• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2. Prevalensi Endoparasit

Prevalensi encoparasit cacing yang ditemukan menyerang saluran pencernaan Ikan Cakalang memiliki nilai yang berbeda tiap genusnya. Data hasil perhitungan prevalensi cacing endoparasit pada Ikan Cakalang dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Prevalensi endoparasit yang menyerang saluran pencernaan Ikan Cakalang

Berdasarkan tabel perhitungan prevalensi cacing endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara memiliki nilai yang berbeda-beda. Tingkat prevalensi cacing Echinorhynchus sp. merupakan yang tertinggi, ia menginfeksi seluruh sampel uji yaitu 100% pada organ usus dan menginfeksi dua ekor sampel dengan prevalensi 4% pada organ lambung, cacing Acanthocephalus sp. sebesar 22% dan menginfeksi 11 ekor sampe pada organ usus, Pomphorhynchus sp. sebesar 20%

menginfeksi 20 ekor sampel memiliki tingkat prevalensi 40% pada organ usus, Rhadinorhynchus sp. menginfeksi 31 ekor sampel pada organ usus dengan tingkat prevalensi 62% dan seekor ikan pada organ lambung dengan prevalensi 2%, Neoechynorhynchus sp. dengan tingkat prevalensi 50% menginfeksi 25 ekor sampel pada organ usus, Apororhynchus sp. dengan tingkat prevalensi 4% hanya menginfeksi dua ekor sampel pada organ usus, sedangkan Anisakis sp. hanya memiliki tingkat prevalensi sebesar 2% dan meginfeksi satu ekor sampel pada organ usus.

Gamba 13. Perbandingan prevalensi cacing endoparasit antar dua kelompok ukuran ikan

Nilai prevalensi cacing endoparasit antar dua kelompok ukuran ikan diketahui bahwa kelompok ukuran pertama memiliki nilai prevalensi yang lebih tinggi daripada kelompok ukuran kedua pada semua jenis cacing kecuali cacing Echinorhynchus sp. (gambar 13). Cacing Echinorhynchus sp. pada kedua kelompok berhasil mencapai tingkat infeksi sebesar 100%, sedangkan cacing

0.00

pertama dan 25% pada kelompok ukuran kedua. Cacing endoparasit lain pada kelompok ukuran pertama dan kedua masing-masing tingkat prevalensinya yaitu Neuechinorhynchus sp. 73% dan 25 %, Leptorhynchoides sp. 57,7% dan 20,8%, Pomphorhynchus sp. 30,8% dan 8,3%, dan Acanthocephalus sp. dengan tingkat infeksi 23% dan 20,8%. Sedangkan, Apororhynchus sp. dan Anisakis sp. hanya ditemukan menginfeksi kelompok ukuran kedua dengan tingkat infeksi masing-masing 8,3% dan 4,2%.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Identifikasi Endoparasit

Ikan Cakalang termasuk ikan pelagis yang beruaya jauh (highly migratory) di wilayah Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) suatu negara (Firdaus, 2018). Komponen parasit yang menginfeksi ikan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik suatu perairan. Kabata (1985) menyebutkan faktor-faktor tersebut berasal dari faktor fisika dan kimia air, adanya inang bagi parasit, dan berbagai organisme patogen di lingkungan yang memungkinkan untuk menginfeksi ikan. Namun, parasit krustasea dan protozoa yang mungkin menyerang ikan diperkirakan telah mengalami kerusakan jaringan saat perlakuan penanganan ikan di atas kapal, penyimpanan di dalam palka, sampai kegiatan bongkar muat. Hal ini dikarenakan jenis parasit yang berukuran mikroskopis tersebut biasanya rentan rusak khususnya jika ikan disimpan dengan suhu rendah di bawah 4 0C. Berbeda dengan cacing parasit, struktur tubuh yang lebih makro dan kasat mata, serta akan mengalami kerusakan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan krustasea dan protoza. Sehingga menyebabkan cacing endoparasit lebih sering ditemukan pada

ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang berlayar selama dua minggu atau lebih, terutama pada Ikan Cakalang pada penelitian ini.

Terdapat delapan jenis cacing endoparasit yang menginfeksi saluran pecernaan Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara, tujuh di antaranya berasal dari filum Acanthocephala atau disebut juga dengan cacing berkepala duri, yaitu Echinorhynchus sp., Acanthocephalus sp., Pomphorhynchus sp., Leptorhynchoides sp., Rhadinorhychus sp., Neoechinorhynchus sp., dan Apororhynchus sp. Sedangkan hanya ditemukan seekor cacing Anisakis sp. yang berasal dari filum Nemathelminthes.

Keberadaan cacing parasit acanthocephala dan nematoda pada saluran pencernaan ikan kemungkinan berasal dari host inang sementara cacing parasit seperti arthropoda maupun ikan-ikan kecil lainnya yang dimakan oleh Ikan Cakalang. Ikan ini merupakan ikan karnivora (Azwir et al., 2004). FAO (1983) menyebutkan bahwa makanan utama Ikan Cakalang adalah ikan-ikan kecil, crustacea, dan moluska.

Spesies Echinorhynchus sp. (gambar 4) biasanya berperan sebagai parasit pada ikan laut (Wayland et al., 2015). Cacing ini ditandai dengan belalai pendek berduri dan berbentuk silinder serta leher yang pendek (Arai, 1989). Struktur tubuh cacing betina diketahui lebih besar daripada jantan. Secara umum, Amin (2016) menyatakan bahwa bentuk batang tubuhnya silindris dan melebar pada sepertiga bagian anterior lalu semakin meruncing ke bagian posteriornya. Selain itu, Arai (1989) juga menyebutkan bahwa ganglion Echinorhynchus sp. terhubung ke bagian tengah tubuh pada ujung bawah belalainya.

Sebaliknya cacing Acanthocephalus sp. (gambar 5) yang ditemukan pada Ikan Cakalang memiliki leher yang panjang serta probosis yang sedikit membengkak dan pendek. Ganglion berada di dasar bagian ujung belalai (Arai, 1989). Namun, jika dilihat sekilas dari bentuk tubuhnya, maka akan terlihat sangat mirip dengan Echinorhynchus sp. Untuk dapat memastikan jenis cacing, pewarnaan dan pemeriksaan harus dilakukan menggunakan mikroskop. Cacing ini memiliki tubuh tanpa duri, berbentuk anak panah yang semakin meruncing ke kedua ujung tubuhnya. Dinding tubuh tertipis berbada di bagian anterior dan ventral (Amin et al., 2014).

Pomphorhynchus sp. (gambar 6) ditandai oleh belalai yang didukung oleh leher yang sangat panjang (>1 mm) bila dibandingkan dengan leher belalai Echinorhynchus sp. dan Acanthocephalus sp. Leher ini disebut juga dengan false neck atau pseudo neck (Arai, 1989). Ia memiliki rongga kulit yang tipis dan tidak terdapat duri di bagian batang tubuhnya.

Sedangkan, karakteristik cacing Leptorhynchoides sp. (gambar 7) dapat dilihat dari belalai berbentuk silinder yang sangat panjang dan tubuh silinder tanpa duri. Steinauer dan Nickol (2015) menyatakan bahwa dimorfisme seksual cacing ini dapat dilihat dari ukurannya, ukuran tubuh betina selalu lebih besar daripada jantan.

Rhadinorhynchus sp. (gambar 8) secara umum, struktur tubuh betina lebih besar daripada jantan. Batang tubuhnya agak kecil, silindris dan melengkung ke belakang. Terdapat dua bidang tubuh yang dipisahkan oleh zona tanpa duri, lalu melebar ke arah posterior. Belalai luarnya jauh lebih panjang daripada belalai dengan ganglion cephalic di dekat bagian tengah (Amin dan Heckman, 2017).

Terkadang, cacing ini terlihat mirip dengan Leptrhynchoides sp., perbedaan yang paling mencolok adalah pada bagian-bagian tubuhnya, Arai (1989) menyatakan bahwa Rhadinorhynchus sp. memiliki batang tubuh anterior yang berduri dan dua kelenjar semen sedangkan Leptrhynchoides sp. memiliki batang tubuh tanpa duri dengan delapan kelenjar semen.

Cacing Neoechinorhynchus sp. (gambar 9) memiliki belalai kecil dan bentuk membulat (Briones et al., 2015). Tubuhnya pendek dengan belalai yang kecil dan berbentuk persegi panjang. Belalai tersebut memiliki kait yang membentuk tiga lingkaran dan setiap lingkaran memiliki enam kait (Arai, 1989;

Amin et al., 2014). Batang tubuh memanjang, silinder dan ramping, sedikit lebih lebar pada bagian anterior. Tekadang, punggung tubuh terlihat seperti beprunuk (Amin et al., 2019).

Namun, Apororhynchus sp. (gambar 10) ditandai oleh kepala belalainya yang lebih halus, besar dan lebih penuh dibandingkan dengan cacing endoparasit lainnya yang ditemukan pada penelitian ini. Sangat sedikit informasi yang menjelaskan tentang cacing ini secara umum. Cacing ini biasanya ditemukan lebih banyak menginfeksi burung daripada ikan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa burung menjadi perantara yang membawa cacing ini ke lautan. Pada tahun 1899, Shipley merubah nama genus Arhynchus menjadi Apororhynchus. Genus Arhynchus seseungguhnya memiliki arti ‘tanpa belalai’ (Das, 1950; Shipley, 1987; Shipley, 1899). Spesies ini memiliki batang tubuh yang berbentuk kerucut dan pendek, memiliki sedikit leher atau bahkan tidak mempunyainya sama sekali.

Belalai itu besar, bundar, dengan banyak duri yang tidak berakar yang diatur secara spiritual biasanya tidak mencapai permukaan, atau tanpa duri sama sekali

(Amin, 1987). Pada penelitian ini, Apororhynchus sp. ditemukan tanpa memeliki duri pada belalainya.

Cacing endoparasit Anisakis sp. (gambar 11) ini termasuk dalam kelas Nematoda (Grabda, 1991). Cacing ini berwarna putih dengan bentuk bulat memanjang (Linayati, 2018). Hasil penelitian menunjukan adanya bibir dan mukron pada bagian anterior dan posteriornya. Ukuran cacing ini kecil dan halus.

Kemampuan Anisakis sp. sebagai endoparasit dalam tubuh ikan ditunjang oleh sturuktur tubuh yang memiliki epidermis kulit yang mampu menjadi pelindung dari kerusakan oleh enzim-enzim pencernaan. Adanya kutikula yang disekresikan oleh kulit Anisakis sp. mampu melindungi Anisakis sp. dari enzim dalam usus halus (Linayati, 2018; Lorenzo, 2000).

Rahayu (1986) berpendapat bahwa cacing Acanthocephala yang ditemukan pada ikan laut biasanya ditemukan pada tahap larva dan dewasa. Hasil dari penelitian ini menemukan cacing acanthocephala yang menginfeksi Ikan Cakalang ialah cacing-cacing yang telah berada pada tahap dewasa. Dewasanya cacing ini pada saluran pencernaan inangnya juga dijelaskan oleh Margulis dan Chapman (2009), inang vertebrata biasanya terinfeksi dengan menelan larva infektif yang disebut cystacanth, larva ini terkandung di dalam inang perantara inverebrata yang terinfeksi. Di dalam usus, cacing betina dan jantan menjadi dewasa, kawin, dan bertelur. Sedangkan, cacing Anisakis sp. ditemukan dalam bentuk larva stadium tiga karena memiliki booring tooth atau gigi pengebor (Grabda, 1991). Cacing ini menjadikan ikan sebagai inang perantara yang kemudian dewasa pada tubuh mamalia laut. Beberapa penelitian lain pada ikan

laut seperti Herman (2014), Kurniawati (2014), dan Yani dan Susaniati (2017) juga menemukan cacing Anisakis sp. ini dalam bentuk larva stadium tiga.

4.2.2. Prevalensi Endoparasit

Pada penelitian ini, cacing Echinorhynchus sp. ditemukan dengan total jumlah paling banyak dibandingkan dengan cacing yang lain yaitu sebanyak 485 cacing. Cacing ini menginfeksi seluruh sampel Ikan Cakalang (50 ekor) pada organ usus dan dua ekor Ikan Cakalang pada organ lambung. Kemudian berturut-turut diikuti oleh 108 ekor cacing Rhadinorhynchus sp. yang menginfeksi 31 ekor Ikan Cakalang pada organ usus dan seekor Ikan Cakalang pada organ lambung, 58 ekor cacing Neoechinorhynchus sp. ditemukan menginfeksi 25 ekor ikan pada organ usus, sedangkan 38 ekor cacing Leptorhynchoides sp. menginfeksi organ usus 20 ekor Ikan Cakalang. Selanjutnya, 16 ekor cacing Acanthocephalus sp.

berhasil menginfeksi 11 organ usus Ikan Cakalang, 12 ekor cacing Pomphorhynchus sp. menginfeksi 10 organ usus Ikan Cakalang. Namun, infeksi yang paling sedikit ditemukan pada dua ekor cacing Apororhynchus sp. yang menginfeksi dua ekor Ikan Cakalang dan seekor cacing Anisakis sp. yang hanya menginfeksi seekor Ikan Cakalang pada organ usus.

Tingkat infeksi serangan cacing endoparasit berdasarkan Williams dan Williams (1996), cacing Echinorhynchus sp. berada pada kategori infeksi ‘selalu’

dengan tingkat prevalensi sebesar 100% pada organ usus dan kategori infeksi

‘kadang’ dengan tingkat prevalensi 4% pada organ lambung. Artinya, infeksi cacing ini pada usus termasuk infeksi sangat parah. Cacing ini didapati selalu menyerang seluruh individu ikan sampel di bagian usus dan hanya terkadang

Sumatera Utara. Sedangkan, pada urutan kedua dimiliki oleh cacing Rhadinorhynchus sp. yang mendapatkan kategori infeksi ‘sangat sering’ dengan tingkat prevalensi 62% pada organ usus, dan kategori infeksi ‘kadang’ dengan tingkat prevalensi 2% pada organ lambung . Hal ini menggambarkan cacing Rhadinorhynchus sp. sangat sering ditemukan menginfeksi Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara pada organ usus dan sama seperti Echinorhynchus sp. terkadang ditemukan menginfeksi organ lambung Ikan Cakalang.

Tidak jauh berbeda dengan Rhadinorhynchus sp., infeksi cacing Neoechinorhynchus sp. juga dikategorikan ‘sangat sering’ dengan tingkat prevalensi sebesar 50% pada organ usus. Berbeda dengan infeksi cacing Leptorhynchoides sp. yang memiliki tingkat prevalensi 40% pada organ usus yang dikategorikan ‘umumnya’ atau infeksi yang biasa pada Ikan Cakalang Selanjutnya infeksi oleh cacing Acanthocephalus sp. dan Pomphorhynchus sp. dikategorikan

‘sering’ dengan tingkat prevalensi masing-masing 22% dan 20% pada organ usus.

Keempat cacing tersebut sama sekali tidak ditemukan pada organ lambung.

Berbanding kontras dengan tingkat prevalensi 4% yang dimiliki oleh cacing Apororhynchus sp. dan 2% oleh cacing Anisakis sp. Berdasarkan Williams dan Williams (1996), kedua cacing ini termasuk dalam kategori infeksi ‘kadang’.

Artinya, infeksi dari cacing Apororhynchus sp. dan Anisakis sp. hanya terkadang didapati menginfeksi Ikan Cakalang di perairan Samudera Hindia Sumatera Utara.

Selain itu, kedua jenis cacing tersebut hanya menginfeksi organ usus dan tidak ditemukan menginfeksi organ lambung Ikan Cakalang tersebut.

Infeksi cacing parasit dari filum Acanthocephala juga pernah dilaporkan oleh Sabariah et al. (2018) pada Ikan Cakalang di perairan Manokwari, tingkat prevalensi cacing ini hanya sebesar 3,3% dan menyerang kulit ikan, cacing parasit yang mendominasi berasal dari cacing Trematoda dengan prevalensi 93,3%.

Namun, Diba dan Rahman (2019) hanya menemukan infestasi cacing endoparasit oleh cacing Anisakis sp. pada Ikan Cakalang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere dengan prevalensi 50%. Di samping itu, infeksi cacing dari filum Acanthocephala pada cakalang di saluran pencernaan secara umum diketahui dan didukung seperti penelitian dialporkan oleh Amin et al. (2019) di Pantai Pasifik Vietnam, Ikan Cakalang di Laut Oman (Sattari et al., 2014) dan Laut Batangas (Briones et al., 2015).

Dalam hal ini, tingkat infeksi berdasarkan prevalensi atau disebut juga insidensi hanya dapat mengambarkan frekuensi kejadian individu ikan terserang oleh masing-masing jenis parasit yang digolongkan pada beberapa kategori menurut Williams dan Williams (1996). Walaupun prevalensi parasit terhadap ikan memiliki nilai yang tinggi, gambaran tersebut hanya dapat menunjukkan jenis-jenis parasit yang sering ditemukan pada ikan. Untuk mengetahui tingkat serangan parasit termasuk membahayakan inang atau tidak, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait intensitas parasit serta histopatologi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh parasit.

Dokumen terkait