• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires 1.Pengetian Ultra Vires

2. Perkembangan Doktrin Ultra Vires

Perkembangan doktrin mengenai ultra vires berdasarkan perspektif hukum pada umumnya terdapat tiga aspek pokok yang perlu mendapatkan perhatian yakni

pertama, sejak kapan ultra vires dikenal dalam perseroan, kedua, bagaimana

perkembangannya, dan ketiga bagaimana pengaruhnya.

Aspek pertama yang disebutkan di atas sebenarnya sangat sulit diuraikan karena tidak dijumpai adanya sumber bahan hukum yang menyebutkan secara pasti sejak kapan Hukum Perseroan mengenal Doktrin ultra vires. Namun demikian tidaklah berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali.

7

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.114-115.

Sejarah doktrin ultra vires terdapat pandangan pada pokoknya yaitu pada awal diakuinya suatu badan hukum sebagai badan dengan hak , kewajiban dan tanggungjawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah pula dengan pribadi dilandasi oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi, eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum salah satu cara menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangan-kewenangannya dalam melaksanakan kegiatan suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditetapkan dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin hukum yang disebut dengan ultra vires itu.8

Pandangan di atas mengandung makna bahwa pemberian kewenangan atau kompetensi terhadap perseroan sebagai badan hukum tidaklah bersifat tunggal dalam pengertian yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula diikuti dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri.

Sistem hukum dalam hal ini common law dalam upayanya mengatur akibat-akibat hukum ultra vires tersebut ternyata menunjukkan sifat yang dinamis. Kedinamisan ini pada akhirnya memperlihatkan perkembangan yang signifikan mengenai cara pandang hukum dalam menyelesaikan akibat-akibat tindakan ultra vires.

8

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 114-115.

Doktrin ultra vires yang mengalami perkembangan atau yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires pada pokoknya menganggap batal demi hukum terhadap tindakan perseroan yang ultra vires.9 Ada pun alasannya adalah karena perseroan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tidakan tersebut baik menurut anggaran dasar maupun menurut hukum yang berlaku. Mengingat konsekuensinya adalah batal demi hukum, maka tindakan ultra vires itu sama sekali tidak dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Dalam kondisi seperti itu, maka Direksilah yang tetap dibebani tanggungjawab atas kerugian-kerugian yang timbul.

Sejalan dengan perubahan zaman, perkembangan pemahaman dan kebutuhan akan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait serta berkepentingan dengan tindakan

ultra vires, maka apa yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires

itu telah banyak mengalami modifikasi.

Apabila dikaji kembali Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu memang tampak sangat kaku dimana dengan dinyatakannya suatu tindakan melampaui, tidak beraturan dan bertentangan dengan anggaran dasar serta hukum yang berlaku, maka dengan segera pula tindakan itu dapat dinyatakan sebagai ultra vires, dan sama sekali tidak memberikan kesempatan baik kepada pemegang saham maupun terhadap Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan bagi Direksi yang merupakan wakil perseroan itu. Adapun modifikasi atau

9

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.125.

perkembangan Doktrin Ultra Vires yang dimaksud di atas dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut : 10

a. Hak untuk Meratifikasi terdapatnya kasus yang memungkinkan diberikannya hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong

ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut

tidak dibenarkan.

b. Transaksi yang telah dieksekusi terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires.

c. Peranan Jaksa di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar perseroan dibubarkan.

d. Perbuatan melawan Hukum Perdata atau Pidana terhadap perbuatan melawan hukum perdata atau pidana tidak dapat diajukan keberatan dengan jalan ultra vires.

e. Tanggungjawabp ribadi tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.

Dari uraian yang merupakan pengembangan Konsep Tradisional Doktrin Ultra

Vires menuju Doktrin Ultra Vires yang Modern itu terdapat suatu poin inti yang perlu

diberikan penjelasan tambahan. Poin yang dimaksudkan adalah Hak untuk Meratifikasi.

Meratifikasi sebenarnya mengandung pengertian memberikan konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi konfirmasi sendiri. Dengan demikian sehubungan dengan Doktrin ultra vires, maka meratifikasi berarti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Direksi.

10

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.126.

Meratifikasi pada pokoknya bertujuan menyatakan bahwa tindakan Direksi tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggungjawab atas tindakan itu dipikul oleh perseroan. Ratifikasi tersebut diberikan oleh para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam RUPS seperti itu Direksi dapat dihadirkan dan Direksi dapat memanfaatkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.

Pada proses tersebut tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin ultra

vires tersebut telah memberikan suatu keadilan kepada Direksi untuk hadir dan

memberi penjelasan. Dibandingkan dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires yang dengan segera dapat menyatakan bahwa tindakan Direksi adalah ultra vires apabila melampaui kewenangan yang diberikan, maka adanya hak meratifikasi menurut Doktrin Ultra Vires Modern.

Sebenarnya pada satu sisi merupakan suatu langkah maju yang progresif dan menguntungkan Direksi, akan tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit dijelaskan. Adapun persoalan yang dimaksud pada pokoknya menyangkut tidak ditentukannya kriteria mengenai tindakan Direksi yang bagaimana saja yang dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Apakah tindakan Direksi yang dalam kenyataannya bertentangan dengan anggaran dasar perseroan juga dapat diratifikasi. Solusi atas persoalan tersebut belum dijumpai dalam Doktrin Ultra Vires Modern. Di samping memperkenalkan hak meratifikasi, Doktrin Ultra Vires Modern juga

membawa perkembangan yang cukup monumental yaitu perlindungan pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan perseroan.11