• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Pelayanan

2. Penyiapan obat

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2.Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3.Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4.Penyerahan Obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5.Informasi Obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6.Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7 Monitoring Penggunaan Obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet

/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3. Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

EVALUASI MUTU PELAYANAN

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1. Tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket

atau wawancara langsung.

2. Dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3. Prosedur Tetap: Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk:

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; • Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; • Membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: • Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. • Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk

penerapan standar.

E. Sumpah Apoteker

Selain terikat secara horizontal dengan masyarakat termasuk tenaga kesehatan yang lain, Profesi Apoteker terikat pula dalam hubungan vertikal dengan Tuhan. Hal ini terlihat pada isi PP No. 41 tahun 1990 pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan Profesi Apoteker adalah keahlian yang menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab Apoteker sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sumpah apoteker. Menurut PP No. 20 tahun 1962 Pasal 1, sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 4.

F. Kode Etik Apoteker

Sebagai pekerjaan profesi, terdapat hubungan khusus di antara sesama pelaku profesi yang diatur melalui praktek organisasi profesi serta berlakunya etika profesi Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya (Anonim, 2003a).

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker. Oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005 dapat dilihat pada lampiran 5.

G. Etika Bisnis

Menurut Miller dan Coady, etika kerja adalah keyakinan, nilai dan prinsip yang akan membimbing individu berinteraksi dalam kaitannya dengan pekerjaan dan tanggung jawab akan suatu tugas. Etika kerja akan membimbing bagaimana berperilaku, terutama ketika menghadapi dilema (Putra, 2005).

Etika berpengaruh terhadap citra manusia, hasil pekerjaan, dan kelangsungan perusahaan. Dalam menjalankan kebijakan perusahaan, etika yang baik akan memberikan kejernihan berpikir, khususnya untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan publik (Putra, 2005).

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah :

1. Prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan masyarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.

2. Prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. Prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain.

4. Prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. Prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain (Isdaryadi, 2005)

Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :

1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan lainnya.

2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri

(Anief, 1995).

H. Keterangan Empiris

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027 tahun 2004 mempunyai tiga parameter utama, yaitu pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027 tahun 2004 di Kabupaten Sleman berdasarkan tiga parameter utama dari KepMenKes RI No 1027 tahun 2004 tersebut.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti. (Praktiknya, 2001). Rancangan penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998).

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat, dalam hal ini yang berada di wilayah Kabupaten Sleman.

2. Standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah patokan apoteker dalam menjalankan profesinya terkait bidang perapotekan, dalam hal ini berdasarkan pada Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004.

3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila

persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan.

4. Apotek sampel adalah 35 apotek yang disampling dari Data Apotek Kabupaten Sleman 2005 menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

5. Responden adalah Apoteker yang menjalankan profesinya di apotek sampel serta bersedia mengisi kuesioner.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang 1. Deskripsi responden

2. Deskripsi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Nawawi (1998), populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memilikik karakteristik tertentu dalam suatu penelitian.

Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang berada di wilayah Kabupaten Sleman. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2005, jumlah apotek yang terdaftar di wilayah Kabupaten Sleman adalah sebanyak 125 apotek.

Seratus dua puluh lima apotek yang berada di Kabupaten Sleman terbagi dalam masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel I. Populasi Apotek di Kabupaten Sleman Tahun 2005

No. Nama Kecamatan Jumlah apotek

1. Depok 53 2 Ngemplak 1 3 Mlati 9 4 Godean 11 5 Ngaglik 16 6 Prambanan 2 7 Gamping 11 8 Kalasan 7 9 Sleman 6 10 Berbah 2 11 Turi 1 12 Seyegan 2 13 Moyudan 1 14 Pakem 1 15 Tempel 2 Total 125 2. Sampel

Menurut Sevilla dkk (1993), sampel adalah kelompok kecil yang kita amati dan populasi adalah kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi kita. Menurut Gay (1976), karena penelitian ini bersifat deskriptif, maka ukuran minimum sampel yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen.

Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan

representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebesar 20 % dari populasi yaitu sebanyak 35 apotek. Untuk menentukan apotek yang dipilih, peneliti menggunakan metode proportional cluster non random sampling, di mana apotek dikelompokkan berdasarkan kecamatan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pengambilan sampel sebesar 20% dari jumlah apotek di setiap kecamatan sehingga diperoleh jumlah sampel yang berbeda di tiap kecamatan sesuai dengan jumlah apotek yang berada di kecamatan tersebut. Perincian dari 35 apotek sampel ini dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Apotek Sampel di Kabupaten Sleman

No. Nama Kecamatan Jumlah apotek

1. Depok 11 2 Ngemplak 1 3 Mlati 2 4 Godean 3 5 Ngaglik 4 6 Prambanan 1 7 Gamping 3 8 Kalasan 2 9 Sleman 2 10 Berbah 1 11 Turi 1 12 Seyegan 1 13 Moyudan 1 14 Pakem 1 15 Tempel 1 Total 35

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu set pertanyaan yang berurusan dengan topik tunggal atau satu set topik yang saling berkaitan yang harus dijawab oleh subyek (Kartono,1990).

Kuesioner yang digunakan memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian, meliputi deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa

Fungsi uji pemahaman bahasa adalah untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek yang terletak di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

Yang dimaksud dengan validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Pratiknya, 2001).

Prosedur validitas isi kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Jadi penilaian setiap orang mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner telah tercapai adalah belum tentu sama (Azwar, 1999).

c. Uji reliabilitas

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Peneliti menyebarkan kuesioner secara langsung kepada responden dan peneliti akan mendampingi responden selama pengisian kuesioner. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya responden yang kurang paham terhadap maksud pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun, jika responden tidak bisa mengisi pada saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah responden mengisinya. Adapun periode penyebaran kuesioner ini adalah pada bulan Oktober – Desember 2006.

4. Pengumpulan kuesioner

Peneliti mengumpulkan kuesioner setelah responden selesai mengisi semua pertanyaan yang ada pada kuesioner. Jumlah kuesioner yang

dikumpulkan jumlahnya sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan, yaitu sebanyak 35 buah.

5. Wawancara

Menurut Nawawi (1998), wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Wawancara ini dilakukan setelah peneliti melihat hasil penelitian Sukmajati dan hasil penelitian pribadi yang presentasenya di bawah 50%, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Kepmenkes RI No.1027 tahun 2004. Secara khusus, wawancara dititikberatkan pada tiga hal, yaitu adanya ruangan konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi melalui home care. hal tersebut serta bersedia untuk diwawancarai.

F. Tata Cara Analisis Data

Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif. Statistik deskriptif merupakan teknik statistik yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud menguji hipotesis. Data pada umumnya disajikan dalam bentuk tertentu, misalnya tabel dan gambar, sehingga dapat dipahami dengan mudah dan cepat (Nurgiyantoro, 2002).

Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter dalam KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Standar Pelaksanaan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No.1027 tahun 2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika persentasenya kurang dari 50%, maka dikatakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No.1027 tahun 2004 belum dilaksanakan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi usia, pengalaman kerja di apotek yang sekarang, posisi di apotek, adanya pekerjaan lain yang dimiliki, dan lama kerja dalam sehari.

1. Usia responden

Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Usia Responden 69% 17% 14% 21-35 thn 36-50 thn > 50 thn

Gambar 1. Diagram Usia Responden

Sebagian besar responden, yaitu enam puluh sembilan persen, ada dalam rentang umur 21-35 tahun yang merupakan usia dewasa muda. Tujuh belas persen responden ada dalam rentang umur 18-35 tahun yang merupakan usia dewasa menengah dan 14% responden ada dalam umur di atas 50 tahun yang merupakan usia dewasa tua.

2. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Gambaran mengenai pengalaman kerja responden sebagai Apoteker di apotek yang sekarang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Pengalaman Kerja Reponden di apotek 14% 52% 20% 14% <1 1 s/d 5 6 s/d 10 >10

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden di Apotek Yang Sekarang

Lebih dari jumlah separuh responden, yaitu 52%, rresponden memiliki rentang pengalaman kerja 1-5 tahun. Dua puluh persennya memiliki rentang pengalaman kerja 6-10 tahun dan masing –masing 14% responden mempunyai pengalaman kerja di bawah 1 tahun dan di atas 10 tahun.

3. Posisi responden di apotek

Sebagian besar responden adalah Apoteker Pengelola Apotek dan yang lainnya adalah Apoteker Pendamping.

Posisi Re sponde n 77% 23% A poteker Pengelola A potek A poteker Pendamping

Gambar 3. Diagram Posisi Responden di Apotek

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Menurut PerMenKes RI No. 26 tahun 1981 Pasal 18 ayat

(2) dan KepMenKes RI Nomor 1332 tahun 2002 Pasal 19 ayat (1), apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping.

4. Adanya pekerjaan lain yang dimiliki responden sebagai apoteker

Sebagian besar responden tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker.

Adanya Pekerjaan Lain

40%

60%

Ya Tidak

Gambar 4. Diagram Adanya Pekerjaan Lain dari Responden

Menurut Surat KepMenKes RI Nomor 831/Ph/64/b, apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Responden seharusnya tidak memiliki pekerjaan lain apabila telah menjadi Apoteker di suatu apotek. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan penuh pelayanan pada profesinya. Sebagai contoh adalah apoteker yang bekerja di apotek yang merupakan Badan Usaha Milik Negara.

5. Lama kerja responden dalam sehari

Gambaran mengenai lama kerja responden dalam sehari dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Lama kerja dalam sehari

11% 55% 34% < 4 4 s/d 6 > 6

Gambar 5. Diagram Lama Kerja Responden di Apotek dalam Sehari Sebagian besar responden bekerja 4-6 jam dalam sehari, di mana hal ini belum sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam.

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Bila apotek pada umumnya buka 13 jam dalam sehari (dari pukul 8.00 sampai 21.00 WIB), maka untuk 6 hari kerja dalam seminggu apotek akan buka 78 jam. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 2 menyebutkan bahwa waktu kerja dalam seminggu adalah 40 (empat puluh) jam untuk 6 (enam) hari kerja, sehingga setiap apotek minimal harus memiliki 2 orang apoteker.

B. Pengelolaan Sumber Daya 1. Sumber daya manusia

Menurut KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, Apoteker harus dapat mengambil keputusan yang tepat. Jadi, semua keputusan yang diambil dalam apotek harus diketahui dan disetujui oleh APA sebagai penanggung jawab apotek.

Tabel III. Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu Berdasarkan Persetujuan APA

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 20 74,1 %

2. Tidak 7 25,9 %

Total 27 100 %

Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai

leader, di mana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

Dalam Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 6, disebutkan bahwa seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Maka pengambilan keputusan tidak boleh berdasarkan kepentingan pribadi Apoteker, tapi berdasarkan pada kepentingan apotek tempat Apoteker bekerja. Dengan demikian, Apoteker dapat menjadi contoh yang baik di lingkungan kerjanya.

Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja apoteker pendamping, asisten

apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Apoteker Pendamping dapat menggantikan Apoteker Pengelola Apotek dalam hal pelayanannya, tetapi tidak pada pengambilan keputusan di apotek. Karena itulah, pengambilan keputusan di apotek harus berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

Keputusan dalam apotek yang diambil berdasarkan persetujuan APA meliputi bidang administrasi obat (pemilihan, pesanan, dan pembayaran obat), penatalaksanaan terapi (penggantian obat pasien dan jam konseling pasien), pengaturan staf, dan pengelolaan keuangan di apotek.

Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia dapat dilihat pada gambat I di bawah ini.

74,10% 25,90% 0% 50% 100% Ya Tidak

Gambar 6. Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu Berdasarkan Persetujuan APA

Berdasarkan Gambar 6, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan

Dokumen terkait