• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

D. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Pengurusan adalah menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam jumlah dan nilai. Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh, baik putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitur pailit. Jika upaya perdamaian tidak ada dalam proses kepailitan yang disebabkan karena debitur pailit tidak menawarkan perdamaian, debitur pailit menawarkan perdamaian akan tetapi ditolak oleh para kreditur, atau debitur pailit menawarkan perdamaian kemudian disetujui oleh para kreditur akan tetapi ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga, maka proses selanjutnya adalah tahap pemberesan. Yang dimaksud dengan pemberesan adalah merupakan suatu tugas yang dilakukan oleh kurator terhadap pengurusan harta debitur pailit, dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi) setelah adanya putusan pernyataan pailit yang artinya suatu tahap dimana akan terjadi jika tidak terjadi suatu perdamaian samapai dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta pailit.40Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit di ucapkan debitur pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit atau budel pailit). Selanjutnya pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan

40

kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan penyataan pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator besifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.41

Para pihak yang berwenang dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah :

1. Hakim pengawas

Hakim pengawas berwenang mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.42 Pengadilan wajib medengarkan pendapat hakim pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan dan pemberesan harta pailit.43 Hakim pengawas juga berwenang untuk mendengarkan keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan. Saksi dipanggil atas nama hakim pengawas. Dalam hal saksi tidak datang mengadap atau menolak memberi kesaksian maka berlaku ketentuan hukum acara perdata. Dalam hal saksi bertempat tinggal diluar daerah hukum pengadilan yang memutus pailit, hakim pengawas dapat melimpahkan pemeriksaan saksi tersebut kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tenpat tingal saksi. Istri atau suami, bekas istri atau suami, dan keluarga sedarah menurut keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari debitur pailit

41

Gunawan Widjaja, Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit (Jakarta : Forum Sahabat, 2009),hlm. 86.

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ,Pasal 65.

43

mempunyai hak undur diri sebagai saksi.44 Terhadap semua penetapan hakim pengawas, dalam waktu lima hari setelah penetapan tersebut dibuat, dapat diajukan permohonan banding ke pengadilan.

2. Kurator

Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator :

a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;

b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka menigkatkan nilai harta pailit.

Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jamin utang. Untuk menghadap di sidang pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang.45 44 Ibid., Pasal 67. 45 Ibid., Pasal 69.

Kurator sebagaimana dimaksud diatas adalah: a. Balai harta peninggalan; atau

b. Kurator lainnya.

1) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan

2) terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.46 Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan mengangkat kurator lain dan atau mengangkat kurator tambahan atas :

a. Permohonan kurator sendiri;

b. Permohon kurator lainnya, jika ada; c. Usul hakim pengawas;

d. Permintaan debitur pailit.47 3. Panitia kreditur

Melalui putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan dapat membentuk panitia kreditur sementara terdiri atas 3 (tiga) orang yang dipilih dari kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator. Kreditur yang diangkat dapat mewakilkan kepada orang lain semua pekerjaan yang berhubungan dengan tugas-tugasnya dalam panitia. Dalam hal seorang kreditur yang ditunjuk menolak pengangkatannya, berhenti, atau meninggal,

46

Ibid., Pasal 70.

47

pengadilan harus mengganti kreditur tersebut dengan mengangkat seorang di antara 2 (dua) calon yang diusulkan oleh hakim pengawas.48 Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, Hakim pengawas wajib menawarkan kepada Kreditur untuk membentuk panitia kreditur tetap. Atas permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa dalam rapat kreditur, hakim pengawas berwenang mengganti panitia kreditur sementara, apabila dalam putusan pailit telah ditunjuk panitia kreditur sementara atau membentuk panitia kreditur, apabila dalam putusan pailit belum diangkat panitia kreditur. 49

Panitia kreditur setiap waktu berhak meminta diperlihatkan semua buku, dokumen, dan surat mengenai kepailitan. Kurator wajib memberikan kepada panitia kreditur semua keterangan yang dimintanya.50 Dalam hal diperlukan, Kurator dapat mengadakan rapat dengan panitia kreditur, untuk meminta nasihat.51 Sebelum mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang sedang berlangsung, ataupun menyanggah gugatan yang diajukan atau yang sedang berlangsung, kurator wajib meminta pendapat panitia kreditur. Ketentuan sebagaimana disebutkan diatas tidak berlaku terhadap sengketa tentang pencocokan piutang, tentang meneruskan atau tidak meneruskan perusahaan dalam pailit, dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 59 ayat (3), Pasal 106, Pasal 107, Pasal 184 ayat (3), dan Pasal 186, tentang cara pemberesan dan penjualan harta pailit, dan tentang waktu 48 Ibid., Pasal 79. 49 Ibid., Pasal 80. 50 Ibid., Pasal 81. 51 Ibid., Pasal 82.

maupun jumlah pembagian yang harus dilakukan. Pendapat panitia kreditur tidak diperlukan, apabila Kurator telah memanggil panitia kreditur untuk mengadakan rapat guna memberikan pendapat, namun dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah pemanggilan, panitia kreditur tidak memberikan pendapat tersebut.52 Kurator tidak terikat oleh pendapat panitia kreditur. Dalam hal kurator tidak menyetujui pendapat panitia kreditur maka Kurator dalam waktu 3 (tiga) hari wajib memberitahukan hal itu kepada panitia kreditur. Dalam hal panitia kreditur tidak menyetujui pendapat kurator, panitia kreditur dalam waktu 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta penetapan hakim pengawas. Dalam hal panitia kreditur meminta penetapan hakim pengawas maka Kurator wajib menangguhkan pelaksanaan perbuatan yang direncanakan selama 3 (tiga) hari.53

52

Ibid., Pasal 83.

53

BAB III

TINDAKAN DEBITUR YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

A. Pengertian perbuatan tidak kooperatif

Tindakan kooperatif (itikad baik) seharusnya menjadi ruh dalam memahami, melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lain saat ini menjadi dinamika yang berkembang di Indonesia. Banyak pihak berharap penyelesaian sengketa melalui jalur ini akan membawa angin segar bagi dunia hukum dan bisnis. Pada kenyataannya praktik penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan ini sering terkendala dengan adanya perbuatan tidak kooperatif masing-masing pihak maupun pihak lain yang terkait yang mengakibatkan munculnya permasalahan hukum.

Asas itikad baik dikenal dalam perjanjian, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa dipengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary.

Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”. Dalam Black‟s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.” Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik". Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada

sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan

saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.

Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada „kesengajaan sebagai bentuk kesalahan‟ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.54

Menurut uraian mengenai perbuatan kooperatif diatas dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tidak kooperatif adalah perbuatan tipu daya yang bertentangan

54

http://lbh-madani.blogspot.com/2013/02/itikad-baik-menurut-hukum.html ( diakses pada 6 Maret 2013).

dengan perbuatan kooperatif. Yaitu perbuatan yang tidak menunjukkan adanya kerja sama dengan melakukan pertentangan terhadap suatu sikap individu maupun golongan tertentu yang dapat menimbulkan kerugian bagi mitra janjinya dan kepentingan umum.

Pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator sering menemui hambatan-hambatan yang menghalangi jalannya proses kepailitan sampai dengan pelaksanaan putusan kepailitannya. Hambatan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan lambatnya pelaksanaan putusan kepailtan maka dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kepailitan tersebut, padahal UUK-PKPU menganut asas adil (memperhatikan kepentingan secara seimbang antara kreditur dan debitur), cepat (dibatasi jangka waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali), dan efektif (putusan mempunyai kekuatan pasti dan sudah dapat dilaksanakan). Hambatan biasanya datang dari pihak debitur yang tidak kooperatif atau yang tidak mempunyai keinginan untuk melunasi utang-utangnya, bisa berupa penggelapan investasi pada saat kurator akan mencatat harta debitur, dengan serta merta debitur memindahkan harta kekayaannya ke tempat lain sehingga pada saat diadakan pencatatan oleh kurator ternyata debitur telah tidak mempunyai harta apa-apa lagi, menolak memberikan seluruh data dan informasi sehubungan dengan harta pailit secara lengkap dan akurat, menolak menyerahkan seluruh kewenangan pengurusan harta pailit dan usahanya kepada kurator dan

tidak lagi menjalankannya sendiri, menolak jika diminta membantu tugas kurator dalam menjalankan tugasnya55

Tidak jarang pula debitur tidak kooperatif terhadap Balai Harta Peninggalan selaku kurator pailit dalam menginventarisir harta pailit. Hal ini mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam menelusuri keberadaan dari harta pailit tersebut. Disamping itu, berkaitan dengan hal tersebut sering juga dijumpai debitur yang melarikan diri pada saat permohonan pailit sedang di proses di Pengadilan Niaga, maupun setelah keluarnya putusan pailit. Dalam hal jika terjadi hal seperti itu, maka hakim pengadilan niaga berhak untuk mengeluarkan putusan permohonan pernyataan pailit serta penetapan untuk penahanan sementara bagi debitur pailit sampai proses kepailitan berakhir atau sering disebut sebagai paksa badan (gijzeling). Gizjeling merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitur pailit benar-benar membantu tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.56

B. Ruang Lingkup Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Kepailitan mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai hartanya. Pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit tersebut beralih ke tangan kurator. Sejak mula pengangkatannya, kurator harus melaksanakan upaya pengamanan harta pailit dan menyimpan semua surat

55

http://www.kesimpulan.com/2009/03/hambatan-pelaksanaan-eksekusi-kepailita.html (diakses pada 27 November 2014).

56

http://andryawal.blogspot.com/2011/08/teknik-beracara-pengurusan-dan.html, (diakses pada 18 Maret 2015).

dokumen dan semua surat berharga lainnya. Pada hakikatnya, seorang debitur pailit memiliki kewajiban membantu tugas seorang kurator dalam melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Tetapi dalam praktiknya tidak sedikit debitur pailit yang sengaja mempersulit tugas kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. 57

Kurator sangat dituntut untuk menjalin kerja sama yang baik dengan debitur pailit. Kegagalan kurator membina kerja sama dengan debitur pailit dapat menyebabkan hambatan bagi proses kepailitan itu sendiri. Memang tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan debitur pailit, terlebih jika debitur dinyatakan pailit karena permohonan kreditur. Pada situasi ini, debitur akan senantiasa berpikir bahwa tindakan kurator adalah semata untuk keuntungan kreditur dan tidak memperhatikan kerugian yang diderita oleh si debitur. Hal ini berbeda jika permohonan pailit tersebut diajukan oleh debitur pailit sendiri. Dalam hal ini kurator akan memperoleh kerja sama yang baik dari debitur pailit.58

Tindakan debitur yang mempersulit tugas kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan tidak kooperatif, karena dilihat dari defenisi perbuatan tidak kooperatif yang pada intinya adalah perbuatan yang dengan sengaja tidak menunjukkan adanya kerja sama atau melakukan pertentangan terhadap individu atau golongan tertentu yang menimbulkan adanya kerugian bagi mitra janjinya ataupun kepentingan umum, dalam hal ini perbuatan tidak kooperatif debitur pailit tersebut

57

http://andryawal.blogspot.com/2011/08/teknik-beracara-pengurusan-dan.html,(diakses pada 13 Maret 2015).

58

dapat mendatangkan kerugian bagi para krediturnya. Dalam UUK-PKPU ruang lingkup bagi debitur yang tidak kooperatif dalam pemenuhan kewajibannya terkait pengurusan dan pemberesan harta pailit secara eksplisit diatur dalam Pasal 95 UUK-PKPU dan secara implisit diatur dalam Pasal 93 UUK-PKPU. Pengaturan mengenai perbuatan tidak kooperatif debitur pailit secara implisit pada Pasal 93 UUK-PKPU mengakibatkan adanya celah hukum yang artinya adalah celah yang terdapat dalam ketentuan atau peraturan yang isinya masih belum sepenuhnya dapat mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya tindakan untuk menghindari maksud dari ketentuan tersebut tanpa melanggar materi ketentuannya.59

Oleh karena UUK-PKPU tidak menentukan alsan-alasan yang bersifat eksplisit dalam hal apa saja seorang debitur pailit dapat diputuskan oleh pengadilan untuk ditahan, maka hakim bebas untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Dengan kata lain dapat saja hakim mengabulkan permohonan tersebut sekalipun tidak melanggar kewajiban debitur pailit yang ditentukan dalam Pasal 98, Pasal 110 dan Pasal 121 PKPU. Pasal 95 UUK-PKPU menyatakan permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2). Yang mana kewajiban hukum tersebut antara lain: 60

59

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/celah_hukum.aspx (diakses pada 2 april 2015).

60Sarifani simanjuntak, “Prinsip Transparansi dalam Pengurusan dan Pemberesan

Harta Pailit oleh Balai Harta Peninggalan di Kota Medan”, (Tesis, Ilmu Hukum Pasca Sarjana

1. Pengamanan terhadap semua harta pailit

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 98 UUK-PKPU, sejak dimulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnya dan memberikan tanda terima. Ketentuan Pasal 95 UUK-PKPU yang merujuk pada Pasal 98 bukan berisi kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur pailit, tetapi kewajiban oleh kurator. Oleh karena itu, bagaimana mungkin debitur pailit dapat melanggar Pasal 98 UUK-PKPU untuk dijadikan alasan bagi penahannya. Perlu dicatat bahwa keharusan bagi pengadilan untuk mengabulkan permintaan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 UUK-PKPU diatas, yaitu dalam hal debitur pailit tidak memenuhi kewajiaban Pasal 110 dan Pasal 121 UUK-PKPU adalah apabila dapat dibuktikan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam kedua Pasal tersebut. Namun demikian, apabila tidak dipenuhinya kewajiban debitur pailit tersebut bukan karena sengaja, bukan berarti pengadilan harus menolak permohonan penahanan tersebut. Oleh karena UUK-PKPU tidak menentukan alasan-alasan yang bersifat eksplisit dalam hal apa saja seorang debitur pailit dapat diputuskan oleh pengadilan untuk ditahan, maka hakim bebas untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Dengan kata lain, dapat saja hakim mengabulkan permohonan tersebut sekalipun tidak melanggar kewajiban debitur pailit yang ditentukan dalam Pasal 110 dan Pasal 121 UUK-PKPU, tetapi memutuskan untuk menahan debitur pailitkarena pertimbangan lain.

2. Pemanggilan untuk memberikan keterangan

Pasal 110 UUK-PKPU menyatakan bahwa debitur pailit wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan dan dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masingterhadap harta bersama. Dengan demikian, apabila debitur pailit tidak memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan kepada hakim pengawas, kurator atau panitia kreditur dapat dimohonkan untuk dilakukan penahanan atau paksa badan.

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa sidang pemeriksaan dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari sejak permohonan didaftarkan dan pemangggilan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelumnya. Pengadilan Niaga juga diwajibkan oleh Pasal 6 ayat (1) UUK-PKPU untuk melakukan pemanggilan terhadap debitur bila permohonan pailit diajukan oleh kreditur atau kejaksaan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama. Sementara pada

voluntary petition, pemanggilan tersebut baru dilakukan bila masih terdapat keraguan akan pemenuhan persyaratan Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU dari permohonan pailit yang diajukan.

Pasal 6 ayat (1) UUK-PKPU tidak menjelaskan untuk keperluan apa debitur tersebut dipanggil dan hak apa diberikan kepada mereka sehubungan dengan pemanggilan tersebut. Ketentuan tersebut merupakan perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepailitan yang lama, diamana justru jelas disebutkan

bahwa Pengadilan Negeri boleh memerintahkan supaya si berutang dipanggil untuk didengar. Sehingga dapat ditelusuri saling referensi antara permohonan kreditur dengan kedudukan utang yang dimaksudkan. Jika dilihat secara harifiah maka UUK-PKPU telah membatasi peran termohon sebatas hanya untuk mengetahui adanya permohonan pailit yang diajukan terhadapnya, tidak diperlukan respon apapun dari debitur terhadap proses permohonan yang sedang berlangsung. Beberapa pakar cenderung untuk memakai interpretasi yang berbeda, pemanggilan debitur dapat diartikan juga kesempatan untuk memberikan keterangan. Namun bagaimanapun juga pendapat tersebut bersifat interpretative

Dokumen terkait