• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polip Kolon

Dalam dokumen UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PEMANTAU (Halaman 37-46)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Polip Kolon

Polip kolon adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus. Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur mukosa yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut polip adenomatosa atau adenoma (Robbins, 2012). Polip hiperplastik merupakan polip kecil yang berdiameter 1-3mm dan berasal dari epitel mukosa yang hiperplastikdan metaplastik. Umumnya, polip ini tidak bergejala tetapi harus dibiopsi untuk menegakkan diagnosa histologik (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Polip juvenilis pada dasarnya adalah proliferasi hamartomatosa, terutama di lammina propia, yang membungkus kelenjar kistik yang terletak berjauhan. Polip ini paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Polip ini tidak memiliki potensi keganasan (Robbins, 2012). Polip adenomatosa adalah polip asli yang bertangkai dan jarang ditemukan pada usia dibawah 21 tahun. Insidensinya meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Letaknya 70% di sigmoid dan rektum. Polip ini bersifat pramaligna sehingga harus diangkat setelah ditemukan (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Polip adenomatosa dibagi menjadi tiga subtipe berdasarkan struktur epitelnya (Robbins, 2012):

1. Adenoma tubular : merupakan yang tersering

2. Adenoma vilosa : tonjolan-tonjolan seperti vilus (1% adenoma)

3. Adenoma tubulovilosa : campuran dari yang di atas (1-10% adenoma)

Karena polip adenomatosa dapat berkembang menjadi kelainan pramaligna dan kemudian menjadi karsinoma, maka setiap adenoma yang ditemukan harus dikeluarkan (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Timbulnya

karsinoma dari lesi adenomatosa disebut sebagai sekuensi/urutan adenoma- karsinoma.

Sindrom poliposis atau poliposis kolon atau poliposis familial merupakan penyakit herediter yang jarang ditemukan. Gejala pertamanya timbul pada usia 13-20 tahun. Frekuensinya sama pada pria dan wanita. Polip yang tersebar di seluruh kolon dan rektum ini umumnya tidak bergejala. Kadang timbul rasa mulas atau diare disertai perdarahan per ani. Biasanya sekum tidak terkena. Risiko keganasannya 60% dan sering multipel (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).

Tiga jenis Polip Kolon:

1. Adenomatosa

Sebagian besar polip termasuk dalam kategori ini. Meskipun hanya sebagian kecil polip yang berkembang menjadi kanker, namun hampir semua polip ganas yang berasal dari jenis adenomatosa.

2. Hiperplastik

Polip ini paling sering terjadi di kolon dan rektum. Biasanya memiliki ukuran <1/4 inci (5 mm), jenis polip ini sangat jarang berkembang menjadi kanker. 3. Inflamasi

Polip ini dapat menyertai serangan ulcerative colitis atau penyakit Crohn pada kolon. Meskipun polip sendiri tidak terlalu berbahaya, namun memiliki ulcerative colitis atau penyakit Crohn pada kolon meningkatkan risiko kanker kolon.

2.5.2. Faktor Resiko

Siapapun dapat mengalami polip pada kolon. Orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami polip kolon yaitu yang berusia lebih dari 50 tahun, kelebihan berat badan atau perokok, makan tinggi lemak dan kurang serat, serta yang memiliki riwayat keluarga yang pernah terkena polip kolon atau kanker kolon.

2.5.3. Gejala Klinis

Biasanya polip kolon tidak menimbulkan gejala, sehingga para ahli menyarankan skrining (pemeriksaan) secara rutin. Polip kolon yang ditemukan

pada tahap awal biasanya masih dapat disembuhkan dengan tuntas. Skrining membantu mencegah kanker kolon, karena penyakit ini seringkali fatal ketika dideteksi pada tahap yang sudah lanjut.

Polip kolon sering muncul tanpa gejala, seringkali polip kolon tidak terdeteksi sampai dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Namun, sebenarnya beberapa tanda dan gejala yang dapat mengarah pada polip kolon, antara lain:

1. Perdarahan pada dubur

Perdarahan pada dubur belum tentu merupakan gejala polip kolon, namun sebaiknya berkonsultasilah pada dokter jika mengalami kondisi ini.

2. Sembelit atau diare

Meskipun perubahan dalam kebiasaan buang air besar yang berlangsung lebih dari seminggu dapat menunjukkan adanya polip kolon, namun juga dapat merupakan gejala dari penyakit lain.

3. Nyeri

Kadang-kadang polip kolon dapat menyumbat usus, sehingga dapat menyebabkan konstipasi, sakit perut, kram, mual, dan muntah.

2.5.4. Penyebab

Sebagian besar polip tidak bersifat ganas atau berkembang menjadi kanker. Namun seperti kebanyakan kanker, polip adalah hasil dari pertumbuhan sel yang abnormal. Sel-sel sehat tumbuh dan membelah secara teratur yang merupakan proses yang dikontrol oleh gen. Mutasi dalam setiap gen ini dapat menyebabkan sel untuk terus membelah bahkan ketika sel-sel baru tidak diperlukan. Jika pembelahan sel-sel dalam kolon dan rektum tidak terkontrol, maka dapat menyebabkan terbentuknya polip. Selama jangka waktu yang panjang, beberapa polip dapat menjadi ganas. Polip dapat berkembang di bagian mana saja di dalam kolon. Polip dapat berukuran kecil atau besar dan datar (sesil) atau berbentuk menyerupai jamur atau seperti melekat pada batang (pedunkulata). Secara umum, semakin besar ukuran polip, semakin besar kemungkinan untuk berkembang menjadi kanker.

2.5.5. Penatalaksanaan Terapi

Meskipun beberapa jenis polip kolon lebih memungkinkan berkembang menjadi ganas, ahli patologi biasanya harus memeriksa jaringan polip di bawah mikroskop untuk menentukan apakah itu berpotensi menjadi kanker. Untuk alasan ini, dokter kemungkinan akan melakukan biopsi (pengambilan selapis tipis jaringan untuk pemeriksaan histologis) pada polip yang ditemukan.

1. Colonoscopy atau Sigmoidoscopy

Sebagian besar polip dapat diangkat selama colonoscopy atau sigmoidoscopy menggunakan lengkungan (loop) kawat yang secara bersamaan memotong tangkai polip dan cauterizes untuk mencegah perdarahan. Beberapa polip kecil dapat dibakar atau dibakar dengan arus listrik (electrosurgery). Resiko pengambilan polip (polypectomy) termasuk perdarahan dan perforasi (lubang) kolon.

2. Operasi

Colonoscopy atau sigmoidoscopy tidak terlalu aman dilakukan pada polip yang terlalu besar, sehingga biasanya dilakukan pembedahan yang seringkali menggunakan teknik laparoskopi. Setelah bagian kolon yang terdapat polip diangkat, polip masih dapat tumbuh kembali di permukaan lain kolon, sehingga penting untuk memantau terus kondisi kolon.

3. Endoscopic Mucosal Resection

Beberapa pusat pelayanan medis melakukan endoscopic mucosal resection (EMR) untuk menghilangkan polip yang lebih besar dengan colonoscope. Dengan teknik ini, cairan seperti garam disuntikkan di bawah polip untuk mengangkat dan mengisolasi polip dari jaringan di sekitarnya. Hal ini membuat lebih mudah untuk mengangkat polip yang lebih besar. Dengan prosedur ini, Anda dapat menghindari operasi, namun belum ada studi lebih lanjut mengenai komplikasi yang dapat ditimbulkan pada prosedur ini.

4. Pengangkatan Kolon dan Rektum

Dalam kasus yang jarang, sindrom yang diturunkan seperti familial adenomatous polyposis (FAP), dokter bedah dapat melakukan operasi untuk mengangkat seluruh kolon dan rektum (proctocolectomy total). Kemudian, dalam sebuah prosedur yang dikenal sebagai ileal pouch-anal anastomosis,

sebuah kantong yang dibangun dari ujung usus kecil (ileum) yang melekat langsung ke anus. Hal ini memungkinkan untuk dapat membuang feses secara normal, meskipun menyebabkan buang air besar lebih sering dan dengan konsistensi yang lebih encer.

5. Pengobatan Laktulosa

2.6. Peritonitis Tuberkulosis

Peritonitis tuberkulosis adalah suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini

sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem gastrointestinal,

mesenterium dan organ genitalia interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari paru, namun seringkali ditemukan pada waktu diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi.

Dewasa ini, tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Diperkirakan lebih dari 10 juta kasus baru terjadi setiap tahun dan menyebabkan 6% mortalitas di dunia. Pasien yang terinfeksi tuberkulosis, resiko terjadinya tuberkulosis abdominal meningkat terutama pada pasien dengan status sosial ekonomi yang rendah, imigran, malnutrisi, ketergantungan obat, dan pasien yang terinfeksi HIV. Peritonitis tuberkulosa merupakan salah satu yang terbanyak dari tuberkulosis abdominal setelah tuberkulosis gastrointestinal dengan angka kejadian 0,4-2% dari seluruh kasus tuberkulosis. Penyakit ini merupakan enam terbanyak yang menyebabkan tuberkulosis ekstrapulmonal setelah tuberkulosis limfe, genitourinaria, tulang, milier, dan meningeal.

Secara umum peritonitis tuberkulosa lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering pada dekade ke 3 dan 4. Peritonitis tuberkulosa dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberkulosis Abdominal. Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus peritonitis tuberkulosadi negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS dan imigran di negara maju. Di Amerika Serikat penyakit ini adalahkeenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukanhanya 5-20% dari penderita peritonitis tuberkulosa yang

mempunyai TB paru yangaktif. Di Kanada dilaporkan 81 kasus tuberkulosis abdominal, 41 kasus diantaranya merupakan peritonitis tuberkulosa.

Faktor yang mempengaruhi timbulnya peritonitis tuberkulosa adalah adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis dimana mikroba ini dapat menyebar ke traktus gastrointestinal dari mulut ke anus, termasuk peritoneum dan sistem pankreatobiliari. Penyebaran juga dapat terjadi melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Pada kebanyakan kasus peritonitis tuberkulosa terjadi bukan sebagai akibat penyebaranperkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu yang biasanya tuberkulosis paru.

Pasien sering tidak terdiagnosis atau terlambat ditegakkan karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan manifestasi klinisnya tidak khas sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Pasien biasanya mengeluhkan sakit perut, mencret, tidak nafsu makan, batuk, demam, keringat malam, berat badan menurun, dan tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati, atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol. Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini sering menimbulkan prognosis yang jelek pada pasien.

Gambaran patologi TB abdominal secara umum memunyai ciri adanya ulkus melintang, ibrosis, penebalan, striktura dinding usus, pembesaran serta pengelompokan kelenjar limfe mesenterika. Penebalan omentum, dan tuberkel peritoneal juga dapat terjadi. Tuberkulosis peritoneal dapat terjadi dalam tiga jenis, yaitu jenis basah (tipe serosa) dengan asites, jenis kering (tipe plastik) dengan perlekatan dan teraba seperti pembengkakan abdomen yang terlokalisir, serta jenis ibrotik dengan penebalan omental dan asites berlokulasi, serta massa abdominal yang terdiri dari penebalan omentum dan mesenterik. Pada peritonitis TB, peritoneum dipenuhi dengan tuberkel putih-kuning multipel, tebal, hiperemia, dan suram, serta omentum juga akan ikut menebal. TB peritoneal yang terjadi pada pasien ini diduga jenis basah dengan asites disertai sedikit perlekatan.

Manifestasi klinis dari TB peritoneal biasanya telah muncul sejak lebih dari 4 bulan sebelum akhirnya diagnosis dapat ditegakkan pada sekitar 70%

pasien. Pada pasien-pasien gagal ginjal, gejala penyakit ini mulai muncul dalam tahun pertama saat menggunakan CAPD dan biasanya sulit dibedakan dengan peritonitis bakterialis.

Pada setiap pasien yang datang dengan keluhan asites perlu dipikirkan juga adanya kemungkinan tuberkulosis abdominal sebagai diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemis seperti di negara kita. Penyakit ini dapat menyerupai berbagai kondisi sehingga mempersulit proses diagnostiknya, dan dapat mengakibatkan penundaan pemberian terapi yang sesuai, namun demikian dengan pemeriksaan yang teliti dan ditunjang dengan adanya berbagai modalitas pemeriksaan penunjang yang semakin canggih akan mempercepat proses diagnostik pasien.

2.7. Anemia

Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun. Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.

Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), tanda-tanda Anemia meliputi: 1. Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L)

2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang

3. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat.

Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu sebagai berikut:

1. Gejala Umum Anemia

Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan

mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah:

a. Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

b. Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang- kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.

c. Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.

d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta rambut tipis dan halus.

2. Gejala Khas Anemia

Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai berikut:

a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis. b. Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)

c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.

d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda- tanda infeksi.

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Gangguan pembentukan eritrosit

Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang.

2. Perdarahan

Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi.

3. Hemolisis

Pengobatan Anemia

Menurut Handayani dan Haribowo (2008), pada setiap kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:

1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan. 2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien. Jenis-jenis

terapi yang dapat diberikan adalah: a. Terapi gawat darurat

Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.

b. Terapi khas untuk masing-masing anemia

Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi untuk anemia defisiensi besi.

c. Terapi kausal

Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang.

d. Terapi ex-juvantivus (empiris)

Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respons yang baik, terapi diteruskan, tetapi jika tidak terdapat respons, maka harus dilakukan evaluasi kembali.

Dalam dokumen UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PEMANTAU (Halaman 37-46)

Dokumen terkait