• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PRASANGKA GENDER DAN EMANSIPASI PEREMPUAN

3.2 Prasangka Gender

Prasangka gender merupakan anggapan yang salah kaprah tentang gender dan jenis kelamin. Gender merupakan penyifatan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosio-kultural. Namun, karena adanya anggapan yang salah kaprah, gender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah. Berikut prasangka gender dalam novel Sang Maharani.

3.2.1 Perempuan Memiliki Sifat Tidak Mudah Marah dan Bersikap Sabar Stereotip perempuan dalam karya sastra dapat dilihat pada lakuan dan pikiran tokoh-tokoh cerita serta penggambaran tokoh-tokoh cerita oleh narator (Sugihastuti 2002: 289). Secara umum, stereotip perempuan adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotip) yang dilekatkan pada mereka (Fakih, 2003: 16).

Menurut R.I. Sarumpaet (1975: 57—59) untuk menjadi seorang wanita teladan, seorang wanita harus bersikap sabar. Sifat tidak lekas marah adalah suatu unsur mutlak dalam hidup seorang wanita. Oleh sebab itu, setiap wanita harus melatih diri untuk lebih sabar dan tidak lekas marah.

Sabar adalah modal besar dan perhiasan seorang wanita. Seorang wanita yang mempunyai pendidikan tetapi juga mempunyai sifat mudah marah akan lebih tidak berhasil daripada seorang wanita yang sabar walaupun pendidikannya sederhana.

Dalam novel Sang Maharani ternyata muncul sebuah prasangka gender yang terlihat dari kutipan berikut.

“Kalau begitu tinggalkan aku,” kata Tiar dingin. Rani memandangnya dengan prihatin. Ia lalu memegang tangan Tiar sehingga gadis itu memandangnya.

“Tiar, kau tahu aku tidak pernah menganggapmu begitu.” Ia menarik Tiar dalam pelukannya. Gadis itu diam dan kaku seperti balok kayu.

“Aku menganggapmu sebagai saudaraku. Kalau kau tidak ingin diremehkan orang, kau harus sekolah. Apa yang akan kau lakukan bila kau tidak sekolah?” kata Rani lembut. Arik membuang muka melihat sikap

Rani. Moetiara melepaskan pelukan Rani dan mendorong gadis itu hingga hampir terjatuh. “Keluar!” teriaknya.

Arik menarik tangan Rani dan mengajaknya keluar dari kamar itu. “Ayo, kita keluar saja! Aku hampir tidak tahan menghadapi gadis gila ini!” Mereka berlalu meninggalkan Moetiara sendirian.

Kini Rani baru sadar bahwa Moetiara ternyata membencinya. Ia tidak tahu apa sebabnya, padahal ia tidak pernah membenci gadis itu. Ia tidak tahu bahwa kalau seseorang sudah membenci orang lain, uluran tangan kebaikan apapun tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik, bahkan mungkin yang terjadi malah sebaliknya (hlm. 53).

Dari kutipan tersebut tercermin bahwa perempuan yang ideal dianggap memiliki sifat yang lebih sabar, penuh kasih sayang, seperti tokoh Rani yang berusaha tetap menyayangi Tiar sebagai saudaranya meskipun Tiar justru membencinya. Sebaliknya, tokoh Sari dan tokoh Tiar menampilkan profil perempuan yang tidak ideal.

Sari memiliki sikap yang cenderung kasar. Ia sering berkata-kata kasar dengan membentak Rani dan Arik. Hal tersebut terlihat pada beberapa kutipan percakapan Sari seperti berikut.

“…..Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat. Hei monyet!” serunya sambil menatap Arik.

“….Apa? Kurang ajar! Kata-kataku benar, kan? Kau sudah menuntut bagian warisan, padahal aku masih hidup.” Ia bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Arik, lalu mendorong kepala pemuda itu dengan telunjuknya. Walaupun sudah remaja, tubuh Arik yang kurus menjadi limbung ke belakang (hlm. 59).

Serta-merta Sari bangkit dari kursinya. “Apa? Dasar dokter tolol! Kau tak pernah bicara masalah rumah sakit? Apa kau mau menjebloskanku ke penjara? Siapa yang membayarmu kali ini? Apa Maharani busuk itu? (hlm. 191).

Selain itu, Sari tidak memiliki sikap hormat terhadap suaminya, Van Houten. Sari justru membunuh Van Houten untuk mendapatkan harta suaminya itu. Berikut kutipannya.

“Lihat saja, baru minggu lalu ia menyelenggarakan pesta dansa yang diadakan untuk pertama kalinya di rumah kita sejak ibu meninggal. Apakah kau sudah mendengar kabar? Dua minggu lagi adalah hari ulang tahunnya dan ia ingin mengadakan pesta lagi. Rani! Rani! Kau harus melakukan sesuatu! Jangan membiarkan ibu tirimu begini terus! Dia akan menghabiskan harta Ayah!” (hlm. 55—56).

“Ibu membunuh Jenderal Van Houten karena terpaksa. Jenderal sudah menulis surat wasiat akan mewariskan semua hartanya padamu, kami berdua tak mendapat apa-apa….” (hlm. 303).

Sebagai seorang ibu, Sari juga tidak mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Seperti yang sudah dijelaskan, Sari tidak mengizinkan Rani bersekolah tinggi-tinggi dan ia pun hanya memberikan kursus-kursus bagi Tiar.

Aku sudah memutuskan tidak akan mengirim kalian ke sekolah mana pun. Alasannya, kalian sudah sekolah terlalu tinggi. Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Lihat Moetiara, ia hanya mengikuti kursus-kursus saja. Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat... (hlm. 58—59).

Selain tokoh Sari, tokoh Tiar pun mencerminkan perempuan yang tidak ideal. Ia berkepribadian yang tidak baik dan ia memiliki sifat pendendam terutama terhadap Rani bahkan ia memfitnah Rani.

Ia menggeram. Ini kesalahan Maharani! Ia bersumpah akan membalas dendam untuk ibunya! (hlm. 250).

Dalam mabuknya, Tiar masih bisa berfikir jernih. Itulah yang membuatnya kesal, darahnya telah megandung alkohol sehingga ia tak mudah mabuk. Apakah semua ini balasan baginya karena telah memfitnah Rani? Ia merasa sedikit menyesal, Rani yang dikenalnya tidak pantas melacurkan diri. Waktu itu ia pasti dipaksa. Akan tetapi, semua ini gagasan Lastri. Lagi-lagi Lastri! Ia betul-betul geram. Ia menyesal telah mengangkat Lastri dari lumpur dan membiarkan wanita itu menariknya hingga terjerembab di lumpur juga. “Lebih baik kau mengatakan bahwa ia melacurkan diri! Itu akan mengundang lebih banyak simpati dibandingkan kau berkata bahwa ia dipaksa melacur! Jangan-jangan ia malah mendapat simpati dari Janoear dan orang-orang!” begitu kata Lastri waktu itu, dan bodohnya ia menurut (hlm. 288—289).

Sifat-sifat yang dimiliki Sari dan Tiar ini tidak sesuai dengan gambaran perempuan ideal. Perempuan ideal memiliki sikap yang lemah lembut, berusaha menghormati suami, dan mengutamakan pendidikan anak (Sarumpaet, 1975: 53, 60, 109).

3.2.2 Harga Diri Perempuan Hanya Terletak pada Kecantikannya

Stereotip kedua adalah harga perempuan terletak pada kecantikannya (Sugihastuti, 2002: 290). Prasangka gender dalam penokohan muncul ketika narator mendeskripsikan tokoh perempuan yang tidak hanya sekadar penggambaran fisik biasa tetapi ditambahkan dengan hal-hal yang berbau seksual, seperti keelokan paras dan keindahan tubuh perempuan. Sebaliknya, penggambaran tokoh laki-laki dideskripsikan dengan apa adanya tanpa dibumbui dengan hal-hal yang berbau seksual.

Hal ini dapat terlihat dari tokoh Rani dan tokoh perempuan lain yang penggambaran fisiknya dideskripsikan secara vulgar. Hal itu terlihat dari kutipan berikut.

Gadis yang lebih cantik dipisahkan dari yang lainnya. Yang dijadikan kriteria pemilihan pada babak kedua ini adalah bentuk tubuh sang gadis. Dengan baju panjang yang mereka pakai, agak sulit melihat seorang gadis bertubuh indah atau tidak. Rani melihat pemerkosaan sudah terjadi di sini. Pemerkosaan terhadap hak-hak pribadi mereka. Mereka tidak ada bedanya dengan sapi yang sedang dipilih-pilih pembeli untuk dibawa ke tempat pembantaian. Para tentara yang berjaga tertawa-tawa dan memperhatikan tubuh telanjang mereka dengan pandangan tak senonoh (hlm. 96).

...Perwira Jepang itu menatapnya dengan pandangan kagum, terutama pada belahan dadanya yang rendah. Sebenarnya tidak terlalu rendah, tetapi melihat pandangan itu Rani merasa belahannya terlalu rendah, seolah dadanya tidak ada penutupnya (hlm. 106).

Dengan demikian, perempuan hanya dijadikan objek yang dinilai berdasarkan fisiknya tanpa melihat sisi lainnya dari perempuan sehingga terkadang kecantikan fisik perempuan menjadi harga mutlak bagi laki-laki.

3.2.3 Perempuan Tidak Pantas untuk Bersekolah Tinggi-Tinggi

Stereotip ketiga, masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotip ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotip terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotip tersebut (Fakih, 2003: 17).

Hal itu pula yang terjadi pada Rani. Ia tidak diizinkan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang digagas oleh Sari. Bagi Sari, perempuan tidak ada gunanya bersekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya perempuan hanya akan bekerja di dapur dan mengurus keluarga.

Aku sudah memutuskan tidak akan mengirim kalian ke sekolah mana pun. Alasannya, kalian sudah sekolah terlalu tinggi. Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Lihat Moetiara, ia hanya mengikuti kursus-kursus saja. Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat... (hlm. 59).

Hal ini menimbulkan prasangka bahwa perempuan tidak pantas bersekolah tinggi-tinggi karena tugas utama seorang perempuan hanyalah bekerja seperti layaknya ibu rumah tangga, seperti memasak, mencuci, mengurus anak, membersihkan rumah, dan sebagainya tanpa diberikan kesempatan untuk

berkembang seperti laki-laki dengan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

3.2.4 Perempuan Selalu Dianggap Satu Tingkat Lebih Rendah dari Laki-Laki sehingga Melahirkan Kekerasan terhadap Perempuan

Dalam teori nature ada sebuah anggapan bahwa sudah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya (Budiman, 1981: 8). Oleh karena adanya sebuah prasangka bahwa perempuan itu lemah dan menjadi manusia kelas dua, maka hal tersebut menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan.

Kekerasan (violence) menurut Fakih (2003: 17) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh bias gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Menurut Ervita dan Puji Utami (2002: 15), serta Anis Hamim dan Siti Roswati (2002: 5), kekerasan terhadap perempuan merupakan segala bentuk tindakan kekerasan berbasis gender, yang terjadi di ruang publik maupun di ruang domestik dan berakibat merendahkan, menyakiti, atau merugikan baik secara mental, fisik, seksual, maupun finansial (ekonomi); baik yang dilakukan orang

yang dikenal maupun oleh mereka yang dekat dengannya, seperti ayah, suami, pacar, guru, atasan, saudara, dan sebagainya.

Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat dapat berdampak sangat luas, tidak hanya kepada perempuan secara langsung, namun juga dapat berdampak terhadap anak-anak, dan bahkan kepada masyarakat (Ervita dan Puji Utami, 2002: 16).

Dampak bagi perempuan sendiri berbentuk dampak langsung (jangka pendek) dan dampak tidak langusng (jangka panjang). Dampak langsung (jangka pendek), misalnya mengalami luka fisik, hamil, ataupun kehilangan pekerjaan. Sedangkan dampak jangka panjang, misalnya korban akan kehilangan kepercayaan dan konsep diri, bahkan pada situasi tertentu dapat menjadi gila (Ervita dan Puji Utami, 2002: 27).

Menurut Fakih (2003: 17—20) ada banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya:

Pertama, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse) termasuk dalam hal ini.

Dalam novel Sang Maharani, kekerasan yang dialami Rani tidak hanya dilakukan oleh tokoh laki-laki saja, tetapi juga oleh tokoh perempuan. Dalam kisah ini, Sari, sang ibu tiri menjadi salah satu tokoh perempuan yang melakukan kekerasan terhadap Rani.

Di dalam rumah, Rani mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Sari, ibu tirinya. Sebagai sesama perempuan, tak ada sedikit toleransi dari Sari untuk

membela kaumnya sendiri. Secara fisik, Rani sering dipukuli dan ditampar oleh Sari jika Rani tak menuruti kemauannya. Selain itu, Rani pun dijadikan pelayan di rumahnya sendiri dan tak jarang ia dimaki dengan kata-kata kasar. Hal itu dapat melukai psikis seseorang, terutama Rani yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu sebagai seorang anak. Kekerasan tersebut terlihat dari kutipan berikut.

Rani berpikir cepat. Ia merasa sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung saat ini. “Tidak. Biarkan saya kembali berada di dalam dapur. Ibu harus menyelamatkan saya. Mereka pasti akan menangkap saya karena saya orang Belanda, Bu!”

Ia ingin melepaskan baju Moetiara, tapi Sari menampar pipinya sekuat tenaga hingga ia tersungkur di lantai. “Anak-anak bodoh! Lakukan saja apa yang kukatakan atau aku akan membunuhmu!” desisnya. Rani memegang pipinya yang terasa pedas.

“Jangan katakan bahwa aku ibu tirimu. Aku dan Moetiara di sini adalah pelayan dan kau adalah pemilik satu-satunya rumah ini, mengerti?! Kalau kau berkata sepatah kata pun tentang aku dan Moetiara aku akan membunuhmu!” (hlm. 73—74).

Kedua, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat.

Di luar rumah, Rani mengalami tindak kekerasaan seksual. Hal itu dialaminya ketika ia menjadi seorang jugun ianfu. Ketika menjadi seorang jugun ianfu, Rani dipaksa untuk memenuhi nafsu para tentara Jepang—yang tak dikenalinya—saat itu. Rani berusaha untuk menghindar dan menjauhkan dirinya dari jamahan para tentara. Namun, yang terjadi justru Rani dipukuli, ditampar, bahkan diinjak hingga pingsan. Ketika ia pingsan, saat itulah para tentara Jepang memperkosanya secara bergiliran. Berikut kutipannya.

Begitu masuk ia langsung menyergap tubuh Rani yang belum sempat mengenakan pakaian. Rani berontak habis-habisan. Ia tidak mau lagi dihina untuk yang kedua kalinya, tapi pria itu menamparnya dua kali. Rani merasa kepalanya pusing dan hampir pingsan. Kali ini semua berlangsung lebih cepat karena ia sudah setengah tidak sadar. Pria itu keluar tanpa berkata apa-apa dan tanpa memberikan uang tip. Lalu, masuklah pria ketiga (hlm. 108).

Kekerasan yang dialami Rani ini menimbulkan dampak bagi korban, seperti trauma yang mendalam pada diri Rani hingga membuatnya sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain, terutama laki-laki. Selain itu, Rani sering bermimpi buruk hingga membuatnya takut untuk tidur. Ia pun mulai kehilangan jati dirinya, ia merasa tidak pantas untuk menjadi seorang istri bagi suaminya kelak akibat keperawanannya yang direnggut ketika menjadi jugun ianfu. Kekerasan seksual yang dialami Rani telah membuatnya terpuruk. Seperti tampak pada kutipan berikut.

Setelah ia bebas, keadaan bertambah buruk baginya. Ia merasa dirinya tak berharga, dan kali ini tidak ada lagi kawan senasib. Ia sudah tak bertemu lagi dengan para tahanan kamp yang lain. Ia juga tak mau bertemu mereka. Tiba-tiba saja ia sering dilanda rasa trauma ketika melihat seorang pria berjalan, membayangkan bahwa pria itu akan tahu ia bekas pelacur dan ikut memerkosanya. Ia merasa pesimis dengan masa depannya. Apakah akan ada seorang pria yang menginginkannya? Bila ya, bagaimana bila pria itu tahu ia bekas jugun ianfu? Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri, bisakah ia melayani suaminya kelak tanpa merasa jijik terhadap hubungan seksual? Rani kemudian memutuskan, ia tidak bermimpi akan mempunyai sebuah keluarga kelak. Lebih baik ia berpikir bagaimana caranya bisa melewati hari-hari ini dengan baik dan terbebas dari semuanya. Memang kadang-kadang mimpi buruk yang dialaminya membuat ia seperti ingin mati saja (hlm. 153—154).

Ketiga, tindakan kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan adalah pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual, seperti menyakiti,

atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor dan mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya.

Di dalam novel Sang Maharani, tokoh Rani pernah mengalami pelecehan seksual ketika Tiar membeberkan masa lalu Rani ketika menjadi seorang jugun ianfu. Tiar membuat malu Rani di depan para tamu undangan, wartawan, dan calon tunangannya dengan mengatakan bahwa Rani dengan sukarela menjadi wanita penghibur bagi tentara Jepang saat itu. Bahkan, Rani mendapat julukan sebagai perempuan paling cantik yang pandai bermain catur. Tiar juga mengatakan bahwa Rani memiliki uang dan membuka toko roti merupakan hasil melacurkan dirinya pada tentara Jepang. Berikut kutipannya.

“Hari ini... yang berdiri di hadapan Anda semua adalah seorang gadis terhormat dengan tingkah lakunya yang sopan-santun. Ia bersanding dengan Tuan Janoear yang terhormat dan kaya-raya. Namun, siapa sangka pada saat penjajahan Jepang, di mana semua orang kelaparan dan menderita, gadis ini mau saja menjadi pelacur untuk memuaskan nafsu para perwira Jepang dengan imbalan uang.”

Semua mata memandangnya. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin.

“...bahkan ia mendapat predikat gadis nomor satu di Wisma Bintang Cahaya yang pandai main catur....”

“Ia dipiara oleh seorang perwira tinggi bernama Tuan Takeshi yang tergila-gila pada pelayanan yang diberikannya....”

“....karena itu ia mempunyai banyak uang dan membuka usaha toko roti sekarang....”

“....dengan pertunangannya ia mengukuhkan diri sebgai wanita terhormat yang tidak punya cacat cela, padahal dulu ia menghibur laki-laki dengan kecantikannya....”

“....ia menjebloskan ibu tirinya dengan tuduhan palsu ke penjara karena wanita itu tahu rahasianya...”

“...ia pandai membuat pria tergila-gila dan merebut Tuan Janoear dari tangan saya...”

“...bila ia wanita terhormat seperti saya, lebih baik mati daripada menyerahkan tubuh yang ditukar dengan kebebasan dan uang...” (hlm. 277).

Keempat, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan dari yang bersangkutan.

Rani kembali mengalami kekerasan seksual yang kali ini dilakukan oleh Janoear, mantan calon tunangannya. Ketika Rani sudah mencoba untuk kembali menata kehidupannya yang hancur pasca menjadi jugun ianfu, ia justru harus kembali terpuruk karena ulah Janoear yang memperkosanya. Bahkan, kekerasan yang dialami Rani kali ini berdampak langsung padanya, yakni menyebabkan Rani hamil. Kekerasan seksual yang dilakukan Janoear dikarenakan ketidakadilan yang dirasakannya terhadap Rani. Ketika penjajahan Jepang, Rani ternyata sudah dijamah dan tidur oleh banyak tentara Jepang, sedangkan Janoear yang saat itu baru berstatus calon tunangannya belum pernah sekalipun menyentuh Rani. Tanpa berpikir panjang, Janoear pun memperkosa Rani. Berikut kutipannya.

“Kau marah? Sejujurnya kukatakan bahwa kau tidak ada apa-apanya dibandingkan Maharani. Aku mencintainya. Meskipun tak dapat menerimanya, aku mencintainya.” Lalu ia menangis dan memukul -mukulkan kepalanya di meja seperti orang gila. Ia lalu memandang Tiar. “Tahukah kau? aku sudah tidur dengannya, aku memerkosanya, seperti orang telah menidurinya di zaman Jepang. Aku merasa impas sebab aku telah menidurinya (hlm. 290).

Tampaknya aku sedang…. Maksudku, akibat hubungan kita malam itu.. aku… aku hamil (hlm. 297).

Kekerasan seksual yang dialami tokoh perempuan menstereotipkan bahwa perempuan selalu dianggap satu tingkat lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dianggap lemah dan tidak mampu untuk melawan laki-laki. Ketidakberdayaan perempuan justru dianggap sebagai kelemahan dari perempuan. Perempuan pun

selalu diajadikan sebagai objek untuk memuaskan nafsu laki-laki. Seolah-olah kenikmatan dan kepuasan laki-laki berada pada sosok perempuan.

3.2.5 Streotip Ibu Tiri yang Jahat Dikukuhkan oleh Tokoh Sari

Menurut M. Adityawarman Hidayat (1987: 60—61), perkataan “tiri” dan “ibu tiri” pada pendengaran bangsa Indonesia sejak dahulu umumnya menimbulkan anggapan negatif. Istilah “ibu tiri” kurang enak didengar. Tak seorang anak pun di dunia ini menginginkan beribu tiri, tetapi tak seorang pun mampu mencegahnya jika takdir telah menentukan demikian.

Dalam cerita-cerita anak di Indonesia, ibu tiri sering digambarkan sebagai manusia kejam. Anak-anak tirinya menderita karenanya. Jika sang ibu tiri memiliki anak sendiri, digambarkan bahwa ada perbedaan kasih sayang antara anaknya sendiri dengan anak tirinya. Sering pula digambarkan seorang ibu tiri menghajar anak tirinya, sedangkan anak kandung dimanjakan.

Sebagai tokoh ibu tiri, Sari mengukuhkan stereotip tentang ibu tiri yang jahat. Kejahatan tokoh Sari dilakukan terhadap tokoh Rani sebagai anak tirinya dan terhadap suaminya, Jenderal Van Houten. Kejahatan Sari yang dilakukan terhadap suaminya, yaitu membunuh dengan cara meracuni makanan yang akan dimakan oleh Van Houten. Hal itu tercermin dari kutipan berikut.

Berikutnya kesaksian Atik. “Sebulan sebelum kejadian itu, Nyonya membeli racun tikus di pasar. Racun itu ditaruhnya di lemari dapur. Saya sempat bilang agar racun itu jangan ditaruh di sana karena takut disangka makanan dan termakan orang nanti bisa mati. Nyonya membentak dan meminta saya tidak ikut campur!” (hlm188).

Sidang selesai. Hakim memutuskan Sari bersalah dan dihukum sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan (hlm 192).

Sepeninggal suaminya pun Sari semakin menjadi-jadi dengan menghambur-hamburkan harta suaminya. Berikut kutipannya.

“Lihat saja, baru mingu lalu ia menyelenggarakan pesta dansa yang diadakan untuk pertama kalinya di rumah kita sejak ibu meninggal. Apakau kau sudah mendengar kabar? Dua minggu lagi adalah hari ulang

Dokumen terkait