• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen

AZ. Nasution, memberikan batasan pengertian sengketa konsumen adalah “setiap perselisihan antara konsumen dan penyedia produk konsumen (barang dan jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu”.38

Sementara itu Sidharta menyebutkan, “Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang lingkup nya

38

mencangkup semua segi hukum, baik keperdataan, baik pidana maupun tata negara”.39

Saat ketika sengketa terjadi, bisa saja sengketa konsumen tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh bagian pengaduan (complaint section) produsen dan/ atau organisasi konsumen yang ada atau antara konsumen dengan produsen itu sendiri secara langsung, namun dalam kenyataannya tidak selalu sesuai teori karena penyelesaian yang dilakukan di bagian pengaduan yang ditentukan oleh pelaku usaha pasti akan cenderung menguntungkan pihak pelaku

Perselisihan dapat terjadi apabila salah satu pihak atau keduanya tidak memenuhi perikatan yang telah disepakati bersama, yang dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Dalam perlindungan konsumen ini konsep memberikan sesuatu, berbuat atau tidak berbuat yang dapat menimbulkan perselisihan /sengketa dapat terjadi apabila antara pelaku usaha dan konsumen salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya sesuai perjanjian yang sudah dibuat (wanprestai). Dan mengingat kondisi dan perkembangan dalam kegiatan ekonomi masyarakat dalam dan luar negeri pada masa kini, termasuk pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut.

Obyek sengketa konsumen di batasi hanya menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang konsumen pada umumnya digunakan untuk keperluan memenuhi kebutuhan konsumen pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk komersil.

Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

usaha bukan konsumen yang telah dirugikan. Maka peran pemerintah dalam hal ini, pemerintah daerah di tempat terjadinya sengketa memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antara produsen dan konsumen dengan sebaik-baiknya atau dengan jalan menyediakan suatu lembaga/ badan yang independent (tidak memihak) dalam penyelesaian sengketa konsumen ini.

“Umumnya dalam permasalahan hukum yang terjadi dalam hal ini persoalan penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu : a) cara perdamaian dan b) penyelesaian melalui instansi yang berwenang.”40

40

Az. Nasution,1995, Op.Cit,hal 179

Penyelesaian melalui instansi yang berwenang dapat meliputi penyelesaian melalui lembaga pemerintah, lembaga peradilan maupun melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berhak.

Selama ini dalam permasalahan yang ada, Pasal 1851- Pasal 1864, Bab ke-18 buku ketiga KUHPerdata digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian sengketa secara damai. Penyelesaian itu dapat langsung diadakan antara para pihak dan dapat pula dengan menggunakan jasa pihak ketiga yang disepakati.

YLKI pernah mencoba memanfaatkan pedoman ini, tapi dalam kenyataannya tidak disepakati oleh salah satu pihak, upaya YLKI dalam hal ini tidak berhasil. Kesimpulan dan saran dalam penyelesaian sengketa yang diberikan oleh YLKI adalah menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan maupun instansi pemerintah yang terkait.

Untuk kepentingan konsumen ini, YLKI memperkenalkan beberapa pilihan mekanisme :

a.class action, suatu pendekatan apabila ada kelompok masyarakat yang dirugikan, yang karena keterbatasan dari para korban. Gugatan perdata (berkaitan dengan ganti rugi) yang diajukan oleh sejumlah orang mewakili kepentingan mereka sebagai korban.41

c. Mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa melakukan musyawarah guna mencari pemecahannya dengan difasilitasi oleh mediator.

b..Small claim court, pemutusan perkara antara produsen dengan konsumen dan diselesaikan melalui pengadilan yang singkat dan praktis.

42

b. Memasukkan gugatan perdata ganti rugi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari hubungan hukum konsumen dan pelaku usaha yang merugikannya, kepada pengadilan negeri yang berwenang

Sementara itu dalam hal penyelesaian sengketa melalui instansi yang berwenang dapat dilakukan dengan :

a.Mengadukan atau melaporkan perihal gangguan atas kepentingan konsumen melalui instansi pemerintah yang terkait, yang berdasarkan instrumen hukum publik yang mempunyai kewenangan administratif terhadap perusahaan-perusahaan dalam lingkup wewenangnya, atau instansi yang berwenang mengusut perilaku yang memuat unsur-unsur tindak pidana.

41

Mas Achmad Santosa, Konsep Penerapan Gugatan Perwakilan (class action),ICEL, Jakarta, 1997 hal 10

(umumnya pengadilan negeri yang mempunyai wewenang di wilayah tempat tinggal atau domisili tergugat).

Bagi perusahaan asuransi dengan nasabahnya, apabila terjadi persengketaan atau perselisihan antara keduanya sebagai akibat pelaksanaan atau penafsiran perjanjian pertanggungan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dalam tempo 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kerugian yang menjadi pokok perselisihan dan persengketaan, maka pihak yang berkepentingan berhak mengajukan persengketaan ini kepada Dewan Asuransi Indonesia yang akan membentuk badan arbitrase khusus dalam tempo paling lambat 30 hari sejak permohonan diajukan.

Badan Arbitrase, wajib memutuskan persengketaan atau perselisihan tersebut dalam tempo 90 hari sejak tanggal pembentukannya. Keputusan arbitrase ini merupakan keputusan final dan mengikat kedua belah pihak.

Keseluruhan bentuk dan cara penyelesaian sengketa konsumen yang telah disebutkan mengandung kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Kondisi konsumen yang relatif tidak seimbang dalam tingkat pendidikan, ekonomi, dan lemahnya daya tawar menawar, dibandingkan dengan kedudukan barang atau jasa konsumen, merupakan pokok masalah penting yang memerlukan pertimbangan. Suatu badan penyelesaian sengketa alternatif yang cepat, tepat, dan murah sangat dibutuhkan masyarakat, konsumen dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan suatu produk Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hingga dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak dijumpai berbagai hambatan, ditambah lagi dengan belum adanya peraturan pelaksana bagi Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu. Untuk itu peran aktif pemerintah dalam melaksanakan dan memasyarakatkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memegang peranan penting, karena pemerintah sebagai public servant memegang kekuasaan pemerintah.

2. Dengan lahirnya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah memegang peranan sekaligus memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persengketaan, perselisihan atas kerugian yang dialami konsumen. Seperti halnya negara-negara maju lainnya yang telah mengakomodasi kebutuhan konsumen akan suatu lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang betul-betul melindungi dan membantu konsumen dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konsumen.

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen secara cepat, tepat dan murah merupakan hal yang selalu didambakan semua konsumen. Beberapa kasus kerugian konsumen belakangan mendapat perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat

yang sering mengatasnamakan masyarakat. Namun ternyata permasalahan yang dihadapi konsumen belum dapat diselesaikan sesuai ketentuan yang ada.

Dengan lahirnya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat menyelesaikan atau menjadi jawaban dari keluhan-keluhan selama ini dari masyarakat. Karena undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum kepada konsumen dalam setiap transaksi yang terjadi antara konsumen dengan produsen.

B. Saran

1. Posisi konsumen yang lemah merupakan suatu kenyataan yang dihadapi saat ini. Seharusnya oleh pemerintah dilakukan pengaturan perlindungan konsumen harus memperhatikan dan mengembalikan posisi konsumen pada tempat yang seharusnya yaitu konsumen memiliki tempat yang seharusnya yaitu konsumen memiliki tempat yang sejajar dengan produsen/ pelaku usaha. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk memposisikan konsumen pada tempatnya adalah :

a. Mensosialisasikan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen agar konsumen mengetahui dan mengerti makna dan manfaat dari undang-undang ini.

b. Mengadakan suatu pendidikan bagi konsumen, melalui jalur formal dan non formal yang dapat menumbuhkan sikap dan kemandirian konsumen.

c. Peningkatan sumber daya manusia di bidang perlindungan konsumen terutama bagi aparatur pembina, baik Departemen Perindustrian dan Perdagangan Instansi Teknis dan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota.

d. Adanya pengawasan yang berkesinambungan terhadap kwalitas dan mutu produk barang-barang/ jasa yang beredar di pasaran yang sesuai standar yang telah ditetapkan.

e. Pelayanan informasi bagi konsumen melalui media masa, publikasi, penerbitan buku-buku konsumen, pelayanan pengaduan dan penyelesaian masalah konsumen.

f. Melakukan koordinasi yang bersifat lintas sektoral terhadap penanganan masalah perlindungan konsumen, yang melibatkan berbagai instansi yang terkait.

2. Penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi selama ini belum mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Bahkan lembaga peradilan sendiri sebagai tempat terakhir harapan konsumen untuk mengadukan permasalahan dan kerugian yang dialami belum mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada, karena lembaga peradilan dengan asas yang dianutnya yaitu cepat, murah dan sederhana belum dapat terwujud. Untuk itu kehadiran lembaga penyelesaian sengketa lain di luar badan peradilan yang ada sepertinya merupakan salah satu alternatif yang harus mendapat perhatian.

BAB II

PEMBAHASAN ASURANSI JIWA SECARA UMUM

A. Pengertian Asuransi Jiwa

Dalam KUHDagang yang mengatur tentang asuransi jiwa, pengaturannya sangat singkat sekali dan hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai dengan Pasal 308.

Pasal 302 KUHDagang sebagai dasar asuransi jiwa, yang menyatakan bahwa :

“Jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”

Pengertian asuransi jiwa yang terdapat pada ketentuan di atas lebih menekankan kepada suatu waktu yang ditentukan dalam asuransi jiwa. Sedangkan untuk waktu selama hidupnya tidak ditetapkan dalam perjanjian, ini berarti undang-undang tidak tegas memberi kemungkinan untuk mengadakan asuransi jiwa itu selama hidupnya bagi yang berkepentingan.

Selain dari definisi/ pengertian formil yang terdapat dalam undang-undang, ada juga pendapat ahli hukum juga memberikan definisi asuransi jiwa dimaksud. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika yang dikutip dari pendapat Molenggraf berpendapat bahwa,

“Asuransi jiwa dalam pengertian luas memuat semua perjanjian mengenai pembayaran sejumlah modal atau bunga, yang didasarkan atas

kemungkinan hidup atau mati, dan daripada itu pembayaran premi atau dua-duanya dengan cara digantungkan pada masa hidupnya atau meninggalnya seseorang atau lebih.8

”Perjanjian asuransi jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali/uang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan.

Kemudian menurut Wirjono Prodjodikoro, pada Pasal 1a Bab I Staatsblad 1941-101, pengertian asuransi jiwa sebagai berikut :

9

“Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.

Sedangkan menurut H.M.N Purwosutjipto,

10

8

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, SH, Hukum Asuransi Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal 265

9

Prof. Dr. wirjono Prodjodikoro, SH, Locc.cit

10

Kemudian menurut Volmar, menyebutkan pertanggungan jiwa itu dengan istilah sommen verzekering, berpendapat bahwa :

“Secara luas sommen verzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu adalah tergantung kepada hidup atau matinya seseorang tertentu atau lebih.11

“Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi mengikatkan diri untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya peristiwa yang belum pasti. Yang disebutkan di dalam perjanjian, baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa lain, maupun karena peristiwa tadi mengenai hidup dan kesehatan.

” Santoso Poejosoebroto memberikan pengertian asuransi itu sebagai berikut,

12

Dari segi jaminan, asuransi jiwa merupakan asuransi dengan manusia sebagai kepentingan interest yang diasuransikan berbeda dengan asuransi kerugian, dengan harta benda sebagai kepentingan yang diasuransikan. Dan

Kemudian dapat dilihat makna asuransi jiwa yang dilihat dari beberapa segi yaitu segi jaminan, segi sosial, segi ekonomi, segi finansial.

11

Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH, 1990, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal 91.

12

Santoso Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesai,

pengertian ini di atas dengan membayar premi setiap tahun atau selama suatu jangka waktu terbatas, seseorang tertanggung sebagai imbalan dari premi yang dibayarkan kepada penanggung menerima jaminan yaitu :

1. Pada hari tua tertanggung akan diberikan sejumlah uang sebagai santunan biaya hidup.

2. Bila tertanggung meninggal dunia, akan diberikan sejumlah uang kepada ahli waris tertanggung sebagai santunan biaya hidup.

3. Bila tertanggung mengalami kecelakaan fisik, akan diberikan sejumlah uang santunan biaya hidup bila tertanggung menjadi cacat tetap/ biaya pengobatan.

Kemudian dari segi sosial, asuransi dapat diartikan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan memberikan santunan kepada orang yang menderita karena ditimpa musibah, yang santunannya diambil dari kontribusi yang dikumpulkan dari semua pihak yang berpartisipasi dalam rencana sosial itu.13

Sedangkan dari segi ekonomi, adalah suatu disiplin ilmu tentang usaha manusia mencari kepuasan guna memenuhi kebutuhan kesejahteraan hidup, dengan cara berusaha mencapai hasil maksimal dengan pengorbanan minimal, namun upaya manusia untuk mencari dan memenuhi kebutuhan hidup tidak selalu berhasil karena setiap upaya maupun perbuatan mengandung resiko. Jadi pada hakekatnya asuransi jiwa merupakan pelimpahan resiko oleh tertanggung kepada

penanggung agar kerugian yang diderita oleh tertanggung dijamin oleh penanggung.14

Kemudian dari segi finansial, perusahaan asuransi menghimpun dana dari para tertanggung dalam bentuk premi. Dari dana yang terkumpul itu, sebagian untuk dana klaim, dan bagian yang lainnya diinvestasikan dalam bentuk deposito, dalam surat-surat berharga (saham, obligasi) dalam aktiva tetap seperti kantor, dan rumah untuk disewakan sehingga memperoleh penghasilan.15

Sasaran asuransi jiwa menunjukan kelas dan jenis asuransi jiwa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa, yaitu :

Dari beberapa pengertian tentang asuransi jiwa yang dikemukakan oleh para pakar hukum di atas ada beberapa hal yang sebenarnya harus ada dalam suatu asuransi jiwa. Dimana asuransi jiwa tersebut merupakan perjanjian timbal balik antara penanggung dengan tertanggung yang bertujuan untuk mengatasi resiko atau peristiwa yang dapat merugikannya.

B. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

16 1. Sasaran terhadap perorangan (asuransi biasa/perorangan)

2. Sasaran terhadap masyarakat (asuransi rakyat)

3. Sasaran terhadap kumpulan orang/ karyawan (asuransi kumpulan kolektif)

4. Sasaran terhadap dunia usaha (asuransi dunia usaha)

5. Sasaran terhadap orang-orang yang muda (asuransi orang muda) 14 Ibid, hal 273 15 Ibid, hal 274 16 Ibid, hal 280-281

6. Sasaran terhadap keluarga (asuransi keluarga)

ad. 1. Asuransi jiwa biasa

Asuransi jiwa biasa (ordinary life) diperuntukan bagi perorangan adalah asuransi jiwa yang umumnya dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa. Pada umumnya asuransi ini diperuntukan bagi golongan masyarakat menengah ke atas. Pada dasarnya premi dibayarkan oleh pembeli polis setiap tahun atau setiap semester atau setiap triwulan dan boleh juga setiap bulan, atau dibayar sekaligus sebagai premi tunggal bagi mereka yang mempunyai cukup uang.

ad. 2. Asuransi rakyat

Asuransi rakyat diperuntukan bagi anggota masyarakat yang berpenghasilan kecil seperti buruh, karyawan rendah, pedagang kecil, pelayan, petani, nelayan, dan sebagainya.

Asuransi ini dibayar preminya dengan frekuensi tinggi (setiap minggu) dan besarnya premi disesuaikan dengan kesanggupan calon tertanggung membayar setiap minggu. Besarnya uang pertanggungan dengan berpedoman kepada besarnya premi setiap minggu dan lamanya pertanggungan apakah seumur hidup atau hingga calon tertanggung mencapai usia tertentu.

ad. 3. Asuransi kumpulan

Asuransi kumpulan (Group Insurance) disebut juga asuransi kolektif dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Satu polis untuk sekelompok tertanggung, misalnya para karyawan suatu perusahaan diasuransikan dengan menggunakan satu polis yang disebut polis induk (master policy).

2. Pemegang polis adalah perusahaan kepada masing-masing karyawan yang diberikan sertifikat tanda bukti peserta asuransi kumpulan.

3. Pada umumnya para peserta tidak perlu melalui pemeriksaan medis.

4. Pembayaran premi asuransi kumpulan biasanya terdiri dari tiga macam yaitu :

a. Dibayar sendiri oleh masing-masing peserta berupa kontribusi yang dipungut secara berkala dari setiap peserta.

b. Semua premi ditanggung oleh perusahaan.

c. Sebagian dibayar oleh perusahaan dan sebagian lagi dibayar oleh para peserta misalnya 50%-50% atau 60%-40%.

ad. 4. Asuransi dunia usaha

Pada umumnya ada 4 macam sasaran pokok dari asuransi jiwa dunia usaha, yaitu :

a.Asuransi orang penting, tenaga yang memegang peranan penting, seperti direktur utama, para manajer. Apabila meninggal dunia dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi perusahaan berupa pemberian santunan besar kepada keluarga almarhum.

b.Rencana kesejahteraan karyawan. Dengan menutup asuransi kumpulan, asuransi keselamatan kerja, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan

bagi karyawan maka semakin sempurnalah peranan dan bantuan perusahaan dalan memberi kesejahteraan bagi karyawan.

c.Meningkatkan kepercayaan. Asuransi jiwa dapat berperan untuk meningkatkan kepercayaan kepada relasi terhadap perusahaan karena asuransi dapat memberikan jaminan stabilitas posisi finansial perusahaan, yang sekaligus menjadi gambaran yang baik kreditur.

d.Kelangsungan usaha. Bagi perusahaan yang dimilikinya bersifat partnership seperti kongsi, Firma, CV, apabila salah seorang pemiliknya meninggal, maka akan timbul masalah yaitu membayar terus-menerus hak-hak almarhum kepada jandanya, tanpa mengikutsertakannya dalam pimpinan perusahaan. Polis asuransi jiwa dapat menghindarkan keadaan tersebut yaitu dengan memberi santunan kepada janda almarhum sehingga hak-hak dari almarhum tidak perlu terus-menerus dibayar oleh perusahaan.

Ad. 5. Asuransi orang muda

Seseorang yang masih muda dan mempunyai penghasilan dapat membeli polis asuransi jiwa atas dirinya dan menunjuk orangtuanya atau adik-adiknya sebagai penerima manfaat.

Ad. 6. Asuransi keluarga

Dengan memiliki polis asuransi jiwa dapat memberikan rasa tenteram terhadap kehidupan ekonomi keluarga, juga menjamin kelangsungan pendidikan anak-anak.

Asuransi keluarga mempunyai tiga macam jaminan yaitu jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan atas kelangsungan pendidikan anak-anak.

Kemudian apabila ditinjau dari sudut ada atau tidaknya pemeriksaan kesehatan tertanggung ada 2 jenis asuransi jiwa, yaitu :

1. Asuransi Jiwa Medical (dengan pemeriksaan dokter). Asuransi jiwa medical berarti si tertanggung sebelum menutup perjanjian asuransinya terlebih dahulu harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter yang sudah disediakan untuk itu. Disamping itu juga harus dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan dan Laporan Kesehatan Lengkap (LAKES). Isi laporan ini dapat bermacam-macam tergantung dari besarnya jumlah uang asuransi yang diminta. Hal lainnya diwajibkan juga mengisi dan menandatangani surat permintaan dan formulir-formulir lainnya yang khusus disediakan untuk keperluan itu dan disampaikan kepada pihak penanggung.

Adapun formulir-formulir atau surat-surat yang diperlukan untuk penutupan asuransi dengan pemeriksaan dokter (medical) ini adalah :

1. Surat Permintaan (SP)

2. Laporan Kesehatan Lengkap (LAKES)

2. Asuransi Jiwa Non Medical (tanpa pemeriksaan dokter). Jenis asuransi ini tidak memerlukan pemeriksaan dokter terhadap diri tertanggung sewaktu diadakan penutupan perjanjian asuransi. Untuk asuransi jenis ini keterangan kesehatan calon tertanggung akan dianggap cukup dan sehubungan dengan resiko yang kemungkinan lebih besar dalam asuransi jiwa non medical maka biasanya premi dikenakan suatu tambahan sampai presentase tertentu.

Adanya pemisahan jenis asuransi jiwa diatas yaitu asuransi jiwa medical dan asuransi jiwa non medical ditentukan oleh faktor-faktor umur calon tertanggung dan besarnya jumlah uang asuransi yang diminta.

Pada prakteknya di PT. Asuransi Jiwasraya untuk asuransi jiwa non medical batas umur tertanggung maksimal 59 tahun dengan jumlah uang pertanggungan maksimal Rp. 30.000.000 ( tiga puluh juta rupiah).

Sedangkan untuk tertanggung usia 60 tahun ke atas digolongkan ke dalam asuransi jiwa medical dengan uang pertanggungan di atas Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)

C. Polis Asuransi Jiwa

Dalam pasal 255 KUHD disebutkan bahwa :

“Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan polis”.

Ketentuan tersebut di atas memberikan kesan seolah-seolah perjanjian asuransi jiwa harus dibuat secara tertulis sebagai syarat mutlak. Padahal polis bukanlah syarat mutlak adanya perjanjian asuransi jiwa, tetapi hanyalah merupakan alat bukti adanya perjanjian.

Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 257 KUHDagang yang menyatakan bahwa :

“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si

tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.

Dalam hal ini berarti bahwa walaupun tidak ada polis (polis sebelum terbit), perjanjian asuransi jiwa tetap berlaku apabila telah ditutup (telah ada persesuaian kehendak) dan dapat dibuktikan dengan bukti-bukti lain, misalnya dengan kwintansi pembayaran premi.

Meskipun untuk sahnya suatu perjanjian asuransi jiwa menurut undang-undang tidak ada keharusan adanya formalitas tertentu (seperti akte tertulis yang disebut polis), namun sangatlah penting adanya akte yang demikian itu. Hal ini dengan mengingat bahwa perjanjian asuransi jiwa adalah berhubungan dengan kepentingan finansial dan perjanjian tersebut bersifat perjanjian kemungkinan. Oleh karena itu undang-undang sendiri hendaknya melindungi penanggung (perusahaan asuransi jiwa), dengan cara bahwa adanya perjanjian asuransi jiwa itu harus dibuktikan secara tertulis. Sehingga ditetapkan adanya akte yang ditandatangani penanggung yang disebut polis, sebagai bukti adanya perjanjian asuransi jiwa tersebut.

Polis menurut pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat

Dokumen terkait