• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KAJIAN TEORITIS

4.2. Potensi Wisata

Dalam perekonomian masyarakat yang sedang berkembang, arti kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah tersebut menjadi perlu mendapat perhatian jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat post-colonial, kebudayaan yang merupakan bagian inti mempunyai peran dannilai-nilai atau konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan.

Nilai-nilai budaya bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik local.Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secaranasional.Kearifan-kearifan lokal merupakan indikator yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar.Pengembangan pariwisata

kerakyatan yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnyasuatu bangsa.Dalam sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.Karya-karya seni budaya yang digali dan sumber-sumber lokal menjadi potensi yang mampu membangkitkan potensi pada sektor ekonomi pariwisata dari berbagai pengaruh yang merintangi jalan berkembangnya sektor ini. Beberapa faktor yang menentukan dari kearifan lokal yang menjadikannya berpotensi untuk dijadikan daya tarik wisata, bisa ditinjau dari sudut ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi (Kallayanamitra, 2012: 8):

- Bernilai ekonomis bagi wisatawan (produk unik dan harga yang murah) - Pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan(keunikan sosial) - Pengembangan budaya lokal (mengangkat budaya khas suatu daerah) - Kelestarian alam (menyajikan keindahan desa atau alam)

4.3. Pariwisata Kerakyatan

Prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat.Sasatan utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).Konsep Community Based Development lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata.Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.

Community Based Development adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan

komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi asset dan nilai tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan.Melalui konsep Community Based Tourism, setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk mengembangkan small business.

Menurut Suansri (2003) ada beberapa prinsip dari community based tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

pariwisata.

2. Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya.

3. Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan. 4. Meningkatkan kualitas kehidupan.

5. Menjamin keberlanjutan lingkungan.

6. Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal. 7. Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.

8. Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.

9. Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional kepada anggota masyarakat.

10.Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.

11.Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.

Dalam pembangunan community based tourism ada 5 aspek yang harus diberdayakan, yakni :

1) sosial asset yang dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti : budaya, adat-istiadat, sosial network, gaya hidup;

2) sarana dan prasarana, bagaimana sarana dan prasaran objek wisata tersebut apakah sudah ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan;

3) organisasi, apakah telah ada organisasi masyarakat yang mampu secara mandiri mengelola objek dan daya tarik wisata tersebut;

4) aktivitas ekonomi, bagaimanakan aktivitas ekonomi dalam rantai ekonomi pariwisata di komunitras tersebut, apakah secara empiris telah menimbulkan

distrinbution economic benefit di antara penduduk lokal, ataukah manfaat tersebut

masih dinikmakti oleh kelompok-kelompok tertentu;

5) proses pembelajaran, satu hal yang tak kalah pentingnya dari komunitas tersebut dalam mewujudkan objek dan daya tarik wisata.

Meskipun menuntut banyak prasyarat dan prakondisi, pergulatan untuk menjadikan perkembangan pariwisata dunia berkelanjutan (sustainable) bagi negara-negara Dunia III melalui pembangunan pariwisata berbasis komunitas bukan hanya merupakan sebuah harapan melainkan sebuah peluang. Ia memperoleh rasionalnya di dalam properti dan ciri-ciri unik yang dimilikinya, yang antara lain dan terutama meliputi paling sedikit empat hal berikut (Nasikun, 2001):

1. Pertama, oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif.

2. Kedua, pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat.

3. Ketiga, berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata konvensional yang bersifat massif pariwisata alternatif yang berbasis komunitas memberikan peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusankeputusan dan di dalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan masyarakat.

4. Keempat, “last but not least”, pariwisata alternatif yang berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya “keberlanjutan kultural” (cultural sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan.

Dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yang terpenting adalah bagaimana memaksimalkan peran serta masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan pariwisata itu sendiri. Masyarakat diposisikan sebagai penentu, serta keterlibatan maksimal masyarakat mulai dari proses perencanaan sampai kepada pelaksanaannya. Masyarakat berhak menolak jika ternyata pengembangan yang dilakukan tidaklah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian tidaklah berlebihan pariwisata berbasis masyarakat dijadikan sebagai salah satu bentuk paradigma baru pembangunan pariwisata yang mengusung prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) demi pencapaian pendistribusian kesejahteraan rakyat secara lebih merata.

Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D’amore

memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni; Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident), Mempromosikan dan mendorong penduduk local, Pelibatan penduduk lokal dalam industry, Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan, Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas, Produk wisata untuk menggambarkan identitas local, Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach.Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki.

Kemudian pada 1990-an, seiring dengan pengembangan interest dalam mengembangkan produk pariwisata yang berkesinambungan, kebutuhan untuk menggunakan bentuk partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensil bagi pencapaian pariwisata yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang berkualitas.Getz dan Jamal (1994) mengembangkan pondasi teorintis pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dan menganalisis watak dan tujuan dari model kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model kerjasama (cooperation). Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai “sebuah proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan dengan pariwisata (Getz dan Jamal, 1994: 155). Proses kolaborasi meliputi ; 1) Problem Setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu. 2) Direction Setting dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum. 3) strukturisasi dan implementasikan, 4) institusionalisasi.

Pariwisata kerakyatan merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai antisipasi teerhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai pengertian ganda, di satu sisi dianggap sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Di sisi lain dianggap sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda dari pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan (Kodyat, 1997).

Ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisatayang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan (id.wikipedia.org).

Ekowisata dimulai ketika dirasakan adanya dampak negatif pada kegiatan pariwisata konvensional.Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan dibuktikan oleh para ahli lingkungan tapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata itu sendiri.Dampak berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat setempat, serta banyak lagi efek negatif lainnya.

Local genius dan kearifan lokal mengambil peranan penting dalam pengembangan

ekowisata. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius, Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa localgenius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asingsesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Beberapa contoh yang bisa mendukung pernyataan tersebut, yaitu:

1. mampu bertahan terhadap budaya luar.

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. 4. mempunyai kemampuan mengendalikan.

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Beberapa bentuk kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian alam juga diungkapkan oleh Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipost.co.id (2003), bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:

1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.

2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.

3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.

4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.

7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.

8. Bermakna politik, misalnya upacara nangluk merana dan kekuasaan patron Client

Sejumlah kasus pengelolaan pariwisata berbasis alam telah menjadi pelajaran yang berharga bagi hubungan antara manusia dengan lingkungan. Rodger et al. (2007) menyoroti kebutuhan untuk lebih memahami pertemuan antara pengunjung dan satwa liar. Mereka mencatat bahwa pemahaman tentang konteks sosial dan lingkungan, pariwisata satwa liar umumnya harus memberikan kontribusi penting bagi keberlanjutan satwa liar. Wells (1997) membedakan antara dampak ekonomi dari wisata alam, yang ia mendefinisikan sebagai jumlah uang yang dihabiskan oleh alam turis dalam perekonomian tentang wisata, akomodasi, makanan, souvenir, dll, dan nilai ekonomi total, yang meliputi manfaat ekonomi luas, konservasi yang dapat dikaitkan dengan tujuan wisata alam. Penggunaan langsung oleh wisatawan adalah hanya salah satu dari nilai-nilai ekonomi yang mengalir dari tujuan wisata alam '(Wells, 1997).

Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Pada kenyataannya semua hal dalam kehidupan masyarakat Hindu-Bali khususnya, tidak bisa lepas dari peranan kearifan lokal.

Pariwisata kerakyatan hendaknya pengetahuan dasar yang diperoleh dari hidup dalam menjaga keseimbangan alam. Hal ini terkait dengan budaya dalam

masyarakat yang terakumulasi dan diteruskan. Kebijaksanaan ini dapat menjadi abstrak dan konkret, tetapi karakteristik penting adalah bahwa itu berasal dari pengalaman atau kebenaran yang diperoleh dari kehidupan. Kebijaksanaa yang nyata dari pengalaman mengintegrasikan tubuh, jiwa dan lingkungan. Ini menekankan menghormati orang yang lebih tuadan pengalaman kehidupan mereka. Selain itu, nilai-nilai moral lebih dari hal-hal materi (Nakorntap etal. dalam Mungmachon, 2012: 176).

Penerapan pariwisata kerakyatan pada sektor ekowisata di era globalisasi, merupakan masalah terbesar manusia untuk dihadapi zaman sekarang, dimana adanya ketidakmampuan untuk mengoptimalkan pelestarian alam. Kemampuan ini dapat berasal

dari menggunakan kearifan lokal. Masyarakat yang tinggal dikota-kota modern harus mempelajari kearifan lokal lama dan disesuaikan dengan keadaan mereka (Na Thalang dalam Mungmachon, 2001: 177). Masalah yang ditimbulkan oleh globalisasi memprovokasi banyak orang untuk mencari cara-cara untuk lebih baik mengelola hidup mereka. Ini merupakan cara berbeda tergantung pada pilihan yang dibuat oleh individu. Sifat yang bijaksana dan berpengetahuan yang sangat diperlukan untuk penelitian ini, sehingga memungkinkan untuk memilih kerangka yang tepat bagi masyarakat untuk belajar hidup bertanggung jawab dan bijaksana. Selain itu, efek langsung adalah hanya salah satu dari tiga kelas efek multiplier dalam perekonomian: dua lainnya adalah efek tidak langsung yang timbul dari pendirian yang menerima barang pembelian pengeluaran wisatawan dan jasa dari sektor-sektor lain dalam ekonomi lokal; dan efek yang terjadi dari penduduk lokal menghabiskan mereka upah, gaji, laba didistribusikan, sewa dan bunga atas barang dan jasa dalam perekonomian lokal (Cooper et al., 1998) diinduksi.

Dengan pendayagunaan aspek sosial, budaya, dan pelestarian pada lingkungan berbasis ekowisata, maka akan bisa meningkatkan minat bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu objek wisata. Akan menambah nilai tersendiri bagi masyarakat Bali umumnya, bahwa perekenomian yang berkembang dan bermutu adalah perekonomian yang selalu berpegang pada dasar penjagaan lingkungan yang menjadi penggerak pariwisata kerakyatan.

4.4. Pembangunan Ekonomi Pariwisata

Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara.

Berdasarkan beberapa jenis pengembangan pariwisata oleh Pearce (1992), destinasi merupakan gabungan dari produk dan pelayanan yang tersedia di satu lokasi yang dapat menarik pengunjung diluar wilayah bersangkutan.

Franch and Martini menjelaskan pengertian manajemen destinasi: as the strategic, organizational and operative decisions taken to manage the process of definition, promotion and commercialisation of the tourism product [originating from within the destination], to generate manageable flows of incoming tourists that are balanced, sustainable and sufficient to meet the economic needs of the local actors involved in the destination (2002:5). Inti pemikiran diatas menegaskan bahwa manajemen destinasi

berkenaan dengan keputusan strategis, organisasional dan operatif yang dilakukan untuk mengelola proses pendefinisian, promosi dan komersialisasi produk pariwisata untuk mewujudkan arus turis yang seimbang, berkelanjutan dan berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi disuatu destinasi. Segala sesuatau yang berhubungan dengan pengembangan, pemasaran, layanan dan aktivitas pendukung harus diidentifikasi secara tepat sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam perencanaan wisata. Perencanaan tersebut tentunya jangan sampai menghilangkan keunikan dari kawasan wisata, yaitu pemandangan alam, kawasan perairan, taman-taman, dan lain-lain. Diharapkan secara bersama-sama, para pelaku tersebut dapat membangun serta mengembangkan elemen-elemen kepariwisataan sesuai dengan peran, tanggungjawab, dan motivasi masing-masing. Pariwisata akan terwujud dengan adanya suasana dan fasilitas pendukung, lingkungan alam dan sosial ekonomi serta masyarakat dan pengunjung dengan berbagai macam ketertarikan. Ada lima pendekatan untuk perencanaan wisata yang diidentifikasikan oleh para ahli. Lima pendekatan ini dapat diterapkan pula dalam perencanaan wisata air. Empat diantaranya dikemukakan oleh Getz (1987:45) dan ditambah lagi satu pendekatan yang dikemukakan oleh Page (1995:185). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Boosterism. Merupakan suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata sebagai

suatu atribut positif untuk suatu tempat dan penghuninya. Obyek-obyek yang terdapat di suatu lingkungan ditawarkan sebagai aset bagi pengembangan kepariwisataan tanpa memperhatikan dampaknya, yang menurut Hall (1991:22) nyaris dapat dikatakan bukan sebagai suatu bentuk dari perencanaan pariwisata. Masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah yang ada tidak begitu dipertimbangkan.

2. The Economic-Industry Approach. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sangat

luas digunakan oleh kota-kota yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri yang dapat mendatangkan manfaat-manfaat ekonomi bersama-sama dengan penciptaan lapangan kerja serta munculnya kesempatan- kesempatan dalam pembangunan. Konsep pariwisata dengan pendekatan ini adalah sebagai suatu ekspor bagi sistem perkotaan, dan pemasaran digunakan untuk menarik pengunjung yang merupakan pembelanja tertinggi. 
Tujuan-tujuan ekonomi lebih dinomorsatukan daripada tujuan-tujuan sosial dan lingkungan, yaitu dengan menetapkan sasaran utama berupa pengalaman menarik bagi pengunjung dan tingkat kepuasan yang dialami oleh

para wisatawan.

3. The Physical-Spatial Approach 
Pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan

lahan” geografis dan perencana- perencana dengan pendekatan rasional untuk perencanaan lingkungan perkotaan. Kepariwisataan dilihat di dalam suatu range konteks, tetapi dimensi lingkungan dianggap juga sebagai isu kritis dari daya dukung sumber daya wisata di dalam kota. Strategi-strategi perencanaan yang berbeda berdasarkan prinsip-prinsip keruangan digunakan di sini, misalnya pengelompokan pengunjung di kawasan-kawasan utama, atau pemecahan untuk menghindarkan terlalu terkonsentrasinya pengunjung di satu kawasan, dan pemecahan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik-konflik. Hanya saja satu kritik bagi pendekatan ini adalah masih kurang mempertimbangkan dampak sosial dan kultural dari wisata perkotaan.

4. The Community Approach 
Merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada

pentingnya keterlibatan maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses perencanaan. Perencanaan tradisional top-down, dimana perencana menetapkan agenda yang perlu dimodifikasi untuk memasukkan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal di dalam proses perencanaan dan penentuan keputusan. Jadi, community tourism planning ini menganggap penting suatu pedoman pengembangan pariwisata yang dapat diterima secara sosial (social acceptable). 
Pendekatan ini menekankan pada pentingnya manfaat-manfaat sosial dan kultural bagi masyarakat lokal bersama-sama dengan suatu range pertimbangan ekonomi dan lingkungan. Menurut Haywood (1988), dalam penerapan rencana, “bentuk politis” dari proses perencanaan tersebut seringkali terjadi penurunan derajat misalnya dari kemitraan (partnership) menjadi penghargaan (tokenism).

5. Sustainable Approach (Sustainable tourism planning)
Pendekatan ini adalah

pendekatan yang diidentifikasi oleh Page, merupakan pendekatan keberlanjutan berkepentingan dengan masa depan yang panjang atas sumber daya dan efek-efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin juga menyebabkan gangguan kultural dan sosial untuk memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya hidup individual. Dalam konteks perencanaan pariwisata, pembangunan berkelanjutan didasarkan pada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh the World Commission on the Environment and Development (the Brundtland Commission) pada tahun 1987 yang menurut Hall (1991) berhubungan dengan eguity, the needs of economically marginal

populations, and the idea of technological and social limitations on the ability of the environment to meet present and future needs.

Untuk menindaklanjuti adanya beberapa prinsip tersebut diatas, Dutton dan Hall (1989) mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang dapat digunakan sebagai pedoman pencapaian suatu pendekatan berkelanjutan yang realistik untuk perencanaan pariwisata, yaitu sebagai berikut:

1. Mendorong kerjasama dan saling perhatian untuk meningkatkan manfaat dari setiap pendekatan, sehingga perencanaan pariwisata harus kooperatif dan didasarkan pada sistem pengendalian terpadu.

2. Mengembangkan mekanisme koordinasi industri.

3. Meningkatkan kepedulian konsumen mengenai pilihan-pilihan yang berkelanjutan dan 
tidak-berkelanjutan, termasuk manfaat-manfaat dari manajemen pengunjung. 4. Meningkatkan kepedulian produsen atas manfaat-manfaat perencanaan pariwisata

yang 
berkelanjutan.

5. Menggantikan pendekatan-pendekatan perencanaan konvensional dengan perencanaan 
strategik, untuk ini disyaratkan semua pihak yang berkepentingan membuat komitmen 
yang pasti untuk tujuan-tujuan yang berkelanjutan.

6. Memberi perhatian yang lebih besar atas keperluan perencanaan kualitas pengalaman 
wisatawan, dengan suatu pandangan atas keberlanjutan jangka panjang dari produk wisata, bersama-sama dengan memantapkan atraksi dari kawasan tujuan wisata. 
Pariwisata berkelanjutan dapat dikatakan sebagai pembangunan yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam dan budaya secara berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Puslitbang BP. Budpar, 2003).

Pariwisata budaya mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat lokal mencapai potensi penuh mereka. Adanya kesepakatan tentang tantangan dan peluang yang

Dokumen terkait