• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Industri Obat Herbal Nasional

BAB 2 POTRET INDUSTRI OBAT HERBAL

2.2. Potret Industri Obat Herbal Nasional

Dibandingkan jenis industri farmasi sintetik dan bioteknologi, industri obat herbal di Indonesia tergolong industri dengan struktur industri yang kuat. Industri ini secara kualitatif didukung oleh kelimpahan tumbuhan obat yang menjadi bagian dari karagaman hayati Indonesia, yang berjumlah sekitar 30.000 jenis tumbuhan. Diperkirakan terdapat sekitar 9.600 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat yang terdapat di wilayah ini, dan sekitar 300 jenis diantaranya telah dikenal, baik digunakan secara turun temurun sebagai komponen obat tradisional Indonesia, Jamu, maupun sebagai bahan obat herbal oleh industri jamu (Kementerian Kesehatan, 2007). Penggunaan tradisional ini bersumber dari sekitar 1.300 suku dengan keragaman pengetahuan kesehatan tradisionalnya. Hingga saat ini beredar ribuan jenis jamu yang diproduksi, baik oleh industri besar maupun UKM jamu, yang menjadi bagian dari budaya minum jamu masyarakat Indonesia, baik untuk menjaga kesehatan maupun mengatasi gangguan penyakit.

Hingga tahun 2016 tercatat sebanyak 1.247 Industri Obat Herbal, terdiri dari 93 Industri Obat Tradisional (IOT) dan selebihnya adalah Usaha Menengah Obat Tradisional (UMOT) dan Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), termasuk Industri Rumah Tangga, seperti ditunjukkan Gambar 2.8.

Sumber : Presentasi Kemkes pada FGD Teknologi Obat Herbal, BPPT 2017 Gambar 2.8 Jumlah industri farmasi, industri obat tradisional (IOT) dan industri ekstrak bahan

alam (IEBA)

Organisasi yang menghimpun para pelaku bisnis di bidang ini, yaitu Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu). Organisasi perhimpunan tersebut didirikan pada tahun 1988 dan merupakan induk 2 (dua) organisasi sejenis yang sudah ada sebelumnya, yaitu antara Gabungan Perusahaan Jamu Indonesia (GPJI), yang berpusat di Semarang, dan Gabungan Pengusaha Obat Tradisional Indonesia (GAPOTRIN), yang berpusat di Jakarta. Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 643/Menkes/VII/1993, GP Jamu diakui Pemerintah sebagai satu-satunya asosiasi bagi pengusaha jamu dan obat tradisional Indonesia dan merupakan wadah bagi produsen (yaitu industri jamu besar dan kecil, usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong), penyalur dan pengecer, termasuk usaha di bidang simplisia. Sebanyak, 129 IOT dan 621 UKOT telah dibina oleh Gabungan Perusahaan (GP) Jamu di 15 Provinsi yaitu: Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Jambi, DKI Jaya, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Lampung (Kementerian Kesehatan, 2007).

Khusus mengenai obat alami Indonesia, pemerintah melalui Surat Keputusan Kepala Badan POM Nomor: HK.00.05.4.2411 menerapkan kebijakan pengelompokan obat alami berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat. Obat alami terbagi dalam 3 kelompok; (1) Jamu, dimana klaim khasiat

berdasarkan data empiris, (2) Obat Herbal Terstandar (OHT), produk berbasis ekstrak terstandar dengan klaim khasiat berdasarkan uji praklinik pada hewan dan (3) Fitofarmaka, produk berbasis ekstrak terstandar dengan klaim khasiat berdasarkan uji klinik. Kebijakan ini untuk mendorong perkembangan obat bahan alam, yang meliputi peningkatan mutu, keamanan, penemuan indikasi baru dan formulasi. Hingga saat ini telah diproduksi dan mendapat ijin edar 48 OHT dan 8 produk fitofarmaka. Produk fitofarmaka yang ada saat ini adalah; (1) Nodiar, produk dari PT. Kimia Farma (Persero) Tbk, (2) Rheumaneer, produk dari PT. Nyonya Meneer, (3) Stimuno, (4) Inlacin, (5) Livitens, dan (6) Resindex produk dari PT Dexa Medica, (7) Tensigard Agromed dan, (8) X-gra, produk dari PT. Phapos (Persero) Tbk.

Untuk menjamin mutu obat yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, pemerintah juga telah menerbitkan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) pada tahun 2010, melengkapi buku jaminan mutu obat alami telah diterbitkan Materia Medika Indonesia (MMI) sebagai standar mutu bahan baku simplisia, dan Monografi Ekstrak untuk mutu esktrak. Selain itu juga telah diterbitkan petunjuk Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Badan POM sebagai lembaga pembina dan pengawasan, yang dibentuk pada tahun 2001, berfungsi diantaranya melakukan pengaturan, regulasi dan standardisasi, pemberian lisensi dan sertifikasi industri farmasi, evaluasi produk-produk farmasi danpost marketing surveillance.

Pemerintah melalui Badan POM sangat mendorong industri jamu untuk melaksanakan produksi obat alami dengan cara yang baik dan menerapkan registrasi, penilaian, pengawasan dalam peredaran produk-produk obat alami, serta menetapkan standar mutu bahan baku seperti tercantum pada Materia Medika Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia. Selain itu pemerintah juga telah melakukan konservasi terhadap tanaman obat yang banyak digunakan oleh masyarakat dan industri jamu, dan mendokumentasikan resep-resep pengobatan yang sering digunakan.

Pasar produk herbal dalam negeri terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2007 pasar produk herbal dalam negeri sekitar Rp 6 triliun, meningkat menjadi Rp 10

triliun pada tahun 2010 dan Rp 13 triliun pada tahun 2012. Pertumbuhan pasar dalam negeri sekitar 7 % per tahun. Pada tahun 2013 pasar produk herbal mencapai Rp 14 triliun, sekitar sepertiga pasar farmasi nasional dan meningkat menjadi sekitar Rp 15 triliun pada tahun 2015 (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2016).

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2016 Gambar 2.9 Pertumbuhan pasar produk obat herbal nasional tahun 2003-2015

Pertumbuhan pasar obat herbal tersebut juga diikuti dengan peningkatan kebutuhan BBOT berupa simpisia tanaman obat. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, produksi BBOT simplisia juga dibutuhkan untuk tujuan ekspor, yang nilainya berfluktuasi setiap tahun. Tabel 2.2 menunjukkan perkiraan kebutuhan tanaman obat dalam negeri. Tabel 2.2 Perkiraan kebutuhan tanaman obat dalam negeri tahun 2014-2019 (dalam ton)

Pasar Tahun 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Nasional 566.693 593.314 621.375 650.967 682.188 715.144 Tradisional 170.008 117.994 186.413 195.290 204.656 214.543 Industri 396.685 415.320 434.963 455.677 477.532 500.601 Ekspor* 29.841 32.826 36.108 39.719 43.691 48.060 Impor** 6.842 6.500 6.175 5.866 5.573 5.294

* Asumsi presentase kenaikan sebesar 10% per tahun dari angka tetap BPJS diolah Ditjen Holtikultura 2013 ** Asumsi presentase kenaikan sebesar 5% per tahun dari angka tetap BPJS diolah Ditjen Holtikultura 2013

Bahan baku obat tradisional (BBOT) tersedia secara melimpah dari keragaman hayati Indonesia. Namun demikian, akibat pola tanaman dan industrialisasi tanaman obat yang belum mapan, Indonesia kadang mengimpor bahan tanaman obat dari negara-negara di kawasan Asia, terutama Cina dan India. Impor BBOT dilakukan untuk tanaman obat yang sebenarnya tersedia secara melimpah di Indonesia, seperti jahe, temulawak, kunyit, akibat terjadinya kelangkaan (United Nation, 2015). Selain impor BBOT simplisia, Industri obat herbal juga melakukan import untuk ekstrak tanaman obat yang tidak tersedia di dalam negeri, seperti ekstrakGingko biloba(Gambar 2.10).

Sumber : Novianti, 2017 Gambar 2.10 Perkembangan impor bahan obat dalam juta USD dengan dominasi bahan alam

sebesar 55%.

Sementara itu, Indonesia juga termasuk negara pengekspor bahan tanaman obat dunia, khususnya ke negara dikawasan Asia (Gambar 2.11). Dari data Kementerian Perdagangan, tanaman obat, minyak atsiri dan rempah-rempah merupakan 3 dari 10 produk potensial ekspor yang perlu dikembangkan, karena memiliki potensi pasar yang cukup menjanjikan baik pasar lokal maupun global. Nilai ekspor tanaman obat Indonesia

tahun 2013 mencapai USD 23,4 juta, dengan pertumbuhan 6,5% pertahun (Kementerian Perdagangan, 2014).

Sumber : Kementerian Perdagangan 2014 Gambar 2.11 Perkembangan ekspor obat tradisional dalam juta USD

Adapun negara tujuan ekspor tanaman obat meliputi hampir seluruh wilayah di dunia, dengan nilai terbesar pada negara-negara di kawasan Asia. Perlu dilakukan penelitian apakah impor dari Indonesia oleh beberapa negara di Asia, juga digunakan untuk ekspor ke negara lain, seperti yang dilakukan oleh Singapura (Lange, 2006). Beberapa negara tujuan ekspor tanaman obat indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Kinerja perdagangan tanaman obat dalam bentuk ekspor dan impor tanaman obat tahun 2010-2014 sangat fluktuatif. Pertumbuhan ekspor meningkat sekitar 31,2% dengan ekspor tertinggi pada tahun 2014 mencapai nilai 58,7 juta dolar, sekitar 150,5% lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian, neraca perdagangan negatif terjadi pada tahun 2011 dan 2012, dimana jumlah impor lebih tinggi dibandingkan ekspor. Impor tanaman obat tertinggi terjadi pada tahun 2012 yang mengakibatkan defisit sebesar 9,5 juta dolar (Lange, 2006).

Sumber : Simanungkalit, 2015 Gambar 2.13 Kinerja perdagangan tanaman obat tahun 2010-2015

Adanya impor dan ekspor BBOT simplisia dengan nilai yang cukup besar dapat disebabkan oleh pola niaga yang kurang baik dan belum mantapnya industri tanaman obat dan simplisia, yang menyediakan bahan tanaman segar. Hingga saat ini belum terdapat industri tanaman obat dan industri simplisia, yang menyediakan BBOT dalam jumlah besar dan kualitas seragam. Umumnya BBOT segar dan simplisia hanya diproduksi dalam skala kecil oleh UKM simplisia atau dikumpulkan dari tumbuhan liar oleh petani tanaman obat. Selanjutnya bahan itu dikumpulkan oleh para pengepul, yang akan menyalurkannya untuk kebutuhan industri obat herbal. Rantai distribusi ini menyebabkan harga tanaman obat di tingkat petani selalu murah, sehingga umumnya petani tidak tertarik untuk melakukan budidaya tanaman obat dibandingkan tanaman pangan atau hortikultura lainnya, yang lebih memberikan keuntungan. Pola niaga seperti

ini juga kadang menyebabkan terjadinya ekspor lebih diutamakan dan pada gilirannya terjadi kelangkaan stok simplisia tanaman obat di dalam negeri.

Selain industri jamu, yang telah berkembang lebih dari seratus tahun, saat ini juga telah berkembang industri antara yang menyediakan BBOT ekstrak, yaitu Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA). Meskipun jenis industri ini sudah lama, namun baru diregulasi pada tahun 2012 oleh Kementerian Kesehatan. Dengan semakin banyaknya produk-produk obat herbal berbasis ekstrak, maka kebutuhan akan BBOT ekstrak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Karena merupakan industri bahan baku, IEBA juga dipersyaratkan memenuhi ketentuan CPOTB. Hingga saat ini di Indonesia telah berdiri 11 IEBA yang menyediakan berbagai macam ekstrak.

Kementerian Kesehatan telah menyusun Peta Jalan Pengembangan BBOT pada tahun 2013. Selain itu Kemenkes juga telah menentukan target Bahan Baku Obat Tradisional yang harus dikembangkan hingga tahun 2025 dalam Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (Permenkes No.17 tahun 2017). Target ini mengakomodir masukan dari GP Farmasi dan GP Jamu.

Tabel 2.3 Target Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) yang harus dikembangkan hingga 2025

Tahun 2016-2018 Tahun 2019-2021 Tahun 2022-2025

1. Dehidro-di-Isoeugenol (Ekstrak biji pala) 2. Curcuma xanthorriza 3. Curcuma domestica 4. Gingerol

5. Phylantin (ekstrak daun meniran)

6. Piperin 7. Steviosid 8. Xanthorhizol 9. Zederone

10. Ekstrak sambung nyawa 11. Ekstrak temulawak

1. Glucosamin 2. Omega-3

3. Resveratrol (anti oksidan alami)

4. Vinca alkaloid derivates 5. Isolat gandarusa 6. Isolat alga coklat 7. Isolat mikroba simbion

karang laut (antibiotik) 8. Isolat Guazuma longifolia 9. Geraniol 10. Green Chiretta 11. Aspergillus niger 1. Andrographolide (anti malaria) 2. Etil-p-metoksi Sinamat 3. Ekstrak cacing tanah

(thrombolisis) 4. Vinca rosea 5. Piper longum

6. Polygonum cuspidatum 7. Stevia rebaudiana

Tahun 2016-2018 Tahun 2019-2021 Tahun 2022-2025 12. Ekstrak seledri

(antihipertensi) 13. Ekstrak kumis kucing 14. Palm sugar

15. Ekstrak Cinnamomum burmanii

16. Ekstrak Trigonella foenum-graceum

17. Ekstrak Centella asiatica 18. Ekstrak Phaleria macrocarpa 19. Ekstrak Lumbricus rubellus 20. Ekstrak Zingiber officinale 21. Ekstrak Lagerstromia speciosa 22. Kaempferia galanga 12. Aspergillus niger 13. Marine algae 14. Amilum pharma-grade

Sumber : Kementerian Kesehatan, 2017

Dari keseluruhan jenis industri obat herbal, IEBA dan IOT membutuhkan kandungan teknologi yang cukup tinggi dan modal yang cukup besar. Teknologi yang dibutuhkan meliputi persyaratan ruangan produksi, peralatan produksi dan pengemasan serta peralatan untuk jaminan mutu produk. Investasi yang cukup besar diperlukan untuk peralatan produksi ekstrak kental hingga ekstrak kering dan peralatan untuk pembuatan sediaan akhir. Sebagian besar peralatan ini merupakan peralatan impor. Indonesia sendiri belum mengembangkan kemampuan rancang bangun peralatan, seperti yang dilakukan oleh Cina. Sedangkan untuk industri BBOT tanaman dan simplisia, hanya diperlukan teknologi sederhana dan teknologi madya, yang tidak memerlukan investasi besar. Sebagian peralatan ini juga tersedia di dalam negeri, namun dengan mutu yang masih kalah bersaing dengan peralatan budidaya dan pengolahan pascapanen dari luar negeri. Hal ini membentuk postur industri obat herbal nasional sangat tidak proposional antara skala usaha dengan aspek permodalan, teknologi dan penguasaan pasar, seperti yang terlihat pada Gambar 2.14. Jumlah industri obat herbal dalam negeri terlihat seperti

piramida bila diurutkan dari industri besar ke industri kecil, namun bila dilihat dari kemampuan penguasaan pasar, permodalan dan penguasaan teknologi akan terlihat seperti piramida terbalik.

Gambar 2.14 Postur industri obat herbal dalam negeri dilihat dari sisi jumlah menurut skala usaha/golongan industri, penguasaan pasar, modal dan teknologi.

Proyeksi selama dua dekade ke depan hingga 2035 tentang perkembangan pasar dan peningkatan permintaan obat herbal perlu dilakukan untuk kebutuhan pengembangan industri obat herbal nasional dan peningkatan daya saing produk obat herbal dari hulu ke hilir, sepanjang rantai peningkatan nilai tambah produk-produk berbasis tanaman obat. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, peningkatan status sosial-ekonomi masyarakat dan perkembangan pola penyakit dan gangguan kesehatan yang menyertainya, arah pengembangan difokuskan pada pada penanggulangan penyakit sindrom metabolik degeneratif dan keganasan, serta kebutuhan akan kehidupan yang sehat secara alami, khususnya ditujukan pada segmen pasar kelompok usia produktif.

Selain tantangan teknologi produksi seperti dijelaskan di atas, pasar obat herbal nasional juga menghadapi tantangan persaingan dengan masuknya produk-produk obat herbal dari luar negeri, sejalan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan industri obat herbal di kawasan Asia dan global, serta diterapkannya kawasan perdagangan bebas di masa mendatang. Selain tuntutan jaminan mutu, keamanan dan khasiat, kebutuhan akan

riset untuk inovasi produk-produk baru dari sumber daya hayati tanaman obat dan inovasi dalam formulasi, sangat dibutuhkan dalam meningkatkan daya saing produk obat herbal nasional.

Fakta bahwa banyak tanaman obat yang diperdagangkan masih diperoleh dari sumber-sumber tumbuhan liar dan belum dibudidayakan, tentu akan menjadi kendala bagi keberlangsungan ketersediaan jenis tanaman obat tersebut di alam. Kepunahan atau penurunan keragaman hayati tanaman obat juga diperparah oleh penurunan kualitas dan rusaknya hutan oleh kegiatam ekonomi, sepeti pembukaan hutan industri, lahan tambang dan kebakaran hutan. Untuk itu diperlukan teknologi inventarisasi dan konservasi, baikex situmaupunin situ.

Mengacu pada data tersebut, diperlukan upaya-upaya iptek yang lebih serius yang meliputi peningkatan aktivitas riset dan kemampuan rancang bangun peralatan produksi dalam mengembangkan aneka produk dari tanaman obat, sehingga peningkatan nilai tambah dan ekspor bisa dilakukan, sekaligus mengurangi jumlah impor tanaman obat dan produk olahan dari tanaman obat lainnya.

2.3. Potret Industri Obat Herbal Global