• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

2.2. Gereja di Era Globalisasi Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan

2.2.2. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia: Pengertian,

2.2.2.2. Perkembangan dan Peta Persoalannya

Sejarah kehadiran lembaga keuangan mikro (LKM) di Indonesia, bagaimanapun juga memiliki akar historis yang cukup panjang di masa lalu yakni pada praktik sosial ekonomi yang dilakukan berbagai suku-bangsa yang ada di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah Negara bangsa (nation-state). Sebutlah misalnya, praktik lumbung beras desa, arisan, jimpitan (pengumpulan beras secara sukarela untuk kegiatan sosial) yang dilakukan berdasarkan tradisi yang sudah ada secara turun

86

Antonius Budisusila, “Ekonomi, Garis Massa, dan Pendidikan: Perspektif Ekonomi Institusional” (dalam), Antonius Budisusila, ed (2009),Rakyat, Pendidikan dan Ekonomi:Menuju Pendidikan Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm, 49

87

temurun. Praktik-praktik sosial ekonomi seperti ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kohesi sosial sehingga motifnya tidak didasarkan semata-mata pada

pengembangan ekonomi (uang) tetapi justru pada ekonomi sosial”.88Jadi, pada mulanya atau secara tradisional praktik keuangan mikro itu dikelola pada basis keluarga dan komunitas sehingga cirinya bersifat informal di mana kesepakatan bersama merupakan norma tertinggi yang mengatur dan mengikat keseluruhan praktik-praktik sosial ekonomi yang dilakukan.

Secara formal, kehadiran lembaga keuangan mikro di Indonesia diawali dengan berdirinya Hulp en Spaar Bank Der Inlandesch Bestuurs Ambtenaren pada awal abad ke-19 (1895) yang sering juga disebut sebagai Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai”.89 Bank Ambtenaren ini didirikan oleh seorang patih di Purwokerto Jawa Tengah bernama Raden Wiriaatmadja (Desember 1895)”.90 Menurut Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani tujuan utama pendirian lembaga kredit formal ini adalah untuk membebaskan para pegawai pemerintahan dari rentenir dan pengijon. Bank Purwokerto inilah yang dianggap sebagai cikal bakal perkembangan bank di Indonesia. Bank ini memberikan pelayanan kredit bagi pegawai negeri pribumi, tukang, dan petani. Catatan yang menarik pada fase ini adalah bank menetapkan persyaratan penggunaan uang kepada para nasabahnya. Syaratnya, kredit tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain untuk mencaribunga yang lebih tinggi, tidak boleh digunakan untuk membiayai pesta yang tidak perlu, dan tidak boleh digunakan untuk membeli perhiasan. Kredit harus digunakan untuk kegiatan produktif. Dengan kata lain, pada tahapan ini lembaga keuangan sudah mulai “memisahkan” kredit untuk kebutuhan produktif dan kebutuhan

88

Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 19-20

89

I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia” (dalam)Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus 2013, hlm, 116

90

konsumtif. Sayangnya tidak ada informasi yang menjelaskan bagaimana membangun mekanisme untuk memastikan pengguna kredit menggunakan kreditnya sesuai ketentuan bank dan respons-respons apa yang muncul dari pengguna akibat pemisahan kebutuhan tersebut”.91

Lalu, pada tahun 1896, gagasan atau ide Raden Wiriaatmadja ini dikembangkan oleh seorang administrator kolonial Belanda bernama Sieburgh yang kemudian mengembangkannya menjadi sebentuk koperasi kredit desa. Selanjutnya, seorang administrator kolonial lainnya yakni Wolf van Westerrode, kemudian mengembangkan koperasi kredit desa ini menjadi Bank Perkreditan Umum”.92Pada periode sekitar tahun 1898, desa-desa di pulau Jawa terutama desa-desa yang menjadi sentra penghasil beras mulai mendirikan Lumbung Desa. Lumbung Desa merupakan lembaga simpan pinjam yang menggunakan komoditas padi sebagai instrumen simpan-pinjam-nya. Lalu, seiring dengan berkembangnya wilayah pedesaan serta peredaran uang yang semakin meluas dan semakin dikenal masyarakat desa, pada tahun 1904 didirikanlah Bank Desa, yang kemudian dikenal sebagai BadanKredit Desa (BKD)”.93

Sejak saat itu, di berbagai daerah mulai bermunculanberbagai bentuk bank perkreditan rakyat. Implikasinya, subsidi pemerintah terhadap perbankan menjadi meningkat. Keadaan ini, membuat pemerintah harus mengontrol bank-bank tersebut. Upaya pemerintah kolonial untuk mengendalikan bank-bank tersebut dilakukan dengan cara mendirikan Central Kas pada tahun 1934 di mana semua bank-bank perkreditan rakyat umum itu kemudian disatukan ke dalamAlgemene Volkscredietbank (AVB) atau

91

Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung,

92

Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 48

93

Bank Rakyat Umum. Algemene Volkscredietbank (AVB) inilah yang menjadi cikal

bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang dikenal saat ini”.94

Meskipun bank-bank perkreditan umum yang bermunculan itu sudah disatukan ke dalam AVB atau Bank Rakyat Umum, namun penggabungan itu tidak lantas membuat Badan Kredit Desa menghentikanusahanya. Badan Kredit Desa tetap berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Kredit Desa yang terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa bertransformasi menjadi lembaga-lembaga perkreditan rakyat sepertiLembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) dan Bank KaryaProduksi Desa (LKPD) di Jawa Barat, Badan KreditKecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha RakyatKecil (KURK) di Jawa Timur. Lalu, beberapa lembaga kemudian bertransformasimenjadi lembaga keuangan yang berdasarkan ikatanadat seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali danLumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat”.95

Di era kemerdekaan (1945-1966), dapat dikatakan merupakan era kemunduran Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. I Gde Kajeng Baskara mencatat, pada kurun periode 1957 sampai 1965, sistem keuangan formal sangat dikekang. Hal ini terutama dipengaruhi oleh adanya kebijakan untuk menghapus segala kepemilikan atau keterlibatan orang asing dalam sistem perbankan dan nasonalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belanda”.96Selain karena alasan itu, kemunduran lembaga keuangan mikro juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik-ekonomi nasional yang mulai dikaitkan dengan beberapa persoalan seperti munculnya desakan untuk membuat kebijakan afirmatif bagi pemberdayaan pengusaha pribumi. Keadaan ini telah membuat

94

Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 48

95

I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm 116

96

sistem keuangan nasional menjadi tertekan (depresi) sebab untuk menopang kebijakan afirmasi tersebut Pemerintah lantas menjadi sangat tergantung kepada Bank Central. Akibatnya, terjadi hiperinflasi yang cukup tinggi sehingga merusak kepercayaan masyarakat terhadap mata uang yang sekaligus juga menurunkan nilai mata uang yang sedang beredar. Pada tahun 1966 sistem keuangan Indonesia secara finansial runtuh bahkan tidak ada karena krisis ekonomi dan politik yang parah selama periode

tersebut”.97

Masa Orde Baru, dapat dikatakan merupakan masa keemasan sistem keuangan mikro di Indonesia. Di era Orde Baru, lembaga keuangan mikro mampu menyediakan layanan tabungan dan kredit dengan prinsip berkelanjutan dan dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia di pedesaan. Upaya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto untuk memulihkan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1967, dilakukan dengan cara mendirikan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di setiap provinsi sehingga dapat mendorong pertumbuhan jasa keuangan, terutama di sektor perbankan”.98

Pada tahun 1970, pemerintahan Orde Baru menciptakan program kredit “Binmas

dan Inmas”,99 melalui BRI cabang pedesaan untuk meningkatkan pembangunan

pertanian dengan tujuan mewujudkan swasembada beras. Menurut Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, program inilah yang menjadi cikal bakal BRI-Unit Desa yang kemudian menjadi lembaga keuangan yang cukup dominan di pedesaan di Indonesia. Dalam hal ini, unit desa dimaknai sebagai keadaan agro ekonomi

97

Bagus Aryo (2012), Op.cit, hlm, 48

98

Ibid, hlm, 49

99

Binmas (Bimbingan massa) merupakan rencana penyetujuan paket kredit, di mana Inmas (intensifikasi pertanian) merupakan program intensifikasi pertanian. Selanjutnya lihat: ibid

masyarakat desa yang memiliki fungsi penyuluhan, perkreditan, penyaluran sarana produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil pertanian.Pada awalnya, BRI-UD ini hanya menjadi penyalur kredit Bimas. Seluruh dana BRI-UD berasal dari pemerintah. Namun pada tahun 1974, BRI-UD diberi tugas tambahan unutk menyalurkan paket kredit mini dan paket kredit midi. Penambahan tugas ini secara perlahan kemudian menggiring BRI-UD menjadi lebih mirip BPR.Kemiripan ini setidaknya terlihat dari dua sisi. Pertama, paket kredit mini dan midi yang diberikan BRI jelas menyasar kelompok-kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Plafon kredit yang diberikan dalam kedua paket tersebut antara Rp.200.000 s/d. Rp.500.000 dengan tingkat suku bunga rata-rata 12% per tahun. Kedua, BRI menyederhanakan prosedur pelayanannya menjadi lebih fleksibel sehingga menjadi lebih mudah untuk diakses nasabahnya”.100

Hasilnya, hingga tahun 1984, BRI telah berhasil mendirikan lebih dari 3600 BRI-Unit Desa di tingkat kecamatan di seluruh penjuru negeri yang dirancang untuk menyalurkan pinjaman secara langsung kepada para petani yang berpartisipasi dengan program kredit yang terkait. Tetapi malangnya, pada tahun itu juga program kredit Binmas dan Inmas itu terpaksa harus dihentikan sebab sejumlah kredit Binmas mengalami kegagalan. Setelah meninjau ulang kinerja BRI dan pelaksanaan program kredit Binmas dan Inmas tersebut, Pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem BRI Unit Desa menjadi sistem perbankan komersial berkelanjutan di tingkat lokal. Implikasinya, BRI dimungkinkan menerapkan bunga deposito dengan tingkat bunga yang cukup tinggi supaya orang-orang tertarik untuk menabung dan membebankan suku bunga pinjaman yang cukup tinggi untuk menutupi biaya pendanaan dan operasional.

100

Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” (dalam), Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung,

Dalam perspektif seperti itu, BRI kemudian menawarkan program baru ke seluruh unit jaringannya yaitu kredit untuk berbagai tujuan, KUPEDES (Kredit Umum Pedesaan), tabungan pedesaan, SIMPEDES (Simpanan Pedesaan), tabungan perkotaan,

SIMASKOT (Simpanan Masyarakat Kota)”.101

Lalu, pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan reformasi sektor perbankan dan keuangan yang dikenal dengan sebutan Pakto 88 (paket oktober 1988). Pakto 88 ini, menandai lahirnya satu jenis lembaga keuangan mikro yang baru yakni Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Melalui kebijakan Pakto 88 ini, Pemerintah memberi kesempatan selama dua tahun kepada lembaga keuangan non bank yang tumbuh subur di banyak daerah (seperti Bank Kredit Desa (BKD), Bank Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali) untuk bertransformasi menjadi BPR. Tetapi, peraturan ini dianggap cukup menyulitkan lembaga kredit di pedesaan. Merespon, kesulitan yang dialami lembaga kredit pedesaan tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan Maret 1989 atau yang dikenal dengan sebutan

“pakmar 89”, yang menghapus aturan tersebut untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi lembaga kredit pedesaan dan BPR yang berasal dari transformasi lembaga tersebut”.102

Salah satu Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang bersedia bertransformasi menjadi BPR adalah Lembaga Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat. Tetapi, tidak semua LKM yang dikategorikan sebagai LDKP bersedia bertransformasi

101

Bagus Aryo (2012) Op.cit, hlm, 49

102

menjadi BPR. LPD di Bali misalnya, mereka menyatakan keberatannya atas kebijakan tersebut. Alasan penolakannya sebab perubahan itu juga akan mengakibatkan terjadinya perubahan prosedur dan mekanisme yang khas wilayah ke prosedur dan mekanisme yang sesuai dengan ketentuan Pemerintah. Dari sisi pemerintah, perubahan tersebut tentu akan memudahkan pengawasan. Namun, dari sisi masyarakat perubahan ini menyebabkan mereka harus berhadapan dengan prosedur perbankan yang kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan”.103

Merespon keberatan masyarakat Bali tersebut, Bank Indonesi (BI) akhirnya, memberikan persetujuan dengan membuat keputusan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non bank yang khusus beroperasi di wilayah Bali. Dalam Undang-undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, keberadaan LPD kemudian diakui sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai LKM yang paling sukses di Indonesia. Regulasi yang mengatur keberadaan LPD di Bali kemudian diatur secara tersendiri oleh Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali No.8 tahun 2002, yang kemudian mengalami perubahan melalui Perda Nomor 3 tahun 2007”.104

Alasan penolakan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) untuk bertransformasi menjadi BPR pada umumnya adalah karena perubahan itu akan berdampak pada perubahan prosedur dan mekanisme pencairan kredit yang sebelumnya didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal atau adat istiadat masyarakat di suatu daerah menjadi berubah ke prosedur dan mekanisme sesuai dengan ketentuan pemerintah (perbankan) yang justru mendasarkan pengelolaan dan pengembangannya pada prinsip manajemen kehati-hatian. Dalam hal ini, memang ada perbedaan kepentingan antara

103

Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” (dalam),Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung,

104

Pemerintah dan Masyarakat dalam memahami keberadaan LKM di Indonesia. Bagi masyarakat (adat), perubahan itu akan membuat mereka harus berhadapan dengan prosedur (birokrasi) perbankan yang justru kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan. Sementara itu, bagi Pemerintah perubahan tersebut dimaksudkan

untuk memudahkan mereka untuk melakukan pengawasan”.105

Menurut I Gde Kajeng Baskara, institusi yang terlibat dalamkeuangan mikro di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yakni: institusi Bank, Koperasi, serta Non Bank/Non Koperasi. Institusi bank termasuk di dalamnya bank umum, yang menyalurkan kredit mikro atau mempunyai unit mikro serta bank syariah dan unit syariah”.106 Sementara itu, kalau mengacu pada undang-undang No. 7 tahun 1992 atau undang-undang hasil amandemen No.10 tahun 1998 maka ada dua kategori bank yang ada di Indonesia yakni: bank komersial (bank umum) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang sering juga disebut sebagai bank pedesaan”.107

Perlu juga ditambahkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, lembaga keuangan mikro di Indonesia juga ikut diramaikan dengan hadirnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Secara etimologis, Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah pembiayaan”. Rumah uang dalam artian ini adalah pengumpulan dana yang berasal dari infaq, zakat,ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi hasil, yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang mendasarkan pada sistem bunga”.108 Sejarah keberadaan BMT di Indonesia diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Bank Muamalat

105

Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. (dalam) Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung,

106

I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 115

107

Bagus Aryo (2012) Op.cit,hlm, 50

108

Indonesia yang mendirikan Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) yang kemudian membentuk juga Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Pada bulan Desember tahun 1995, secara legal formal Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk pemberdayaan usaha kecil, dan pada tahun yang sama BI memberi ijin atau mengakui BMT sebagai lembaga keuangan yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank umum. Sejak disahkannya UU No. 1 tahun 2013, BMT kemudian diklasifikasi sebagai sebuah

LKM yang memang sudah lama dinantikannya”.109

Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2000, setidaknya terdapat 53.644 LKM di Indonesia mulai dari varian bank, koperasi, lembaga kredit, BMT, dan pegadaian sedangkan LKM non bank berjumlah 42.186 unit. LKM tersebut mampu memberikan pelayanan kredit terhadap lebih kurang 27.000.000 nasabah dengan total jumlah pinjaman Rp. 24.443.594.000. Namun demikian, masih banyak kelompok usaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terlayani. Kenyataan ini pada satu sisi memperlihatkan betapa sangat kecilnya akses dan pelayanan bagi usaha kecil tetapi di sisi lain kondisi ini juga menjadi peluang bagi LKM untuk berkembang apalagi keberadaannya sangat dekat dengan masyarakat sehingga bisa dengan mudah direplikasi apalagi cenderung juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga keuangan baik di dalam maupun di luar negeri. Seharusnya dengan jumlah sebesar itu permasalahan yang dihadapi pelaku ekonomi kecil dan mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah bisa memenuhi kebutuhannya dan

109

memiliki akses terhadap sumber-sumber kredit bagi kelangsungan hidup maupun

usahanya”.110