• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Perkembangan Anak Tunarungu

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2009) perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:

a. Tubuh

Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya. Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya.

b. Otak

Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal. Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan pilihan yang berlawanan(Munkata dalam Santrock, 2009).

2. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan. Perkembangan motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik

halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock 2009).

a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’

Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain lompat tali.

Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat suatu kerajinan tangan yang lebih kompleks, misalnya membuat

keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan suatu alat musik.

b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu

Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.

Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu mengalami keterlambatan adalah gangguan syaraf, disfungsi pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeksplor lingkungannya.

3. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012).

Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi sosial.

Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu, kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012). Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya.

Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada tugas theory of mind mereka, terutama anak-anak tunarungu yang memiliki

„orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser (2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya.

Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman (Santrock, 2009).

Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007).

Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangan mereka.

4. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk mengungkapkan emosi mereka secara verbal.

Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization (0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan), yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri maupun orang lain.

Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa. Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa berinteraksi dengan orang lain.

Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam perkembangan bahasa anak tunarungu adalah:

a. Fonologi

Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003) menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya dengan kosakata yang baru.

Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu yang lama untuk dikuasai.

b. Morfologi dan Sintaks

Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih luas dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata, kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak (Marschack dan Spencer, 2003).

c. Kosakata

Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai 14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata (Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003).

Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.

5. Perkembangan Sosio-emosi

Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009).

Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock (2009) hal ini disebut dengan perspective

taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.

Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anak- anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah (Somantri, 2007).

Anak tunarungu yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama yang tunarungu.

D.Kerangka Konseptual

Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan komunikasi nonlinguistik.

Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual

Interaksi Sosial

Kontak Sosial

dengan Sesama Anak Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'

Komunikasi

Komunikasi Linguistik

Anak Tunarungu dengan Sesama Anak

Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'

Komunikasi Nonlinguistik

Anak Tunarungu dengan Sesama Anak

Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait