• Tidak ada hasil yang ditemukan

K

abupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur mampu memberikan kejutan bagi Indonesia karena langkah strategisnya dalam pembangunan daerah. Kabupaten yang sebelumnya dikenal pembangunannya “biasa-biasa saja” (dibanding kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Jawa Timur) tiba-tiba pertumbuhan ekonominya meningkat signifikan. Dahulu Banyuwangi hanya sebagai daerah transit wisatawan, berbeda dengan saat ini Banyuwangi telah menjadi destinasi wisata. Alih-alih melalui pembangunan sektor pariwisata ternyata telah memberikan bukti bahwa sektor pariwisata berkembang pesat.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas optimis berkat pariwisata ekonomi Kabupaten Banyuwangi mengalami kemajuan pesat seperti kunjungan wisatawan domestik meningkat dari 497 ribu orang pada tahun 2010 menjadi 4,01 juta pada tahun 2016. Untuk wisatawan mancanegara dari 5205 pada tahun 2010 menjadi 74.800 turis asing pada tahun 2016. Semua itu mendorong peningkatan pendapatan per kapita warga melonjak dua kali lipat dari Rp. 20,8 juta pada tahun 2010 menjadi Rp. 41,5 juta per orang tahun 2016. Kemiskinan turun cukup pesat di level 8 persen jauh lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Jawa Timur yang masih tembus11persen(https://www.republika.co.id/berita/nasional/ daerah/18/02/08/p3t8o4280-bupati-banyuwangi-berbagi-langkah-pengembangan-pariwisata Dikutip dari Antara).

Kebijakan pariwisata merupakan sebuah produk dari proses yang sangat kompleks dan terkait dengan berbagai aspek. Kompleksitas pariwisata disebabkan oleh berbagai perubahan besar pada level lokal, nasional dan internasional. Dalam konteks perubahan besar tersebut lingkungan kebijakan pariwisata menjadi media strategis bagi pemerintah untuk memasarkan potensi wisatanya. Pada kondisi inilah kebijakan pariwisata menjadi strategis dan penting dalam pengembangan pariwisata. Pariwisata adalah

pihak dibutuhkan karena pariwisata bukan sektor yang berdiri sendiri. Pertimbangan keterkaitan antar sektor dan penanganan pariwisata semakin rumit dalam pengembangan suatu destinasi yang terpadu (Brawnwel, 2005).

Apa pun yang sebenarnya terjadi, hipotesis, asumsi, dugaan, positif maupun negatif, namun harus diakui dari “data berbicara” bahwa Banyuwangi telah mencoba dengan sangat berani pembangunan sektor pariwisata sebagai generator penggerak sektor-sektor lainnya. Suatu hal yang mungkin belum pernah dilakukan oleh Bupati-Bupati terdahulu. Terobosan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Banyuwangi di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas memberikan banyak perubahan-perubahan. Dapat dilihat dari data-data sekunder, statistik, dan prestasi-prestasi menunjukkan Banyuwangi telah berhasil dalam banyak hal selama kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas yang masih berjalan di periode kedua masa jabatannya.

Penekanan bupati Abdullah Azwar Anaz adalah membangun pariwisata dari bawah yaitu di tingkat desa dengan menggunakan

fiber optic sehingga seluruh desa di Banyuwangi terkoneksi

dengan internet. Pariwisata yang terpusat dari desa dengan sistem IT berpengaruh besar terhadap pembangunan segala sektor di Banyuwangi termasuk pariwisata. Data menunjukkan di masa awal banyak masyarakat yang meragukan langkah strategis pemerintah Kabupaten Banyuwangi ini. Dianggap memberatkan dan menyulitkan kinerja aparatur sipil di tingkat desa dan banyak masalah lainnya (SDM, infrastruktur, dll.). Tetapi ketika sudah berjalan dan kemudahan dirasakan seperti mengurus KTP dan surat administrasi lainnya yang sangat cepat dan tanpa biaya maka sebagian besar warga masyarakat mulai yakin dan mendukung program-program pemerintah daerah.

Kalangan elite Using Banyuwangi (orang Blambangan / suku asli Banyuwangi) menyatakan bahwa sebagian besar penguasa yang pernah memimpin Banyuwangi tidak memperdulikan orang Using bahkan beberapa diantaranya justru cenderung memojokkannya orang Using. Satu-satunya bupati non-Using yang menaruh perhatian besar terhadap Using dan diakui jasanya bagi masyarakat Banyuwangi adalah bupati Djoko Supaat Slamet (Bupati Banyuwangi 2 periode antara tahun 1966-1978). Sampai pada suatu masa Bupati

Banyuwangi dipimpin oleh orang Using yaitu bupati Samsul Hadi (1 periode tahun 2000-2005) yang selalu diingat prestasinya serupa dengan yang dilakukan oleh bupati Djoko Supaat Slamet 22 tahun sebelumnya. Samsul Hadi memajukan komunitas dan kebudayaan

Using di tengah pergulatannya dengan kekuatan-kekuatan politik

dan etnisitas di Banyuwangi (Anoegrajekti, 2006).

Dapat dipastikan dalam periode setelah menjabat untuk kedua kalinya bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anaz akan memperoleh kenangan serupa seperti dua bupati sebelumnya yaitu Djoko Supaat Slamet dan Samsul Hadi karena prestasinya telah mampu mengubah wajah Banyuwangi. Terlebih daerah-daerah saat ini dipandang sebagai motor penggerak untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia sehingga daerah dipandang sangat penting bagi masa depan Indonesia secara keseluruhan. Daerah memainkan peran penting dalam perekonomian nasional Indonesia. Untuk itu pembangunan terintegrasi semakin dibutuhkan saat ini karena kompleksitas isu, masalah dan sumber daya. Pembangunan terintegrasi akan mengatasi masalah ini dengan menyediakan solusi komprehensif dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan (Kusuma, 2014).

Pemerintah pusat pasti sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Keberhasilan pembangunan dengan fokus kepada sektor pariwisata dan mampu menggerakkan sektor lainnya akan menjadi nilai tambah pemerintah pusat terhadap kinerja pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan prioritas atau kemudahan dalam pengembangan parwisata di Kabupaten Banyuwangi sangat memungkinkan kedepannya. Dengan kata lain, potensi pariwisata Banyuwangi beserta sektor-sektor lainnya prospektif akan semakin terbuka untuk terus meningkat.

Sejarah dan Tahap Perkenalan I Pariwisata Banyuwangi (1805-1930)

Blambangan (Banyuwangi) memiliki keterkaitan erat dengan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada di Indonesia. Kerajaan Blambangan meskipun bukan kerajaan dengan skala pemerintahan yang massif namun isu yang berkembang cukup signifikan baik dalam skala lokal, nasional

maupun internasional. Banyak literatur menyebutkan sejak era VOC menduduki Banyuwangi (1767), lalu saat Perancis mengambil alih kekuasaan atas Jawa (1799), kemudian ketika kekuasaan di Jawa diduduki oleh Inggris (1811), sampai saat masa kerajaan Belanda menguasai kembali Pulau Jawa (1816) dan masa pendudukan kedatangan Jepang di Indonesia (1939), Blambangan berfungsi sebagai basis perekonomian-perdagangan hingga pertahanan. Terutama pendudukan VOC-Hindia Belanda sekitar abad ke-18 hingga awal abad ke-20 berdampak besar terhadap perubahan sejarah budaya Semenanjung Blambangan (Margana, 2012).

Sebagai afiliasi dan versus kerajaan Majapahit, Blambangan merupakan kerajaan yang sangat diperhitungkan. Wilayah ke-kuasaannya cukup luas mulai dari Malang, Jember, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan. Hal ini menandakan pusat pemerintahan kerajaan Blambangan tidak menetap. Masing-masing dinasti memiliki pusat pemerintahan sendiri yang cenderung bergerak menjauhi sentris Majapahit (dari arah barat menuju timur). Termasuk pula ketika kerajaan Mataram Islam, kerajaan Gelgel Klungkung (Bali), perang saudara setelah raja Tawang Alun II wafat, kerajaan Mengwi-Bali (berafiliasi dengan kerajaan Buleleng, kerajaan Jembrana, kerajaan Karangasem, kerajaan Tabanan) dan VOC ingin menaklukan Blambangan, terjadi banyak perpindahan pusat-pusat pemerintahan kerajaan. Fakta ini yang cenderung membuat sejarah Blambangan menjadi sangat rumit tetapi di sisi lain membuktikan bahwa sejak zaman dahulu kerajaan Blambangan memiliki nilai khusus bagi orang luar.

Bahkan sebelum era tersebut, kerajaan Blambangan yang merupakan kerajaan Siwa-Budha di Jawa Timur tercatat memiliki pusat pemerintah yang tersebar di 8 kabupaten termasuk Kabupaten Banyuwangi saat ini. Kabupaten-kabupaten yang pernah menjadi pusat kerajaan Blambangan adalah Malang, Jember, Bondowoso, Pasuruan, Lumajang, Probolinggo dan Situbondo (sumber lain mengatakan hanya 6 kabupaten-Malang dan Pasuruan tidak termasuk). Secara kronologis nama Blambangan dari zaman dahulu disebut sebagai Tarumpura, Bandhapura, Kamal-Pandak, Palambangan, Balumbungan, Blangbangan, Balumbuan dan terakhir disebut sebagai Blambangan. Secara faktual Blambangan telah ada sebelum Majapahit berdiri tetapi belum bernama Blambangan. Ibu

Kota Blambangan telah berpindah 16 kali. Blambangan merupakan salah satu penerus Majapahit sampai datangnya VOC Belanda (Sukatman, 2016).

Menurut sumber-sumber Belanda, Banyuwangi atau yang dikenal pada masa itu adalah kerajaan Blambangan mengalami masa-masa kekacuan di tahun 1630 (Creese, 1995). Babad Tawang Alun dan kajian historis menunjukkan bahwa tahun 1665 Pangeran Tawang Alun II naik tahta dan terjadi pertentangan dengan patih-nya (Pangeran Wila) yang juga adikpatih-nya sampai pindahpatih-nya pusat pemerintahan ke Bayu (sebelumnya di Macan Putih). Tahun 1676 Raja Tawang Alun II melepaskan diri dari pengaruh Mataram Islam dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas dari Malang sampai ke semenanjung Blambangan (Maria, 2017).

Kerajaan Gelgel Klungkung (Bali) kemungkinan besar telah melakukan penaklukan atau mungkin lebih tepatnya hegemoni kepada kekuasaan Raja Tawang Alun II. Terkait dengan keinginan Raja Tawang Alun II (atas dukungan penasehat Raja keturunan Tionghoa yang sangat disegani yaitu Buyut Cungking) melepaskan diri dari kerajaan Mataram (Sultan Agung). Kedekatan sosial-budaya dan agama menjadi dasar hubungan kerjasama kerajaan Blambangan dan kerajaan Gelgel bersatu menentang kerajaan Mataram (analisis yang perlu dibuktikan kebenarannya). Waktu kerajaan Mataram sedang mengalami ketegangan dan kuatnya perpaduan antara kerajaan Blambangan dan kerajaan Gelgel menghentikan langkah kerajaan Mataram Islam untuk menguasai kerajaan Blambangan (mungkin pula sebenarnya ingin menaklukkan kerajaan Gelgel dengan bukti pengiriman utusan kerajaan Mataram Islam membujuk Raja Gelgel meninggalkan agama warisan leluhurnya pada era itu). Hegemoni ini dilanjutkan dengan Mas Purba yang baru berusia 13 tahun atas restu ibunya meminta bantuan kerajaan Gelgel untuk dapat mengalahkan Macanapura (penakluk ayah Mas Purba yaitu Sasranegara-keturunan Raja Tawang Alun II).

Setelah Raja Tawang Alun II mangkat tahun 1691 karena sakit, terjadi upaya penaklukan dari kerajaan Buleleng (diduga didukung oleh orang-orang Makasar, Mandar dan Bugis) pada tahun 1697 (saat itu kekuasaan kerajaan Gelgel-telah berganti nama menjadi kerajaan Semarapura atau Kerajaan Klungkung, tetapi kekuasaan terhadap seluruh kerajaan-kerajaan di Bali memudar) ditambah

BAB 4

UPAYA PEMBANGUNAN

Dokumen terkait