• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF MANAJEMEN WARISAN BUDAYA DUNIA BERBASIS MASYARAKAT DAN BUDAYA LOKAL

DALAM PENGELOLAAN KAWASAN SUBAK JATILUWIH

Sebagaimana diketahui, manajemen kelembagaan berproses secara dinamis melalui tahapan-tahapannya yang secara garis besar meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Oleh karena itu, dalam rangka membangun manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya lokal berdasarkan potensi sistem sosiokultural dalam pengelolaan Subak Jatiluwih, maka langkah yang patut dilakukan adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam setempat. Untuk itu, berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab II di atas, model manajemen warisan budaya dunia yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih dapat digambarkan sebagai berikut.

Perencanaan merupakan satu tahapan yang paling awal dalam membangun suatu manajemen. Definisi perencanaan dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan perencanaan pembangunan adalah suatu proses untuk menentukan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sejalan dengan itu, Dror sebagaimana dikutip oleh Schoorl (1980 : 294), mendefinisikan perencanaan sebagai proses dalam penyiapan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal.

Jika perencanaan dalam arti seperti itu disusun dalam rangka pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai WBD berdasarkan potensi sistem sosiokultural sebagaimana dipaparkan pada bab II di atas, maka model perencanaan yang memungkinkan untuk itu adalah perencanaan yang sesuai dengan filsafat Tri Hita Karana. Artinya, bahwa keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-alam (lahan sawah, air, dan binatang), hubungan antara warga masyarakat setempat (warga subak, desa pakraman, dan deasa dinas) tetap dijadikan sebagai pegangan utama dalam proses perencanaan tersebut. Filsafat yang demikian itu tentu saja dapat dijadikan acuan penting dalam membangun manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya lokal. Dikatakan sebgai acuan penting, karena dengan filsafat tersebut dapat diharapkan terjadi sinergi antara para pihak terkait, meskipun masing-masing pihak mempunyai status yang berbeda-beda. Berdasarkan sinergi yang memadai dapat

diharapkan mereka membangun konerja sesuai dengan tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia.

Selain itu, konsep-konsep yang sejalan dengan itu yang ada dalam ajaran agama Hindu di Bali pun tidak kalah pentingnya untuk dijadikan acuan utama dalam perencanaan pembangunan Subak Jatiluwih. Ada beberapa konsep merupakan kearifan lokal masyarakat dan kebudayaan Bali, antara lain berupa konsep-konsep yang mengandung nilai budaya yang patut dijadikan pedoman dalam rangka menciptakan keharmonisan sosial. Konsep-konsep tersebut antara laindesa-kala-patra; dharma, artha, kama, moksa; tatwamasi; dan konsepSagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka. Konsep-konsep ini memungkinkan untuk dipakai pedoman yang efektif dalam mencegah masalah konflik sosial karena mengandung makna-makna tersendiri yang telah membudaya. Konsep desa-kala-patra yang mengandung makna yang menekankan pentingnya pleksibilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat diketahui dengan mencermati pendapat Mantra (1993 : 14) tentang konsep desa, kala, patrasebagai berikut.

”Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti ada perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam. Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai desa, kala, patra(waktu, tempat, dan keadaan)”.

Petikan ini tampak mencerminkan bahwa konsep desa, kala, patra pada intinya menekankan pentingnya upaya penyesuaian sikap dan perilaku dalam menjalankan kehidupan sosial di tengah fenomena keberagaman dan perbedaan, baik dalam konteks keruangan/tempat (desa) maupun waktu (kala), dan situasi

(patra). Ini berarti konsep desa, kala, patra, mencerminkan ideologi fleksibilitasisme, yakni kelenturan sikap dan perilaku sosial sesuai dengan keadaan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jika konsep ini diterapkan dalam rangka membangun manajemen Subak Jatiluwih, maka apat diharapkan bahwa para pihak terkait akan mampu mengatur langkah mereka sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan pembangunan Subak Jatiluwih.

Konsep dharma, artha, kama, moksa sebagaimana diketahui menekankan bahwa kebenaran (dharma) perlu dipedomani dalam rangka mencari nafkah (artha) untuk memenuhi nafsu, keinginan, dan kebutuhan (kama) agar mencapai kebahagiaan (moksa). Jika hal ini dipadukan dengan konsep desa, kala, patra sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara idealnya upaya mencari nafkah (artha) untuk memenuhi kebutuhan (kama), selain disesuaikan dengan kebenaran (dharma) juga dengan situasi dalam konteks ruang/tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan masyarakat setempat (patra). Dengan cara demikian memungkinkan diperoleh hasil tanpa menimbulkan masalah, dan memungkinkan pula untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, aman, dan nyaman.

Serupa dengan itu, konsep Tat Tawam Asi dapat dimaknai sebagai larangan terhadap kekerasan guna mencapai kedamaian. Hal ini dapat dijadikan sebagai kode etik karena mengandung arti ”Aku adalah Engkau” sehingga relevan untuk membangun sikap saling menyayangi antarsesama demi terwujudnya kedamaian. Pandangan ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam rangka mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat yang satatus dan identitas warganya berbeda-beda, maka diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) perlu

diposisikan secara dialektis, bukan secara oposisi biner, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai. Jika disimak dengan mengacu gagasan G.W.F Hegel sebagaimana dikuitip oleh Sitorus (2004 : 167-168),Tat Twam Asi yang diartikan sebagaimana dipaparkan di atas juga mengandung gagasan bahwa orang lain (engkau) sebenarnya tidak pernah hadir secara absolut sebagai orang lain. Orang lain juga berperan dalam keberadaan diri sendiri (aku), tanpa orang lain (engkau) maka diri sendiri (aku) pun tidak ada. Selain itu, diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) saling membutuhkan dan dengan demikian saling tergantung. Oleh karena itu sikap saling menolak antara diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) sesungguhnya adalah sebuah kekeliruan. Jika pemaknaan terhadap istilah Tat Twam Asi di atas dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas ssosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 291), istilahTat Twam Asi juga mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat organis, yakni ideologi yang menekankan pada pentingnya kerjasama atas dasar rasa saling membutuhkan dan saling tergantung antarawarga masyarakat yang memiliki ciri-cirinya masing-masing. Dengan demikian ideologi yang terkandung dalam istilah Tat Twam Asi itu memang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam membangun kerjasama (bukan perseteruan) antara kelompok sosial yang berbeda seperti antara para pihak terkait dalam pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia dan/atau sebagai daerah tujuan wisata.

Terkait dengan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka menekankan pentingnya komitmen (janji kepada sesama), kesadaran kolektif (senasib dan sepenanggungan), dan rasa

hormat-menghormati dan seterusnya. Oleh karena itu, dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas sosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 290) tampaklah konsep ini mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis. Ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis ini memang tampak penting dan relevan dalam rangka mencegah perseteruan antara para pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bersama, seperti halnya dalam pengelolaan Subak Jatiluwih.

Agar dapat menyusun perencanaan seperti itu serta melaksanakan, maka konsep Tri Hita Karana dan konsep-konsep lain yang sejalan dengan itu perlu dipahami dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Tanpa demikian bukan tidak mungkin akan timbul berbagai masalah yang mengganggu langkah pencapaian tujuan pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai WBD, yakni melestarikan lingkungan alam dan budaya setempat. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikemukakan oleh Basrowi dan Sukidin (2003), Mustain (2007), dan Yunita (1986), bahwa setiap manusia yang bersifat rasional akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan suatu kegiatan yang menjanjikan keuntungan bagi dirinya sendiri. Dilihat dari perspektif teori pertukaran, maka keuntungan dalam konteks teori rasionalitas itu lebih mengarah kepada keuntungan finansial berupa uang tunai sebagai hasil dari pertukaran. Dalam konteks ini pendapat Damsar (2006 : 33), penting untuk dicermati, yakni sebagai berikut.

“Teori pertukaran melihat bahwa uang sebagai salah satu rujukan utama orang untuk terus menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-perilaku alternatif. Suatu tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan dipandang rasional apabila seseorang menghasilkan uang. Oleh sebab itu, makin tinggi uang yang diperoleh makin besar kemungkinan suatu tingkah laku akan diulang”.

Dengan mengacu teori rasionalitas dan teori pertukaran ini, maka pengelolaan Subak Jatiluwih berpeluang menimbulkan upaya para pihak terkait untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri melalui cara-cara yang membuat pihak tertentu merasa diperlakukan secara kurang adil. Masalah seperti ini berpotensi menjadi penghambat para pihak yang merasakan ketidakadilan dalam ikut serta melestarikan alam dan budaya setempat. Dengan demikian tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai WBD sulit dicapai.

Untuk mengantisipasi timbulnya masalah seperti itu, maka suatu langkah yang penting untuk dilaksanakan adalah menempatkan wakil dari kelompok-kelompok masyarakat (subak, desa pakraman, desa dinas) secara proporsional dalam personel badan pengelola Subak Jatiluwih, baik sebagai WBD maupun sebagai daerah wisata. Penempatan wakil kelompok-kelompok masyarakat tersebut hendaknya sesuai dengan kemauan, kompetensi, dan kemampuannya pada bidang-bidang tugas yang ada dalam pengelolaan Subak Jatiluwih. Hal ini penting agar mereka dapat bersinergi dan berkinerja kinerja secara optimal. Selain itu, pembagian hasil pengelolaan Subak Jatiluwih pun perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan pemerataan. Dengan demikian dapat diharapkan semua pihak merasa puas atas tata cara pengelolaan subak tersebut, dan dengan demikian pula semua pihak dapat diharapkan akan ikut berperan aktif dan sungguh-sungguh dalam upaya melestarikan lingkungan alam dan budaya setempat secara bersama-sama dan berkelanjutan sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Agar terwujud keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alam, maka teknologi yang mesti digunakan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah teknologi pertanian dalam arti luas yang tetapt guna dan ramah lingkungan. Hal ini perlu dilakukan dalam bidang bercocok tanam di sawah dan diladang, bidang peternakan, dan bidang perikanan. Dengan mengimplementasikan nulai-nilai Tri Hita Karana, usaha di bidang pertanian dalam arti luas ini dapat diharapkan dapat berjalan secara lancar, tertib dan aman.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait