• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Pertimbangan hukum Hakim dalam membatalkan Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B)

Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 722/1.785.2/SPB.S/2011 tentang pelaksanaan Pembongkaran Bangunan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Dianutnya negara hukum mengandung makna bahwa hukum ditempatkan sebagai panglima dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam pemerintahan. Perwujudan negara hukum salah satunya dengan dibentuknya Kekuasaan Kehakiman. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Begitupula dengan Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pasal

tersebut, Hakim memiliki kebebasan dan mandiri dalam memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang bertujuan untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (Integrated Justice System).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan, kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya diatur dalam undang-undang. Atas dasar ketentuan tersebut, untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat dan memberikan perlindungan hukum sesuai dengan konsep dari negara hukum. Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) harus berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah

itu tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Wewenang peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa wewenang peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sedangkan pengertian sengketa tata usaha negara itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi:

”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang menjadi obyek sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara.

Sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, tidak mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah:

“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, pada dasarnya badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dalam mengambil keputusan mengemban kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu kemungkinan keputusan itu dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, sehingga pihak yang dirugikan itu diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. Hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan:

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis ke pengadilan yang berwenang dengan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, seseorang yang mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara, harus gugatan itu mempunyai suatu kepentingan yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. S.F. Marbun, mengemukakan bahwa kepentingan penggugat yang dirugikan harus bersifat “langsung terkena”, artinya kepentingan tersebut tidak boleh terselubung dibalik kepentingan orang lain (rechtstreeks belang) sesuai dengan adagium yang menyatakan

Point d’interest, Point d’action. Th. Ketut Suraputra, mengemukakan bahwa pengertian “merasa” pada perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dapat diartikan sebagai: kepentingan tersebut belum perlu sudah nyata-nyata terjadi, sebagaimana umpamanya apabila seseorang mendapat izin bangunan, maka tetangganya sudah dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan. Berbeda dengan Indroharto yang dapat menggugat ke Pengadilan tidak terbatas hanya pada Penggugat yang langsung kepentingannya telah dirugikan, tetapi juga individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini Keputusan Tata Usaha Negara merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang sebenarnya di alamatkan kepada orang lain dan juga organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa kepentingannya karena keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur Keputusan Tata Usaha Negara yang berpotensi untuk diajukan ke pengadilan tata usaha negara yakni apabila tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yaitu: Kewenangan, Substansi dan Prosedur. Apabila Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang, dan substansi serta prosedur tidak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan hukum. Begitupula Philipus M. Hadjon dalam menyimpulkan penjelasan pasal 53 ayat (2), yang berkaitan dengan alasan dasar menggugat yakni:

1. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;

2. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiel/substansial;

3. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang.69

Tiga hal tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Dengan demikian sebetulnya alasan menggugat cukup dua, secara alternative dan komulatif, yaitu:

a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.

b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

69

Berdasarkan hasil penelitian mengenai para pihak dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagai subyek hukum. Penggugat berupa “badan hukum perdata” berkaitan dengan kepentingannya sebagai pihak yang dirugikan karena terbitnya Surat Keputusan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan yang mengeluarkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara milik penggugat.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 terdapat makna bahwa peradilan tata usaha negara hanya terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yakni tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa untuk dinyatakan batal atau tidak sah. Isi petitum atau tuntutan yang diajukan penggugat juga menghendaki bahwa Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan. Isi petitum atau gugatan yang diajukan penggugat dikategorikan sebagai tuntutan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Mengenai petitum atau tuntutan penggugat yang menghendaki bahwa Majelis Hakim agar mencabut surat keputusan obyek sengketa, ini merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat dinyatakan kalah dalam amar putusan Majelis Hakim, hal ini sesuai

dengan Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Kasus posisi secara singkat dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Bangunan Menara Telekomunikasi milik Penggugat dibangun sejak Tahun 2003, tetapi Penggugat mendapat izin membangun/keterangan membangun berdasarkan Keputusan Kepala Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangungan Kodya Jakarta Selatan Nomor : 71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005, karenanya masa berlaku Menara tersebut terhitung sejak Tahun 2005 s/d 2008;

2. Dengan berakhirnya masa berlaku Menara Telekomunikasi tersebut pada tahun 2008, maka Penggugat mengajukan izin perpanjangan kepada Tergugat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

3. Penggugat tidak mengetahui mengapa tergugat mengeluarkan Surat Perintah Bongkar, bukannya surat perpanjangan izin Menara yang diajukan oleh penggugat.

4. Ternyata Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar ini mendasarkan pada alasan bahwa para warga sekitar tidak menghendaki adanya perpanjangan Menara tersebut unuk beroperasi lagi, karena merugikan masyarakat.

5. Hal ini disangkal penggugat, karena selama ini warga tidak keberatan dengan berdirinya Menara tersebut dari tahun 2005 hingga tahun 2008, tetapi warga malah medapatkan manfaat.

6. Menurut Penggugat, Tergugat dalam mengeluarkan Surat Perintah Bongkar menyalahi aturan yang ada yaitu bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

7. Tergugat dalam hal ini melanggar kewenangan yang ada padanya, sehingga Penggugat mohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan batal atau tidak sah terhadap obyek sengketa tersebut.

Pertimbangan hukum dalam sengketa a-quo adalah sebagai berikut:

1. Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah apakah obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat tidak sesuai dengan kewenangan Tergugat yakni bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ataukah tidak.

2. Kewenangan Tergugat menerbitkan Surat Perintah Bongkar hanyalah pada ketentuan Pasal 18 ayat (5) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya terhadap kegiatan membangun tanpa izin yang belum dihuni dan tidak dalam sengketa.

3. Kewenangan Walikota Jakarta Selatan dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar ditentukan pada Pasal 18 ayat (6) butir b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun

1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya membangun tanpa izin dan sudah dihuni.

4. Menurut keterangan saksi Drs. Achmad Hilman, Poerwono Arifin, S.H. dan Arie Kusumastuti M, S.H., Mkn, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa bangunan Menara Telekomunikasi itu berpenghuni, oleh karenanya ketentuan yang lebih tepat diterapkan dalam sengketa a-quo

adalah Pasal 18 ayat (6) huruf b Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

5. Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) huruf b, yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar terhadap bangunan Menara Telekomunikasi yang berpenghuni adalah Walikota Jakarta Selatan, dengan demikian Tegugat (Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota Administrasi Jakarta Selatan) tidak berwenang mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa.

6. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Obyek Sengketa tidak berdasarkan kewenangannya dan di luar batas kewajaran, sehingga Surat Keputusan Obyek Sengketa yang dikeluarkan Tergugat harus dibatalkan.

Sesuai dengan kronologi kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim di atas, dapat dikemukakan adanya Penerapan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah menurut hukum

(rechtsgelding) apabila syarat materiil dan syarat formil dari pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara terpenuhi, artinya keputusan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada. Sebaliknya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara apabila dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat materiil dan formil, Keputusan Tata Usaha Negara tersebut mengandung cacat hukum yang berakibat Keputusan Tata Usaha Negara dapat dibatalkan. Dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, mengatur juga mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang menjelaskan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah, jika:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan Tata Usah Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Adapun pengertian Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam beberapa ketentuan yaitu:

1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

2. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undnag atau Pemerintah atas perintah Undang-Undnag, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yag setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 3. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang suda ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”

4. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa yang dimaksud peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

Berdasarkan pengertian Peraturan Perundang-undangan yang dijelaskan di atas, suatu produk hukum yang dikatakan sebagai Peraturan Perundang-undangan, apabila di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang, mengatur hal-hal yang umum dan abstrak (bersifat umum) dan dibuat berdasarkan prosedur yang berlaku. Dengan demikian pengertian Peraturan Perundang-undangan tidak mengacu kepada nama produknya hukum itu, tetapi siapa yang mengeluarkannya dan mengatur hal apa yang diatur.

Berikutnya adalah berdasarkan doktrin tindakan hukum pemerintahan, yang dimaksud Peraturan Perundang-undangan adalah merupakan contoh dari besluit atau regeling, menurut tindakan hukum pemerintahan regeling adalah suatu tindakan hukum pemerintah dalam hukum publik yang ditujukan untuk umum dan bersifat sepihak. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan doktrin di atas, maka Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) termasuk pengertian Peraturan Perundang-undangan. Adapun Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkannya

oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan dokrinal dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-undangan, begitupula Juklak mengenai Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1068 Tahun 1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun Dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta termasuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan, sehingga digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam membatalkan Surat Keputusan Obyek Sengketa.

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan apabila dalam pembuatannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut melanggar aspek kewenangan, substansi dan prosedur. Keputusan Tata Usaha Negara yang mengesampingkan aspek kewenangan, substansi dan prosedur dinilai bertentangan dengan hukum

(onrehmatig). Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan yang bersangkutan:

a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formil, keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan peraturan dasarnya dan dalam pembuatannya juga harus memperhatikan cara membuat keputusan yang dimaksud.

b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial, meliputi pelaksanaan dan penggunaan kewenangan apakah secara materiil telah memenuhi peraturan perundang-undangan.70

Berdasarkan uraian di atas Keputusan Tata Usaha Negara dalam perkara ini tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sah, karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu ditinjau dari aspek kewenangan. Lebih lanjut mengenai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari aspek kewenangan, W. Riawan Tjandra memberikan penegasan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken),

yang meliputi:

b. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya.

c. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis).

d. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.71

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Surat Keputusan Obyek Sengketa cacat hukum ditinjau dari aspek kewenangan yang biasa disebut Onbevoegdheid riatione materiae. Dikarenakan Surat Keputusan Obyek Sengketa dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Hal ini dapat dilihat ketika Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kota

71

Administrasi Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Perintah Bongkar yang bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Walikota Jakarta Selatan.

Terkait dengan kewenangan, S.F. MARBUN72 mengemukakan pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Begitupula Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Sedangkan secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.73

Pertimbangan hukum Hakim dalam perkara a-quo pada intinya mempersoalkan kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa. Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, tata cara dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

72 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 64

73Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Fakultas Hukum Unpad, 2000, hlm. 100

Negara memiliki beberapa tahapan, yang apabila salah satu syarat dalam tahapan tersebut tidak terpenuhi maka Keputusan Tata Usaha Negara itu dapat dibatalkan. Dalam perkara ini Tergugat telah melakukan kesalahan yaitu mengeluarkan Surat Keputusan Obyek Sengketa yang bukan