• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam hal seorang Notaris dijadikan sebagai saksi dalam kasus hukum, Notaris dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, mematuhi dan tunduk pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan Kode Etik Notaris, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di luar pengetahuan Notaris, para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan yang tidak benar dan menyerahkan surat/dokumen yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituang ke dalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung keterangan palsu.

169Teguh Samudera,Op.Cit., hal. 49. 170

Notaris dalam menjalankan tugasnya di bidang kenotariatan, khususnya dalam pembuatan akta tidak jarang terkena masalah akibat kurangnya ketelitian dan kehati-hatian dan memeriksa identitas atau pembuatan akta. Akibat hal ini, tidak jarang Notaris harus menjadi saksi bahkan terdakwa dalam kasus pidana maupun perdata. Para pihak yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu ke hadapan Notaris, juga dapat membuat Notaris terjerat kasus hukum.

Ketentuan mengenai keterangan palsu, dapat dilihat dalam Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenarannya, diancam bila pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Berdasarkan Pasal 266 di atas, apabila para pihak atau saksi memberikan keterangan palsu ke dalam suatu akta Notaris tidak terkecuali Notaris itu sendiri, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan yang diatur di dalam KUHPidana tersebut. Walaupun tidak jarang pertimbangan-pertimbangan lainnya yang dapat membuat hukuman tersebut berkurang sesuai keputusan pengadilan tempat perkara itu diperiksa.

Pertanggungjawaban bagi Notaris dalam pembuatan akta autentik yang memuat keterangan palsu antara lain adalah pertanggungjawaban secara pidana atas akta yang dibuatnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta yang memenuhi unsur suatu tindak pidana pemalsuan.

Pertanggungjawaban secara perdata berupa ganti rugi yang diberikan oleh Notaris apabila dapat dibuktikan bahwa adanya kerugian yang diderita akibat dibuatnya akta autentik atau terdapat hubungan kausal antara kerugian yang diderita dengan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris.

Pertanggungjawaban secara administrasi diberikan jika Notaris melanggar UUJN dan Kode Etik Notaris berupa sanksi secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Faktor yang menyebabkan tindak pidana penempatan keterangan palsu dalam akta autentik adalah faktor dari Notaris yaitu kurang teliti, kurang pengetahuan, terlalu percaya kepada orang lain dan tidak profesional, dan faktor dari penghadap yaitu maksud ingin tercapai, itikad buruk dan untuk kepentingan pribadi.

Dalam pembuatan akta autentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Dalam hal ini, Notaris hanya dapat dijadikan sebagai saksi di depan persidangan untuk memberikan keterangan perihal perbuatan hukum yang terjadi di dalam akta atau kesesuaian identitas para pihak saat hadir di hadapannya.

Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada

Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri.171 Selama Notaris tidak berpihak dan hati-hati dalam menjalankan jabatannya, maka Notaris akan lebih terlindungi dalam menjalankan kewajibannya. Namun dalam pembuatan Akta Rapat Umum Pemegang Saham, itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Notaris.

Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN jika dengan sengaja ikut serta dalam pemberian keterangan palsu ke dalam akta, sehingga syarat pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar.

Seseorang yang merasa dirugikan karena perbuatan seseorang, sedangkan diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang akan timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.172

Abdul Ghofur Anshori menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan kebenaran materil, maka tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu:173

171 Notodisoerjo,Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 229.

172AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diapit Media, 2002), hal. 77. 173

1. Tanggung jawab secara perdata

Tanggung jawab perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuat oleh Notaris dilihat dari perbuatan melawan hukum, yang dapat dibedakan berdasarkan sifat aktif dan pasif. Perbuatan melawan hukum yang bersifat aktif adalah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan perbuatan melawan hukum yang bersifat pasif adalah tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Oleh karena itu, dalam hal ini unsur dari perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.

2. Tanggung jawab secara pidana

Ketentuan pidana dalam hal tanggung jawab Notaris tidak diatur di dalam UUJN, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dapat diberikan apabila Notaris tersebut melakukan perbuatan pidana. Dalam UUJN, sanksi yang didapat hanya berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan autentik atau hanya sebagai akta di bawah tangan. Menurut UUJN, Notaris dalam hal ini dapat diberikan sanksi yang berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian hormat dan secara tidak hormat.

3. Tanggung jawab secara jabatan

Ruang lingkup pertanggungjawaban Notaris dalam jabatannya hanya meliputi kebenaran materil atas akta yang dibuatnya. Dengan demikian bahwa

tanggung jawab formil Notaris hanya terhadap keabsahan akta autentik yang dibuatnya, bukan terhadap isi akta tersebut. Sanksi atas kesalahan Notaris dalam menjalankan jabatannya terdapat di dalam UUJN Pasal 84 dan Pasal 85.

4. Tanggung jawab secara kode etik

Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan Negara telah diatur di dalam UUJN, sedangkan hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur di dalam kode etik Notaris. Ruang lingkup kode etik berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) maupun orang lain yang menjalankan jabatan Notaris. Sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik Notaris atas pelanggaran kode etik dituangkan dalam Pasal 6, yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik berupa teguran, peringatan, pemecatan sementara dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.174

Notaris mempunyai pertanggungjawaban secara administrasi, perdata, maupun pidana. Ada kemungkinan bahwa pertanggungjawaban di satu bidang hukum tidak menyangkut bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan

tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) dapat menimbulkan pertanggungjawaban di bidang hukum pidana.175

Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat dibuktikan, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Oleh karena itu guna melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan ke hati-hatian sangat dituntut dari seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya, misalnya dalam keterangan palsu yang dilakukan para pihak.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008 yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa Notaris tidak melakukan kesalahan apa pun. Notaris telah memeriksa data yang menjadi syarat dalam pembuatan akta jual beli berupa identitas para pihak dengan sangat teliti. Namun Ny. Idahjaty selaku pihak yang membuat akta ternyata dengan sengaja memalsukan keterangan bahwasannya Tuan Kosin selaku mantan suami telah memberikan persetujuannya untuk menjual villa tersebut. Akibatnya Tuan Kosin mengalami kerugian akan haknya yang tidak dipenuhi oleh Ny. Idahjati atas penjualan villa tersebut. Disamping itu Ny. Lina selaku penjual juga mengalami kerugian karena membeli villa tersebut dengan harga Rp. 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah).

175 http://www.notary.my.id/2015/08/batasan-batasan-notaris-dapat-dituntut.html, diakses pada tanggal 21 Juli 2016.

Berdasarkan contoh kasus di atas, terlihat bahwa setiap orang dalam melakukan suatu tindak pidana yang dalam hal ini adalah menempatkan keterangan palsu di dalam akta, harus dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Ny. Idahjaty selaku terdakwa oleh Mahkamah Agung dijatuhi sanksi pidana yang berupa kurungan penjara selama 1 (satu) tahun dan terdakwa dikenakan biaya ganti rugi perkara akibat perbuatannya sendiri. Para pihak yang hadir di hadapan Notaris, seharusnya memberikan keterangan yang sebenar-benarnya agar Notaris maupun saksi intrumenter tidak terjerat kasus hukum yang menimbulkan sanksi akibat perbuatannya tersebut.

Para pihak dalam hal memberikan keterangan palsu, akan menempatkan Notaris sebagai saksi di depan persidangan jika Notaris tersebut tidak turut ikut dalam menempatkan keterangan palsu di dalamnya. Pada Putusan Mahkamah Agung di atas jelas bahwa Notaris tidak ikut dalam penempatan keterangan palsu, sehingga status Notaris di dalam persidangan Putusan tersebut hanya menjadi saksi. Notaris hanya menyatakan perihal kedatangan para pihak dan syarat-syarat pembuatan akta yang telah terpenuhi dan ia teliti dengan hati-hati sebelum membuat akta jual beli tersebut.

Tanggung jawab Notaris dalam hal pembuktian akta apabila terdapat kekhilafan atau kesalahan sehingga akta yang dibuatnya kehilangan otentisitasnya. Notaris seharusnya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebaik-baiknya agar tujuan pembuatan akta ini tercapai, berlaku sebagai akta yang autentik.

Lumban Tobing menyatakan Notaris bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya, apabila terdapat alasan sebagai berikut :

a. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.

b. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuknya (gebrek in de vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau dianggap hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan.

c. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kewajiban untuk membayar ganti kerugian, artinya semua hal-hal tersebut harus dilalui proses pembuktian yang seimbang.

Pembuktian dalam pengadilan terutama dalam kasus akta Notaris, menerapkan sanksi sebagai tanggung jawab hukum Notaris dalam menjalankan profesinya yang dapat digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu:176

1. Tanggung jawab hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata;

2. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan

hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan

kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai menimbulkan kerugian pihak lain.

176

Agus Priono, “Analisi Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Turut Serta Memasukkan Keterangan Palsu Ke Dalam Akta Autentik Yang Dilakukan Nortaris”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum Fakultas Hukum UNS, 2015, Hal. 6, diakses tanggal 16 Juli 2016.

BAB V

Dokumen terkait