• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyalahgunaan Narkotika ditinjau dari Tujuan Pemidanaan

BAB III Relevansi Sanksi Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan

B. Pidana Mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyalahgunaan Narkotika ditinjau dari Tujuan Pemidanaan

Rasionalisasi pidana mati di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sendiri adalah ditujukan untuk menimbulkan efek jera. Sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum Undang-Undang Narkotika itu sendiri.

“Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati.”

Di dalam penjelasan di atas dapat kita cermati adanya terminologi menimbulkan efek jera di dalam Undang-Undang Narkotika. Definisi jera sendiri

jika ditinjau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “takut untuk melakukan lagi”. Artinya jika dihubungkan dengan penjelasan tujuan penjatuhan

pidana mati di sini adalah untuk memberikan rasa takut kepada pelaku untuk melakukan lagi/mengulangi tindak pidana yang telah dilakukannya.

Efek jera yang dimaksud di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini terasa sangat rancu apabila dikaitkan dengan pidana mati yang terdapat di dalam penjelasan itu sendiri. Seseorang yang dipidana mati tidak mungkin merasakan efek jera yang dimaksudkan di atas karena orang tersebut sudah mati (Penulis berkeyakinan, bahwa seharusnya pidana mati di dalam penjelasan tersebut tidaklah disejajarkan dengan pidana lainnya, sehingga menimbulkan suatu sifat yang khusus bagi pidana mati tersebut). Pemberian efek jera tersebut tentunya ditujukan kepada masyarakat yang berpotensi untuk melakukan tindak pidana penyalah gunaan narkotika.

Pemberian rasa takut untuk mengulangi kesalahan yang sama ini berkaitan erat dengan teori relative (Deterrence). Teori relative memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. prevensi umum ini menurut Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma, dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana

pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku84.

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:85

6. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 7. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),

dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

8. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;

84

Mahmud Mulyadi, “Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan

Hukum Pidana Indonesia” Medan: Repository USU, 2006. Hal. 6.

85

9. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

10.Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

Di sini timbul pertanyaan, apakah efek jera yang terdapat di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ditujukan kepada pelaku ataukah kepada masyarakat. Secara rasional, efek jera dari hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini tentulah bukan ditujukan kepada pelaku itu sendiri, namun kepada masyarakat, hal ini dikarenakan pelaku yang dijatuhi hukuman mati tentu saja tidak mungkin lagi untuk memperbaiki dirinya karena terpidana tersebut telah mati.

Apakah penjatuhan pidana mati ini otomatis menimbulkan efek jera. Vonis mati terhadap para pelaku tindak pidana narkotika nyatanya tidak lantas membuat orang meninggalkan tindak pidana itu. Daftar orang yang tertangkap kasus narkoba terus bertambah, yang teranyar adalah penangkapan Kapolsek Cisarua, Bogor86.

Salah seorang yang menganggap hukuman mati tidak otomatis menimbulkan efek jera adalah Jeffrey A. Fagan. Professor of Law and Public Health dari Columbia Law School itu berpendapat bahwa tidak ada bukti ilmiah

86“Efek Jera Hukuman Mati Diperdebatkan” diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16638/efek-jera-hukuman-mati-diperdebatkan pada tanggal 25/3/2014 (15:53)

yang menyatakan hukuman mati menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika.

Pendapat tersebut dia sampaikan saat tampil sebagai ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, di Mahkamah Konstitusi, Rabu (02/5) kemarin. Wakil Direktur Center for Crime, Community and Law itu menambahkan, hukuman mati bukan hanya tidak dapat membuat efek jera, sebaliknya justru dapat meningkatkan penghukuman yang keliru terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Seseorang yang telah dieksekusi mati tidak dapat melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan, walaupun putusan tersebut terdapat kesalahan. Menurut penelitian, hal tersebut sering terjadi87.

Hubungan Pidana mati sendiri dengan tujuan pemidanaan akan diuraikan dengan bertitik tolak pada kedua tujuan pemidanaan yang mana definisinya telah diuraikan pada BAB III huruf A skripsi ini. Tujuan pemidanaan ini erat kaitannya dengan teori dasar-dasar pembenaran pemidanaan atau teori-teori pemidanaan yaitu teori absolut dan teori relatif.

1. Teori Absolut (Tujuan Pembalasan)

Ada budi ada balas, ungkapan ini telah ada sejak adanya manusia di bumi. Tiap manusia memiliki perasaan membalas atau kecendrungan untuk membalas. Sejalan dengan manusia sebagai makhluk sosial, sehingga pidana (pidana mati) pada awalnya bertujuan pembalasan. Jika perbuatannya menyebabkan matinya

87

seseorang maka pidana yang akan dijatuhkan itu dengan sendirinya berupa pidana mati, sejalan dengan ungkapan yang sudah lama kita kenal yaitu mata ganti mata, gigi ganti gigi, siapa membunuh harus dibunuh. Jadi pidana mati hanya dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan. Pidana ini merupakan akibat mutlak dari suatu tindak pidana yang dilakukan88.

Seorang sarjana bernama Kant berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan harus dipidana. Pidana diibaratkan perintah yang tidak bersyarat dari akal yang praktis. Dengan demikian maka tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis. Hanya keadilan, dan bukan tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana. Dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang hendak dicapai melalui pembalasan itu. Ukurannya hanya pembalasan. Bagi pembunuh maka pidana mati adalah satu-satunya pembalasan yang adil. Bahkan demikian ekstrimnya penderitaan Kant itu sehingga ucapan beliau dapat diterjemahkan sebagai berikut: andai kata besok hari kiamat, penjahat yang terakhir harus tetap dipidana mati hari ini89.

Sudah terang pada jaman dahulu pidana mati untuk kejahatan pembunuhan dan lain-lain kejahatan yang sama beratnya dimana-mana berdasar atas pembalasan terhadap perbuatan yang sangat kejam. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan pidana mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman pidana mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan mereka dijatuhi pidana mati. Pada zaman dahulu pidana

88

Robin Reagan Sihombing, Op.Cit. Hal. 74

89

mati dilakukan di laksanakan di muka umum90, contohnya pada jaman revolusi Perancis pada penghabisan abad 18, dimana beberapa orang dalam suatu lapangan di muka umum mengalami pidana mati dengan dipergunakannya guillotine.

Pada perkembangan selanjutnya karena perkembangan ilmu psikologi dan kriminologi, sejalan dengan perkembangan aliran klasik menjadi neo-klasik (teori pemidanaan) lama kelamaan pidana yang ditetapkan harus sesuai dengan kepribadian si pelanggar. Prinsip lama bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, tidak dapat diterima lagi. Justru karena dua individu yang mempunyai kepribadian yang berbeda, maka dengan sendirinya ditetapkan pidana yang sesuai dengan kepribadian individu dan timbullah pembalasan dari kesalahan. Dengan kata lain, pertama kali dikenal adalah hanya pembalasan untuk suatu kejahatan yang merupakan tuntutan keadilan (aliran klasik) kemudian berkembang menjadi pembalasan karena kesalahan untuk suatu kejahatan (aliran neo-klasik) tetapi tujuan dari pembalasan ini (aliran klasik dan neo-klasik) tidak mempunyai tujuan-tujuan yang bermanfaat (teori relatif dengan aliran modernnya)91

Apabila seseorang dipidana mati semata-mata karena pertimbangan pembalasan, Kant mengatakan tuntutan kesusilaan, adalah hal yang sia-sia tanpa maksud dan tujuan tertentu ke depan yang lebih luas dan lebih baik bagi si pelanggar maupun masyarakat. Pidana mati untuk membalaskan suatu kejahatan tidak mendukung tujuan politik kriminal secara keseluruhan yaitu perlindungan

90

Wiryono Prodjodikoro., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Erosco, 1986. Hal. 163

91

Aliran Dalam Hukum Pidana (1) Aliran Klasik diakses dari:

http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/aliran-dalam-hukum-pidana-1-aliran.html pada tanggal 31/3/2014 (15.45)

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, pemidanaan (pidana mati) untuk membalaskan hanya pekerjaan yang sia-sia karena tidak menguntungkan bagi siapapun baik terpidana, masyarakat, maupun negara.

KUHP dan rancangan KUHP (baru), mencantumkan pidana mati di Indonesia juga telah meninggalkan teori absolute atau tujuan pembalasan ini. Dalam pasal 51 ayat (2) Naskah Rancangan KUHP (baru) menyebutkan bahwa tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia (unsur pembalasan).

2. Teori Relatif (Tujuan Prevensi)

Menurut tujuan ini bahwa pemidanaan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat yang dikenal dengan prevensi umum dan prevensi khusus dan pembalasan tidak mempunyai nilai. Tujuan ini dikembangkan oleh teori relatif yang sejalan dengan aliran modern yang memandang manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak tapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungan, pandangan determinisme. Sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam KUHP maupun Naskah Rancangan KUHP (Baru) yaitu perlindungan masyarakat yang merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional dan tujuan negara Republik Indonesia, walaupun dalam KUHP tidak dinyatakan secara eksplisit. Dalam Pasal 84 Naskah Rancangan KUHP (Baru) yang menyatakan bahwa pidana mati diancamkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan

bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan

nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan)92 .

Dengan adanya fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-krminologis, Ancaman pidana mati yang diharapkan menjadi senjata ampuh untuk mengayomi masyarakat seperti yang disebutkan di atas tampaknya tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan karena bukan semakin sedikit orang yang melakukan tindak kejahatan, melainkan semakin banyak khususnya tentang peredaran narkoba93.

J.E. Sahetapy mengatakan sebagai berikut: Dahulu belum disadari bahwa kejahatan akan selalu ada bagaikan matahari terbit pada pagi hari. Dengan berpegangan pada pendirian Durkheim dapat diungkapkan bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal dalam segala bentuk masyarakat. Dalam pengertian yang sama dapat pula dituturkan dengan kata-kata Frank Tannonbaum: (crime is eternal as eternal as society)94

Pidana mati seringkali dianggap sebagai suatu obat yang mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat maupun kejahatan lainnya, namun ternyata pandangan tersebut merupakan kekeliruan. Orang-orang berpikir bahwa dengan ancaman pidana mati dalam undang-undang dan dilaksanakannya pidana tersebut, maka calon-calon pelaku kejahatan akan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan. Pandangan demikian sangat keliru karena terlalu menyederhanakan permasalahan kejahatan.

92

Muladi dan Arief, Op.Cit., hal.16.

93

Robin Reagan Sihombing, Op.Cit. Hal. 78

94Djoko Prakoso dan Nurwachid “Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai

Tujuan prevensi jelas menolak pidana mati, karena95:

1. Kalau orang sudah dipidana mati, maka ia tidak dapat kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat. Dia tidak dapat memperbaiki kelakuannya lagi, semata-mata karena ia sudah mati. Dengan demikian tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri penjahat (prevensi khusus) tidak tercapai.

2. Pidana mati belum menjamin dapat mencegah timbulnya kejahatan. Tujuan prevensi umum tidak tercapai.

Timbul pertanyaan, apakah pidana mati ini perlu dihapuskan sehubungan dengan tujuan prevensi ini. Ternyata panitia penyusun Naskah Rancangan KUHP (Baru) menganggap belum perlu dihapus (masih bermanfaat), apabila tidak mungkin lagi terwujud tujuan prevensi atau tujuan pemidanaan sebagaimana tercantum dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (Baru). Dengan kata lain terpidana tidak menunjukan rasa menyesal dan tidak ada harapan untuk diperbaiki (Pasal 86 ayat (2) Naskah Rancangan KUHP (Baru)) dan terpidana kemungkinan akan melakukan lagi tindak pidana tertentu (Pasal 213, 225 (2), 234 (3), 238) atau kejahatan lain maka demi perlindungan masyarakat sudah selayaknya terpidana tersebut dipidana mati, contohnya pada kasus Giam Hartoni Jaya Buana Bin Robert Hermanus (alm) yang mana awalnya dijatuhi pidana penjara 8 tahun di rumah tahanan Nusa Kambangan oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin, Kalimantan Selatan karena kedapatan memiliki Psikotropika Golongan I. Giam Hartoni Jaya Buana tidak menunjukan adanya penyesalan terhadap perbuatannya, hal ini terbukti dari perbuatannya yang menjalankan bisnis pengedaran narkotika

95

jenis Methamphetamine bahkan di dalam lingkungan rumah tahanan itu sendiri, yang bahkan melibatkan kepala rumah tahanan dalam bisnis haram tersebut. Atas perbuatannya tersebut, pengadilan memberatkan hukuman kepada Giam Hartoni Jaya Buana menjadi pidana mati.

Apakah tidak berarti dalam Naskah Rancangan KUHP (Baru) terjadi pertentangan, di satu pihak (Pasal 51 ayat (2) tidak mengenal pembalasan dan di lain pihak masih mengenal pidana mati (Pasal 63). Panitia penyusun Naskah Rancangan KUHP (Baru) ini pasti sudah melihat pertentangan ini sehingga pidana mati pun hanya bersifat khusus dan istimewa96. Dalam penjelasan Pasal 59 Ayat (1) Naskah Rancangan KUHP (Baru) tersebut mencantumkan pidana mati dalam pasal tersendiri yang menunjukan bahwa jenis pidana ini benar-benar istimewa dibandingkan dengan jenis-jenis pidana lain. Pidana mati harus selalu diancam secara alternatif dan dalam penjelasan Pasal 51 ayat (2) bahwa meskipun pidana ini pada hakekatnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak bertujuan untuk pembalasan dengan menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Ketentuan ini berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara nyata akan dikenakan kepada terpidana. Jadi pidana mati dalam Naskah Rancangan KUHP (Baru) merupakan jalan terakhir dan apabila hakim menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa, maka pelaksanaannya tidak boleh mengandung unsur pembalasan, menderitakan, atau merendahkan martabat manusia (sesuai dengan tujuan pemidanaan Pasal 51) melainkan semata-mata demi perlindungan terhadap masyarakat. Tidak menderitakan maksudnya adalah diusahakan pidana mati

96“Jurnal Parlemen” diakses dari http://www.jurnalparlemen.com/view/2041/mengenal-jenis-pidana-dalam-kuhp-baru.html pada tanggal 4/4/2014 (15.30)

tersebut tidak menyiksa badan maupun bathin si terpidana dan tidak merendahkan martabat manusia misalnya tidak dilaksanakan di depan umum ataupun ditayangkan di media massa.

Penulis berkeyakinan bahwa sebenarnya penerapan pidana mati di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini masih relevan dan masih memberikan kemanfaatan sebagai alternatif pidana dalam memberantas tindak pidana Narkotika, akan tetapi tidaklah tepat pidana mati disetarakan dengan jenis pidana lainnya. Sependapat dengan Naskah Rancangan KUHP (Baru), Pidana Mati kiranya lebih tepat apabila didudukan pada pasal tersendiri. Sifat pidana mati di sini menjadi istimewa. Ada syarat atau kondisi tertentu yang harus terpenuhi agar dapat si pelaku dijatuhi sanksi pidana mati.

BAB IV

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1. Pengaturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam BAB XV Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 111 sampai dengan pasal 148. Adapun Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana Narkotika adalah pidana mati, penjara, denda, dan pencabutan izin usaha /dan atau pencabutan status badan hukum bagi korporasi. Sejumlah perbuatan tertentu yang tercakup sebagai perbuatan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, mengadakan, dan mengedarkan Narkotika dengan tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati terletak pada pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121, 133.

2. Pidana mati atas tindak pidana narkotika lebih terkait kepada tujuan pemidanaan preventif, hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Bahwa pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sebagaimana juga didukung

oleh rancangan KUHP (Baru) yang mana mengkhususkan penerapan Hukuman Mati sebagai alternatif terakhir.

B. Saran

1. Perlu mendudukan pidana mati di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika ini di dalam suatu pasal khusus yang menjadikan sifatnya menjadi istimewa di mana ada syarat dan kondisi tertentu yang harus terpenuhi agar dapat si pelaku dijatuhi sanksi pidana mati sependapat dengan Naskah Rancangan KUHP (Baru).

2. Perlu meningkatkan usaha-usaha politik kriminal dalam arti luas baik melalui pemidanaan maupun non pemidanaan dalam rangka mengurangi tidak pidana atau dipidana matinya si pelaku kejahatan dan hakim dalam menggunakan lembaga pidana mati ini sebaiknya sebagai rem darurat

dengan mempertimbangkan faktor kejiwaan maupun factor ekstern si pelaku tindak pidana.