• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ü¿´¿³ л²¹¸¿°«-¿² Þ¿®¿²¹ Ó·´·µ Ò»¹¿®¿ñÜ¿»®¿¸

Í»´¿·² Ì¿²¿¸ ¼¿²ñ¿¬¿« Þ¿²¹«²¿²

ÑÔÛØ æ ßÎÊßÒ ÝßÎÔÑ ÜÖÑØßÒÍÖßØô ÍòÛòôÓòÍ×ò

PASAL 1 ANGKA 14 Peraturan Pemerin-tah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) mendefinisikan penghapusan sebagai tindakan menghapus BMN/D dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/ atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang be-rada dalam penguasaannya. Lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2006 mengatur bahwa penghapusan dilakukan dalam hal BMN/D sudah beralih

kepemi-л²¹¸¿°«-¿² Þ¿®¿²¹ Ó·´·µ Ò»¹¿®¿ñÜ¿»®¿¸ ³»®«°¿µ¿² ¾¿¹·¿²

·²¬»¹®¿´ ¼¿®· µ»¹·¿¬¿² °»²¹»´±´¿¿² Õ»µ¿§¿¿² Ò»¹¿®¿ò

likannya, terjadi pemusnahan atau kar-ena sebab-sebab lain. Pasal 7 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Tim Penertiban BMN menegaskan bahwa barang bergerak milik negara da-pat dimusnahkan/dipindahtangankan set-elah dinyatakan dihapuskan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga Non Departemen yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk pe-mindahtanganan sebagai tindak lanjut penghapusan BMN/D meliputi a. Penjualan b. Tukar-Menukar c. Hibah dan d. Peny-ertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah (Pasal 45 PP Nomor 6 Tahun 2006). Pe-mindahtanganan BMN selain tanah dan/

atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Sedangkan untuk pe-mindahtanganan BMD selain tanah/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota (Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 PP Nomor 6 Tahun 2006).

Tulisan ini akan khusus mengulas masalah penghapusan BMN/D selain ta-nah dan/atau bangunan melalui mekan-isme penjualan, masalah penilaian terhadap BMN/D akan dikaji menurut peraturan pe-rundangan yang berlaku, kendala-kendala dalam praktek penjualan Barang Milik Neg-ara/Daerah dan pembahasan akan ditutup dengan pengkajian beberapa alternatif pe-mecahan permasalahan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya salah satu bentuk dari pemindahtanganan adalah penjualan. Adapun pengertian pen-jualan menurut PP Nomor 6 tahun 2006 adalah pengalihan kepemilikan BMN/D ke-pada pihak lain dengan menerima peng-gantian dalam bentuk uang. Penjualan BMN/D selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh : a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk BMN; b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan guber-nur/bupati/walikota untuk BMD. Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan Pengelola Barang dan Pengguna Barang dapat dilihat dari pengaturan pada pasal 1 PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagai berikut : angka 3 Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

*) Penulis adalah: Widyaiswara Muda - BDK Makassar

ìì ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç

menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN/D. angka 4 Pengguna Barang adalah pejabat peme-gang kewenangan penggunaan BMN/D. angka 5 Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja (satker) atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

Penjualan BMN/D dalam rangka peng-hapusan wajib dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu (Pasal 51 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006). Lelang adalah penjualan barang yang terbuka un-tuk umum dengan penawaran harga se-cara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk menca-pai harga tertinggi yang didahului den-gan pengumuman lelang (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No-mor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang). Lelang secara garis besar terbagi menjadi dua Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi. Selanjutnya Le-lang Non Eksekusi juga terbagi dua yakni Lelang Non Eksekusi Wajib dan Lelang Non Eksekusi Sukarela. Lelang penghapu-san BMN/D termasuk dalam Lelang Non Eksekusi Wajib (Pasal 1 angka 5 PMK 40/ PMK.07/2006). Selanjutnya pada Pasal 29 ayat (1) PMK tersebut, dinyatakan bahwa pada setiap pelaksanaan lelang, Penjual wajib menetapkan Harga Limit berdasarkan pendekatan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali pada pelaksanaan Lelang Non Eksekusi Sukarela barang bergerak, Penjual/Pemilik Barang dapat tidak mensyaratkan adanya Harga Limit. Pasal 30 PMK ini menyatakan, Penetapan Harga Limit menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang. Sedangkan harga limit (Reservation Price) adalah har-ga minimal barang lelang yang ditetapkan oleh Penjual/Pe mi lik Barang untuk dijual dalam suatu pe lelangan (Pasal 1 angka 20 PMK Nomor 40/PMK.07/2006).

Kewenangan penilaian objek lelang untuk penetapan Harga Limit secara te-gas diatur pada pasal 29 ayat (4) PMK No mor 40/PMK.07/2006, dimana pene-ta pan Harga Limit harus didasarkan pada pe nilaian oleh Penilai Independen yang te lah mempunyai Surat Izin Usaha Peru-sa haan JaPeru-sa Penilai (SIUPP) dan telah ter-daftar pada Departemen Keuangan se suai peraturan perundang-undangan Un tuk

objek lelang yang nilainya dibawah Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan bukan termasuk ke dalam kata gori obyek khusus penetapan harga di tetapkan oleh penilai internal, sesuai pe raturan perun-dang-undangan dengan mem perhatikan antara lain Nilai Pasar, Ni lai/Harga yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang, Risiko Penjualan melalui le lang seperti: Bea Lelang, penyusutan, pe nguasaan, dan cara pembayaran. Kare na pengaturan pen-etapan nilai/harga ha rus memperhatikan nilai/harga yang di tetapkan oleh instansi yang berwenang, ma ka untuk BMN/D

se-lain tanah dan/atau bang unan dalam hal ini ken da raan operasio nal maka Direktorat Jen deral Kekayaan Negara (DJKN) c.q Kan tor Pelayanan Kekayaan Negara dan Le lang (KPKNL) harus memperhatikan dan mempertimbangkan penilaian atas kon disi kendaraan operasional dari instan-si yang berwenang yaitu Dinas Lalu Lintas Angkutan dan Jalan Raya (DLLAJR). Pada prakteknya DLLAJR hanya menetapkan besaran penyusutan dan ni lai sisa dari ken-daraan operasional yang akan dihapuskan setelah terlebih dahulu me lakukan survei.

Masalah penilaian sebagai bagian dari pengelolaan kekayaan negara juga dia-tur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Pasal 37 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa Penilaian BMN/D dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan BMN/D dan pemindahtanganan BMN/D. Sedangkan berdasarkan Pasal 38 PP Nomor 6 Tahun 2006, Penilaian dalam rangka penyusu-nan neraca pemerintah pusat/daerah (LKPP=Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Selanjutnya

menurut Keppres Nomor 17 Tahun 2007, untuk mempercepat tersusunnya LKPP dilakukan penertiban BMN yang salah satu bidang tugasnya adalah melakukan pe-nilaian. Tugas ini merupakan wewenang dari Tim Inventarisasi dan Penilaian yang merupakan domain dari DJKN c.q KPKNL. Sedangkan untuk Penilaian BMN/D selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan, menurut ketentuan dalam pasal 40 PP No-mor 6 tahun 2006, dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang (untuk BMN), atau oleh pengelola barang (untuk BMD).

Permasalahannya seringkali terjadi perbedaan persepsi mengenai penetapan Harga Limit. Satker menetapkan Harga Limit berdasarkan rekomendasi dari DLLA-JR yang kemudian dikalikan dengan Nilai/ Harga Perolehan, sementara Tim Penilai DJKN c.q. KPKNL menetapkan berdasar-kan Nilai Wajar sebagaimana peruntuberdasar-kan dalam rangka penyusunan LKPP. Sebagai contoh penghapusan BMN/D berbentuk kendaraan dinas dan operasional milik satker yang merupakan kuasa pengguna barang. Sebagai contoh sebuah mobil ki-jang kapsul Tahun 2000 yang dinilai den-gan Nilai Wajar untuk kepentinden-gan peny-usunan LKPP Tahun 2008 diperoleh nilai sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) akan tetapi begitu dihapus-kan sebagai BMN/D maka Harga Limit yang ditetapkan oleh satker sebagai kuasa pengguna barang berkisar pada angka Rp. 8.000.000,00 hingga Rp. 10.000.000,00.

Kondisi tersebut di atas terjadi karena perbedaan kepentingan dalam penilaian, dan penilai internal dari pengguna/pen-gelola barang belum memiliki kesamaan persepsi tentang standar nilai yang dipakai karena belum diatur secara tegas. Kondisi ini diperparah oleh suatu keadaan dimana peran dari DLLAJR hanya memberikan rekomendasi atas kondisi kendaraan op-erasional yang akan dihapuskan, semen-tara standar nilai yang akan dipakai tidak ditentukan. Sebagian besar satker meng-gunakan hasil rekomendasi dari DLLAJR berupa nilai penyusutan dengan memper-lakukan Nilai Perolehan sebagai standar nilai sehingga seringkali diperoleh Harga Limit yang jauh dibawah Nilai Wajar yang diperoleh oleh Tim Penilai DJKN c.q KPKNL berdasarkan hasil survei langsung

dipasa-л®³¿-¿´¿¸¿²²§¿

-»®·²¹µ¿´· ¬»®¶¿¼·

°»®¾»¼¿¿²

°»®-»°-· ³»²¹»²¿·

°»²»¬¿°¿² Ø¿®¹¿

Ô·³·¬ò

ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç ìë ran sebagai standar nilai sehingga

diper-oleh hasil penilaian yang mendekati harga pasar. Dalam hal ini Nilai wajar memperhi-tungkan banyak faktor pembentuk harga/ nilai seperti inflasi, daya beli, permintaan dan penawaran dan lain sebagainya seh-ingga diperoleh nilai yang jauh lebih tinggi dari Nilai Perolehan.

Adapun argumen yang kerap dilontar-kan untuk mendukung pendapat bahwa Harga Limit yang rendah tersebut dapat dimaklumi keberadaannya karena pada prakteknya banyak sekali kendaraan op-erasional yang penyediaan biaya perawa-tannya sangat minimal sehingga harus di biayai sendiri oleh pejabat yang memakai kendaraan operasional tersebut. Hal ini berdampak pada saat akan dihapus maka pejabat yang memakai kendaraan opera-sional tersebut akan “memaksa” agar yang bersangkutan yang membeli melalui lelang dan tentunya dengan harga yang rendah karena akan dikompensasikan dengan pengeluaran untuk perawatan kendaraan operasional tersebut selama diperguna-kan. Keadaan bertambah buruk, dengan kewajiban untuk melakukan pengumuman di surat kabar harian (Pasal 19 PMK Nomor 40/PMK.07/2006), sementara anggaran untuk pengumuman tidak tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pemohon lelang. Akibatnya seringkali biaya pengumuman ini di tanggung oleh “calon pembeli” lelang, dengan harapan bahwa barang yang dihapuskan akan dapat dibeli oleh “calon pembeli” tersebut.

Kondisi seperti tersebut di atas tidak ideal dalam menciptakan tatanan pengelo-laan BMN/D yang transparan dan akunta-bel dan akan memicu pembangkangan massal secara nasional dari ribuan satker yang akan melakukan penghapusan. Kare-na pelaksaKare-naan lelang dengan pembatasan jumlah peserta lelang tidak dibenarkan, dan KPKNL selaku pemegang otoritas lelang tidak memiliki kewenangan untuk melarang peminat lelang untuk mengikuti lelang, terlebih lelang telah diumumkan secara terlebih dahulu. Akibatnya, persain-gan antara peminat/peserta diluar instansi “yang tidak memiliki ikatan dengan objek lelang” dengan peminat/peserta “dalam” yang merasa telah mengeluarkan biaya untuk terselenggaranya lelang, tidak dapat dihindari. Sehingga lelang berakhir dengan harga yang relatif tinggi, akibat lebih lanjut

adalah timbul kekecewaan dari instansi pemohon lelang karena harga terbentuk tidak sesuai dengan harapannya, atau bahkan “terpaksa” melepas objek kepada pihak ketiga karena “kalah” lelang. Keadaan ini diperburuk dengan adanya fenomena “mafia lelang” yang memanfaatkan kon-disi persaingan pada lelang untuk mencari keuntungan pribadi, yakni dengan cara mengadakan “kompromi” dengan seluruh peserta lelang untuk sepakat tidak menga-jukan penawaran pada saat lelang dengan meminta imbalan uang kepada “calon pe-menang lelang”. Ini terjadi karena melihat perbedaan Harga Limit yang cukup besar

dengan harga yang terbentuk.

Pada tataran implementasi banyak kendaraan operasional yang kemudian “di-kanibal” karena pejabat yang memakai se-lama ini pesimis bakal memenangkan lelang atas penghapusan kendaraan ope ra sional tersebut, sementara yang ber sangkutan berkepentingan untuk meng ambil kembali biaya yang selama ini pernah dikeluarkan. Proses “kanibalisasi” bisa berjalan dengan berbagai cara se hingga pada suatu saat yang tertinggal adalah seonggok besi tua yang nyaris ti dak bernilai lagi.

Di sisi lain terdapat pula satker-satker yang tidak berani melelang kendaraan operasional yang akan dihapuskan karena khawatir akan menimbulkan potensi di-periksa terkait selisih yang sangat material antara Harga Limit dan Nilai Wajar dan bila dipaksakan di lelang dengan Harga Limit yang rendah nantinya akan di tuntut kar-ena merugikan keuangan Negara. Semen-tara kalau di jual dengan Nilai Wajar, belum tentu ada peminatnya, sementara biaya pengumuman sudah harus dikeluarkan di depan. Kondisi ini selanjutnya akan beraki-bat pada tingginya biaya perawatan yang

akan ditanggung satker yang akan melaku-kan penghapusan karena polemik tersebut, sementara anggarannya tidak ada/sangat terbatas. Hal tersebut di atas merupakan “bom waktu” yang siap meledak kapan saja dan memiliki dampak yang merugi-kan baik dari segi pengamanan kekayaan Negara, optimalisasi pengelolaan kekayaan Negara maupun dari sisi hubungan antar kelembagaan.

Adapun solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan terse-but di atas adalah membuat aturan yang komprehensif, terukur dan jelas mengenai kewenangan masing-masing pihak dalam proses penghapusan BMN/D selain tanah dan/atau bangunan, standar harga yang dipergunakan dan besaran penyusutan yang dapat dibebankan. Selanjutnya un-tuk menghindari ekses berupa “pembe-naran” atas proses “kanibalisasi” akibat penyediaan biaya perawatan yang tidak memadai, perlu direkomendasikan untuk menyediakan biaya perawatan yang me-madai dari DIPA satker yang bersangkutan serta mempertimbangkan untuk melaku-kan outsourcing dalam proses penyediaan barang dan jasa sehingga beban biaya perawatan akan lebih terukur dan memini-malkan resiko dan dampak negatifnya da-lam melakukan penghapusan BMN/D se-lain tanah dan/atau bangunan berbentuk kendaraan operasional. Lebih jauh masalah penegakan hukum menjadi bagian integral dalam mencari solusi atas proses “kanibal-isasi”, karena BMN/D tidak dapat diubah secara paksa dengan alasan apapun. Lebih lanjut biaya pengumuman lelang juga perlu dipertimbangkan untuk dialokasikan DIPA pemohon lelang..

Kita semua berharap ke depan Neg-ara ini mampu menata sistem pengelo-laan BMN/D termasuk kebijakan penilaian dan penghapusan BMN/D sehingga akan memberi kontribusi positif terhadap per-ekonomian secara nasional serta meredam secara efektif kemungkinan “meledaknya bom waktu” berupa pembangkangan massal yang dilakukan satker terhadap kebijakan penilaian dan penghapusan BMN/D dengan segala dampak ikutannya. Semoga……

*) Penulis adalah Widyaiswara Muda Pusdiklat Kekayaan Negara dan Per-imbangan Keuangan

Õ±²¼·-· -»°»®¬·

¬»®-»¾«¬ ¼· ¿¬¿-

¬·¼¿µ ·¼»¿´ ¼¿´¿³

³»²½·°¬¿µ¿² ¬¿¬¿²¿²

°»²¹»´±´¿¿² ÞÓÒñÜ

§¿²¹ ¬®¿²-°¿®¿² ¼¿²

¿µ«²¬¿¾»´òòò

ìê ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç

DENGAN DEMIKIAN etika mengkaji apa saja yang dianggap benar, salah, baik, ja-hat dalam konteks hubungan antar ma-nusia dan lingkungannya. Di pihak lain kepemimpinan adalah suatu jenis khusus hubungan pemimpin dan pengikut, atasan dan bawahan dengan ciri-ciri yang menyertai seperti adanya kekuasaan, pen-garuh, kewajiban dan tanggung jawab. Dengan memahami etika, kita akan mem-peroleh pemahaman lebih baik mengenai kepemimpinan. Bagi pemimpin pemaha-man itu diharapkan mampu mendorong-nya untuk meningkatkan kualitas praktik kepemimpinannya.

Pentingnya etika dinyatakan oleh D. Kirkwood Hart, bahwa pemahaman etika harus mendahului praktik kepemimpinan, agar etika dapat melandasi perilaku-per-ilaku kepemimpinan . Bahkan pentingnya etika dipertegas oleh Joanne B. Ciulla den-gan mengungkapkan pertanyaan spek-takuler, yaitu bahwa isu-isu sentral dalam etika juga merupakan isu-isu sentral

da-lam kepemimpinan karena menyangkut kebenaran, otentisitas, keadilan, keingi-nan luhur dan disiplin . Tindakan-tindakan pemimpin berpengaruh baik kecil maupun besar kepada para pengikutnya. Dalam kehidupan organisasi, seorang pemimpin visioner mampu membuat perbedaan signifikan ketika ia sanggup memotivasi dan memberdayakan para bawahannya, menunjukkan arah perbaikan dan bahkan meningkatkan citra organisasi. Sebaliknya, seorang pemimpin medioker tidak sang-gup menghadirkan perubahan dan bah-kan kehadiran dan kiprahnya tidak dike-hendaki dan sangat disesalkan oleh para pengikutnya.

Debat dewasa ini mengenai

kepemimpinan sering menimbulkan

pertanyaan, ”Apa yang membentuk kepemimpinan yang baik?” Dalam hal ini para ahli dapat menunjuk faktor-faktor kepemimpinan, seperti sifat/karakteristik, perilaku, konteks situasional, hasil, etika dan sebagainya. Dari segi komposisi

efek-tivitas dan etika ada empat kemungkinan perilaku kepemimpinan, yaitu:

Tidak efektif dan tidak etis; Efektif tetapi tidak etis; Tidak efektif tetapi etis; Efektif dan etis.

Tipe pemimpin pertama adalah pemimpin seperti Hitler. Oleh sejarah Hitler dicatat sebagai pecundang sejati; pemimpin yang tidak efektif dan tidak etis. Ia tidak efektif karena di bawah kepemimpinannya Jerman terjerumus dalam Perang Dunia II, kalah dan porak-poranda. Demikian pula, tujuan-tujuan yang ia kampanyekan dan cara-cara untuk mencapainya tidak etis. Pemimpin seperti ini hampir tidak menghasilkan apa-apa, tidak mengarah pada kemajuan bersama, dan bahkan tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral karena lebih memperhatikan kepentingan pribadi. Oleh banyak orang, kehadiran dan ”kinerja” pemimpin ini san-gat disesali dan kepergiannya sansan-gat di-syukuri.

Tipe pemimpin yang kedua adalah pemimpin seperti Robin Hood. Ia mem-punyai tujuan mengentaskan kaum mis-kin, tetapi ia mencuri dan merampok dari kaum kaya. Meminjam istilah Robbins & Coulter, tipe semacam ini mereka sebut sebagai penganut Machiavelllianisme, yaitu pribadi yang pragmatis, namun tidak berperasaan halus dan menghalalkan se-gala cara untuk mencapai tujuan.

Tipe pemimpin ketiga adalah

pemimpin seperti Jimmy Carter. Integritas Jimmy Carter tentu tidak diragukan, tetapi ketika menjadi presiden ia tidak efektif dan

Dokumen terkait