• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perumahan dan Lingkungan Permukiman

BAB II : KONDISI UMUM INDONESIA

3.5 Perumahan dan Lingkungan Permukiman

Perumahan dibagi menjadi permukiman mewah dan permukiman kumuh. Permukiman mewah adalah kelompok hunian yang oleh masyarakat

setempat dianggap mewah, termasuk kondominium / apartemen.

Permukiman mewah dengan ciri-ciri, jumlahnya ≥ 10 rumah dan atau mempunyai kendaraan roda empat. Biasanya mempunyai pengamanan khusus disekitar perumahan dengan luas tanah/ kavling lebih dari 200 m2. Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang ditandai oleh :

1. Banyak rumah tidak layak huni

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIIIII

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 3311

3. Penduduk/ bangunan sangat padat

4. Banyak penduduk buang air besar tidak dijamban

5. Biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta api)

Rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibuat dari bahan bekas/ sampah (seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dan sebagainya) yang dipertimbangkan tidak cocok untuk bertempat tinggal atau terletak pada areal yang diperuntukkan bukan untuk permukiman, termasuk rumah gubuk.

Jika dilihat dari jenis permukiman, maka jumlah permukiman mewah di Indonesia lebih sedikit (2.168) dibandingkan dengan tidak mewah (67.789), demikian pula permukiman kumuh lebih sedikit (6.190) dibandingkan

dengan permukiman tidak kumuh (63.767). Sedangkan permukiman

mewah lebih sedikit dibandingkan dengan permukiman kumuh, dan permukiman tidak mewah lebih banyak dibandingkan dengan permukian tidak kumuh. Provinsi-provinsi yang banyak terdapat permukiman mewah antara lain : Jawa Barat (371), Jawa Timur (270) , DKI Jakarta (162). Adapun provinsi yang banyak permukiman kumuhnya antara lain : Jawa Barat (777), Sumatera Utara (459) dan Sulawesi Selatan (393).

Pada Tabel 3.9 terlihat, bahwa jumlah permukiman kumuh lebih banyak di Jawa Barat, yakni sebesar 2.541 lokasi dengan jumlah bangunan rumah sebanyak 86.616 unit dengan jumlah keluarga 111.521 keluarga. Adapun

jumlah bangunan rumah di permukiman kumuh paling banyak di DKI

Jakarta, yakni sebesar 124.166 unit dengan jumlah keluarga yang tinggal ada 199.603 keluarga dan tersebar di 750 lokasi. Disusul provinsi Jawa Barat dengan jumlah bangunan rumah sebesar 86.616 unit dengan 111.521 keluarga yang tinggal disana dan tersebar di 2.541 lokasi.

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIIIII

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 3322

Selain itu ada tempat lain yang dijadikan tempat tinggal oleh warga, walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan. Hal ini bisa dilihat pada jumlah keluarga yang bertempat tinggal di bantaran/ tepi sungai dan atau sempadan sungai, serta tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Yang dimaksud bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam (PP No. 35 Tahun 1991 tentang sungai). Palung adalah cekungan yang terbentuk oleh aliran sungai secara alamiah, atau galian untuk mengalirkan sejumlah air tertentu (Keppres No. 32/ 1990). Sempadan sungai adalah kawasan kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/ kanal/ saluran irigasi

primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan

kelestarian fungsi sungai. Kriteria sempadan sungai :

1. Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman ;

2. Untuk sungai di kawasan permukiman antara 10-15 meter.

Jumlah keluarga yang tinggal di bantaran/ tepi sungai mencapai 931.576, sedangkan jumlah bangunan rumah ada 801.840. Selain itu ada 14.955 desa/ kelurahan, dimana masih ada keluarga yang tinggal di bantaran/ tepi sungai, walaupun masih lebih banyak jumlah desa/ kelurahan (35.528) dimana tidak ada keluarga yang tinggal di bantaran/ sungai (Tabel 3.10).

Dikatakan jaringan listrik tegangan tinggi apabila kawat yang melintas mempunyai tegangan listrik lebih dari 500 KV. Keluarga dan bangunan yang dicatat pada rincian ini adalah keluarga dan bangunan yang berada di bawah jaringan dan berjarak 20 meter dari lintasan jaringan tersebut. (Permentamben No.1.P/47/MTE/1992).

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIIIII

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 3333

Jumlah desa/ kelurahan yang tidak ada listrik tegangan tinggi ada 45.956. Sedangkan yang ada listrik tegangan tinggi 24.001 desa/ kelurahan. Dari jumlah tersebut terdapat 20.623 desa/ kelurahan dimana tidak ada keluarga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, serta ada 3.378 desa/ kelurahan dimana masih ada keluarga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Jumlah keluarga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi sebanyak 122.292, sedangkan jumlah bangunan rumahnya ada sebanyak 106.746 buah (Tabel 3.11).

Dalam menyikapi kebutuhan penyediaan perumahan dan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, maka pemerintah selalu membuka kawasan perumahan sederhana (RS) dan Rumah Sederhana Sehat (RsH) yang bisa dibeli masyarakat di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Dalam hal ini diharapkan pemerintah daerah berperan aktif membantu pengembangan dan pembangunan rumah sederhana dan layak huni di daerahnya, sehingga terjangkau daya beli masyarakat. Pada Tabel 3.12 terlihat masih banyak rumah sederhana sehat yang bersubsidi.

3.5.2 Lingkungan Permukiman

Kondisi lingkungan permukiman yang bersih memberikan kenyamanan pada penghuninya. Lingkungan yang tidak bersih merupakan sumber penyakit seperti demam berdarah, malaria, penyakit perut, penyakit kulit, dan penyakit lainnya. Oleh sebab itu masyarakat diharapkan dapat bergotong royong membersihkan selokan, pekarangan rumah, lingkungan sekitar rumah dan permukimannya.

Dari Gambar 3.4 terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir (2004-2005) terjadi penurunan rumah tangga yang menggunakan air bersih sebagai sumber air minum, di daerah perdesaan masing-masing sebesar 50,55

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIIIII

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 3344

persen dan 42,64 persen, sebaliknya di daerah perkotaan masing-masing sebesar 63,00 persen dan 63,40 persen. Kategori air bersih disini adalah air leding, air dalam kemasan, dan air hujan, termasuk pompa, sumur terlindung, serta mata air terlindung yang sumbernya atau tempat mengambilnya berjarak lebih dari 10 m dari tempat penampungan tinja/ limbah/ kotoran terdekat.

Gambar 3.4 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih Menurut Provinsi dan Tipe Daerah, Tahun 2000-2005

23,38 63,40 64,83 62,77 62,49 63,00 53,12 42,64 50,55 48,84 49,01 50,17 0 10 20 30 40 50 60 70 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Perkotaan Perdesaan

Sumber : Statistik Perumahan, BPS, 2006

Secara umum, berdasarkan data sekunder dari KLH (2006), maka kondisi timbunan sampah untuk kategori kota-kota metropolitan di Indonesia sangat fluktuatif dengan kecenderungan meningkat di beberapa kota. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pertambahan penduduknya dan tingkat keberhasilan pengelolaan sampah pada kota bersangkutan. Pada Tabel 3.13 dapat dilihat bagaimana kondisi timbunan sampah yang ada di beberapa kota metropolitan di Indonesia.

Meskipun jumlah timbunan sampah di beberapa kota metropolitan di Indonesia masih relatif besar, namun jika diperhatikan ternyata terjadi

B

BIISSPPUUTTaahhuunn22000088 IIIIII

P

Puussddaattaa––DDeeppaarrtteemmeennPPUU 3355

penurunan jumlah timbunan sampah dari tahun 2005 ke 2006. Jumlah timbunan sampah tertinggi terjadi di Surabaya, mencapai lebih dari 6.000 m3/ hari.

Berdasarkan data penilaian Adipura tahun 2006, rata-rata nilai komponen lokasi TPA di Indonesia relatif masih rendah. Nilai kondisi TPA berdasar penilaian Adipura tahun 2006 disajikan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Rata-rata Kondisi TPA Seluruh Indonesia Akhir Tahun 2006 54,5 51,12 44,5 41,86 41,48 40,66 41,05 40,27 40,61 0 10 20

Dokumen terkait