• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kesejahteraan Dalam Ekonomi Kreatif

4.2 Faktor External

5.1.3 Peningkatan Kesejahteraan Dalam Ekonomi Kreatif

Industri kreatif adalah kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait penciptaan atau pembuatan satu benda atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Di Eropa industri kreatif lebih dikenal dengan sebutan Industri Budaya. Industri kreatif adalah bagian dari Ekonomi Kreatif. Ekonomi Kreatif adalah sebuah konsep yang menempatkan kreativitas dan pengetahuan sebagai aset utama dalam menggerakkan ekonomi. Konsep ini telah memicu ketertarikan berbagai negara untuk melakukan kajian seputar Ekonomi Kreatif dan menjadikan Ekonomi Kreatif model utama pengembangan ekonomi.

Pada tahun 2005, John Howkins secara sederhana menjelaskan Ekonomi Kreatif yang simpulkan adalah kegiatan ekonomi yang ada dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang. Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemajuan.

Istilah Ekonomi Kreatif mulai dikenal secara global sejak munculnya buku “The Creative Economy: How People Make Money from Ideas” (2001) oleh John Howkins. Howkins menyadari lahirnya gelombang ekonomi baru berbasis kreativitas setelah melihat pada tahun 1997 Amerika Serikat menghasilkan produk-produk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) senilai 414 Miliar Dollar yang menjadikan HKI ekspor nomor 1 Amerika Serikat. Howkins dengan ringkas mendefinisikan Ekonomi Kreatif, yaitu: The creation of value as a result of idea.

Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Industri kreatif pada Kerajinan merupakan salah satu sub sektor kegiatan ekonomi kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan Proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal).

Industri komodifikasi uis Karo dalam konteks ekonomi kreatif mengandung makna kesejahteraan bagi masyarakat Karo. Uis Karo hadir dalam bentuk tampilan baru yang diarahkan untuk kepentingan nilai ekonomi. Berkembangnya industri kreatif dengan modifikasi uis Karo turut membuka lapangan kerja baru dan mengembangkan industri yang sudah ada. Pada usaha tenun Trias Tambun, sang pemilik mengatakan mereka merekrut tenaga-tenaga dari luar Karo seperti, suku Jawa, Nias hingga Padang. Dengan banyaknya pekerja, sehingga proses produksi uis Karo semakin produktif. Hal ini berdampak kepada pihak-pihak yang terlibat dalam komodifikasi uis Karo seperti penjual benang, pendistribusi uis, dan penjual uis.

Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan alur pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007). Meningkatnya produksi komodifikasi uis Karo memicu peningkatan

peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga kondisi ekonomi masyarakat juga dapat meningkat. Perubahan ekonomi berakibat dari hulu sampai ke hilir, dari tingkat pengrajin sampai pedagang, dan desainer. Masyarakat dapat memperbaiki keadaan ekonominya dengan bekerja atau dapat menciptakan lapangan kerja sendiri yang berkaitan langsung dengan proses produksi, distribusi serta Proses komodifikasi uis Karo tersebut.

5.2 Makna Komodifikasi uis Karo

Komodifikasi kebudayaan telah melahirkan berbagai aspek pemaknaan, baik pemaknaan diberikan berdasarkan objek, pencipta objek, maupun pemberi makna itu sendiri. Komodifikasi uis Karo mengalami perubahan makna. Pengertian makna secara leksikon adalah arti, maksud atau juga pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sebuah makna dihasilkan melalui Proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu objek. Untuk memahami makna komodifikasi uis Karo, teori hipersemiotika menjadi sangat penting, karena komodifikasi merupakan sebuah karya seni yang memiliki unsur-unsur postmodern yang bercirikan tanda-tanda yang melebihi realitas (hiperealitas) sehingga memunculkan pemaknaan baru (hipersemiotika). Hipersemiotika merupakan ilmu yang mengkaji pemaknaan baru sebagai bagian dari kajian budaya.

Barthes (Piliang, 2003) mengembangkan sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi (connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan tanda dengan

rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti. makna ini merupakan makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita atau makna apa adanya. makna denotasi mengacu kepada kata atau kelompok kata yang didasarkan pada hubungan lugas antara satuan bahasa dan suatu wujud yang ada di luar bahasa seperti orang, benda, tempat, sifat, proses ataupun kegiatan tertentu. Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan, dan bisa menjadi makna kiasan yang terbentuk secara metaforis. makna konotasi juga mengacu pada nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman.

Dari penelitian makna komodifikasi uis Karo, secara denotatif komodifikasi uis Karo memiliki makna sebagai Proses perubahan uis Karo itu sendiri yang semula bukan komoditas menjadi barang-barang komoditas. Munculnya makna baru menurut Barthes, karena adanya “penundaan” hubungan penanda (bentuk) dan petanda (makna). Sedangkan secara konotatif, komodifikasi

uis Karoadalah nilai rasa atau arti yang ada dalam Proses komodifikasi uis Karo yang mendukung terlaksananya atau terciptanya komodifikasi. Uis Karo mengalami dinamika dengan pertambahan atau perluasan makna-makna konotasi atau disebut dengan gejala diversifikasi makna (Hoed, 2008).

5.2.1 Perubahan Makna Sakral Ke Fun

Uis Karo sebagai sebuah karya seni dan budaya yang memiliki pakem atau sebuah aturan adat yang menjadi panutan dalam menuntun masyarakat Karo baik

dalam memproduksinya hingga pemakaiannya. Setiap jenis uis Karo memiliki masing-masing pakem yang telah ditetapkan oleh leluhur masyarakat terdahulu berdasarkan konsep ruang dan waktu sebagai kearifan lokal masyarakat Karo.

Pakem tersebut bias dilihat dari aturan-aturan dalam bentuk, fungsi, cara pemberian dan cara pemakaian uis Karo tersebut.

Namun demikian aturan-aturan tersebut kini semkin memudar seiring dengan masyarakat Karo yang menerima budaya luar. Masyarakat Karo tak begitu paham untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan dalam penggunaan uis tersebut seperti cara memakai, siapa yang memakai, waktu kapan tepatnya memakai dan pada acara apa memakai uis tersebut. Masyarakat Karo juga dengan leluasa memodifikasi uis Karo dengan perpaduan bahan-bahan yang modern.

Perkembangan globalisasi telah mendorong berbagai bentuk kebebasan manusia untuk berproduksi, distribusi dan konsumsi terhadap segala hal termasuk

uis Karo. Dalam industri kreatif modifikasi uis Karo, pengrajin dan desainer memiliki keleluasaan untuk berkreasi. Pengrajin harus mampu menangkap bagaimana kemauan pasar dan trend yang sedang hangat. Beberapa bentuk produksi berubah dalam proses dan produk yang dihasilkan hingga modifikasi yang radikal seperti mengubah bentuk dan fungsi.

Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form, follows, meaning“ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala baru, yakni “form, follows, function”, artinya segala bentuk hasil produksi dibuat

berdasarkan fungsinya. Contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa fungsi khusus seperti uis buat pernikahan, uis buat acara duka dan uis Karo lainnya.

Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola “form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat menyenangkan si pemakai/konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi barang fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil produksi ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai pakem, makna dan fungsi tidak lagi menjadi prinsip utama dalam desain posmodernime. Posmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku (pakem), desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu.

Komodifikasi kebudayaan merupakan sebuah seni postmodern yang melabrak seluruh konvensi-konvensi seni klasik dan modern. Baudrillard menjelasakan estetika postmodern termasuk bagian estetika yang tidak lagi membedakan mana yang indah mana yang jelek. Seni postmodern tidak lagi membedakan mana kelihatan, mana yang tersembunyi. Seni postmodern mengabdikan dirinya pada pusaran ekstasi kegairahan. Seni postmodern juga selalu menyerap unsur-unsur lain yang saling bertentangan. Boudrillard berpendapat pelanggaran pakem yang merupakan bagian dari unsur estetika klasik adalah disengaja untuk memunculkan nilai estetika baru yang mencirikan gaya postmodern itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa komodifikasi uis Karo berdampak negatif terhadap kelangsungan pakem-pakem yang sudah diatur oleh leluhur zaman dulu. Aturan dalam memakai uis Karo yang dulu dianggap keharusan, sekarang tidak lagi menjadi keharusan lagi karena uis Karo telah kehilangan nilai-nilai keutamaannya.

5.2.2 Makna Kreativitas

Sumartono (2006) mengatakan bahwa kreativitas merupakan usaha manusia yang menyatukan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide-ide baru yang lebih baik. Ide-ide baru (kreativitas) senantiasa dikaitkan dengan masalah yang dihadapi serta adanya kesempatan atau peluang yang harus dimanfaatkan sebagai suatu bentuk solusi terhadap masalah yang dihadapi.

Donatella Versace sebagai desainer busana memaparkan bahwa kreativitas lahir dari berbagai masalah, dari pertemuan konflik-konflik yang ada “ Creativity comes from a conflict of ideas”. Kreativitas dapat mendekontrusi tradisi dan adat istiadat membuka kemungkinan makna-makna baru. Dengan demikian kreativitas membuat wacana baru yang diharapkan membawa makna-makna baru yang membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Salah satu bentuk kreativitas adalah busana. Busana menjadi objek dimana disainer mengembangkan seluruh potensi kreativitasya untuk menghasilkan karya-karya terbaik mereka. Busana merupakan bagian dari komodifikasi budaya.

Komodifikasi uis Karo merupakan suatu produk kreativitas dari para seniman atau desainer. Mereka memodifikasi uis Karo sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi karya-karya yang diminati oleh masyarakat modern. Perpadauan bentuk desain tradisional dan modern yang menjadi bahan inspirasi mereka untuk mencipta karya-karya baru yang mampu memenuhi selera masyarakat.

Penciptaan karya kreatif berbahan uis Karo terjadi melalui proses perpaduan budaya akulturasi, asimilasi, motif dan gaya dari berbagai budaya baik dalam teknik, pengembangan bentuk, ragam hias, warna, hingga desain. Komodifikasi uis Karo merupakan daya atau usaha kreatif para desainer dalam memproduksi modifikasi uis Karo dengan memanfaatkan teknologi seperti ATBM, mesin jahit hingga komputer. Dari kreatifitas tersebut, desainer dapat membuat modifikasi uis Karo dengan efisien, cepat hingga mampu memproduksi massal.

Kreativitas dalam memproduksi modifikasi uis Karo bukanlah merupakan suatu fenomena yang menunjukan dirinya sendiri sebagai realitas ungkapan budaya, tetapi lebih merupakan suatu fenomena yang menghadirkan fenomena lain yang ada di balik komodifikasi uis Karo yakni desakan ekonomi. Kreativitas dalam komodifikasi tersebut menjadi semacam tanda yang menghadirkan sesuatu yang ada di baliknya yakni kepentingan ekonomi.

Barthes mengemukanam bahwa tanda-tanda budaya memiliki hubungan yang kompleks dengan reproduksi ideologi, sehingga uis Karo sebagai tanda

budaya dalam proses komodifikasinya senantiasa berkaitan erat dengan ideologi tertentu yakni ideologi kapitalis.

Hal ini terjadi karena hubungan antara manusia dalam fenomena ini adalah hubungan pasar atau kapitalis, di mana produk modifikasi uis Karo merupakan media sekaligus tanda yang membentuk hubungan tersebut dalam hubungan interaksi permintaan dan penawaran.

Produk modifikasi uis Karo berperan sebagai tanda dalam membangun hubungan antara manusia melalui pasar, sehingga pengemasan tanda tersebut (produk modifikasi uis Karo) harus memiliki kelebihan diantara produk yang lain untuk menarik dikonsumsi oleh pasar. Supaya produk modifikasi uis Karo diterima pasar, seharusnya hal yang paling dasar dari pengemasan produk tersebut adalah kreativitas dan inovasi dalam memodifikasi uis Karo. Oleh sebab itu, yang menjadi makna dasar dari proses komodifikasi uis Karoadalah kreativitas.

5.2.3 Makna Pelestarian Budaya

Masuknya berbagai budaya asing melalui berbagai media, membuat masyarakat dengan mudah menerima kebudayaan tersebut. Kebudayaan leluhur yang sudah lama dianut mulai dilepaskan satu-persatu dan kalah ditelan oleh kebudayaan asing. Perubahan kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut M.J Herskovits setiap kebudayaan tumbuh dan berkembang secara dinamis, sehingga pelestarian kebudayaan pada hakekatnya tidaklah menghalang-halangi perubahan termasuk yang di timbulkan oleh penerimaan

unsur-unsur kebudayaan luar, apalagi yang diperlukan dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata pelestarian berarti perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada Bab I, Pasal 1, ayat 2 dinyatakan bahwa: “Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya”.

Definisi pelestarian untuk uis Karojuga mengandung upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan uis Karo dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Melindungi berarti memberi upaya untuk mencegah dari kepunahan, mengembangkan adalah upaya meningkatkan potensinya sesuai dengan perkembangan zaman, dan memanfaatkan berarti mempergunakan potensi yang ada pada uis Karo untuk menjaga fungsinya dalam bermasyarakat.

Menurut Dinalmudra, sebuah peninggalan budaya dengan muatan-muatan nilai budayanya dapat dikemas dengan bentuk-bentuk yang lebih bersifat ekonomis dan marketable. Hal ini secara otomatis akan menggiring warisan budaya pada sebuahperspektif komodifikasi warisan budaya.

Uis Karo termasuk artefak peninggalan budaya (heritage) yang dapat didefinisikan sebagai perangkat-perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya (Putra, 2004). Pada dasarnya, setiap kebudayaan

sebagai milik suatu masyarakat, dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.

Ada beberapa jenis uis Karo yang tidak ditemui lagi pada saat ini seperti

uis batu jala dan uis gobar dibata. Jenis uis ini menjadi punah akibat berkembangnya budaya pada masyarakat Karo, seperti masuknya agama Kristen. Jenis uis Karo yang punah biasanya berhubungan dunia aninisme, sehingga jenis

uis Karo tersebut layak dijadikan objek dalam pelestarian budaya.

Pelestarian budaya berupaya mempertahankan keadaan dan keberadaan suatu peninggalan generasi masa lampau melalui proses inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi. Pelestarian budaya bermanfaat untuk mengetahui, memahami, dan menghargai prestasi-prestasi atau pencapaian-pencapaian nenek-moyang leluhur kita dahulu. Pelestarian budaya dapat sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik tanpa mengulangi kesalahan masa lalu dan merupakan modal yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Salah satu pelestarian budaya Karo adalah dengan memodifikasi uis Karo.

Peran designer dan penenun dalam memodifikasi uis Karo, tidak hanya berdampak pada pelestarian uis Karo itu sendiri beserta ragam hiasnya, akan tetapi juga melestarikan budaya menenun kepada generasi berikutnya. Komodifikasi budaya sebagai sebuah bagian dari dunia kapitalis ikut secara langsung mempertahankan nilai-nilai tradisional untuk menjadi sebuah objek yang bisa dieksplorasi dari nilai ekonomi. Meskipun motivasi utama adalah untuk nilai

ekonomi, ternyata terjadi reinventasi terhadap berbagai jenis uis hingga ragam hias tradisional Karo tersebut.

Pelestarian nilai-nilai budaya sesungguhnya merupakan suatu seleksi dan sekaligus pemeliharaan nilai-nilai tradisional yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam pelestarian budaya, mungkin ada unsur-unsur lama yang ditinggalkan, karena sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kehadiran komodifikasi uis Karo merupakan transformasi dari uis Karo tradisional yaitu perubahan yang direncanakan untuk melestarikan nilai-nilai leluhur yang terkandung di dalamnya. Komodifikasi uis Karo juga mampu menjaga nilai-nilai leluhur tersenbut dari keterpinggiran dan kepunahan, dengan cara mengkomodifikasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa komodifikasi uis Karo merupakan sebuah usaha yang dilakukan dengan sadar karena mengandung makna pelestarian budaya.

5.2.4 Makna Identitas

Menurut Koentjaraningrat, (1987) identitas budaya adalah ciri khas suatu kebudayaan yang membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan yang lain. Identitas terbentuk dari berbagai jenis unsur kebudayaan, seperti lambang, sistem nilai, norma, adat dan kesenian.

Masyarakat Karo terikat oleh adanya kesatuan budaya seperti pemakaian bahasa Karo, adat Karo dan berbusana adat Karo. Kebudayaan Karo yang dijiwai oleh bentuk visual dari uis Karo yang merupakan bagian dari busana tradinasional masyarakat Karo yang sekaligus sebagai identitas budaya pada masyarakat Karo.

Komodifikasi busana tradisional masyarakat Karo merupakan contoh sebuah realitas baru terbentuk dalam masyarakat, dimana penampilan berbusana menjadi signifikansi atau pembeda dalam masyarakat. Busana dapat dimetaforakan sebagai “kulit sosial dan kulit budaya”, yang dapat menunjukkan identitas pemakainya dan juga menentukan citra. Sedangkan menurut Koentjaraningrat pakaian juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.

Makna identitas dalam komodifikasi uis Karo dapat dilihat dari fungsi yang utama yaitu berhubungan dengan cara berbusana. Busana merupakan suatu simbol sosial yang dapat memberikan identitas kebudayaan terhadap seseorang. Lebih dari itu pakaian juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi simbolis dan makna-makna social. Tanda dan simbol yang melekat dengan busana yang dipakai oleh mereka menjadi penanda diferensiasi atau pemisah dengan kelompok dominan dengan kelompok subodinat, superior berbeda dengan inferior, yang kaya berbeda dengan yang miskin dan seterusnya.

Fungsi busana bagi manusia adalah sangat vital yaitu perlindungan, perhiasan dan tanda luhur. Bagi manusia, busana merupakan cerminan suatu nilai dari dalam pemakainya. Busana juga memberikan nilai kesopanan yang berhubungan dengan norma-norma sehingga penampakannya menunjukkan sebuah ekpresi sebagai suatu sistem dalam kelompok masyarakat.

Simbol-simbol tertentu ditambahkan pada busana untuk menambah kepantasan dan keluhuran. Pakaian dengan kedudukan tertentu merupakan syarat keharusan supaya manusia tampil sebagai manusia yang beradab. Pakaian juga

mengkomunikasikan apa yang dianggap kehalusan wanita, keperkasaan pria, kesopanan kelas atas, dan apa yang dianggap kekasaran kelas bawah (Lury,1998). Drijarkara (1969) mengemukakan bahwa martabat manusia tercermin dari cara berbusana. Cara berbusana seseorang tercermin martabat, kedaulatan, dan kekuasaannya. Manusia berdasarkan kemampuannya memakaikan dirinya dengan hiasan-hiasan sehingga dengan demikian mencerminkan statusnya.

Menurut Van Dick, pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan perbedaan status dan pandangan politik atau religius, dengan demikian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan idea tertentu (Nordholt, 2005).

Manusia juga menjadikan pakaian-pakaian sebagai sebuah alat pembeda

baru dalam masyarakat modern untuk mengkomunikasikan identitas sosial yang berhubungan dengan kesukuan. Sehingga pakaian menjadi suatu kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok sosial.

Gambar 5.1 : Makna Beka Buluh sebagai wakil identitas Sumatera Utara

Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah system tanda (signs). Cara kita berpakaian merupakan sebuah tanda untuk menunjukan siapa diri kita dan nilai budaya apa yang ada pada identitas kita. Thomas Caycle berpendapat bahwa pakaian menjadi pelambang jiwa (emblems of the soul) dan menurut ahli semiotika, Umberto Eco, “Aku berbicara lewat pakaianku” (I speak through my cloth). Seseorang yang menggunakan modifikasi uis Karo pada acara formal pasti sedang mengkomunikasikan sesuatu tentang status kesukuannya.

Komodifikasi uis Karo melalui cara berbusana adalah kecenderungan dari budaya konsumsi yang mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stilistik. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, dan seterusnya dipandang sebagai individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Featherstone, 2001).

Dalam pandangan yang lebih luas komodifikasi uis Karo dipandang sebagai penanda sebuah identitas bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Identitas berusaha dibangun, digali, ditafsirkan sebagai bentuk pelestarian budaya masa lalu dan diperkenalkan kembali dalam bentuk transformasi budaya.

Banindro (2007) berpedapat bahwa pengaruh komodifikasi kebudayaan terhadap pembentukan identitas komunitas melalui gaya psychedelia sebagai gerakan idealis anti kemapanan. Banindro juga melihat komodifikasi gaya

psychedelia yang pada awal kemunculannya sebagai gaya atau gerakan komunitas yang memiliki pandangan melawan budaya kemapanan berubah sebagai gaya

hidup remaja yang dituangkan seperti dalam produk make up, fashion, sepatu, otomotif, elektronik, hingga tattoo, dianggap sebagai proses komodifikasi kebudayaan.

Makna indentitas pada komodifikasi kebudayaan yang terjadi pada saat ini merupakan suatu fenomena tradisionalisasi. Hal tersebut menjelaskan bahwa pemilihan busana oleh seorang pemakai juga turut merepresentasikan identitasnya. Penggunaan busana dengan memakai komodifikasi uis Karo di acara-acara formal non-Karo secara tidak langsung akan menimbulkan suatu pemahaman bahwa pemakainya adalah orang suku Karo.

Gambar 5.3 : Makna identitas kesukuan pada fashion poster penyanyi

(Sumber : Tiofanta Pinem)

Fenomena ini terjadi karena didalamnya terjadi reinventasi budaya-budaya masa lalu. Melalui komodifikasi budaya, identitas budaya masyarakat Karo makin

menguat. Komodifikasi uis Karo tidak serta merta diikuti oleh memudarnya identitas masa lalu suku Karo tetapi secara langsung ikut mempertegas dan memperkuat identitas asli masyarakat Karo.

Dokumen terkait