• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peralihan Sony dari Teis Menjadi Ateis

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 74-93)

2.1 Deskripsi Data Partisipan II 1 Identitas Partisipan

2.1.6 Peralihan Sony dari Teis Menjadi Ateis

Sedari kecil, Sony adalah anak yang kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Ia selalu ingin membuktikan perkataan orang lain yang didengarnya, misalnya mengenai mitos saat dulu ia masih tinggal di Semarang. Ia tidak diperbolehkan bermain ke ladang belakang karena di sana ada buto ijo atau bila memakan biji jeruk, biji tersebut akan tumbuh menjadi pohon jeruk pada tubuh. Pada akhirnya, untuk membuktikan kebenaran, Sony berkali-kali menelan biji jeruk secara diam- diam, namun ternyata tidak ada pohon jeruk yang tumbuh di tubuhnya. Ia juga pergi ke ladang belakang rumahnya tanpa sepengetahuan orangtuanya, disana ternyata terdapat kalkun yang galak namun ia tidak menemukan sosok buto ijo. Lambat laun, ia pun tidak lagi melakukan dan memikirkan hal tersebut karena merasa hal tersebut sudah tidak penting lagi. Tanggapan Sony dulu terhadap hal tersebut terungkap dalam kutipan wawancara berikut,

“…Justru karena dibilang kayak gitu, malah beberapa kali

menyebrangi ladang itu. Iya bahkan di situ ada kalkun yang galak, itu selalu asal keliatan sama dia pasti langsung dikejar tapi ga kapok-kapok. Jadi pengen liat kekmana kebenarannya, baru kayak dibilang, misalnya kalo makan jeruk itu bijinya dibuang, kalo tertelan nanti bisa tumbuh katanya. Anak-anak sering ditakut-takuti gitu, bayanganku tumbuh di kepala gitu. Kan aturannya itu menakutkan karena pengertianku kalo tumbuh, kita mati karena tumbuh di kepala kan. Tapi walopun aku tau bakal mati gitu, itu justru diam-diam, pas di depan mbahlah kan makan jeruk, itu masih dibawah 5 tahun kalo ga salah, bijinya dikeluarkan kan, tapi setelah ga keliatan, itu kutelanin bijinya kayak minum obat supaya tahu bener ga bakal tumbuh, bukan ga percaya tapi percaya tapi pengen tahu bener ga.” (W2S2/K.seb/b.1508-1537).

Sewaktu masih berada di Semarang, Sony juga sempat mempertanyakan takdir. Ia bingung dengan anggapan bahwa segala kehidupan manusia telah

direncanakan oleh Tuhan. Menurutnya, bila seseorang mencuri, berarti hal itu telah direncanakan oleh Tuhan, namun mengapa seseorang itu akan dihukum bila Tuhan-lah yang telah merencanakannya. Ia juga bingung dengan pernyataan mengenai orang yang tidak masuk Islam akan masuk neraka sehingga ia mempertanyakan bagaimana nasib orang yang belum pernah mendengar agama Islam. Ia bertanya mengenai hal tersebut pada orangtua dan neneknya, namun Sony tidak puas dan bingung dengan jawaban yang diterimanya yang menyatakan bahwa setiap manusia memang harus berusaha untuk mencari Allah karena hal tersebut sudah diwahyukan kepada para nabi. Lambat laun, Sony yang masih kanak-kanak tersebut pun akhirnya melupakan pertanyaannya tersebut karena ia lebih banyak mendapat paparan mengenai ajaran agama di keluarganya yang menekan rasa penasarannya.

“Apa kemaren ya…banyak..ya intinya kayak gitulah. Pencuri itu berarti udah ditakdirkan untuk mencuri, kalo dia bisa mencuri atau ga pencuri..Maksudnya, katakanlah dia punya pilihan untuk mencuri atau ga mencuri, Tuhan tahu apa yang bakal dipilihnya, tapi diciptakannya juga di awal, artinya dari lahir itu Dia udah tahu kalo itu ujungnya bakal masuk neraka.” (W2S2/K.seb/b.1391- 1404).

“Iya..misalnya orang yang ga Islam, masuk neraka, pernah kutanya juga, kekmana jadinya orang yang ga pernah dengar tentang Islam? Ya mereka harus berusahalah, Allah kan udah memberikan jalan melalui nabinya, udah diwahyukan bla bla bla…” (W2S2/K.seb/b.1412-1420).

Sony yang sudah melupakan pertanyannya, tumbuh menjadi anak yang percaya pada agamanya. Ia menganggap Tuhan adalah sosok Pencipta yang mengetahui segala hal termasuk isi pikiran manusia sehingga harus disembah.

Menurutnya, segala hal yang telah dilakukan dalam hidup, akan dipertanggungjawabkan di hari akhir nanti sehingga sebisa mungkin ia melaksanakan perintah Tuhan agar terhindar dari api neraka. Sony cukup rajin melaksanakan ritual keagamaan. Ia juga kerap meminta pertolongan Tuhan dalam hidupnya, misalnya mengenai rejeki dan kesehatan serta memohon pengampunan dosa. Ia mengaku mendapat ketenangan dan kelegaan ketika selesai sholat. Ia juga pernah merasakan apa yang ia anggap adalah pertolongan Tuhan ketika ia selamat dari beberapa kecelakaan lalu lintas yang dialaminya sehingga ia bersyukur pada Tuhan karena telah menyelamatkan nyawanya. Sony juga pernah memohon pada Tuhan agar hujan tidak turun sehingga ia dapat pulang ke rumah dengan lebih leluasa dan ternyata hujan pun tidak turun, ia berterimakasih pada Tuhan mengenai hal tersebut. Sesekali, ia juga melakukan sholat tahajud hanya karena ingin menjadi penganut agama yang alim sehingga dapat masuk ke dalam surga dan juga sebagai sarana refleksi diri. Sony percaya bahwa doa berpengaruh pada keberhasilan dalam usaha untuk mencapai apa yang ia inginkan, meski ia tidak tahu bagaimana pastinya doa tersebut bekerja dalam usahanya, namun ia tetap mengimani hal tersebut.

“Aku percaya ya ada…kalo ibadah di Islam kan kewajiban, kalo ga dilakukan…..misalnya doa, jadi ibadah itu ya alat untuk itu, doa itu aku yakin ada efeknya walaupun aku gatau itu apa, maksudnya kalo disuruh jelasin….gini, kalo kita doa aja, aku dah tahu sebelum Ateis aku udah tau kalo doa aja itu ga akan terjadi. Kalo kerja aja, ga berdoa, ada yang terjadi, banyak yang terjadi. Bahkan…baru kalo doa sambil kerja, pasti lebih terjadi tapi lebihnya tu dimana? Lebihnya itu ga bisa dibuktikan, pokoknya tau aja ada. Gitu. itulah namanya percaya aja, iman..” (W3S2/K.seb/b. 3125-3145).

Ketika berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, Sony kembali mengingat pertanyaan yang ia miliki sewaktu masih kecil mengenai agamanya yang menurutnya menyatakan bahwa selain Islam adalah kafir dan orang yang kafir dapat dibunuh. Yang ia pahami mengenai kafir ialah non Islam. Sony bingung atas kemungkinan para non Islam masuk ke neraka dan boleh dibunuh, meskipun mereka telah melakukan kebaikan dalam hidup. Ia pun menjadi bingung akan sosok Tuhan yang sebenarnya.

“Contohnya membunuh orang kafir itu halal. Nah, itu selalu seolah- olah dinetralkan dengan mengatakan bahwa membunuh satu orang seperti membunuh seluruh dunia. Tapi yang jelas, ayat untuk membunuh kafir tu ada di Quran. Nah itu, Al Quran…mau bilang kek mana lah? Kalo kita ngaku kita Islam berarti kita harus ngaku kalo itu benar kan? Dan itu diterjemahkan kekmana pun, dipaksa- paksa pun ya memang itu artinya. Nah kayak gitu. Itu kan patut dipertanyakan ya… (W1S2/K.seb/b.112-131).

Sony juga bingung atas anggapan bahwa seolah-olah Tuhan hanya berkomunikasi dengan manusia karena manusia dianggap makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi. Hal tersebut ia sadari ketika ia membaca bahwa ternyata terdapat banyak galaksi di dunia. Ia mempertanyakan keistimewaan yang hanya dimiliki oleh manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan padahal pasti terdapat jenis makhluk hidup yang banyak di seluruh jagad raya.

“…kita hidup di satu titik debu di milyaran galaksi. Jadi, ada milyaran bintang dan milyaran bintang itu punya banyak planet kayak kita. Bintang yang kita kelilingi ini matahari hanya bintang biasa, ukuran medium kan. Baru dari jutaan bintang itu membentuk satu galaksi dan masih banyak galaksi. Jadi, Tuhan itu menciptakan ini semua, dia punya banyak galaksi untuk diurusi tapi dia memilih untuk berkoneksi dengan satu primata, manusia. Itu kan sebenarnya ga sesuai dengan gambaran Tuhan itu pencipta alam semesta…( W1S2/K.seb/b.147-167).

Sony tidak mengabaikan begitu saja pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya karena kemampuannya berpikir kompleks semakin berkembang seiring usianya, terlebih lagi, sedari kecil Sony juga adalah sosok anak suka bertanya karena rasa keingitahuannya, seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Sony pun bertanya pada temannya yang merupakan remaja mesjid serta ustadz, namun, ia tidak puas dengan jawaban mereka yang menyatakan bahwa apa yag tertulis dalam kitab suci memang harus dipercaya karena iman tidak dapat dirasionalisasi oleh logika manusia. Hal ini menyebabkan ia enggan untuk bertanya lagi pada orang lain karena pasti setiap orang beragama akan menjawab dengan jawaban serupa, yang bagi dirinya jawaban tersebut terasa janggal. Selain itu, Sony juga tidak mempunyai rekan untuk berdiskusi mengenai agama di rumahnya, terlebih lagi ia menganggap ibunya kurang memahami ajaran Islam secara mendalam. Akhirnya, Sony mencoba merasionalisasikan sendiri jawaban atas pertanyaan yang ia miliki karena ia mulai mempertanyakan sosok Tuhan yang selama ini ia percayai dan sembah.

“Karena aku ga abaikan. Pertanyaan itu pasti ada sama tiap orang tapi aku ga mengabaikan itu, kesesuaian antara kenyataan sama kepercayaan yang aku percayai. Kok gini sih? itu menganggu tapi ya..tu sudah rahasia Tuhan, itu memang sudah seperti itu dari dulu jadi ya terus dicari. “ (W4S2/1/b.3159-3169).

“iya yang aneh itu..kenapa Tuhan itu sebocah itu? Kok tukang ngambek kali? minta disembah atau kalo ga disembah dengan cara yang benar, langsung dilempar ke neraka. Masalahnya, untuk kesalahan yang dalam waktu terbatas, dihukumnya dalam waktu yang tidak terbatas.” (W4S2/1/b.3417-3426).

“Ga ingat lagi..pokoknya kalo pertanyaan-pertannyaan gitu paling di circular reasoning, dia bilang kita ga bisa memikirkan itu

dengan logika manusia, kita mikir Tuhan dengan logika manusia cemana? Lah..jadi pake logika apa lagi? Logika Tuhan? Jadi mutar- mutar disitu aja…”(W4S2/1/b.3435-3445).

Sony yang sudah mempertanyakan, mencoba mencari kebenaran melalui rasionalisasi pikirannya sendiri untuk dapat menyelamatkan kepercayaan yang selama ini ia miliki karena ia masih ingin tetap mempercayai Tuhan dan agamanya. Meski menurutnya ajaran Islam menyatakan bahwa selain pemeluk agama tersebut adalah kafir dan memperbolehkan untuk membunuh orang kafir, Sony memiliki pendapat lain. Bagi Sony, tidak mungkin Tuhan hanya akan menyelamatkan satu pemeluk agama saja. Disinilah Sony mendefinisikan ulang Tuhan sesuai pemikirannya sendiri. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah sebuah kekuatan yang lebih tinggi dan tidak terlihat yang mencipatkan alam raya yang amat sangat luas serta tidak bersifat personal, tidak memperhatikan manusia secara individual karena tentu banyak hal yang menjadi urusan-Nya. Sony juga beranggapan bahwa Tuhan versinya tersebut adalah sosok yang rasional, yang tidak mungkin menghukum manusia hanya karena tidak percaya pada Nya tanpa memperhatikan perbuatan semasa hidup.

“…ga personal, maksudnya ga mendengar doa kita secara langsung dan mengabulkan. Dia ga memperhatikan kita secara individual. Dia menciptakan kita mungkin lalu..entah Dia..entah ditinggalnya atau Dia udah menciptakan satu set sistem dan Dia ga ikut campur lagi. Baru saya dulu percaya Dia itu masih adil karena ga masuk akal ada Tuhan yang menyiksa manusia selama-lamanya hanya gara-gara dia ga percaya sama Tuhan, hanya gara-gara dia terlahir ke agama yang salah. Ga mungkin saya rasa, kalopun Tuhan itu ada, Dia akan rasional dan mempertimbangkan berdasarkan perbuatan,gitu. Jadi, saya buat-buat definisi Tuhan ini.” (W1S2/1/b.203-230).

Sony ingin menyelamatkan kepercayaannya pada Tuhan karena masih sulit untuk menghilangkan apa yang sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil mengenai Tuhan. Ia juga masih takut dengan neraka, terlebih ia pernah melihat buku bergambar yang sangat menyeramkan mengenai hukuman di neraka. Selain itu, ia belum yakin atas ketiadaan surga dan neraka. Ia mempertanyakan bagaimana jika sebenarnya neraka dan surga itu benar-benar ada sehingga ia takut bila nantinya ia akan masuk dalam neraka. Sony yang ragu pada agamanya, hanya melakukan ajaran agamanya yang menurutnya baik saja, seperi melaksanakan sholat, berdzikir serta tidak mengikuti ajaran yang menurutnya tidak baik, seperti menghakimi bahwa penganut agama selain Islam adalah kafir. Hal ini ia lakukan sebagai antisipasi jikalau ternyata ajaran agama-lah yang benar.

“Maksudnya, saya seolah-olah berusaha mendefinisi ulang Tuhan karena itu udah ga sesuai lagi dengan logika, Tuhan yang selama ini saya tahu. Jadi seenak perut saya aja saya ubah definisi Tuhan, untuk menyelamatkan kepercayaan saya karena udah sadar bahwa konsep Tuhan, ketuhanan, agama itu udah ga mungkin ada, tapi namanya kita dari kecil udah beragama kan. Kita bertahan untuk tetap punya kepercayaan pada Tuhan ittu, karena payah lepas kepercayaan Tuhan itu.” (W1S2/1/b.180-200).

“Masihlah..gila..dari kecil udah ditanamkan ya kan..itu ga segampang itu dilepaskan, makanya kubilang Ateis tu bukan pilihannya malah kalo bisa aku ga pengen jadi Ateis waktu prosesnya itu..tapi masalahnya itu kita udah tahu itu ga ada gitu…melepaskan konsep tentang Tuhan, tentang neraka itu sulit kali, kayak itu tadi, dihantui perasaan, jangan-jangan memang benar ada?” (W3S2/1/b.2089-2101).

Sony bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama swasta nasional. Ia mengatakan bahwa sekolah tersebut terkenal dengan murid-muridnya yang suka berbuat onar dan banyak murid yang dikelurkan dari sekolah lain, pindah ke

sekolahnya tersebut. Di sana, ia banyak melakukan kenakalan. Ia pernah mengikuti berbagai tawuran hingga berkelahi dengan senior yang dianggap berkuasa di sekolahnya. Ia berhasil mengalahkan seniornya tersebut sehingga ia menjadi seseorang yang cukup ditakuti di sekolah. Saat kelas tiga SMP, ibu Sony tidak tahan lagi dengan tingkah Sony yang hobi berkelahi sehingga ia memutuskan untuk memindahkan Sony ke sekolah swasta Katolik karena menurutnya, sekolah Katolik lebih disiplin dalam mengajar. Pada awalnya, pihak sekolah Katolik itu tidak memberi ijin Sony masuk ke sekolah tersebut karena enggan memiliki siswa yang berasal dari sekolah yang terkenal memiliki sisiwa yang suka berbuat onar, namun akhirnya ibu Sony berhasil meyakinkan pihak sekolah hingga Sony pun diterima menjadi siswa di sekolah tersebut.

Di sekolah yang baru, Sony mengikuti pelajaran agama Katolik. Bagi Sony, agama Katolik ternyata lebih mudah untuk dipelajari ketimbang agama Islam karena agama Islam menggunakan bahasa Arab pada kitab sucinya, sementara Alkitab menggunakan Bahasa Indonesia. Nilai agama Katolik Sony pun sangat memuaskan, selalu berkisar di angka sembilan puluh. Meski ia merasa ajaran Katolik lebih mudah dipelajari, ia mempelajarinya hanya sebatas pelajaran yang diajarkan di sekolah karena ia memang toleran terhadap umat agama lain. Bagi Sony, konsep agama Katolik cukup unik namun tidak masuk akal, terutama tentang Trinitas. Ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan mengenai konsep Trinitas tersebut, yaitu bahwa hal tersebut memang berada di luar logika manusia dan memang harus diimani saja. Menurutnya, jawaban tersebut membuktikan bahwa sesungguhnya umat Katolik tidak tahu akan jawaban mengenai pertanyaan

tentang Trinitas dan mereka bangga akan ketidaktahuan tersebut karena menganggap bahwa itu adalah bagian dari iman mereka.

“Kayak konsep Trinitas itu, tiga tapi satu, satu tapi tiga, baru tu ditanya, dijelasin ga ada yang bisa jelasin dan bangga dengan ketidaktahuannya bahwa itu tidak bisa dijelasin, hanya bisa diimani. Gitulah. bilangnya aja ga tahu hahaha diceritain apa..cerita.. dia ini orang kudus kan aku lupa namanya siapa. Dia mikirkan tentang itu, tentang konsep tiga tapi satu tu, ga ketemu- ketemu kan abis itu dia pigi ke pantai kan untuk merenung. Diliatnya di pantai itu ada seorang anak yang lagi gali pasir, dibuatnya lobang di pasir tu baru dia menguras air di pasir itu, baru dia kan merenung lama di situ kan, anak tu masih nguras aja disitu, lama-lama kan ganggu juga lah kan.. kau ngapain? ditanyanya, aku mau ngeringkan ini… mana mungkin..mana mungkin bisa ini air laut itu sebanyak itu, dibilangnya ga bisa. Jadi, kenapa kau melakukan yang sama kata anak itu, baru jadi tersadar dia kan, habis itu anak itu hilang ntah kekmana. Baru sadar dia bahwa ilmu Tuhan itu ga mungkin bisa kita selami. Intinya kayak gitulah, kayak kita mau mengeringkan lautan. Analoginya..astaga..” (W2S2/K.seb/b.2354-1395).

Sony yang sudah ragu dan memiliki definisi baru tentang Tuhan, jarang melakukan sholat. Ia melakukan sholat sesuai dengan suasana hatinya saja pada saat itu, bila ia ingin sholat, ia akan lakukan dan bila tidak ingin, ia tidak akan melakukannya. Keraguan Sony terhadap agama semakin bertambah ketika ia membaca buku karya Stephen Hawking yang berjudul “The Theory of Everything”. Buku tersebut tidak membahas mengenai Tuhan dan agama, namun menceritakan proses perkembangan sains dari zaman ke zaman, misalnya abad pertengahan dan zaman Yunani kuno. Buku tersebut juga menceritakan proses pembentukan dan apa yang terjadi pada alam semesta yang telah ditemukan dari dulu hingga sekarang berdasarkan sudut pandang sains dan bagaimana ilmuwan terus mencari teori segala hal (theory of everything). Dari situ, ia mulai mengenal

sains dan menganggap sains adalah indah karena memiliki kebenaran berdasarkan bukti yang dimiliki dan mempunyai serangkaian proses untuk mendukung pembenaran bukti tersebut.

“Sains itu..pertama dia berisi kebenaran dan paling bisa dipercayai kebenarannya. Kalau hanya mengaku benar kan gampang tapi kalo di sains ada satu set sistem yang menyaring yang gak benar itu. Contohnya…kayak semua teori yang kita tahu sekarang, pertama itu harus ada bukti. Baru kemudian itu harus memenuhi reliabilitas dan validitas baru direview. Jadi artinya yang lulus sensor dari sains itu, itu yang benar. Itu cara terbaik yang kita miliki seekarang, sebagai spesies untuk mencari kebenaran” (W1S2/Kseb/b.290-311).

Kekaguman pada sains semakin mengikis iman Sony untuk percaya pada agama, namun ia masih takut bila ternyata nantinya yang dinyatakan agama adalah benar, termasuk konsep surga dan neraka. Sony yang memiliki keraguan besar, belum mau benar-benar lepas dari agama karena ia masih mempunyai pikiran bahwa beragama dan percaya pada Tuhan adalah pilihan yang baik, jika Tuhan benar-benar ada, maka ia akan selamat, kalapun Tuhan tidak ada, hal itu tidak memberi kerugian pada Sony. Sony juga ragu untuk keluar dari agama karena ia masih belum tahu jawaban sebenarnya mengenai siapa yang pertama kali ada di dunia, bagaimana nenek moyangnya berasal, namun agama memberikan jawaban untuk hal tersebut dengan menyatakan bahwa Tuhanlah awal dari hal yang terjadi dunia ini dan hal tersebut masih terlihat masuk akal baginya. Pergulatan batin pun terjadi pada diri Sony. Ia menganggap bila memang agama salah dan keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan, ketidakberadaan Tuhan pun tidak memiliki bukti. Ia bingung harus memilih yang

mana sehingga ia sesekali melakukan ibadah, seperti sholat hanya untuk mengantisipasi jikalau ternyata agama lah yang benar.

“Okelah, Tuhan itu ga ada buktinya sama sekali, udah ribuan tahun kok gabisa satu pun bukti bisa diangkat, tapi bukti bahwa Tuhan itu ga ada, kan ga ada juga? Masih terikat dengan kesalahan kognitif kayak gitu” (W3S2/1/b.3266-3275).

“iya pastilah..jangan-jangan benar ada kan selalu kayak gitu karena dari kecil kita diajarkan bahwa itu ada, jadi kita..di dalam hati kita…walopun kita udah menolak dengan logika kayak masih ada rasa percayaya makanya ga mudah sebenarnya” (W2S2/1/b.2104- 2111).

Keraguan Sony kembali menjadi-jadi ketika timbul lagi pertanyaan dalam dirinya mengenai kebenaran akan ajaran agamanya. Hal ini berlangsung ketika ia berada di Sekolah Menengah Atas. Ia mempertanyakan pernyataan agamanya yang menurutnya menyatakan bahwa orang kafir akan meninggal dengan tidak tenang, namun nyatanya, banyak juga pemeluk agama selain Islam yang mengalami kematian dengan tenang. Ia pun bingung mengapa ajaran agamanya berbeda dengan kenyataan yang terjadi di sekitarnya.

“…misalnya, kalo di Islam tu kalo ga sholat, itu matinya susah, apa namanya, dicabut nyawanya pun lama, sakit, jadi...dan itu seolah- olah dibuktikan dengan banyak cerita, tapi di lain pihak, orang Kristen tu banyak cerita kayak gitu, misalnya orang kudus, dia kayak apa…pastor si anu..dia itu mati senyum, misal gitu, ntahapalah jadi itu kan kontradiktif kan, antara pasti gimana ya…pastor tu dah jelas dari seumur hidupnya ga pernah sholat, kok ga susah matinya?” (W2S2/1/b.2484-2500).

Selain itu, ia mempertanyakan mengenai Tuhan mana yang benar di antara konsep Tuhan yang terdapat dalam berbagai agama jika masing-masing Tuhan dalam agama tersebut mampu mengabulkan permintaan umatnya masing-

masing. Meski kebanyakan orang menyatakan bahwa biarpun agama ada banyak, namun Tuhan hanya satu, Sony tetap menganggal hal tersebut adalah janggal. Hal tersebut membuatnya semakin tidak yakin terhadap ajaran agama.

“Tuhan ada banyak, Tuhan mana yang benar? Kok semua Tuhan

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 74-93)