• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Industri Kesehatan

Dalam dokumen PT MEDIKALOKA HERMINA TBK (Halaman 154-157)

LABA RUGI

19. Kegiatan dan Prospek Usaha Perseroan 1 Umum

19.17 Peraturan Industri Kesehatan

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tertanggal 28 Oktober 2009 mengenai Rumah Sakit (“UU Rumah Sakit”). Peraturan pelaksanaan terkait undang-undang baru ini belum diterbitkan.

Meskipun demikian, Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan No. 56 tahun 2014 mengenai Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (“Permenkes No. 56/2014”), yang menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan No. 147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 340/Menkes/Per/III/2010 mengenai Klasifikasi Rumah Sakit.

Berdasarkan UU Rumah Sakit, suatu rumah sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah atau perusahaan swasta. Rumah sakit yang didirikan oleh perusahaan swasta wajib berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Permenkes No. 56/2014 juga mengkategorikan rumah sakit ke dalam dua jenis: (i) rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan (ii) rumah sakit khusus, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, atau tipe penyakit. Sesuai dengan Daftar Negatif Investasi berdasarkan Peraturan Presiden No. 44 tahun 2016 (“Daftar Negatif”), bidang usaha rumah sakit terbuka untuk kepemilikan asing, dengan kepemilikan saham asing maksimum 67%. Untuk pemegang saham saham asing yang berasal dari negara ASEAN, kepemilikan saham asing maksimum ditetapkan sebesar 70% (terbatas pada investasi di ibukota provinsi di Indonesia Timur, misalnya Maluku, Ambon, Papua, kecuali Makassar dan Manado). Meskipun demikian, berdasarkan Daftar Negatif, batasan kepemilikan asing tidak berlaku untuk kepemilikan tidak langsung atau kepemilikan portofolio yang dilaksanakan melalui transaksi pasar modal (bursa efek).

Persyaratan lain yang wajib dipenuhi untuk mengoperasikan rumah sakit adalah persyaratan terkait infrastruktur, alat kesehatan, sumber daya manusia, administrasi, manajemen dan lokasi rumah sakit, yang mencakup aspek-aspek kesehatan, keselamatan lingkungan, tata ruang, hasil penilaian dan studi kelayakan operasi rumah sakit. Persyaratan terkait kesehatan dan keselamatan lingkungan wajib dilaporkan dalam dokumen Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Selain itu, untuk mengoperasikan suatu rumah sakit, dibutuhkan izin mendirikan rumah sakit (yang berlaku selama rumah sakit selama rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan) dan izin operasional rumah sakit (yang berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang secara berkala selama rumah sakit tersebut tetap memenuhi persyaratan tertentu). Izin mendirian rumah sakit diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS) untuk membangun bangunan baru atau untuk mengubah fungsi bangunan yang telah ada untuk digunakan sebagai rumah sakit. Pengajuan izin pendirian rumah sakit wajib diajukan kepada pejabat daerah yang berwenang di Kantor Pelayanan Kesehatan sesuai dengan klasifikasi rumah sakit yang diajukan untuk rumah sakit yang akan dibangun. Dokumen yang wajib diperoleh sebelum mengajukan izin pendirian rumah sakit adalah: (i) dokumen kajian dan perencanaan bangunan yang terdiri atas Feasibility Study (FS), Detail Engineering Design, dan master plan, dan pemenuhan pelayanan alat kesehatan. Selain itu, pemilik rumah sakit harus melakukan pemenuhan komitmen untuk mendapatkan Izin Mendirikan yang berlaku efektif.

Untuk memperoleh izin operasional rumah sakit, pimpinan Rumah Sakit harus memiliki Izin Mendirikan dan pemenuhan komitmen Izin Operasional, dimana pemenuhan komitmen Izin Operasional harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan untuk mendapatkan Izin Operasional yang berlaku efektif. Pemenuhan Komitmen dilakukan dengan menyampaikan (i) profil rumah sakit paling sedikit meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur organisasi; (ii) isian instrumen self-assessment, yang meliputi pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, bangunan dan prasarana rumah sakit; (iii) surat keterangan atau sertifikat izin kelayakan atau pemanfaatan dan kalibrasi alat kesehatan; (iv) sertifikat akreditasi. Penyampaian tersebut disampaikan kepada Kementerian Kesehatan untuk Rumah Sakit kelas A dan

 Penghargaan dari BPJS-K atas layanan kesehatan terbaik bagi peserta JKN pada tahun 2019;

 Penghargaan dari mitra Perusahaan Asuransi pada tahun 2019;

 Akreditasi 2019 oleh KARS dengan peringkat Paripurna dengan total 33 rumah sakit Hermina sudah terakreditasi.

19.16 Kecenderungan Usaha

Sejak tahun buku terakhir sampai dengan Prospektus ini diterbitkan, Perseroan dan Perusahaan Anak tidak memiliki kecenderungan yang signifikan dalam layanan, penjualan, persediaan, beban, dan harga penjualan yang mempengaruhi kegiatan usaha dan prospek keuangan Perseroan. Selain itu, Perseroan dan Perusahaan Anak juga tidak memiliki kecenderungan, ketidakpastian, permintaan, komitmen, atau peristiwa yang dapat diketahui yang dapat mempengaruhi secara signifikan penjualan bersih atau pendapatan usaha, pendapatan dari operasi berjalan, profitabilitas, likuiditas atau sumber modal, atau peristiwa yang akan menyebabkan informasi keuangan yang dilaporkan tidak dapat dijadikan indikasi atas hasil operasi atau kondisi keuangan masa datang.

19.17 Peraturan Industri Kesehatan

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tertanggal 28 Oktober 2009 mengenai Rumah Sakit (“UU Rumah Sakit”). Peraturan pelaksanaan terkait undang-undang baru ini belum diterbitkan.

Meskipun demikian, Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan No. 56 tahun 2014 mengenai Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (“Permenkes No. 56/2014”), yang menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan No. 147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 340/Menkes/Per/III/2010 mengenai Klasifikasi Rumah Sakit.

Berdasarkan UU Rumah Sakit, suatu rumah sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah atau perusahaan swasta. Rumah sakit yang didirikan oleh perusahaan swasta wajib berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Permenkes No. 56/2014 juga mengkategorikan rumah sakit ke dalam dua jenis: (i) rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan (ii) rumah sakit khusus, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, atau tipe penyakit. Sesuai dengan Daftar Negatif Investasi berdasarkan Peraturan Presiden No. 44 tahun 2016 (“Daftar Negatif”), bidang usaha rumah sakit terbuka untuk kepemilikan asing, dengan kepemilikan saham asing maksimum 67%. Untuk pemegang saham saham asing yang berasal dari negara ASEAN, kepemilikan saham asing maksimum ditetapkan sebesar 70% (terbatas pada investasi di ibukota provinsi di Indonesia Timur, misalnya Maluku, Ambon, Papua, kecuali Makassar dan Manado). Meskipun demikian, berdasarkan Daftar Negatif, batasan kepemilikan asing tidak berlaku untuk kepemilikan tidak langsung atau kepemilikan portofolio yang dilaksanakan melalui transaksi pasar modal (bursa efek).

Persyaratan lain yang wajib dipenuhi untuk mengoperasikan rumah sakit adalah persyaratan terkait infrastruktur, alat kesehatan, sumber daya manusia, administrasi, manajemen dan lokasi rumah sakit, yang mencakup aspek-aspek kesehatan, keselamatan lingkungan, tata ruang, hasil penilaian dan studi kelayakan operasi rumah sakit. Persyaratan terkait kesehatan dan keselamatan lingkungan wajib dilaporkan dalam dokumen Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Selain itu, untuk mengoperasikan suatu rumah sakit, dibutuhkan izin mendirikan rumah sakit (yang berlaku selama rumah sakit selama rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan) dan izin operasional rumah sakit (yang berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang secara berkala selama rumah sakit tersebut tetap memenuhi persyaratan tertentu). Izin mendirian rumah sakit diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS) untuk membangun bangunan baru atau untuk mengubah fungsi bangunan yang telah ada untuk digunakan sebagai rumah sakit. Pengajuan izin pendirian rumah sakit wajib diajukan kepada pejabat daerah yang berwenang di Kantor Pelayanan Kesehatan sesuai dengan klasifikasi rumah sakit yang diajukan untuk rumah sakit yang akan dibangun. Dokumen yang wajib diperoleh sebelum mengajukan izin pendirian rumah sakit adalah: (i) dokumen kajian dan perencanaan bangunan yang terdiri atas Feasibility Study (FS), Detail Engineering Design, dan master plan, dan pemenuhan pelayanan alat kesehatan. Selain itu, pemilik rumah sakit harus melakukan pemenuhan komitmen untuk mendapatkan Izin Mendirikan yang berlaku efektif.

Untuk memperoleh izin operasional rumah sakit, pimpinan Rumah Sakit harus memiliki Izin Mendirikan dan pemenuhan komitmen Izin Operasional, dimana pemenuhan komitmen Izin Operasional harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan untuk mendapatkan Izin Operasional yang berlaku efektif. Pemenuhan Komitmen dilakukan dengan menyampaikan (i) profil rumah sakit paling sedikit meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur organisasi; (ii) isian instrumen self-assessment, yang meliputi pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, bangunan dan prasarana rumah sakit; (iii) surat keterangan atau sertifikat izin kelayakan atau pemanfaatan dan kalibrasi alat kesehatan; (iv) sertifikat akreditasi. Penyampaian tersebut disampaikan kepada Kementerian Kesehatan untuk Rumah Sakit kelas A dan

penanaman modal asing, Pemerintah Daerah provinsi untuk Rumah Sakit kelas B, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk Rumah Sakit kelas C dan kelas D, yang disampaikan melalui sistem perizinan online Kementrian Kesehatan. Lebih lanjut lagi, Pemenuhan komitmen kepada Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat dilakukan melalui sistem perizinan online instansi pemberi izin masing-masing Pemerintah Daerah. Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan visitasi paling lama 14 (empat belas) hari sejak pimpinan Rumah Sakit menyampaikan komitmen. Berdasarkan hasil verifikasi dan visitasi, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengeluarkan notifikasi persetujuan atau penolakan melalui sistem OSS paling lama 10 (sepuluh) hari sejak dilakukan visitasi. Notifikasi persetujuan tersebut merupakan pemenuhan komitmen Izin Operasional. Izin Operasional memuat penetapan kelas berdasarkan hasil penilaian pemenuhan jumlah tempat tidur. Dalam hal hasil penilaian tidak memenuhi ketentuan jumlah tempat tidur, penetapan kelas pada Izin Operasional ditetapkan berdasarkan hasil visitasi jumlah tempat tidur.

Pimpinan Rumah Sakit harus melakukan perpanjangan Izin Operasional paling lambat 6 (enam) bulan sebelum Izin Operasional berakhir. Dalam hal masa berlaku Izin Operasional berakhir dan pemilik Rumah Sakit belum mengajukan perpanjangan Izin Operasional, Rumah Sakit harus menghentikan kegiatan pelayanannya kecuali pelayanan kegawatdaruratan dan pasien yang sedang dalam perawatan inap. Izin rumah sakit dapat dicabut apabila (i) masa berlaku izin tersebut sudah berakhir; (ii) pemegang izin tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar yang berlaku; (iii) rumah sakit terbukti telah melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau (iv) atas perintah pengadilan.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberlakukan prosedur penerbitan perizinan dan nonperizinan terpadu untuk wilayah DKI Jakarta melalui pendirian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 12 tahun 2013 mengenai Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu (“Perda No. 12”). Peraturan ini berlaku bagi rumah sakit yang terletak di wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan peraturan tersebut, izin operasional rumah sakit akan diterbitkan oleh dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh PTSP DKI Jakarta. Ruang lingkup PTSP meliputi pelayanan administrasi penerbitan perizinan dan nonperizinan, mulai dari pengajuan permohonan hingga penerbitannya, yang dilaksanakan dengan cara terpadu melalu kantor pelayanan terpadu satu pintu DKI Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 47 tahun 2017 mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Satu Pintu, prosedur dan istilah teknis terperinci mengenai prosedur penerbitan izin akan dijelaskan lebih lanjut dalam Prosedur Operasi Standar yang belum diterbitkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 tahun 2017 mengenai Akreditasi Rumah Sakit, setiap rumah sakit yang telah memiliki izin operasional selama dua tahun wajib memperoleh status akreditasi rumah sakit nasional, dan status akreditasi tersebut wajib diperbaharui setiap tiga tahun sekali. Dalam hal ini, Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan yang diberikan kepada rumah sakit oleh badan akreditasi independen tertentu yang terdaftar di Kementerian Kesehatan Indonesia (yaitu KARS). Akreditasi Rumah Sakit tersebut hanya dapat diperoleh setelah suatu badan independen menilai bahwa rumah sakit tersebut telah memenuhi dan mematuhi standar akreditasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1171/Menkes/Per/VI/2011 mengenai Sistem Informasi Rumah Sakit, setiap rumah sakit di Indonesia wajib menerapkan Sistem Informasi Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib mendaftarkan diri pada Kementerian Kesehatan Indonesia dan wajib menyampaikan laporan berkala yang telah diperbaharui. Rumah sakit diwajibkan menyediakan informasi mengenai identitas rumah sakit, data karyawan, ringkasan kegiatan pelayanan dan kompilasi data penyakit pasien rawat inap dan rawat jalan.

Berdasarkan UU Rumah Sakit, perusahaan yang mengoperasikan rumah sakit tanpa izin akan dikenakan denda setinggi-tingginya Rp15.000.000.000, sementara manajemen perusahaan tersebut dapat dikenakan hukuman kurungan hingga maksimum dua tahun dan denda setinggi-tingginya Rp5.000.000.000.

Organisasi perusahaan suatu rumah sakit wajib terdiri dari, sekurang-kurangnya, direktur rumah sakit, tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga penjunjang medis, komite medis, auditor internal, pejabat administrasi umum dan pejabat keuangan.

Direktur rumah sakit wajib merupakan tenaga medis dengan keahlian di bidang perumahsakitan, warga negara Indonesia, dan bukan pemilik rumah sakit.

Berdasarkan Permenkes No. 3/2020, rumah sakit umum di Indonesia diklasifikasikan sebagai rumah sakit Kelas A, Kelas B, Kelas C, atau Kelas D. Izin Operasional rumah sakit Kelas A diberikan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal. Izin Operasional rumah sakit Kelas B diberikan oleh gubernur setelah mendapatkan notifikasi dari kepala dinas yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah provinsi. Izin Operasional Rumah Sakit kelas C dan Rumah Sakit kelas D diberikan oleh bupati/wali kota setelah mendapatkan notifikasi dari kepala dinas yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Klasifikasi tersebut ditentukan berdasarkan jumlah tempat tidur.

Pelayanan rumah sakit Kelas A merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas B merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas C merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas D merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (lima puluh) buah.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas B sama dengan rumah sakit umum Kelas A, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis spesialis penunjang yang lebih rendah (sekurang-kurangnya delapan pelayanan medis spesialis), (ii) jumlah pelayanan medis sub-spesialis yang lebih rendah (sekurang-kurangnya dua dari empat pelayanan medis spesialis dasar yang meliputi sub-spesialis di bidang penyakit dalam, pediatri, bedah, dan obstetri & ginekologi); (iii) jumlah pelayanan medis spesialis gigi dan mulut yang lebih rendah (sekurang-kurangnya tiga pelayanan medis yang meliputi bedah mulut, konservasi/endodonsi, ortodhonti); (iv) jumlah tenaga medis; dan (v) jumlah tenaga kefarmasian.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas C sama dengan rumah sakit umum Kelas A dan Kelas B, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis dalam hal terdapat tambahan pelayanan yang merupakan pelayanan medis umum (pelayanan medis dasar, pelayanan medis gigi dan mulut, pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana);

jumlah pelayanan medis spesialis penunjang yang lebih rendah (anestesiologi, radiologi dan patologi klinik); (iii) jumlah pelayanan gigi dan mulut yang lebih rendah (sekurang-kuranganya satu pelayanan medis); (iv) tidak diwajibkan menyediakan pelayanan medis spesialis lainnya dan pelayanan medis sub-spesialis; (v) jumlah tenaga medis; (vi) jumlah tenaga kefarmasian; dan (vii) jumlah tenaga keperawatan.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas D sama dengan rumah sakit umum Kelas A, Kelas B dan Kelas C, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis dalam hal terdapat tambahan pelayanan yang merupakan pelayanan medis umum; (ii) jumlah klinik pelayanan penunjang; (iii) jumlah tenaga medis; (iv) jumlah tenaga kefarmasian;

dan (v) jumlah tenaga keperawatan.

Selain dari klasifikasi rumah sakit tersebut di atas, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 24 tahun 2014 mengenai Rumah Sakit Pratama Kelas D, terdapat rumah sakit Pratama Kelas D yang hanya menyediakan ruang perawatan kelas 3, sehingga seluruh pasien menerima fasilitas dan pelayanan medis yang sama. Tujuan utama dari rumah sakit Pratama Kelas D adalah untuk meningkatkan akses dan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia, dan oleh karena itu rumah sakit tersebut hanya mampu melayani permasalahan kesehatan dalam skala yang terbatas.

Rumah sakit Pratama Kelas D memiliki fasilitas dan pelayanan medis yang terbatas, yang mungkin hanya terdiri dari peralatan medis dasar, pelayanan gawat darurat, keperawatan, laboratorium, radiologi dan farmasi.

Berdasarkan Permenkes No. 56/2014, rumah sakit swasta wajib menyediakan tempat tidur kelas III dalam jumlah sekurang-kurangnya 20% dari tempat tidur perawatan.

Rumah sakit wajib memiliki pekerja tetap yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga manajemen rumah sakit dan tenaga nonmedis. Berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 mengenai Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), dokter yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik yang diterbitkan oleh otoritas kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat dilaksanakannya praktik kedokteran tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2052/Menkes/Per/X/2011 mengenai Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, seorang dokter diperbolehkan berpraktik di maksimum tiga rumah sakit atau fasilitas kesehatan praktik pribadi, yang dapat dimiliki Pemerintah maupun swasta.

Berdasarkan UU Praktik Kedokteran, suatu perusahaan yang mengoperasikan rumah sakit yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik atau surat pendaftaran akan dikenakan penalti setinggi-tingginya Rp300.000.000 ditambah sepertiga dari jumlah penalti, atau dikenakan pencabutan izin operasional rumah sakit.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1787/Menkes/Per/XII/2010 mengenai Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, suatu fasilitas kesehatan yang dimiliki Pemerintah atau fasilitas kesehatan swasta diperbolehkan beriklan dan/atau melakukan publikasi pelayanan kesehatan melalui media (yang mencakup media cetak, media elektronik, maupun media luar ruang). Pemasang iklan pelayanan kesehatan wajib memperhatikan etika periklanan dan publikasi yang diuraikan dalam berbagai pedoman perilaku untuk rumah sakit Indonesia, termasuk pedoman perilaku untuk pekerja kesehatan, pedoman perilaku periklanan dan peraturan yang berlaku. Pemasangan iklan pelayanan kesehatan di Indonesia dibatasi oleh kontrol ketat yang ditetapkan dalam Pedoman Perilaku Periklanan. Pedoman Perilaku Periklanan Indonesia menyatakan bahwa iklan rumah sakit hanya diperbolehkan apabila rumah sakit tersebut digambarkan sebagai badan usaha yang menawarkan pelayanan dan fasilitas yang tersedia, dan rumah sakit tidak diperbolehkan mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apapun. Selain itu, berdasarkan Pedoman Perilaku Rumah Sakit Indonesia, rumah sakit hanya

Pelayanan rumah sakit Kelas A merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas B merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas C merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah. Pelayanan rumah sakit Kelas D merupakan rumah sakit yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (lima puluh) buah.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas B sama dengan rumah sakit umum Kelas A, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis spesialis penunjang yang lebih rendah (sekurang-kurangnya delapan pelayanan medis spesialis), (ii) jumlah pelayanan medis sub-spesialis yang lebih rendah (sekurang-kurangnya dua dari empat pelayanan medis spesialis dasar yang meliputi sub-spesialis di bidang penyakit dalam, pediatri, bedah, dan obstetri & ginekologi); (iii) jumlah pelayanan medis spesialis gigi dan mulut yang lebih rendah (sekurang-kurangnya tiga pelayanan medis yang meliputi bedah mulut, konservasi/endodonsi, ortodhonti); (iv) jumlah tenaga medis; dan (v) jumlah tenaga kefarmasian.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas C sama dengan rumah sakit umum Kelas A dan Kelas B, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis dalam hal terdapat tambahan pelayanan yang merupakan pelayanan medis umum (pelayanan medis dasar, pelayanan medis gigi dan mulut, pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana);

jumlah pelayanan medis spesialis penunjang yang lebih rendah (anestesiologi, radiologi dan patologi klinik); (iii) jumlah pelayanan gigi dan mulut yang lebih rendah (sekurang-kuranganya satu pelayanan medis); (iv) tidak diwajibkan menyediakan pelayanan medis spesialis lainnya dan pelayanan medis sub-spesialis; (v) jumlah tenaga medis; (vi) jumlah tenaga kefarmasian; dan (vii) jumlah tenaga keperawatan.

Pelayanan, sumber daya manusia dan peralatan rumah sakit umum Kelas D sama dengan rumah sakit umum Kelas A, Kelas B dan Kelas C, kecuali: (i) jumlah pelayanan medis dalam hal terdapat tambahan pelayanan yang merupakan pelayanan medis umum; (ii) jumlah klinik pelayanan penunjang; (iii) jumlah tenaga medis; (iv) jumlah tenaga kefarmasian;

dan (v) jumlah tenaga keperawatan.

Selain dari klasifikasi rumah sakit tersebut di atas, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 24 tahun 2014 mengenai Rumah Sakit Pratama Kelas D, terdapat rumah sakit Pratama Kelas D yang hanya menyediakan ruang perawatan kelas 3, sehingga seluruh pasien menerima fasilitas dan pelayanan medis yang sama. Tujuan utama dari rumah sakit Pratama Kelas D adalah untuk meningkatkan akses dan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia, dan oleh karena itu rumah sakit tersebut hanya mampu melayani permasalahan kesehatan dalam skala yang terbatas.

Rumah sakit Pratama Kelas D memiliki fasilitas dan pelayanan medis yang terbatas, yang mungkin hanya terdiri dari peralatan medis dasar, pelayanan gawat darurat, keperawatan, laboratorium, radiologi dan farmasi.

Berdasarkan Permenkes No. 56/2014, rumah sakit swasta wajib menyediakan tempat tidur kelas III dalam jumlah sekurang-kurangnya 20% dari tempat tidur perawatan.

Rumah sakit wajib memiliki pekerja tetap yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga manajemen rumah sakit dan tenaga nonmedis. Berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 mengenai Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), dokter yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik yang diterbitkan oleh otoritas kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat dilaksanakannya praktik kedokteran tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2052/Menkes/Per/X/2011 mengenai Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, seorang dokter diperbolehkan berpraktik di maksimum tiga rumah sakit atau fasilitas kesehatan praktik pribadi, yang dapat dimiliki Pemerintah maupun swasta.

Berdasarkan UU Praktik Kedokteran, suatu perusahaan yang mengoperasikan rumah sakit yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik atau surat pendaftaran akan dikenakan penalti setinggi-tingginya

Berdasarkan UU Praktik Kedokteran, suatu perusahaan yang mengoperasikan rumah sakit yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik atau surat pendaftaran akan dikenakan penalti setinggi-tingginya

Dalam dokumen PT MEDIKALOKA HERMINA TBK (Halaman 154-157)