• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONDISI UMUM

TINJAUAN PUSTAKA

5.5. Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Pesantren dengan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Daerah Lain

1 Peternakan 165.000.000 17,81 2 Industri Penggergajian 316.555.000 34,18

3 Pertanian dan Perkebunan 62.640.000 6,76

4 Perikanan 2.500.000 0,27

5 Perdagangan 185.314.009 20,01

6 Kehutanan 194.211.200 20,97

Total 926.220.209 100

5.5.Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Pesantren dengan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Daerah Lain

Pada sub-bab ini ini akan dibahas beberapa perbedaan antara sistem pengelolaan hutan pesantren di Pesantren Darunnajah 2 Cipining dengan hutan rakyat daerah lain, perbedaan-perbedaannya meliputi:

1. Hutan pesantren di Pesantren Darunnajah 2 Cipining merupakan hutan dengan jenis tanaman mangium (Acacia mangium). Sedangkan hutan rakyat sebagian besar jenis tanamannya adalah sengon (Paraserianthes falcataria), seperti pada hutan rakyat di Cianjur Selatan (Muhammad 2004), hutan rakyat sengon di Masyarakat Baduy Luar (Nugroho 2010), dan hutan rakyat di Desa Burat Kabupaten Wonosobo (Maulana 2009).

2. Pola tanam yang digunakan di hutan pesantren adalah sistem monokultur dengan jenis mangium (Acacia mangium). Sedangkan pola tanam di hutan rakyat beberapa menggunakan sistem Agroforestry, seperti hutan rakyat sengon di Masyarakat Baduy Luar (Nugroho 2010), hutan rakya di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban (Handoko 2007), dan hutan rakyat di Cianjur Selatan (Muhammad 2004). Ada pula yang menggunakan pola tanam sistem polikultur seperti di hutan rakyat Desa Sambirejo (Wijiadi 2007).

3. Pada hutan pesantren penanaman diatur dengan jarak tanam 1 x 1,5 m, dan 2 x 3 m. Sedangkan beberapa hutan rakyat di daerah lain tidak menggunakan jarak tanam, karena tanaman hutannya ditanam bersama dengan tanaman pertanian, seperti pada

hutan rakyat sengon di Masyarakat Baduy Luar (Nugroho 2010), dan hutan rakyat di Cianjur Selatan (Muhammad 2004).

4. Hutan pesantren dibagi ke dalam 5 kelas umur, yaitu 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun. Adapun potensi tegakan per hektar masing-masing umur adalah 8,883 m3, 13,258m3, 40,029 m3, 139,251 m3, dan 130,007 m3. Jika dirata-ratakan potensi tegakan hutan pesantren adalah 66,29 m3/ha. Sedangkan beberapa hutan rakyat di daerah lain relatif lebih kecil potensi tegakannya, seperti hutan rakyat sengon Masyarakat Baduy Luar yang memiliki potensi rata-rata tegakan 21,09 m3/ha (Nugroho 2010), hutan rakyat Desa Sambirejo dengan potensi tegakan 20 m3/ha (Wijiadi 2007), dan hutan rakyat Desa Burat Kabupaten Wonosobo yang memiliki potensi rata-rata tegakan 31,62 – 42,02 m3/ha (Maulana 2009).

5. Rata-rata jumlah pohon per hektar di hutan pesantren adalah 1.994 batang/ha. Sedangkan pada hutan rakyat di beberapa daerah lain jumlah pohon per hektar lebih sedikit, seperti pada hutan rakyat Desa Burat Kabupaten Wonosobo yang memiliki jumlah pohon 436 batang/ha (Maulana 2009), hutan rakyat di Desa Sumberejo yang memiliki jumlah pohon sebesar 497 batang/ha (Prabowo 1998), dan hutan rakyat di Masyarakat Baduy Luar yang memiliki jumlah pohon 193 batang/ha (Nugroho 2010).

5.6. Partisipasi Santri Dalam Pengelolaan Hutan Pesantren

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola biro usaha pesantren, keterlibatan para santri dalam pengelolaan usaha pesantren belum sepenuhnya bisa dilakukan oleh seluruh santri, salah satunya adalah adalah usaha kehutanan. Pesantren baru sekedar memberikan pengetahuan kepada para santri tentang fungsi hutan pada saat orientasi pesantren untuk santri-santri baru.

Saat ini, para santri yang terlibat dalam pengelolaan hutan hanya berjumlah 70 santri yang sengaja dikader oleh pesantren. Santri - santri yang ditunjuk tersebut diberi nama santri kader ashaabunnajah. Hanya saja, keterlibatan mereka belum sepenuhnya semua kegiatan pengelolaan kehutanan. Adapun kegiatan yang baru mereka lakukan saat ini baru pada proses pembenihan dan pembibitan sampai bibit bisa ditanam selama 4 bulan.

Santri pesantren Darunnajah 2 saat ini berjumlah 1.551 santri. Dari jumlah yang cukup besar tersebut, jika dipersentasikan dengan santri yang terlibat dalam pengelolaan hutan, maka hanya 4,5% yang baru terlibat dalam pengelolaan hutan.Ini menunjukkan bahwa masih sedikitnya peran santri dalam mengelola

hutan pesantren. Berdasarkan hasil pengamatan, bahwa areal yang cukup luas untuk sebuah hutan pesantren memungkinkan para santri untuk bisa terlibat dalam pengelolaan tersebut, karena banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan baik bagi para santri sendiri maupun untuk hutan pesantren.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining merupakan hutan yang pemilikan lahannya adalah milik yayasan pesantren tersebut, dengan lahan bersumber dari tanah wakaf. Berbeda dengan hutan rakyat yang pemilikan lahannya milik individu. Selanjutnya pengelolaan hutan pesantren sudah memperhatikan asas lestari, hal ini ditunjukkan dengan adanya pembagian arealnya menjadi blok-blok dengan umur tanaman yang berbeda, dan adanya kegiatan silvikultur. Tetapi pengelolaan tersebut belum sepenuhnya menjamin kelesatrian, hal ini ditunjukkan dengan belum memperhatikan komposisi luas blok dari setiap umur tanaman. Selain itu belum adanya perencanaan hutan yang baik.

2. Pengelolaan hutan pesantren sudah ada organisasi khusus, dimana pengelolaannya di bawah biro usaha pesantren. Namun, strukturnya belum sempurna, karena belum adanya tenaga terampil di bidang kehutanan.

3. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah tebang habis, dengan jenis tanaman Acacia mangium. Tanaman tersebut dipilih karena untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dimana kayu tersbut cukup kuat dan awet untuk kayu pertukangan.

4. Hutan pesantren terbagi ke dalam 5 kelas umur yaitu KU I dengan potensi rata-rata tegakannya sebesar 8,883 m3/ha, KU II dengan potensi tegkan 13,258 m3/ha, KU III dengan potensi tegakan 40,029 m3/ha, KU IV dengan potensi tegakan 139,251 m3/ha, dan KU V dengan potensi tegakan 130,007 m3/ha..

5. Usaha kehutanan terdiri dari kegiatan budidaya hutan, dan industri penggergajian. Kedua usaha tersebut telah memberikan kontribusi pendapatan terhadapat pesantren sebesar Rp 510.766.200,- atau 55,15%.

6. Hutan pesantren belum dijadikan sarana pengembangan keterampilan bagi santri, hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan santri masih rendah.

6.2. Saran

1. Perlu adanya perbaikan model pengelolaan hutan yang diarahkan untuk meningkatkan aspek kelestarian produk. Misalnya pengaturan blok-blok tanaman yang seimbang. Selain itu perlu ada perbaikan organisasi, dimana perlu adanya tenaga-tenaga profesional.

2. Perlu penelitian lanjutan yang berkaitan tentang perhitungan ekonomi pengelolaan hutan pesantren, misalnya menyangkut kelayakan usaha.