• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat interaksi antara komponen penyusunnya yaitu komponen biologis (vegetasi), komponen fisik (tanah), komponen klimatologis (hujan) dan manusia (pengelola). Komponen-komponen tersebut saling terkait (intercorrelation),

saling tergantung (interdependent), terdapat aliran bahan dan energi (flow of material and energy) dan membentuk suatu sistem ekologis (system).

Terjadinya gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen ekosistem tersebut menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem. Dari keempat komponen tersebut, komponen vegetasi (penutup lahan) merupakan faktor yang paling sensitif terhadap perubahan dan memiliki dampak yang lebih besar dan luas kepada komponen ekosistem lainnya (Purwanto dan Ruitjer, 2004 dalam

menyebabkan degradasi kualitas jasa lingkungan di daerah hilir berupa peningkatan laju erosi dan sedimentasi, fluktuasi debit air yang semakin besar, dan kualitas air yang semakin menurun.

Gambar 2. Identifikasi aktor – aktor ekonomi.

Hasil kajian FAO/UNDP (1990) memperkirakan bahwa 8 dari 15 satuan wilayah sungai (SWS) yang ada di Jawa dan Madura telah mencapai kondisi kritis dalam penyediaan air baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius di musim kemarau. Faktor penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan DAS terutama di daerah hulu berupa perubahan tataguna lahan terutama hutan dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut meningkatkan erosi, sedimentasi, pencemaran kimiawi air sungai atau waduk dan menyebabkan pendangkalan waduk dan korosivitas pada turbin dan sangat merugikan PLTA (PJT–II, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan DAS wilayah

HULU HILIR 1 HILIR 2

Wil. Hulu

Up-stream

Produsen-1

Supplier-1

WTP-1/WTA-1

PJT - II

Wil. Hilir-1

In-stream

Demander-1

Konsumen-1

Supplier-2

WTP-2/WTA-2

R – Cost 1

PLTA & PDAM

Wil. Hilir-2

Down-stream

Konsumen-2

End-user

WTA-3/WTP-3

R – Cost 2

hulu sangat penting dan strategis bagi pembangkit listrik tenaga hidro seperti PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, disamping juga manfaat yang sangat besar bagi irigasi pertanian, perikanan dan penyedia air bersih untuk minum bagi kebutuhan rumahtangga seperti perusahaan air minum (PAM).

Sanim (2003) menyatakan bahwa 52% air tanah digunakan sebagai bahan air baku PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan air baku. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984 dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam daripada pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan air baku PAM. Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air tercemar.

Terjadinya pencemaran air sungai telah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh PAM dalam mengelola air baku. Keadaan tersebut diperparah oleh krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, sehingga berdampak keberadaan perusahaan daerah air minum (PDAM). Sebanyak 87 dari 303 PDAM di Indonesia berada dalam keadaan kritis (Anonim, 1999 dalam

Bunasor, 2003). Beberapa PDAM termasuk PDAM Bekasi Jawa Barat terancam disita Bank Dunia karena dililit utang Rp. 56,971 milyar. Hingga tahun 2003, hutang 87 PDAM yang kondisinya parah telah mencapai Rp. 4,1 trilyun terhadap lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB dan JBIC. Pada kondisi tersebut, semakin memudahkan perusahaan asing dalam mewujudkan rencananya untuk menguasai jaringan distribusi air di Indonesia (Sanim, 2003). Dengan demikian perbaikan lingkungan daerah hulu DAS Citarum sangat berdampak positif terhadap PDAM DKI Jakarta khususnya.

Permasalahan lingkungan hidup timbul disebabkan adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas sumberdaya alam dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia. Semakin besar jumlah dan eksploitasi sumberdaya alam itu, dampaknya terhadap degradasi kualitas lingkungan juga cenderung meningkat menurut dimensi ruang (lokal, regional dan global) dan waktu (jangka panjang) terhadap lingkungan (Tietenberg, 1992). Kasus di daerah aliran sungai merupakan bukti nyata, aktivitas di hulu seperti penebangan pohon secara liar (illegal logging), pertanian non-konservasi, kegiatan rumahtangga, menimbulkan dampak negatif di daerah hilir seperti penurunan kualitas air, erosi dan sedimentasi (Landell-Mills dan Porras, 2002).

Untuk menyeimbangkan antara hulu dan hilir, maka aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus mendapatkan perhatian yang sejajar. Kegiatan produksi dan ekonomi di hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di daerah hilir. Kerusakan lingkungan di daerah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan seperti keadaan semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan

kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan (Pearce et. al, 1994). Pengalaman negara-negara Philippina (Francisca, 2003;

Jensen, 2003; Rosales, 2003; Salas, 2004), Vietnam (Bui et. al, 2004), dan Sri Lanka (Kallesoe, 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di daerah hulu DAS sangat menguntungkan pengguna air di daerah hilir.

Masalah utama yang dihadapi dalam melakukan valuasi jasa lingkungan adalah keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan DAS tidak mempunyai nilai pasar (non-marketted) langsung atau belum dapat dinyatakan secara jelas seberapa besar nilai ekonomi yang dikandungnya (tidak memiliki nilai moneter langsung). Di dalam ekonomi, hal ini dikenal dengan eksternalitas, karena keuntungan atau

manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar.

Aplikasi ekonomi lingkungan ke dalam pengambilan kebijakan perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan seperti sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, valuasi keuntungan dan biaya serta faktor diskonto (discounting factor). Dampak lingkungan dari pengelolaan DAS mempunyai kompleksitas yang tinggi terutama dalam mengintegrasikan dan mengkuantifikasi nilai ekonomi dampak pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) dan kesulitan dalam menilai keterkaitan atau hubungan antara hulu dan hilir DAS. Pemilihan metode atau teknik valuasi ekonomi jasa lingkungan DAS terutama off-site stream impact sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan pengelolaan ekosistem DAS.

Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama bertanggung jawab dalam penjagaan kawasan lindung (guardianship) dan pengelolaan sumberdaya alam (stewardship) melalui mekanisme pembayaran (transfer payment) dari pengguna air di wilayah hilir (PLTA dan PDAM) kepada penyedia jasa lingkungan (environmental services) sebagai biaya pengganti (replacement cost) merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan lingkungan DAS, terutama di daerah hulu.

Dari uraian terdahulu, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Perubahan tataguna lahan terutama hutan telah menyebabkan kerusakan

ekosistem DAS Citarum terutama wilayah hulu, sehingga menurunkan kualitas jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti pengaturan tata air (debit dan fluktuasi), kualitas air (kimia, fisika dan biologi) dan erosi serta sedimentasi.

2. Degradasi jasa lingkungan yang dihasilkan DAS tersebut selain merugikan penyedia di wilayah hulu (on-site), juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pengguna (PLTA dan PDAM) di wilayah hilir (off-site) sebagai akibat adanya tambahan biaya (marginal cost) dan kehilangan potensi untuk berproduksi maksimal secara konstan pemeliharaan waduk dan turbin

(PLTA), pengerukan sedimen (PLTA dan PDAM), pemakaian bahan kimia (PDAM), pemeliharaan mesin produksi dan pipa distribusi (PDAM). Kehilangan produksi untuk berproduksi maksimal secara konstan antara lain disebabkan debit air rendah (musim kemarau), debit air besar (musim hujan) tidak termanfaatkan maksimal, turbin dan mesin pabrik tidak dapat dioperasikan maksimal.

3. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh DAS dilakukan valuasi ekonomi. Mengingat jasa lingkungan merupakan public goods, penilaian dilakukan secara tidak langsung (indirect valuation) yaitu dengan menghitung nilai ekonomi total dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap pengguna air (PLTA dan PDAM) dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti (replacement cost method).