• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada

B. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diterapkan Sebagai Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor

3. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada

Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

Penulis sependapat dengan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa untuk dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana korupsi. PT Giri Jaladhi Wana dalam Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM telah dijatuhi pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, berawal pada perkara Stevanus Widagdo yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolan Pasar Sentra Antasari yang bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, dan masih bertindak dalam ruang lingkup PT Giri Jaladhi Wana untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana. Dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menerapkan Pasal 20 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, PT Giri Jaladhi Wana ditempatkan sebagai terdakwa. Menurut penulis, penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa merupakan hal yang tepat, sebab dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur apabila terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Sehingga memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjerat korporasi dengan menghadapkannya ke muka pengadilan sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab secara pidana.

Selanjutnya, pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan penerapan teori identifikasi yang memiliki prinsip utama yaitu menentukan directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind dari

korporasi diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi. Perbuatan Stevanus Widagdo yang dilakukan dalam rangka fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan mengtasanamakan PT Giri Jaladhi Wana, yang dilakukannya dalam ruang lingkup kewenangan PT Giri Jaladhi Wana pada pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin serta dilakukan untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut telah menentukan bahwa Stevanus Widagdo merupakan directing mind atau otak dan pikiran dari PT Giri Jaladhi Wana. Stevanus Widagdo dapat diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, sehingga seluruh perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana. Oleh karena itu, PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dalam mempertimbangkan unsur melawan hukum sebagai delik inti atau beestanddeel delict merujuk pada pendapat ahli yang dihadirkan di persidangan yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa untuk dapat suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; dan

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang diambil alih dan dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk mengadili perkara dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, penulis pada intinya sependapat dengan keterangan yang disampaikan oleh ahli. Dan penulis akan menguraikan syarat-syarat yang telah diungkapkan oleh ahli satu per satu dan penulis kaitkan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;

Penulis menerima syarat pertama yang diungkapkan oleh ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, bahwa tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Hal ini menunjukan bahwa ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menerapkan teori identifikasi dalam mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana pada tindak pidana korupsi.

Terkait dengan frase “diperintahkan” dalam syarat pertama yang diutarakan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, menurut penulis tidak sama dengan pengertian “disuruh” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, hal ini perlu diungkapkan karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur secara khusus mengenai penyertaan, maka menurut Pasal 103 KUHP berlaku bentuk penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pelaku fisik yang melakukan suatu tindak pidana berdasarkan “suruhan” dari orang lain tidak dapat dipidana. Tentu saja yang dimaksud “diperintahkan” disini tidak sama pengertiannya dengan “disuruh” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mengenai hal “diperintahkan” disini yang dimaksud adalah seolah-olah tindak pidana korupsi dilakukan oleh pelaku fisik karena diperintahkan oleh personel korporasi yang diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi. Menurut penulis syarat pertama ini berhubungan dengan teori pelaku fungsional yang digunakan untuk mendukung teori identifikasi dalam menentukan directing mind dari korporasi. Dimana teori pelaku fungsional menyatakan bahwa korporasi tidak harus melakukan perbuatannya sendiri secara fisik, tetapi perbuatan itu dilakukan oleh pengurusnya dalam rangka fungsi dan tugasnya, dan masih dalam ruang lingkup kewenangan korporasi. Maka secara umum perbuatan pengurus korporasi dianggap sebagai perbuatan korporasi, sehingga terjadi pelimpahan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

Sehubungan dengan penerapan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai pelaku tindak pidana korupsi didasarkan pada directing mind yang ada pada Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana, yaitu dengan didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap

di persidangan bahwa tindakan hukum Stevanus Widagdo sebagai Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Giri Jaladhi Wana berupa penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 dan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas kedua perjanjian kerjasama tersebut PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo melakukan penyimpangan-penyimpangan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;

Salah satu kriteria tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi apabila dilakukan dalam lingkungan korporasi. Dalam lingkungan korporasi menurut penulis dapat diketahui dari maksud dan tujuan korporasi yang tercantum dalam anggaran dasar korporasi. Sehubungan dengan maksud dan tujuan PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya bahwa PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang usaha perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior.

Apabila mencermati perbuatan PT Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Kota Bajarmasin mengenai Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Penunjukan Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari oleh Pemerintah Kota Banjarmasin kepada PT Giri Jaladhi Wana serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., masih dalam ruang lingkup bidang usaha PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya.

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain. Menurut penulis, pelaku yang memberikan perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi merujuk kepada pengurus korporasi yang dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

“yang dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.

Berdasarkan teori identifikasi yang menyatakan bahwa agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan perbuatan atau perintah itu harus diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind korporasi dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari korporasi, jadi dalam hal menyangkut PT Giri Jaladhi Wana, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dalam rangka tugasnya sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap PT Giri Jaldhi Wana.

Bahwa perbuatan hukum yang dilakukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dengan mengatasnamakan PT Giri Jaladhi Wana dalam hal penandatanganan Kontrak Bagi Tempat

Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga mengakibatkan kerugian keuangan bagi Negara c.q Pemerintah Kota Banjarmasin dan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dilakukan maupun berdasarkan perintah Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang menurut teori identifikasi merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan terhadap PT Giri Jaladhi Wana.

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi;

Perbuatan seseorang yang diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya terhadap korporasi. Dalam konteks ini menurut penulis, perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korporasi dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi directing mind itu sendiri maupun juga keuntungan terhadap korporasi, dalam konteks ini pertanggungjawaban pidananya tetap ada pada korporasi.

Dalam tindak pidana korupsi yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, atas perbuatan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin berupa penjualan atas tambahan 900 (sembilan ratus) unit toko, kios, los, lapak dan warung sebesar Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam

rupiah) yang tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin merupakan keuntungan yang diterima PT Giri Jaladhi Wana.

PT Giri Jaladhi Wana juga mendapatkan keuntungan karena adanya kewajiban dari PT Giri Jaladhi Wana yang tidak dipenuhi yaitu pembayaran retribusi dan penggantian uang sewa serta membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari yang keseluruhannya sejumlah Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang hanya dibayarkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan yang tidak dibayar oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam hal ini Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan keterangan yang tidak benar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah).

Selanjutnya, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari dengan tidak membayar beberapa angsuran kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., sehingga mengakibatkan kerugian terhadap PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,00 (seratus

sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta eman puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Dengan demikian, terbukti bahwa perbuatan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana adalah memiliki maksud dan tujuan untuk memberikan keuntungan secara melawan hukum terhadap korporasinya yaitu PT Giri Jaladhi Wana.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Dalam pertanggungjawaban pidana terkait alasan penghapus pidana yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila dalam diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pembenar maka perbuatan pelaku tersebut bersifat melawan hukum, dan apabila dalam diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pemaaf maka unsur kesalahan atau

mens rea ada pada diri pelaku sehingga pelaku dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo yang diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka dengan penerapan teori identifikasi, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga menurut penulis, dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf pada PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan teori identifikasi, berdasarkan kedudukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang telah dipidana dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009 dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin

sehingga tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada diri Stevanus Widagdo. Merujuk pada penerapan teori identifikasi, secara mutatis mutandis tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada diri Stevanus Widagdo sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, maka terhadap PT Giri Jaladhi Wana tidak terdapat juga adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf.

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yaitu mendasarkan penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa menurut penulis tepat dengan didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa:

“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurus korporasi”

Menurut penulis penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa lebih tepat apabila dibandingkan dengan hanya menuntut pelaku individualnya saja. Selanjutnya dengan menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan bahwa Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi

Wana itu sendiri, dan perbuatan serta kesalahan Stevanus Widagdo dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dasar pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori identifikasi untuk mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara pidana dikuatkan dengan keterangan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini sebagai ahli dalam tindak pidana korupsi dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yang pendapatnya diambil alih untuk digunakan sebagai pertimbangan Majelis Hakim untuk mengadili dan memutuskan perkara Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dengan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya dan korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan terhadap PT Giri Jaladhi Wana berupa pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan, menurut penulis sudah tepat, hal ini dikarenakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berupa denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga), ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digunakan Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana adalah dengan ancaman pidana denda maksimum Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) merupakan pemberatan dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana denda maksimum, kemudian mengingat dalam Putusan

Kasasi Stevanus Widagdo selaku Direktrur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp6.300.000.000,00 (enam miliar tiga ratus juta rupiah), maka masih ada kekurangan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai 2007 yang tidak disetorkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah), selisih tersebut menjadi beban PT Giri Jaladhi Wana, sehingga denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) sudah tepat. Selanjutnya pidana tambahan telah mengacu pada Pasal 18 ayat (1) huruf c yaitu penutupan seluruh atau sebagian korporasi untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun, dimana dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM pidana tambahan penutupan sementara telah ditentukan dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan serta meminimalkan ekses negatif bagi karyawan dari penjatuhan pidana terhadap korporasi.

Penulis pada prinsipnya setuju dengan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, berkenaan dengan pemidanaan terhadap korporasi untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi karena telah sesuai dengan arah penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime maka upaya pemberantasannya dituntut dengan cara-cara yang luar biasa seperti halnya menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, mengingat dalam era globalisasi ini tindak pidana korupsi banyak melibatkan peran korporasi, namun korporasi sering lolos dari jerat hukum, sehingga penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal

yang sangat penting, maka putusan ini bisa menjadi dasar untuk memutus perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi.

4. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam