang akibat perceraian,dapat di simpulkan akibat putusnya perkawinan anak mendapatkan hak dan kewajiban dari atau kepada kedua orang tua sebagaimana pasal dinatas.

Dokumen terkait