• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSES RITUAL UPACARA REBA

3.2 Proses Pelaksanaan Ritual Adat Reba

Pada umumnya setiap perayaan atau upacara memiliki tahapan dalam

pelaksanaanya. Demikian pula proses pelaksanaan ritual adat Reba ini mempunyai

empat tahapan besar yaitu tahapan persiapan, perayaan awal, perayaan inti, dan

perayaan akhir. Setiap tahap mempunyai upacara masing-masing dan semuanya

harus di patuhi oleh setiap peserta ritual adat Reba ini.

3.2.1 Persiapan

Pada tahap persiapan, jauh-jauh hari sebelum perayaan Reba kurang lebih

sebulan warga masyarakat menyiapakan segala kebutuhan untuk perayaan Reba.

Barang-barang kebutuhan tersebut antara lain; kayu api (kaju lasa), ubi, beras,

tuak (moke), ayam, babi, kelapa, pisang, aur/bambu, daun kelor, dan lain-lain.

Selama masa itu, ada hal-hal tabu atau larangan seperti tidak membawa unsur-

unsur biota laut (pantai) seperti, ikan, daun lontar, terumbu karang, dan lain-lain.

Jangka waktu tersebut dianggap suci, sakral, atau tempus sacrum (Daeng,

2000). Bila hal itu dilanggar maka akan terjadi bencana seperti angin ribut (badai).

Di samping itu warga juga menyiapkan pakian adat secara lengkap dengan semua

aksesorisnya. Pada perayaan Reba ada sebuah properti yang disebut tuba yaitu

semacam tongkat yang diukir terbuat dari kayu dan pada ujung atasnya diikatkan

bulu kambing yang berwarna putih.

Selain menyiapakan barang-barang kebutuhan, warga juga membersihkan

tempat-tempat khusus yang akan digunakan sebagai tempat upacara ritual selama

masa Reba seperti Watu Lanu, Meri, Ngedu, dan Keka Lela Ela, (nama tempat

untuk pelaksanaan upacara pemotongan ubi). Upacara pembersihan mengandung

makna penyucian semua simbol yaitu tempat upacara, simbol pertanian, simbol

rohani, termaksud penyucian secara utuh seluruh keluarga, para leluhur, agar

pelaksanaan upacara Reba selanjutnya tidak mengalami hambatan. Menurut

kepercayaan adat, orang bisa tertimpa sakit, bila tidak memperhatikan atau

mempersiapkan tempat-tempat ini (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27

Desember 2012).

3.2.2 Perayaan Awal

Ada beberapa upacara ritual awal yang dilaksanakan oleh masing-masing

Reba Bhaga. Ketiga upacara ini dilaksanakan pada pagi, dan siang hari sebelum

malam pertama perayaan inti Reba yaitu Kobhe Dheke. Berikut deskripsi

pelaksanaan upacara-upacara ritual awal tersebut.

3.2.2.1. Rebha

Rebha adalah salah satu upacara perayaan awal yang dilaksanakan pada

pagi hari pertama sebelum kobe dheke, yang dilaksanakan di kebun atau ladang

sebelum upacara persiapan berikutnya yaitu tege kaju lasa, Rebha dilaksanakan

untuk memohon berkat Tuhan melalui arwah leluhur agar tujuh tanaman (ngaza

lima zua) tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah, ketujuh

tanaman tersebut adalah padi (pare), jagung (hae), jali (ke’o), jagung solor (hae

lewa), jewawut (wete), jemali (ghedho), dan kacang-kacangan (hobho). Ketujuh

tanaman ini ditanam bersama-sama di dalam kebun atau ladang.

Proses upacara rebha sebagai berikut, beberapa orang dari masing-masing

suku atau warga rumah adat (ana sa’o) dua atau tiga orang, berangkat dari

kampung menuju ke kebun membawa serta parang, pisau, satu ekor ayam kecil,

satu buah kelapa muda yang masih kecil (boko nio) dan nasi. Di kebun mereka

langsung menuju sebuah tempat di dalam kebun yang benama mata tewi. Mata

tewi merupakan sebuah tempat yang berukuran kurang lebih 2x2 m, yaitu tempat

penanaman atau penyimpanan ubi (uwi), pada keempat sudutnya ditanami ubi,

sedangkan ditengahnya ditanami pisang atau tebu. Lanu adalah sebuah batu

megalit pipih yang ditanam disalah satu bagian kebun (biasanya di tengah kebun)

sebagai bukti yang sah kepemilikan kebun. Di tempat tersebut, ayam dipotong

seorang yang hadir (biasanya yang tertua) mengucapkan semacam mantra (zi’a

ura manu) untuk menyatakan ujud pelaksanaan upacara tersebut, syairnya

berbunyi:

Zi’a ura manu dia :Semoga dengan upacara pemotongan ayam

untuk Rebha,

Dia kami da rebha uma :Ini kami akan merebha kebun

Raba go ngaza lima zua lowa :Agar ketujuh tanaman bertumbuh subur

Dia kami nge : Kami persembahkan darah ayam ini

nuka reba :Bagi keselamatan perayaan reba di

kampung,

Manu kau ura zi’a :Ayam, semoga uratmu, empedumu

menunjukan pertanda baik ,

Bhoko sewolo jali jo : Tanaman terbaris rapi,

Da lewa noze nea :Yang tinggi dipangkas sehingga subur

Kiki kaba ne’e wea :Dapat menghasilkan kerbau dan emas,

Pedhu kau bodha wela alo : Semoga penyakit tersingkir jauh.

Teks tuturan 4

Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh

Bapak Fransiskus Dhosa (61 tahun), Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.

Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba (23 tahun)

Setelah selesai pengucapan mantra zi’a ura manu lalu ayam dipotong,

melihat kondisi urat hati dan empedu ayam, melalui pengamatan terhadap kondisi

urat hati, dan empedu ayam akan tampak petunjuk-petunjuk tertentu seperti akan

terjadi kelaparan, tanaman tumbuh subur atau berhasil, akan ada kematian di

dalam keluarga sendiri atau orang lain, dan lain-lain. Setelah selesai meramal hati

ayam dan empedunya tadi darah ayam dioleskan pada batu lanu, dan dioleskan

pada daun-daun dari ketujuh tanaman yang dipetik dan diikat menjadi satu.

Kemudian salah seorang membakar ayam tadi dan yang lainnya berjalan

keliling kebun untuk rebha. Daun ketujuh tanaman yang telah dioles darah ayam

tadi, dicelupkan kedalam buah kelapa muda setelah dilubangi bagian matanya,

kemudian mereka berjalan keliling kebun memerciki tanaman di seluruh kebun

sambil berteriak, lowa-lowa-lowa (lowa artinya bertumbuh terus). Berjalan

mengelilingi kebun harus mengarah ke kanan, atau cukup berjalan dari wena

(bagian yang rendah) ke za’i atau ulu (bagian yang tinggi). Terakhir, kelapa muda

tadi ditelungkupkan pada salah satu kayu patok teras kebun di bagian za’i atau

ulu. Kemudian mereka makan nasi serta daging ayam yang dibakar, sebelum

dimakan, mereka harus memberi sesajen (kuwi) bagi leluhur berupa nasi dan hati

ayam. Pada waktu kuwi (memberi sesajen) harus diucapkan mantra berikut:

Dia ine ema, ebu kajo: Ini para leluhur, nenek moyang

Kami da puju kuwi: Kami memberimu sesajen

Ka papa fara, inu papa resi: Makanlah bersama, minumlah bergilir

Kami nenga raba: Kami akan merayakan

go buku reba: adat budaya reba

Sili Ana Wunga: Sili Ana Wunga.

Teks Tuturan 5

Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh

Bapak Fransiskus Dhosa (61 tahun), Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.

Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba (23 tahun)

3.2.2.2 Tege Kaju atau Kuju Lasa

Setelah upacara rebha di kebun, siang atau sore harinya ada upacara tege

kaju. Secara harafiah tege kaju artinya memasukan kayu api kedalam sa’o (rumah

adat). Kayu api ini sesudah dipotong, dan dikeringkan kurang lebih sebulan

menjelang pesta Reba. Kayu-kayu tersebut ditumpukan di padha sa’o yaitu

jenjang pertama dalam sebuah rumah adat (sa’o). Rumah adat (sa’o) memiliki tiga

jenjang lantai yaitu pertama padha, kedua teda, dan jenjang ketiga one.

Pelaksanaan upacara tege kaju harus dimulai dari rumah adat tertentu (rumah adat

induk) yang mempunyai hak adat mengawali upacara tersebut, baru di ikuti oleh

sa’o ngaza (nama rumah adat) lainnya. Dahulu kayu api yang disiapkan itu hanya

kayu Reba, kini selain kayu Reba ada juga jenis kayu lain seperti kayu denu

(kaliandra). Kayu dimasukan kedalam rumah adat dan diletakan di atas para-para

(kae) yang berjarak kurang lebih satu setengah sampai dua meter di atas tungku

didalam rumah adat. Kayu api tersebut disiapkan untuk dipakai selama upacara

Reba yang bisa membutuhkan waktu satu sampai dua minggu lamanya. Jenis

kayunya harus kayu yang berisi supaya bara api tetap ada, sebab selama perayaan

perayaan Reba orang tidak boleh ke kebun untuk melakukan pekerjaannya karena

hal tersebut di anggap tabu, dan akan mengalami gagal panen.

Yang dimasukan paling pertama ialah kaju lasa yaitu kayu Reba yang

setengah kering, kaju lasa ini ada 12 batang diletakan tersendiri paling bawah

yaitu dibagian dasar para-para. Kayu-kayu lainnya dimasukan kemudian, disusun

menumpuk ke atas, bila masa pesta Reba telah selesai namun kayu-kayu tersebut

masih ada, maka kayu-kayu tersebut boleh digunakan untuk masak, sedangkan

kaju lasa tidak boleh dipakai. Tetapi tetap disimpan sampai tiba waktu perayaan

Reba tahun berikutnya, pada Reba tahun berikutnya akan dimasukan kaju lasa

yang baru, maka kaju lasa yang lama bisa dipakai. Melalui kaju lasa ada unsur

mengikat, mengingatkan serta kontinuitasnya terpelihara terus.

Posisi kayu pada saat dimasukan kedalam rumah adat adalah bagian

pangkal dahulu, filsafatnya: olo pu’u dhera, olo lobo tupu tapa. Secara harafiah

artinya kalau duluan pangkal lancar prosesnya, sedangkan kalau duluan pucuk

akan tertahan ranting atau cabang. Makna simbolisnya; segala urusan harus

dimulai dari bawah atau dasar, kalau dimulai dari atas akan tertahan atau

terhalang. Teknik memasukan kayu, seorang berdiri di padha sa’o mengambil

kayu satu-persatu diberikan kepada sesorang lain yang berdiri di teda, lalu

diberikan kepada seorang lainnya yang sudah berdiri didalam sa’o, lalu

menyusunnya ke atas para-para. Sesudah kayu dimasukan semua, dilanjutkan

dengan upacara pemotongan ayam di dalam rumah adat untuk mengesahkan

upacara tege kaju (memasukan kayu ke dalam rumah adat) tersebut. Sebelum

mantra zi’a ura manu pengesahan upacara tege kaju. Selanjutnya seluruh warga

rumah adat (ana sa’o) bersama-sama makan minum perjamuan upacara tege kaju

tersebut, intinya adalah makan bersama. Masalahnya bukan banyak sedikitnya

makanan, tetapi seperti filsafat ka papa fara, inu papa resi yang artinya makan

bersama dari satu wadah, dan minum bergilir dari satu cangkir (Wawancara

Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012).

3.2.2.3. Reba Bhaga

Sesudah upacara tege kaju, dilanjutkan dengan upacara reba bhaga. Bhaga

adalah miniatur rumah adat yang didirikan di tengah kampung, pada zaman

dahulu ada orang yang ditugaskan khusus untuk tinggal di bhaga. Di samping

bhaga ada madhu (ngadhu) yaitu tiang pemali berukir tempat menambat kerbau

yang akan dikorbankan untuk upacara-upacara tertentu dalam kampung,

misalanya ka’a sa’o (upacara pembuatan rumah adat baru), kenduri, dan lain-lain.

Reba bhaga dilaksanakan di dalam bhaga, di awali dengan pengucapan mantra

zi’a ura manu dengan ujud reba bhaga. Peserta reba bhaga hanya beberapa orang

saja yang diutus oleh kepala adat, dalam upacara reba bhaga urat hati dan empedu

ayam harus diamati dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui tanda-tanda atau

ramalan. Setiap pemotongan ayam didahului dengan pengucapan mantra zi’a ura

manu dan harus diikuti dengan membaca tanda-tanda atau ramalan melalui posisi

urat hati dan empedu ayam, sedangkan pemotongan ayam untuk makan biasa

Ayam yang dipanggang atau dibakar dimakan bersama nasi serta

minumannya adalah tuak (moke), sebelum menyantap nasi dan daging ayam,

terlebih dahulu mereka memberikan sesajen berupa nasi dan hati ayam bagi para

leluhur (kuwi). Demikianpun minuman, para leluhur harus diberi minum terlebih

dahulu yang biasa disebut fedhi tua. Tata upacara pemotongan hewan dengan ujud

tertentu yang diawali dengan pengucapan mantra dan pemberian sesajen berlaku

untuk semua upacara (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012).

3.2.3 Perayaan Inti

Sili peletak atau pionir pertama budaya Reba sudah menata perayaan Reba

dalam tiga bagian yaitu: Esa, go wala su’a kobe wunga, artinya: pertama,

mengasah pisau, malam pertama. Zua, go su’i uwi kobe ngia zua, artinya: kedua,

memotong ubi, malam kedua. Telu, go pojo tebu kobe ngia telu, artinya:

menikmati hasilnya bersama, malam ketiga.

Namun, secara umum perayaan inti Reba terdiri atas tiga bagian yakni:

kobe dheke (dheke reba) artinya masuk rumah adat, sedo uwi artinya tarian

khusus pada perayaan Reba, dan su’i uwi artinya upacara terakhir pada perayaan

inti Reba.

3.2.3.1 Kobhe Dheke (Masuk Rumah Adat)

Secara harafiah kobhe dheke terdiri atas dua kata, yaitu kobe yang berarti

malam, dan dheke yang berarti naik. Nuansa maknanya bahwa masuk rumah adat

rumah adat) yang posisi paling tinggi, sehingga untuk masuk rumah adat selalu

digunakan kata dheke. Pada malam dheke reba semua keluarga atau warga rumah

adat, baik yang berada di kampung itu maupun yang datang dari luar daerah

karena bekerja di perantauan akan berkumpul bersama. Dheke Reba,

diselenggarakan di rumah adat masing-masing yang merupakan malam reuni

keluarga secara paripurna. Setiap warga rumah adat yang datang akan membawa

serta beras, ayam, moke (tuak). Pada malam itu juga, para penggarap lahan atau

bidang tanah milik sa’o (rumah adat) tersebut akan datang mengantar beras,

moke, dan ayam, yang bahasa adat Ngadha disebut dengan istilah wae tua ana

manu. Selama seseorang atau keluarga tertentu menggarap tanah dari rumah adat

tertentu, maka pada setiap upacara Reba, pada upacara kobhe dheke mereka harus

wajib mengantar tua ana manu. Pengantaran tua ana manu tersebut merupakan

bukti hukum kepemilikan atau pengakuan bahwa tanah yang mereka garap adalah

milik sah dari sa’o (rumah adat) tersebut. Bila mereka lalai, tidak mengantar wae

tua ana manu pada malam kobhe dheke, maka bisa didenda atau dilarang

mengerjakan lahan itu lagi.

Kobhe dheke juga merupakan ajang seorang pemuda dan keluargannya

mengantar tua manu atau belis (mas kawin) untuk meresmikan pertunangan

dengan seorang wanita dari sa’o (rumah adat) tersebut. Untuk sebuah pernikahan,

jalur adat yang harus ditempuh ialah melamar atau masuk minta yang dalam

bahasa adat Ngadha disebut bere tere oka pale, kemudian pada waktu Reba

mengantar tua manu (mas kawin), lalu terakhir pemberkatan nikah. Pada malam

berkumpul, bernostalgia, saling melepas rindu, bercerita tentang pengalamannya

masing-masing.

Pada upacara kobhe dheke, bila tidak ada yang mengantar tua manu (mas

kawin), kepala suku dan semua warga rumah adat yang mengikuti upacara

tersebut diberi kesempatan untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang berkaitan

dengan penanaman tanaman, pengggarapan lahan, kebun, atau ladang, perhatian

kepada rumah adat, upacara-upacara adat, pemeliharaan lingkungan, masalah

moral dan kebajikan, serta masalah perkawinan dan rumah tangga. Pada malam

itu di setiap rumah adat seluruh warga atau peserta Reba wajib mengikuti jalannya

upacara dheke reba, biasanya orang mengikuti upacara dheke reba di rumah adat

pihak mama terlebih dahulu (matrilineal), baru dilanjutkan merayakan di rumah

adat pihak bapak (patrilineal) (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember

2012).

3.2.3.2 Sedo Uwi

Sedo Uwi adalah tarian tanda khusus pada perayaan Reba, seni

pertunjukan massal yang dilakonkan oleh seluruh masyarakat baik anak-anak,

orang muda, maupun orang tua. Semua penari harus berpakaian adat lengkap.

Laki-laki menggunakan Sapu Lu’e, Keru, Boku, Marangia, Lega Jara, Sau atau

Tuba, (nama pakian adat yang dikenakan oleh laki-laki). Sedangkan perempuan

menggunakan Lawo, Kasa, Kese, Keru, Marangia, dan Lega Jara atau Tuba,

(nama pakian adat yang dikenakan oleh wanita). Sedo Uwi dilaksanakan pada hari

Para penari membentuk lingkaran, melakukan gerakan hentakan kaki

dalam irama maju mundur selangkah bergantian kaki kiri maju, dan kaki kanan

maju. Gerakan lingkaran berputar ke kanan sambil bernyanyi O Uwi e. Refrein

lagu tandak tersebut dinyanyikan bersama oleh seluruh peserta, sedangkan di

bagian dalam lingkaran ada kelompok kor kecil yang masing-masing terdiri atas

tiga orang yang melantunkan bait-bait solonya. Kedua kelompok terebut yang satu

bernama Jara atau Tu sebagai kelompok chorus 1, yang lainnya bernama Naro

atau Doa sebagai kelompok chorus 2. Menurut Bapak Yohanes Wawo (58),

seorang seniman Ngadha mengatakan bahwa musik seperti ini bergaya polifoni,

artinya beberapa kelompok penyanyi (tiga kelompok) melantunkan melodi yang

berbeda dengan syair yang berbeda tetapi dalam kesatuan irama dan harmoni.

Syai-syair solo yang dilantunkan kebanyakan menggambarkan tentang leluhur

penjasa, atau pionir, dan ungkapan puja-puji tanaman ubi. Contoh syair-syair

tentang ubi antara lain:

Uwi meze go lewa laba: Ubi sebesar gong, sepanjang gendang

Ubi tebu toko, koba rao wolo: Ubi merambat menutupi gunung

Uwi ladu wai poso: Ubi penopangnya gunung poso

Koba rako lizu : Merambat menutupi langit

Uwi kutu ko’e: Ubi digali babi landak

Dhano ana ko’e: Tetapi masih tetap ada

Uwi hui moki: Ubi disungkur celeng

Moki bhai moli: Tetapi tetap masih ada

Wua benu Nabe Fusa: Tetap penuh di Nabe Fusa

Dizi ne’e da metu : Ubi suku Dizi

Wua benu nabe tegu: Dan metu penuh nabe tegu

Uwi ngata Gale Beo: Ubi panenan Gale Beo

Riwu dhanga ngadha ngedho: Selalu dikagumi semua orang

Uwi halo leza: Ubi biar musim panas

Sedu peka rua wali: Tetap bertunas dan bertumbuh

Uwi reba ana Nage: Ubi reba Nage

Sama ngawu rake: Bagaikan harta malaikat yang takkan habis.

Teks Tuturan 6

Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh

Bapak Fransiskus Dhosa (61 tahun), Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.

Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba (23 tahun)

3.2.3.3 Su’i Uwi (Upacara Pemotongan Ubi)

Su’i Uwi adalah upacara terakhir pada perayaan inti Reba. Su’i uwi

dilaksanakan pada malam berikut setelah sedo uwi. Pada malam su’i uwi seluruh

warga klan berkumpul kembali di rumah adat masing-masing untuk mengikuti

upacara su’i uwi. Ubi yang digunakan untuk upacara ini adalah ubi yang diambil

dari setiap rumah adat masing-masing yang sudah dipilih dan disepakati oleh

kepala suku sebelum upacara Reba ini di adakan. Sebelum ubi dipotong, terlebih

dahulu pemangku adat meriwayatkan kedatangan ubi dari empat arah yaitu, dari

simbol kedatangan para leluhur. Ubi dipotong menjadi empat bagian besar, sambil

memotong pemangku adat akan menyebut bagian terakhir kedatangan ubi yaitu

dari kebun atau tanah milik rumah adat tersebut. Semua tanah atau lahan milik

rumah adat tersebut disebutkan semua, kalau sudah dijual harus diriwayatkan

penjualannya. Setiap menyebutkan nama tempat, atau bagian dari periwayatan,

selalu diikuti dengan seruan: “Su”i Uwi, Uwi”. Melalui upacara ini semua warga

rumah adat dapat mengetahui tanah kekayaan atau hak milik rumah adat tersebut,

sehingga warga rumah adat tersebut tidak akan sembarangan menyerobot atau

mengklaim tanah suku lain sebagai tanah mereka. Su’i Uwi mengandung makna

hukum adat atau kebenaran hukum tentang kepemilikan tanah yang harus

diketahui oleh seluruh warga klan. Selama upacara su’i uwi berlangsung pintu

rumah adat di tutup, dan tidak boleh dibuka sedikitpun. Setelah selesai upacara

pemotongan ubi kemudian dilanjutkan dengan pemotongan ayam untuk ujud

pengesahan upacara su’i uwi dengan pengucapan syair mantra zi’a ura manu, wi

basa go su’i uwi. Dara ayam dioleskan pada empat potong ubi, dan pada beberapa

bagian rumah adat, yaitu pene (pintu), nuke (tiang di bagian dalam rumah),

mataraga (bagian tengah dinding belakang yang berukiran tanduk kerbau), papa

bhoko (bagian dalam rumah adat untuk perempuan), dan kalingate/pali wai (batu

ceper di halaman tempat menginjakan kaki sebelum masuk ke dalam rumah adat.

Ubi kemudian dipotong-potong untuk dimasak, bagian kepala ubi yang

berdaun disimpan untuk ditanam kembali di ladang atau di kebun untuk upacara

Reba tahun berikutnya. Penanaman kembali ubi ini merupakan simbol pelestarian

dapat hidup terus. Selanjutnya, sambil menanti nasi, ubi, dan daging masak,

pemangku adat menyampaikan petuah, nasihat, dan ajaran-ajaran atau filsafat

hidup yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat setempat (Wawancara

Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012).

3.2.4 Perayaan Akhir

Upacara penutup dalam rangkaian upacara Reba adalah pojo tebu. Pojo

tebu adalah upacara pembersihan, pembuangan sampah atau kotoran yang

terkumpul selama perayaan Reba. sampah-sampah tersebut seperti kulit ubi, kulit

pisang, tulang-tulang, bulu ayam, kulit kacang, daun kelor, dll.

Setelah upacara pojo tebu, segala sesuatu yang berkaitan dengan perayaan

Reba tidak boleh disebut-sebut lagi sebab dapat mendatangkan bencana angin.

Setelah selesai upacara pojo tebu, warga kampung beristirahat saja di kampung,

mereka tidak boleh melakukan aktivitas apapun seperti ke kebun, hal ini dianggap

tabu (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012).

3.3 Rangkuman Proses Ritual Upacara Reba

Pada umumnya setiap perayaan atau upacara memiliki tahapan dalam

pelaksanaanya. Dalam proses pelaksanaan upacara adat Reba ini mempunyai

empat tahapan besar yaitu:

1. Tahapan Persiapan, dalam tahap ini masyarakat Ngadha

kebutuhan tersebut antara lain; kayu api, ubi, beras, tuak (moke), ayam,

Dokumen terkait