• Tidak ada hasil yang ditemukan

PPh Pasal 26

Dalam dokumen Bahan Ajar Pajak Penghasilan (Halaman 140-145)

BAB 5 CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN

E. PPh Pasal 26

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undangPajak Penghasilan menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:

1. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

2. Pemotongan PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

a. Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

1) Dividen;

2) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

3) Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

4) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; 5) Hadiah dan penghargaan;

6) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

7) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 8) Keuntungan karena pembebasan utang.

Contoh:

• PT X membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, PT X tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Rp100.000.000,00.

• Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20%.

b. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.

Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.

c. PPh Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan/Pengalihan Harta Di Indonesia.

Pasal 26 ayat (2) dan (2a) Undang-undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009, mengatur antara lain: 1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia

berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT, dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20%126 dari perkiraan penghasilan netto dan bersifat final.

2) Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah 25 % dari harga jual.

3) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang

besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26.

d. Branch Profit Tax

Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwaPenghasilan Kena Pajak (PhKP) sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Contoh:

PhKP BUT di Indonesia dalam tahun 2009 Rp17.500.000.000,00

Pajak Penghasilan: 28% x Rp17.500.000.00,00 = Rp 4.900.000.000,00 (-)

PhKP setelah pajak Rp12.600.000.000,00

PPh Pasal 26 yang terutang (Branch Profit Tax)

20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Dalam hal PhKP sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT

ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan (branch profit tax).

2) Pengecualian dari pengenaan branch profit tax diberikan apabila seluruhPhKP sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:

b) Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri. c) Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan

berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

• Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan

• BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

d) Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.

e) Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk pembelian aktiva tetap atau investasi berupa aktiva tidak berwujud, BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. 3) Seluruh PhKP sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT yang

ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaanbranch profit tax, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan;

b) BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

4) Dalam hal persyaratan-persyaratan tersebut tidak lagi dipenuhi, atas PhKP sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT yang terkait, dikenai branch profit tax terhitung sejak diperolehnya PhKP yang

bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan perpajakan yang berlaku.

e. Perubahan Status WP Luar Negeri menjadi WP Dalam Negeri atau BUT Pasal 26 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilanmengatur bahwaPemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, kecuali:

1) Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf cUndang-undang Pajak Penghasilan;

2) Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf cUndang-undang Pajak Penghasilan, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Contoh:

Brian (tenaga asing orang pribadi) membuat perjanjian kerja dengan PT B (Wajib Pajak dalam negeri) untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status Brian adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status Brian berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari s.d. Maret 2009 atas penghasilan bruto Brian telah dipotong PPh Pasal 26 oleh PT B.

Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan Brian untuk masa Januari s.d. Agustus 2009, PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas

penghasilan Brian sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak Brian sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Dalam dokumen Bahan Ajar Pajak Penghasilan (Halaman 140-145)