• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan Kepala Negara oleh KPU di Indonesia

BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran

ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PENETAPAN KEPALA NEGARA DI INDONESIA

B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan Kepala Negara oleh KPU di Indonesia

Dasar yang disepakati, ialah: tidak boleh ada dua orang kepala negara dalam suatu benua, atau daerah, karena membawa kepada perceraian dan permusuhan. Tetapi, jika benua-benua itu berlain-lainan dan jauh pula jarak antara satu daerah dengan yang lain, maka ada ulama yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan.7

Al-Baghdadi berkata: “tidak boleh ada dalam suatu waktu(masa), dua

kepala negara yang kedua-duanya wajib ditaati, terkecuali kalau diantara dua negeri ada laut yang luas yang menghalangi sampainya pertolongan atau bantuan dari suatu negeri ke negeri yang lain. Kalau demikian keadaanya, maka boleh masing-masing negeri mengangkat kepala Negaranya sendiri.

Baik al-Qur’an maupun sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara atau

mekanisme tertentu dalam memilih seorang kepala Negara/presiden. Karena itu, dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau cara pengangkatan kepala negara Islam, mulai dari yang dianggap demokratis dan damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului

7

. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 71.

46

sebuah peperangan atau revolusi berdarah.8

Model yangpertama, yaitu pemilihan langsung oleh Allah, di negara baru Madinah bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah segala-galanya. Beliau adalah Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Dalam kehidupan sehari-hari sukar dibedakan antara petunjuk-petunjuk mana yang belaiu sampaikan sebagai utusan Tuhan dan mana yang beliau berikan sebagai pemimpin masyarakat atau kepala negara. Demikian pula dalam hal perilaku beliau. Hubungan antara umat Islam dengan beliau adalah hubungan antara pemeluk agama yang beriman dengan ketaatan serta loyalitas yang utuh dan seorang pemimpin pembawa kebenaran yang mutlak dengan wahyu Illahi sebagai sumber dan rujukan, dan yang bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Oleh karenanya selain ungkapan-ungkapan dan perilaku Nabi yang merupakan penjabaran atau peragaan dari ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh Al-Qur’an, tidak

banyak yang dapat digali dari periode itu untuk menemukan unsure-unsur bagi pola kehidupan bernegara.9

Sementara itu menurut Al-Maududi, sewaktu Nabi Muhammad saw berada di Makkah, Nabi Muhammad hanya berkedudukan sebagai kepala agama saja. Setelah hijrah ke Madinah beliau tidak hanya di akui sebagai pemimpin agama, melainkan juga menjadi dan diauki sebagai kepala negara Madinah, menurut al-Maududi, Nabi sama sekali tidak dipilih oleh siapa pun,

8

. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga,2008), hal. 124.

9

. Munawir Sjadzali,Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI PRESS, 2003), hal. 16.

tetapi ia dipilih langsung oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Metode yang kedua, adalah melalui lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd, setelah wafat nyah Nabi maka tampuk kepemimpin pun akan terus berputar dan melalui lembaga inilah masyarakat diwakili dalam urusan menetapkan kepala negara, pengertian dari ahl al-Hall wa al-Aqd adalah sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain lembaga ini lah yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggotaahl al-Hall wa al-Aqd ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan sebagaimana yang diutarakan diatas.

Adapun syarat yang harus dimiliki oleh seorang anggotaahl Hall wa al-Aqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan dipilih dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak salah dalam memilih kepala negara, sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan secara memadai mengenai prosedur pemilihan anggota ahl al-Hall wa al-Aqd dan hubungan lebih jauh antara lembaga tersebut dengan khalifah. Dalam hal ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak social antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh

48

lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum menyatakan kesetian mereka kepada kepala negara.10

Tidak ada dalam syarat-syarat yang dikemukakan itu, satupun syarat yang mengharsukanahl al-Hall wa al-Aqditu, orang yang kaya, mempunyai jumlah tertentu dari harta-harta kekayaannya, dan Al-Mawardi tidak mengharuskan orang yang diangkat menjadi ahl al-Hall wa al-Aqd, seorang dari penduduk kota.

Metode yang ketiga, adalah melalui cara musyawarah, meskipun kepada Nabi Muhammad saw diberi kewenangan untuk membuat undang-undang, mengesahkan peraturan maupun undang-undang dasar bagi negara Islam yang mencakup bagian dari risalah belaiu, walaupun demikian istimewa wewenang yang telah diberikan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau tidak menggunakannya dalam dunia politik dan kepemimpinannya atas manusia. Beliau dikelilingi oleh para nasihat, selalu bermusyawarah dan mengambil pendapat mereka di dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik, terutama mengenai bermacam masalah yang tidak tercantum nasnya atau isyarat.11

Dalam pemilihan kepala Negara/khalifah haruslah dengan musyawarah, seperti firman Allah yang artiNya, : “ Urusan negara haruslah dimusyawarahkan sesama mereka” (As-Shura:38). Syariat Islam tidak menetapkan organisasi dan cara pemilihan kepala negara, karena hal itu adalah suatu cara yang bisa berubah-ubah dengan perubahan zaman dan tempat untuk

10

. Muhammad Iqbal,Fiqih Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal. 139-140.

11

. Abdul Ghafar Aziz,Islam Politik Pro dan Kontra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal. 168.

mengatur organisasi dan cara pemilihan yang sesuai dengan zaman dan tempat mereka.

Metode yang ke empat, adalah melalui keturunan atau waliyatul ahdi, sistem wilayatul ahdi adalah penunjukan pasti yang tidak boleh ditolak, rakyat atau wakil-wakilnya tidak diberi hak memilih hanya mereka harus menerima, kalau perlu dengan paksaan. Jadi, sistem ini telah memperkosa hak asasi rakyat yang diakui Islam yaitu shura.12

Ibnu Khaldun sebagai seorang sarjana sosiologi, yang pembahasannya dalam berbagai masalah lebih ditekankan kepada perkembangan masyrakat, dalam soal wilayatul ahdi ini ditulis satu pasal khusus dalam kitabnya

“Muqadimmah Ibnu Khaldun”.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan beberapa alas an berdasarkan

ilmu sosilogi untuk membela politik khalifah Mu’awiyah yang menyerahkan “wilayatul ahdi” itu kepada puteranya Yazid, yang terkenal dengan bejat

moralnya. Nampaknya Ibnu Khaldun menganggap bahwa Mu’awiyah benar

dalam tindakannya itu, tetapi dinyatakan bahwa Yazid yang bejat moralnya itu

adalah di luar tanggung jawab Mu’awiyah.

Dengan adanya “wilayatul ahdi” untuk mempusakai terus-menerus khilafah kepada putera-putera dan keturunannya, itu bukanlah ajaran agama, karena negara adalah haknya Allah yang akan diberikan kepada hamba yang disukaiNya, dalam hal ini tersebut haruslah berniat baik, supaya terhindar dari mempermainkan jabatan-jabatan agama. Kerajaan adalah kepunyaan Allah, yang akan diserahkan kepada yang disukai-Nya.

12

50

Kalau sekiranya “putera makhota” itu adalah hak anak atau bapaknya, maka terhadap boleh atau tidaknya Imam melakaukan ba’aiat sendirian,

pendapat ahli hukum terpecah menjadi tiga :

1. Imam tidak boleh sendirian melakukan akad ba’iat untuk anak dan

bapaknya, sebelum mengadakan musyawarah dengan para pemilih,

sehingga mereka menyatakan bahwa “putera mahkota” itu patut menjabat

jabatan Imamah/kepala negara.Maka sah lah ketika itu akada ba’iat.

2. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’iat terhadap anak dan bapaknya,

karena imam adalah amirnya umat, yang perintahnya berlaku untuk dan atas mereka. Maka hukum jabatan mengalahkan hukum turunan, dan tidak ada jalan untuk menentang kebijaksanaannya. Penyerahan wilayatul ahdi kepada anak atau bapaknya, sama seperti penyerahan kepada orang lain. 3. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’ait kepada bapaknya dan tidak

boleh kepada anaknya, karena tabiat yang mendorong cinta anak lebih dari tabiat yang mendorong cinta ayah.

Sistem putera mahkota merupakan sistem yang munkar dalam pandangan sistem Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam. Karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah. kalau Khaifah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain.13

13

. Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, Bangil: Al Izzah, hal. 110.

Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi (pewaris kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu

Umar di bai’at setelah beliau wafat.

Setelah cukup segala syarat yang difardukan, pada yang mengangkat, maupun padawilayatul ahdi, namun haruslah penyerahan itu menggambarkan kemauan umat dan diterima baik oleh kebanyakan mereka, baik kemauan itu diketahui olehnya dengan jalan musyawarah, ataupun dengan jalan yang lain. Pokok pangkalnya, dalam hal ini ialaha benar-benar adanya kerelaan umat.14

Dalil yang menunjukan kepada hal yang demikian ini, ialah: sahnya khalifah atau kepala negara yang dibaiatkan oleh orang seorang, adalah disyaratkan bahwa yang demikian itu dapat menggambarkan keinginan masyarakat. Umar bin Khatab pernah berkata:

“barang siapa membaiatkan seseorang tanpa musyawarah, maka baiatnya dipandang tidak ada dan tidak puka dipandang sah”.

Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi khalifah, sah menjadi khalifah lantaran para sahabat membaiatnya dan mentaatinya, andaikata para sahabat tidak menerima penunjukan Abbu Bakar tentulah Umar tidak menjadi kepala negara.

Apabila sayarat-syarat dan sifat-sifat ini terdapat pada seorang yang ditunjuk menjadi wilayatul ahdi, maka penunjukan itu merupakan kebaikan bagi umat dan keberkatan yang dengan demikian terhindarlah umat dari perpecahan.

14

. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 69.

52

Berbeda dengan sistem putra mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah

karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan sistem Islam.

Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut (yaitu melakukanwilayatul ahdi) adalah :

1. Mu’awiyah memaham, bahwa sistem kepemimpinan daulah Islam adalah

sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. Hal ini senada dengan khutbah yang disampaikannya di hadapan para penduduk kufah setelah terjadinya perdamaian (pasca perang shiffin).

2. Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara lalu mena’wilkannya

(memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada kaum musllimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin

urusan mereka. Namun, Mu’awiyah justru terpengaruh (untuk memahami

Islam) dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu,

Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu di siasati dengan mengambil bai’at untukYazid semasa hidupnya.

3. Metode ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas

manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti

problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada.

Sesungguhnya para fukaha ketika menetapkan bahwasanya khalifah atau kepala negara sah dengan wilayatul ahdi, hanya mengehendaki bahwa kepala negara yang menjadi dasar pembicaraan hukum dan yang diberikan hak melakukan ahdi, ialah kepala negara yang dipilih dan dibaiatkan oleh umat dengan baiat yang benar yang harus memenuhi syarat, harus orang yang dipercaya, yang warai, yang iklhas, yang jujur kepada rakyatnya. Kepala negara seperti ini, apabial diserahkan hak menunjuk ganti, tentulah dia selalu mewujudkan maslahat umum. Dia mengetahui bahwa ia akan bertanggung jawab di hadapan Allah tentang pemilihannya dan tentulah memilih yang paling tepat dan yang paling mashlahat.

Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan atas kedaulatan rakyat dalam negara Republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.15

Dalam standar demokrasi universal, pemilu pastilah secara efektif dan konsisten dimanfaatkan sebagai wahana sirkulasi atau pergantian elit penguasa. Pemilihan sebagai konsep politik sudah memastikan adanya keharusan untuk menseleksi elit secara terbuka dalam membentuk golongan penguasa. Dan konsep umum dari pemilu memastikan bahwa setiap orang

15

. Mekka Mukarromah, “Sistem Pemilu di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (suatu kajian fiqh siyasah)”.(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, 2010), hal. 1.

54

yang berpotensi dan berkeinginan diberi kesempatan untuk menapaki pertarungan menjadi elit penguasa melalui penggunaan hak untuk dipilih.

Sesungguhnya perkembangan hubungan pemilu dengan sirkualasi elit penguasa di Indonesia mengalami kemerosotan secara linear, sekalipun hubungan itu sudah mempunyai akar sejarah yang panjang sejak masa colonial. Di masa itu, proses hubungan itu sederhana dan terbatas. Tapi telah berlangsung. Dimana demokrasi konstitusionallah hubungan itu paling intensif dan sekaligus ekstensif. Sejak demokarasi terpimpin, hubungan itu mulai mandul untuk berubah menjadi simbolik dewasa ini.

Bertumpuk bukti dari pemilu-pemilu Orba yang menunjukan bahwa pemilu bukan merupakan fungsi sirkulasi elit secara keseluruhan. Proses pemilu seperti pencalonan, kampanye dan kegiatan lanjutan pemilu yaitu pengangkatan, recall, penyusunan cabinet dan pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dimanfaatkan sebagai alas an sirkulasi elit, apalagi menjadikannya sebagai mekanismenya. Memang didalam aktivitas pemilu dan pasca pemilu itu berlangsung pergantian orang, akan tetapi tidak dibolehkan membawa implikasi kepada tatanan kekuasaan dan kebijaksanaan politik secara mendasar. Pergantian personal tanpa perubahan sistem.

Penggunaan pemilu sebagai formalitas politik agaknya amat disayangkan. Sebab di samping biaya dan pengorbanan semua pihak yang sia-sia, kehidupan politik yang terpecah belah diantara ide (cita-cita) dengan kenyataan, amatlah ganjil dan membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebab tidak ada standar politik yang jelas. Karena itu sudah saatnya Orde Baru

mengurangi skala formalism politik dengan menerapkan konstitusi dan hukum secara konsekuen. Langkah itu adalah salah satu janji Orde Baru yang harus ditepati.16

Sejak 2004 bangsa Indonesia memasuki era baru dalam penentuan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sesuai amanat konstitusi hasil perubahan ketiga atas UUD 1945, presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun kedua. Selama tiga decade sistem politik Orde Baru, Presiden dan Wapres dipilih oleh siding Umum MPR lembaga tertinggi

terbanyak. Pasal 7 konstitusi sebelum diubah menyatakan “Presiden dan

Wapres memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat

dipilih kembali”. Namun, amanat konstitusi yang berbunyi “dan sesudahnya dapat dipilih kembali” tersebut tak pernah ditafsirkan tunggal. Akibatnya,

Soeharto tak hanya berkesempatan turut merekayasa keterpilihan dirinya secara terus-menerus selama tujuh periode, melainkan juga menjadi satu-satunya Presiden Indonesia sepanjang sejarah lebih dari tiga decade Orde Baru.17

Karena itu, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat di satu pihak dan pembatasan masa jabatan presiden di pihak lain merupakan dua perubahan penting di antara sejumlah perubahan lain atas UUD 1945 setelah

16

. Mochtar Pabotingi,Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru,( Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 1998), hal. 150.

17

. Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi,( Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 147.

56

diamandemen oleh MPR hasil pemilu 1999. Dua perubahan itu bahkan sangat mendasar jika dihubungkan dengan salah satu kesepakatan politik MPR untuk memperkuat sistem demokrasi presidensial melalui amandemen konstitusi yang dilakukannya. Menurut Arend Lijpart, sebenarnya hanya tiga cirri yang menjadi elemen esensial dari sistem presidensial, yakni 1) presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap, 2) presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih seperti di Amerika Serikat, 3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal. Dengan demikian, pemilihan langsung presiden oleh rakyat melalui pemilu, dan pembatasan masa jabatan presiden hanya untuk dua periode, tidak hanya membuka peluang melembaganya sistem demokrasi presidensial, melainkan juga menjadi salah satu momentum penting berakhirnya rezim otoriter.

Realitas regulasi UU Pilpres yang tidak mewajibkan parpol melembagakan proses seleksi yang transparan, partisipatif, demokratis, dan terbuka ini berdampak pada tidak tumbuhnya kompetisi internal parpol dalam memperebutkan jabatan presiden. Jajaran pengurus parpol dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota seolah-olah “mengamini” kesepakatan tidak tertulis

bahwa tiket sebagai capres adalah hak istimewa sang ketua umum atau sebutan lain bagi para pemimpin parpol.

Konsekuensi logis dari proses seleksi capres secara internal parpol yang cenderung tertutup dan oligarkis ini adalah kurang munculnya aspek kompetensi dan kapabilitas kandidat dalam persaingan para capres. Pada

akhirnya yang lebih menonjol adalah faktor popularitas public tokoh atau

figure yang memanfaatkan berbagai media yang tersedia dalam “pasar”

demokrasi. Masing-masing parpol berusaha meningkatkan popularitas public pemimpin mereka dan pada saat yang sama tawaran gagasan tentang Indonesia yang lebih baik kurang mengemuka.

Sementara itu mekanisme pemberentihan seorang Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Keputusan MPR Nomor 1 Tahun 2010 pasal 102 sampai 103 yang berbunyi.

a) MPR menyelenggarakan siding untuk mengambil putusan tentang usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada masa jabatannya yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut.

b) Pimpinan MPR mengundang Anggota MPR untuk mengadakan Rapat Paripurna

c) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usul pemberhentiannya kepada Rapat Paripurna MPR.

d) Presiden dan atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya tersebut.

e) Apabila Presiden dan atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka MPR tetap mengambil keputusan.

Dari penjelasan keputusan MPR tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia selalu mengedapankan nilai-nilai musyawarah melalui para wakil rakyat, entah itu terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum.

58 BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan serta menjelaskan mengenai penetapan kepala negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan pemilu di Indonesia yang dikaitkan dengan nilai ketatanegaraan Islam, maka di akhir uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut :

1. Bahwa pemilihan umum merupakan wadah demokrasi bagi Indonesia oleh karenanya sistem yang digunakan harus mampu menjawab dari setiap permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu itu sendiri, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menjadikan pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan transparan sesuai dengan visi dan misi lembaga KPU itu sendiri. Mulai dari menyiapkan data-data para calon pemilih, pendistribusian logistic, sampai waktu pencoblosan tiba, dan setelah dilakukan pencoblosan maka pihak KPU akan melakukan penghitungan dari hasil pemilihan umum yang telah dilaksanakan guna menentukan siapa yang keluar menjadi pemenang untuk menduduki kursi pemerintahan.

2. Dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi maka masyarakat Indonesia pun dapat dilibatkan untuk memilih kepala negara beserta wakil kepala negara dalam pemilihan umum, hal ini pun dapat dilihat dalam ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh para Khulafaur Rasyidun, di mana mereka diangkat menjadi kepala negara atau khalifah

dengan menggunakan jalan pemilihan mulai darai Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Inilah yang sudah diterapkan oleh lembaga KPU berdasarkan aturan Undang Undang dan UUD 1945 dimana lembaga tersebut pun tetap memasukkan nilai-nilai ketatanegaraan Islam yang pada prakteknya sudah lama terjadi, mulai dari nilai musyawarah, keterbukaan, kesamaan dan kejujuran. Hal ini pulalah yang menjadi pembeda antara pemilihan kepala negara pada masa khalifah atau dalam ketatanegaraan Islam mengenai lembaga yang mengatur serta mengontrol langsung dalam proses pemilihan kepala negara, serta lembaga tersebutpun lebih terstruktur dan sistematis

.

B. Saran-saran

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang merupakan salah satu penganut demokrasi terbesar di dunia. Di bawah ini merupakan saran dari penulis sebagai warga negara Indonesia dalam usaha untuk perubahan Indonesia kea rah yang lebih baik lagi:

1. KPU selaku lembaga yang independen harus mendengarkan aspirasi masyarakat bukan lagi mendengarkan partai politik terlebih mendukung